"Bagaimana keadaannya?" tanya Xavier yang datang ke kamar Catherine dengan terburu-buru.
Veronica yang baru saja mengecek kondisi Catherine mengisyaratkan pada Xavier untuk berbicara berdua saja.Xavier pun akhirnya memerintahkan semua orang untuk keluar dari kamar itu. Setelah memastikan kalau tidak ada orang. Veronica kemudian berbicara."Catalina pingsan setelah aku menanyainya soal insiden kecelakaan yang menimpanya. Kepalanya tiba-tiba sakit. Aku yakin ini gejala trauma."Xavier tidak tahu harus merespons apa. Jadi dia hanya diam mendengarkan penjelasan Veronica dengan saksama."Apa kau sempat menyelidiki penyebab Catalina jatuh di istana malam itu?" tanya Veronica yang berniat mewawancarai Xavier soal kronologi yang terjadi. Selama ini, dia tahu kalau Xavier berkepribadian acuh dan dingin. Tapi dia tidak akan mungkin membiarkan seseorang melukai istrinya.Xavier, dia adalah lelaki yang menjunjung tinggi martabatnya."Semua orang sepakat menganggap itu sebagai kecelakaan." Xavier akhirnya berpendapat. Dia memang berkepribadian dingin. Tapi bukan berarti pria itu tidak tahu apa-apa tentang semua hal yang terjadi di sekitarnya.Xavier sempat menanyakan kronologi jatuhnya Catalina pada Nolan yang berada di tempat kejadian saat itu. Tapi Nolan bercerita kalau dia hanya meninggalkan Catalina sebentar untuk memeriksa sesuatu, mungkin tidak sampai sepuluh menit. Lalu saat dia kembali, orang-orang sudah heboh karena melihat wanita itu yang terjatuh dan tenggelam di kolam istana kekaisaran.Kejadiannya begitu cepat dan mengejutkan, sampai banyak orang yang bingung untuk bereaksi."Xavier, bagaimana jika itu bukan kecelakaan?" Mata Veronica terlihat memincing. Bukan hal yang baru jika ada seseorang yang memang berniat mencelakai Catalina atau bangsawan mana pun di kekaisaran.Mereka tinggal di lingkungan penuh konflik dan kepalsuan. Bahkan mungkin, tempat tidur sutra yang setiap hari mereka tempati lebih berbahaya dari pada medan perang itu sendiri."Maksudmu?" Xavier terlihat cukup terkejut denga. deduksi Veronica."Maksudku, bagaimana jika selama ini ada yang mencoba melukai Catalina." Dari awal Veronica tak pernah membenci Catalina. Dia cukup memahami sikap menyebalkan wanita itu sebelumnya.Catalina adalah putri dari seorang Baron yang miskin. Tapi karena kecantikannya dia berhasil menarik perhatian banyak orang. Banyak bangsawan yang melamarnya dan mengiriminya hadiah. Catalina menerima semuanya.Sikap Catalina yang seperti itu membuatnya mendapatkan banyak rumor, yang paling terkenal adalah saat dia diisukan berpacaran dengan Putra Mahkota Kekaisaran ini, Jayden.Jayden George Sebastian.Siapa yang tak mengenalnya? Dia adalah Putra Mahkota berambut emas yang diincar oleh kerajaan seluruh negeri. Ratusan putri dari setiap kekaisaran mengantri untuk menjadi istrinya. Tapi, diantara puluhan wanita. Putra Mahkota kekaisaran Victoria itu malah dekat dengan Catalina.Catalina si pembuat onar."Jangan gila, apa maksudmu?""Hari ini Catalina bilang padaku kalau dia takut tempat gelap, Xavier. Dia takut saat berada di kegelapan. Jelas itu adalah bentuk trauma. Tapi tidak mungkin dia menderita trauma itu tiba-tiba. Menurut pengamatanku, selama ini hanya orang-orang yang pernah diculik atau dikurung di tempat gelaplah yang akan takut pada kegelapan. Bahkan jika itu hanya ketakutan biasa, dia tidak akan se trauma itu. Apa kau yakin Catalina tidak punya riwayat penculikkan sebelumnya?"Xavier terdiam. Sebelum menikah dengannya, Catalina adalah sosok yang sering digunjingkan orang. Banyak orang yang membencinya karena dia selalu menempel dengan Jayden sang Putra Mahkota. Jadi tidak heran jika suatu saat muncul orang-orang yang ingin membunuhnya.Penculikkan? Sepertinya dia tidak pernah mendengar kata-kata itu muncul dari Catalina. Atau mungkin dia saja yang selama ini tidak tahu?"Seminggu ini kau tidak mengizinkannya keluar dari kamar ini kan? Aku sarankan jangan biarkan dia sendirian dan jangan terlalu keras padanya." Veronica menceramahi. Dia kemudian memeriksa Catherine sekali lagi, memastikan kalau kondisi wanita itu baik-baik saja."Aku sudah memberikannya obat tidur dan anti demam. Dia mungkin akan tidur beberapa jam ke depan." Veronica berkata dengan lembut. Dia menoleh pada Catalina sekali lagi sebelum benar-benar pergi dari kamar wanita itu.Sementara itu Xavier diam-diam merenung. Apakah selama ini Catalina menderita sendirian? Apakah sejatinya wanita itu membutuhkan perlindungan?"Tuan, saya meminta izin untuk mengantarkan Nona Lancaster." Nolan yang muncul setelah kepergian Veronica membuat Xavier menoleh ke arahnya."Pergilah. Jangan terlalu lama, karena aku ada tugas untukmu.""Baik, Tuan. Apa ini berkaitan dengan Nyonya?""Hm, selidiki latar belakang Catalina sekali lagi. Laporkan kejanggalan apa pun padaku."***Sementara itu di ruangan bawah tanah yang dingin. Para tahanan tengah menikmati makan siang mereka. Meskipun berstatus sebagai tahanan. Tapi di bawah kediaman Duke Victoria ini. Mereka masih diperlakukan cukup manusiawi.Rata-rata dari mereka adalah mantan prajurit yang kerajaannya dikalahkan oleh penguasa Victoria. Mereka adalah tawanan perang yang sudah kehilangan kedaulatan mereka."Yang Mulia," Seorang wanita berambut kepang berwarna coklat itu menyerahkan sepotong roti yang diterimanya dari penjaga yang membagikan mereka makanan yaitu sepotong roti gandum dengan madu dan air putih.Isabella, wanita cantik berambut coklat lurus dengan mata berwarna ungu Violet itu menoleh. Dia menatap mantam pelayannya yang kini menghuni satu sel kosong bersamanya.Beberapa minggu yang lalu, kerajaannya diratakan. Dia yang merupakan putri bungsu dari Raja Albenian itu adalah satu-satunya orang yang bertahan hidup. Atau mungkin, musuh membiarkannya sengaja untuk hidup agar bisa meratap dalam kesedihan."Aku tidak lapar Lili." Isabella bergumam. Selama menjadi tahanan, dia dikurung di ruang bawah tanah ini. Menantikan hukuman apa yang akan diberikan penguasa Victoria padanya. Sebagai tahanan dan sandera, Isabella tak berharap banyak. Jika tidak dibunuh, mungkin dia akan dijadikan selir seorang bangsawan atau bahkan mengabdikan diri sebagai pelayan.Tragis. Tapi itulah kenyataan yang harus dihadapinya."Yang Mulia, tapi Anda belum memakan apa pun selama tiga hari ini. Sejak Anda bangun, Anda semakin kurus karena hanya meminum air saja." Lili, pelayan yang turut dibawa saat perang itu adalah pelayan pribadi Isabella. Dia adalah gadis muda yang mungkin berusia dua puluh tahunan."Bukankah jika aku mati, mereka akan mengeluarkanku dari sini?" balas Isabella retoris."Anda tidak boleh berkata seperti itu, Yang Mulia. Mendiang Yang Mulia Raja dan Permaisuri pasti tidak akan senang mendengarnya."Isabella terdiam. Dia mengingat ayah dan ibunya. Saat perang terjadi, dia bahkan tidak ada bersama mereka. Seakan dikutuk, Isabella seolah tidak diizinkan untuk melihat jasad ayah dan ibunya untuk yang terakhir kali. Dia benar-benar menyimpan dendam. Dendam pada kekaisaran yang membuat tempat tinggalnya luluh lantak."Yang Mulia, tapi Anda harus tetap makan." Lili menyodorkan piring berisi sepotong roti itu kembali pada Isabella. Wanita dengan rambut kepang itu terlihat menunjuk bagian bawah piring dengan kelingkingnya.Isabella yang sadar kalau itu adalah salah satu isyarat yang digunakan lama olehnya dan sang pelayan kemudian menoleh. Dia diam-diam memperhatikan piring itu dan terkejut saat menemukan lambang kerajaannya di sana."Anda harus makan Yang Mulia. Setidaknya sedikit. Anda mungkin masih harus makan untuk suatu alasan."Isabella paham. Kata-kata yang diucapkan Lili semacam kode yang mengisyaratkan kalau mereka harus bertahan, mereka harus hidup.Mungkin di sebuah tempat. Mungkin di sel yang dingin ini. Isabella tidak sendirian.Catherine membuka matanya secara perlahan. Dia merasa kepalanya masih sakit saat ini. Wanita itu melirik, melihat sekitar. Sepertinya dia ingat, sebelum menutup matanya dan pingsan. Dia sedang berdialog dengan Veronica. Tapi sepertinya dia pingsan terlalu lama. Terbukti dengan hari yang sudah malam. Catherine bahkan tidak tahu kalau dia bisa tidur seharian penuh. "Kau sudah bangun?"Catherine menoleh. Jantungnya nyaris melompat mendengar suara familiar itu. Dia kemudian melihat jauh ke sofa. Sialan. Ternyata dia tidak sendirian. "Xavier?" panggil Catherine memastikan kalau saat ini dia tidak sedang berhalusinasi. "Xavier? Kau benar-benar Xavier kan?" tanya Catherine sekali lagi. Sosok panglima perang Victoria itu berdiri. Dia kemudian mendekati ranjang Catherine dan menyentuh keningnya. Catherine membeku. Apa yang lelaki ini lakukan?"Aku bisa menyentuhmu. Apa kau sekarang percaya aku nyata?" jawab Xavier enteng. Dia diam-diam bersyukur karena demam wanita ini sudah turun. Saat i
"Kenapa kalian ke sini?" Xavier terlihat menatap semua pelayan yang berjejer rapi memenuhi dapur. Dia yang saat ini masih menggendong Catherine dalam pelukannya terlihat tidak suka dengan banyaknya orang di ruangan itu. "Maafkan Saya Tuan. Saya dengar dari ksatria Nolan kalau Tuan dan Nyonya akan memasak." Madam Giselle mewakili semua pelayan untuk berbicara. Bahkan Ana yang sudah terbiasa ada di sisi Catherine saja tidak berani mengangkat kepala karena takut dengan aura intimidasi Xavier. "Iya. Tapi aku tidak meminta kalian ke sini," kata Xavier tegas. "Maafkan saya Tuan. Jika memang begitu, biarkan para pelayan dan koki saja yang memasak. Tuan dan Nyonya silakan beristirahat," kata Madam Giselle panik. "Bibi, jika aku ingin kalian memasak. Maka aku akan memanggil kalian dari tadi. Tapi sekarang istriku ingin memasak. Kalian semua kembalilah." Semua pelayan terlihat berpandangan satu sama lain. Mereka masih tidak menyangka kalau Xavier akan menyebut Catherine sebagai istrinya den
Bau anyir menyerbak. Memenuhi gersangnya tanah yang tak lagi berwarna coklat. Cairan merah menggenang di mana-mana. Api berkobar di berbagai sudut. Menandakan kekacauan. Di satu sisi, orang merayakan sorak sorai gembira. Di sisi lain, air mata menyelami lautan duka. Sesosok panglima perang dengan kudanya yang gagah berani melangkah. Menyalami satu persatu prajuritnya yang masih memiliki jatah untuk hidup esok hari. Sementara itu matanya menyelinap ke banyak jasad yang bergelimpangan kaku. Begitu saja, hatinya mencelos melihat para prajurit gagah itu tumbang di medan perang. Bertukar arah, dia melihat pedang di tangannya sendiri. Amis, anyir dan masih hangat dengan balutan darah. Meskipun begitu, wajahnya sudah dirancang dengan kaku. Dia biasa. Dia sudah terlalu terbiasa. "Duke, pasukan Albenian telah menyatakan kekalahan. Sebentar lagi kami akan ke tenda mereka untuk menyatakan kedaulatan dan kemenangan Victoria." Seseorang melapor, menghentikan lamunan Xavier dan kekacauan di hat
Catherine membuka matanya secara perlahan-lahan. Dia mengerjap, merasakan kalau kepalanya sakit dan kelopak matanya sangat berat. Dia melihat chandelier menggantung di atas kepalanya. Aroma wangi-wangian segera memenuhi indera penciumannya yang mulai berfungsi kembali.Dia merasa asing."Apa aku sudah di surga?" gumam Catherine dalam hati. Ada begitu banyak pertanyaan dalam dirinya sekarang. Karena ruangan yang dia lihat di depan matanya sangat jauh dari ruangan yang selama ini dia selalu lihat. Jelas-jelas ini bukan kamarnya. Ini juga bukan kamar rumah sakit seperti yang sempat dia pikirkan saat pertama kali dia bisa membuka mata. Jadi satu-satunya kemungkinan yang saat ini hinggap di otaknya adalah kalau dia ada di surga. Karena kamar dengan penuh lampu dan hiasan cantik ini tak mungkin milik sebuah rumah sakit atau bangunan komersial apa pun. Mungkin dia mati karena fobianya terakhir kali.Sangat menyedihkan.Berusaha bangun, Catherine terduduk dengan susah payah. Entah kenapa,
Seminggu yang lalu. Undangan dengan kertas emas tersebar. Tapi tak seperti hujan yang menyinggahi hati setiap orang. Undangan mewah itu hanya mendarat ke setiap rumah dengan status tertentu. "Nyonya, ada undangan dari istana kekaisaran, apa saya perlu membawakannya ke sini?"Seorang wanita yang sedang merias dirinya itu terlihat berjingkat senang. Dia menatap pelayannya dengan wajah sumringah. "Apa itu dari Putra Mahkota?""Bukan, Nyonya. Tapi Permaisuri, beliau mengadakan ulang tahun untuk Tuan Putri Cessa dan mengundang Duke Xavier untuk hadir.""Baiklah. Bawakan ke sini dan bacakan."Undangan dengan wangi bunga mawar itu datang dan langsung membuat Catalina heboh sendiri memilih gaun. Xavier yang menjadi suaminya sedang tidak ada di tempat, jadi sebagai istri yang baik dia harus mendatangi undangan dari kekaisaran itu untuk mewakilinya, bukan?Istri yang sangat berbakti sekali. Berias dari siang, malam harinya Catalina datang dengan gaun terbaiknya. Dia bertingkah layaknya wanit
"Madam, Tuan Duke ada di depan. Beliau menginginkan pertemuan dengan Nyonya Catalina berdua saja."Catherine yang saat ini sedang berusaha mencerna situasi gila macam apa lagi yang akan dia hadapi, menoleh kaget dengan perkataan yang dibawa oleh salah satu pelayan wanita tersebut. Dia yang baru saja selesai diganti perban lukanya oleh Madam Giselle lantas tertegun mendengar nama seseorang yang rasa-rasanya pasti dia kenal.Duke? Apa orang yang dimaksud pelayan tadi adalah Duke? Apa dia Xavier? Salah satu karakter yang dia ciptakan?!"Nyonya, saya sudah selesai membalut luka Anda. Tolong kedepannya lebih berhati-hati. Saya tidak ingin melihat Anda terluka lagi, Nyonya." Tatapan Madam Giselle begitu tulus. Itu mengingatkan Catherine pada ibunya sendiri. Di dunia nyata, dia sudah lama tidak mengunjungi ibunya setelah memutuskan untuk tinggal sendirian.Saat mencoba kabur dengan kaki patahnya beberapa jam yang lalu. Dia ketahuan Madam Giselle dan kakinya kembali terluka karena dipakai b
Pagi harinya, Catherine terbangun dengan banyak pelayan di sisinya. Ana yang ditugaskan sebagai pelayan pribadinya hadir bersama Madam Giselle. Mereka memperlakukan Catherine dengan baik. Catherine yang tadinya adalah wanita mandiri dan terbiasa melakukan pekerjaan rumah sendirian. Bahkan bingung saat dia tidak diizinkan melakukan apa pun.Kenapa kehidupan di sini terasa menyenangkan? Dia tidak boleh terlena. Tapi itulah kenyataannya."Nyonya, biarkan kami saja. Bukankah tangan Anda masih sakit?" tegur Ana yang tidak mengizinkan Catherine menyisir rambutnya sendiri. Wanita muda itu lantas mengambil sisir dari tangannya dan menyisir rambut Catalina yang berwarna putih perak itu. Jika dilihat-lihat, wajah Catalina begitu cantik. Mata merah rubynya bahkan terlihat seperti permata yang bersinar digundukan salju putih."Apa yang biasanya aku lakukan setelah mandi?" tanya Catalina pada Madam Giselle yang juga berdiri di sana memantau keadaan Nyonya rumahnya. Saat ini, karena kakinya yang
Catherine menatap Xavier yang masih menggendongnya melewati lorong untuk kembali ke kamarnya. Banyak pelayan yang mereka lalui tersentak heran karena Xavier yang menggendong Catherine tanpa bergeming. Bukan sebuah rahasia, jika pada awalnya hubungan sepasang suami istri memanglah buruk. Sebagai penulis, Catherine bahkan tidak pernah memberikan momen manis di rumah tangga Xavier dan Catalina. Tapi apa ini? Perlakuan macam apa ini? Apa ini tanda kalau Catherine bisa mengubah alur ceritanya?"Xavier ... " Catherine berusaha memanggil Xavier yang berjalan tegap dengan tatapan yang lurus ke depan. Dia seperti singa yang membawa harta karun di lengannya. "Xavier," panggil Catherine sekali lagi. Mereka saat ini sedang berjalan menuju kamarnya diikuti oleh Nolan dan juga Madam Giselle dan beberapa pelayan yang membawakan sarapan Catherine sesuai perintah Xavier. "Aku tidak tuli. Jadi katakan saja apa maumu." Xavier membalas dengan dingin. Duke muda Victoria itu bahkan tidak menoleh kearah