"Kenapa kalian ke sini?" Xavier terlihat menatap semua pelayan yang berjejer rapi memenuhi dapur. Dia yang saat ini masih menggendong Catherine dalam pelukannya terlihat tidak suka dengan banyaknya orang di ruangan itu.
"Maafkan Saya Tuan. Saya dengar dari ksatria Nolan kalau Tuan dan Nyonya akan memasak." Madam Giselle mewakili semua pelayan untuk berbicara. Bahkan Ana yang sudah terbiasa ada di sisi Catherine saja tidak berani mengangkat kepala karena takut dengan aura intimidasi Xavier."Iya. Tapi aku tidak meminta kalian ke sini," kata Xavier tegas."Maafkan saya Tuan. Jika memang begitu, biarkan para pelayan dan koki saja yang memasak. Tuan dan Nyonya silakan beristirahat," kata Madam Giselle panik."Bibi, jika aku ingin kalian memasak. Maka aku akan memanggil kalian dari tadi. Tapi sekarang istriku ingin memasak. Kalian semua kembalilah." Semua pelayan terlihat berpandangan satu sama lain. Mereka masih tidak menyangka kalau Xavier akan menyebut Catherine sebagai istrinya dengan semudah itu.Madam Giselle bahkan tidak berhenti menatap kearah Catherine dengan wajah syoknya yang terlihat bahagia. Catherine yang merasa salah tingkah karena semua orang memandanginya akhirnya menatap kesal kearah Xavier."Nolan bubarkan semua orang! Jangan biarkan ada siapa pun yang berani masuk ke dapur ini sebelum aku selesai." Perintah Xavier mutlak."Baik Tuan."Setelah mengusir semua pelayan. Xavier akhirnya mulai menurunkan Catherine dengan mendudukkannya di kursi. Sementara dia sendiri sibuk menyiapkan bahan makanan sendirian.Catherine diam-diam memperhatikannya. Baru kali ini dia cukup terkesima dengan tokoh buatannya sendiri. Dilihat dari sudut mana pun Xavier itu tampan. Tubuhnya yang tinggi dan lengannya yang berotot menambah aura ketampanan yang menyenangkan dari dirinya."Xavier, kau bisa memasak?" tanya Catherine iseng. Dia sebenarnya sudah bertanya pertanyaan itu pada Xavier saat perjalanan ke sini. Tapi dia sekali lagi hanya ingin memastikan."Kenapa? Kau takut aku racuni?" tanya Xavier yang kini tengah mencuci beberapa sayuran dengan tangannya. Entah kenapa Catherine mendadak bersyukur karena dulu dia menciptakan setting dunia cerita ini tidak jauh dengan dunia modern tepatnya tinggal.Bisa dibilang, dunia cerita ini seperti dunia modern yang memiliki pemerintahan hierarki saja. Bedanya, belum ada ponsel atau komputer yang canggih. Catherine tidak sempat memasukkannya. Tapi dia akui, dunia ini membuatnya lumayan nyaman juga.Apalagi dia tinggal di kediaman Duke yang tentunya memiliki fasilitas yang lumayan mewah dibandingkan yang lain. Karena di dunia ini Xavier menyandang gelar Grand Duke yang merupakan gelar tertinggi yang bisa diraih oleh para bangsawan.Catherine menatap punggung Xavier sekali lagi. Xavier sepertinya sedang sibuk memotong sesuatu. Catherine memaksakan kakinya untuk berdiri. Lagi pula kata Veronica dia memang harus berlatih berjalan.Catherine merayap dengan susah payah. Tapi saat sudah nyaris dekat dengan Xavier, pegangannya pada ujung meja terlepas. Dia nyaris terjerembab ke belakang jika Xavier tidak menangkapnya dengan tepat waktu."Apa yang kau lakukan!?" Nada Xavier terdengar tinggi. Tak bisa disembunyikan, dia sendiri kaget karena nada tingginya.Catherine yang masih ada dalam pelukan Xavier akhirnya mencoba berdiri. "Maafkan aku, aku hanya ingin membantumu." katanya merasa bersalah."Duduklah jika kau ingin membantuku." ucap Xavier mutlak. Catherine yang tahu kalau dia sudah memantik api kemarahan di diri Xavier akhirnya menurut. Tapi tanpa dia duga, Xavier sendirilah yang kembali mengangkatnya ke kursi.Entah ini perasaan Catherine saja atau bagaimana. Tapi dia merasa kalau Xavier tidak sedingin kelihatannya. Lelaki itu peduli, dia mungkin terlihat menyeramkan fan galak tapi Catherine sama sekali tidak merasa risih dengan hal itu.Xavier kemudian terlihat mendekati Catherine lagi. "Kau bisa memotongnya jika kau mau membantu," katanya sambil menyerahkan segenggam sayuran yang sudah dia cuci. Catherine tersenyum. Lihatkan? Sebenarnya Xavier adalah pria yang cukup baik.Setelah beberapa waktu berlalu. Xavier yang dibantu oleh Catherine berhasil menyelesaikan masakannya.Xavier menyiapkan hidangan buatannya di depan Catherine. Ada krim sup udang yang terlihat sangat lezat dan juga beberapa olahan sayuran yang melengkapi semuanya.Catherine menatap semua makan itu. Perutnya yang sudah lapar merasa tergugah begitu saja. Wanita itu kemudian mulai mengambil piring dan menyendok beberapa makanan yang ada di depannya."Enak!" Pujinya tulus. Sejenak, dia lupa kalau dia adalah seorang wanita bangsawan di dunia ini. Tapi makanan di depannya sungguh sangat enak, sehingga membuat Catherine makan dengan sangat lahap. Dia bahkan tak sadar kalau sedari tadi Xavier memperhatikannya."Kau tidak makan?" tanya Catherine yang heran karena saat ini Xavier hanya diam saja dan menatapnya di kursi tanpa memakan apa pun."Makanlah. Kau bisa memakan semuanya," balas Xavier."Tidak. Kau juga harus makan Xavier. Tidak enak jika aku makan sendiri seperti ini. Makanlah." Catherine menyodorkan piring. Wanita itu menatap Xavier seakan dia menunggu lelaki itu mengambil piringnya.Xavier akhirnya mau tidak mau mengambil piring itu dan mulai menyendokkan makanan yang dia masak sendiri dengan tangannya. Keduanya kemudian makan dengan tenang sampai selesai.***Tiga hari kemudian, Catherine sudah mulai bisa berjalan sendiri. Kakinya sudah sangat membaik. Dia bahkan sudah bisa berkeliling kamar dengan kakinya sendiri."Sepertinya seminggu lagi kau akan mulai bisa berlari, Catalina!" Puji Veronica antusias. Dokter cantik itu seperti biasa selalu berkunjung ke kamar Catherine untuk memeriksa keadaannya.Catherine tersenyum, dia senang karena akhirnya dia tidak harus duduk atau berbaring di kasur lagi. Jujur saja dia sudah cukup muak. Dia ingin sesekali menjelajahi kediaman Duke ini dan mungkin juga berjalan-jalan di taman."Kau terlalu memujiku. Ini semua berkat latihan darimu, Ve.""Tidak perlu sungkan. Aku melakukan ini karena aku memang menyukainya," balas Veronica.Keduanya kini tengah minum teh di sofa dengan beberapa cemilan yang disediakan. Catherine baru sadar kalau beberapa kue yang ada di dunia ini adalah kue yang sama yang ada di dunianya. Karena kebanyakan, Catherine memasukkan kue kesukaannya pada ceritanya sendiri. Ternyata ini ada gunanya."Aku dengar kau memasak bersama Xavier tiga hari yang lalu." kata Veronica membuka topik baru.Catherine yang baru saja meminum tehnya mengangguk. Dia menyimpan cangkirnya dengan anggun. "Aku baru tahu kalau Xavier ternyata pintar memasak. Krim sup udang buatannya sangat enak!" kata wanita itu antusias."Krim sup udang?" tanya Veronica memastikan pendengarannya."hm, iya. Dia memasakkanku krim sup udang.""Apa Xavier juga ikut memakannya?" tanya Veronica lagi. Catherine yang merasa kalau tatapan Veronica berubah kemudian mengangguk. "Aku tidak suka makan sendirian jadi aku meminta Xavier untuk makan bersamaku. Apa ada yang salah?"Ekspresi Veronica pahit. Wanita itu mencoba tenang, tapi Catherine terlanjur melihat ekspresinya."Ada apa?" tanya Catherine menuntut penjelasan."Apa kau bertemu Xavier lagi selama tiga hari ini?" tanya Veronica dengan kelopak matanya yang layu. Wajahnya tetap ramah, tapi rasanya ada yang salah.Catherine terlihat berpikir. Dia berusaha mengingat-ngingat. Lalu kemudian wanita itu menggeleng. "Xavier tak pernah datang lagi setelah malam itu. Dia sepertinya sedang sibuk, atau memang tidak ingin datang menemuiku," jawabnya pesimis.Veronica menggenggam tangan Catherine. "Catalina, Xavier bukan tidak ingin datang menemuimu. Selama tiga hari ini, dia sakit. Xavier ... dia demam karena alergi udang."Bau anyir menyerbak. Memenuhi gersangnya tanah yang tak lagi berwarna coklat. Cairan merah menggenang di mana-mana. Api berkobar di berbagai sudut. Menandakan kekacauan. Di satu sisi, orang merayakan sorak sorai gembira. Di sisi lain, air mata menyelami lautan duka. Sesosok panglima perang dengan kudanya yang gagah berani melangkah. Menyalami satu persatu prajuritnya yang masih memiliki jatah untuk hidup esok hari. Sementara itu matanya menyelinap ke banyak jasad yang bergelimpangan kaku. Begitu saja, hatinya mencelos melihat para prajurit gagah itu tumbang di medan perang. Bertukar arah, dia melihat pedang di tangannya sendiri. Amis, anyir dan masih hangat dengan balutan darah. Meskipun begitu, wajahnya sudah dirancang dengan kaku. Dia biasa. Dia sudah terlalu terbiasa. "Duke, pasukan Albenian telah menyatakan kekalahan. Sebentar lagi kami akan ke tenda mereka untuk menyatakan kedaulatan dan kemenangan Victoria." Seseorang melapor, menghentikan lamunan Xavier dan kekacauan di hat
Catherine membuka matanya secara perlahan-lahan. Dia mengerjap, merasakan kalau kepalanya sakit dan kelopak matanya sangat berat. Dia melihat chandelier menggantung di atas kepalanya. Aroma wangi-wangian segera memenuhi indera penciumannya yang mulai berfungsi kembali.Dia merasa asing."Apa aku sudah di surga?" gumam Catherine dalam hati. Ada begitu banyak pertanyaan dalam dirinya sekarang. Karena ruangan yang dia lihat di depan matanya sangat jauh dari ruangan yang selama ini dia selalu lihat. Jelas-jelas ini bukan kamarnya. Ini juga bukan kamar rumah sakit seperti yang sempat dia pikirkan saat pertama kali dia bisa membuka mata. Jadi satu-satunya kemungkinan yang saat ini hinggap di otaknya adalah kalau dia ada di surga. Karena kamar dengan penuh lampu dan hiasan cantik ini tak mungkin milik sebuah rumah sakit atau bangunan komersial apa pun. Mungkin dia mati karena fobianya terakhir kali.Sangat menyedihkan.Berusaha bangun, Catherine terduduk dengan susah payah. Entah kenapa,
Seminggu yang lalu. Undangan dengan kertas emas tersebar. Tapi tak seperti hujan yang menyinggahi hati setiap orang. Undangan mewah itu hanya mendarat ke setiap rumah dengan status tertentu. "Nyonya, ada undangan dari istana kekaisaran, apa saya perlu membawakannya ke sini?"Seorang wanita yang sedang merias dirinya itu terlihat berjingkat senang. Dia menatap pelayannya dengan wajah sumringah. "Apa itu dari Putra Mahkota?""Bukan, Nyonya. Tapi Permaisuri, beliau mengadakan ulang tahun untuk Tuan Putri Cessa dan mengundang Duke Xavier untuk hadir.""Baiklah. Bawakan ke sini dan bacakan."Undangan dengan wangi bunga mawar itu datang dan langsung membuat Catalina heboh sendiri memilih gaun. Xavier yang menjadi suaminya sedang tidak ada di tempat, jadi sebagai istri yang baik dia harus mendatangi undangan dari kekaisaran itu untuk mewakilinya, bukan?Istri yang sangat berbakti sekali. Berias dari siang, malam harinya Catalina datang dengan gaun terbaiknya. Dia bertingkah layaknya wanit
"Madam, Tuan Duke ada di depan. Beliau menginginkan pertemuan dengan Nyonya Catalina berdua saja."Catherine yang saat ini sedang berusaha mencerna situasi gila macam apa lagi yang akan dia hadapi, menoleh kaget dengan perkataan yang dibawa oleh salah satu pelayan wanita tersebut. Dia yang baru saja selesai diganti perban lukanya oleh Madam Giselle lantas tertegun mendengar nama seseorang yang rasa-rasanya pasti dia kenal.Duke? Apa orang yang dimaksud pelayan tadi adalah Duke? Apa dia Xavier? Salah satu karakter yang dia ciptakan?!"Nyonya, saya sudah selesai membalut luka Anda. Tolong kedepannya lebih berhati-hati. Saya tidak ingin melihat Anda terluka lagi, Nyonya." Tatapan Madam Giselle begitu tulus. Itu mengingatkan Catherine pada ibunya sendiri. Di dunia nyata, dia sudah lama tidak mengunjungi ibunya setelah memutuskan untuk tinggal sendirian.Saat mencoba kabur dengan kaki patahnya beberapa jam yang lalu. Dia ketahuan Madam Giselle dan kakinya kembali terluka karena dipakai b
Pagi harinya, Catherine terbangun dengan banyak pelayan di sisinya. Ana yang ditugaskan sebagai pelayan pribadinya hadir bersama Madam Giselle. Mereka memperlakukan Catherine dengan baik. Catherine yang tadinya adalah wanita mandiri dan terbiasa melakukan pekerjaan rumah sendirian. Bahkan bingung saat dia tidak diizinkan melakukan apa pun.Kenapa kehidupan di sini terasa menyenangkan? Dia tidak boleh terlena. Tapi itulah kenyataannya."Nyonya, biarkan kami saja. Bukankah tangan Anda masih sakit?" tegur Ana yang tidak mengizinkan Catherine menyisir rambutnya sendiri. Wanita muda itu lantas mengambil sisir dari tangannya dan menyisir rambut Catalina yang berwarna putih perak itu. Jika dilihat-lihat, wajah Catalina begitu cantik. Mata merah rubynya bahkan terlihat seperti permata yang bersinar digundukan salju putih."Apa yang biasanya aku lakukan setelah mandi?" tanya Catalina pada Madam Giselle yang juga berdiri di sana memantau keadaan Nyonya rumahnya. Saat ini, karena kakinya yang
Catherine menatap Xavier yang masih menggendongnya melewati lorong untuk kembali ke kamarnya. Banyak pelayan yang mereka lalui tersentak heran karena Xavier yang menggendong Catherine tanpa bergeming. Bukan sebuah rahasia, jika pada awalnya hubungan sepasang suami istri memanglah buruk. Sebagai penulis, Catherine bahkan tidak pernah memberikan momen manis di rumah tangga Xavier dan Catalina. Tapi apa ini? Perlakuan macam apa ini? Apa ini tanda kalau Catherine bisa mengubah alur ceritanya?"Xavier ... " Catherine berusaha memanggil Xavier yang berjalan tegap dengan tatapan yang lurus ke depan. Dia seperti singa yang membawa harta karun di lengannya. "Xavier," panggil Catherine sekali lagi. Mereka saat ini sedang berjalan menuju kamarnya diikuti oleh Nolan dan juga Madam Giselle dan beberapa pelayan yang membawakan sarapan Catherine sesuai perintah Xavier. "Aku tidak tuli. Jadi katakan saja apa maumu." Xavier membalas dengan dingin. Duke muda Victoria itu bahkan tidak menoleh kearah
Semesta memang selalu punya kejutan. Tapi tak jarang, kejutan yang diberikan terlalu di luar nalar sampai rasanya bisa membuat gila. Catherine yang kini mencoret-coret kertas di ranjangnya merasa frustrasi dan pusing sendiri. Pasalnya, dilihat dari sudut pandang mana pun semua ini terlalu nyata. Pada awalnya, dia masih berpikir kalau dunia novel yang saat ini dimasukinya adalah mimpi. Dia berusaha yakin kalau setelah tertidur. Dunianya akan kembali seperti semula. Tapi setelah seminggu ada di dunia ini. Tertidur dan terbangun di ranjang sutera yang sama. Membuatnya sadar kalau dia tidak punya kesempatan kembali. Ini adalah dunia yang harus dihadapinya. "Apa di dunia ini tidak ada portal? Aku bisa gila jika begini." Catherine meracau sendiri. Dia saat ini tengah menuliskan alur cerita yang dia ingat di kertas yang selalu dia simpan di laci kamarnya. Sudah seminggu, dan luka-luka ditubuhnya sudah
"Bagaimana keadaannya?" tanya Xavier yang datang ke kamar Catherine dengan terburu-buru. Veronica yang baru saja mengecek kondisi Catherine mengisyaratkan pada Xavier untuk berbicara berdua saja. Xavier pun akhirnya memerintahkan semua orang untuk keluar dari kamar itu. Setelah memastikan kalau tidak ada orang. Veronica kemudian berbicara. "Catalina pingsan setelah aku menanyainya soal insiden kecelakaan yang menimpanya. Kepalanya tiba-tiba sakit. Aku yakin ini gejala trauma." Xavier tidak tahu harus merespons apa. Jadi dia hanya diam mendengarkan penjelasan Veronica dengan saksama. "Apa kau sempat menyelidiki penyebab Catalina jatuh di istana malam itu?" tanya Veronica yang berniat mewawancarai Xavier soal kronologi yang terjadi. Selama ini, dia tahu kalau Xavier berkepribadian acuh dan dingin. Tapi dia tidak akan mungkin membiarkan seseorang melukai istrinya. Xavier, dia adalah lelaki yang menjunjung tinggi martabatnya.
"Kenapa kalian ke sini?" Xavier terlihat menatap semua pelayan yang berjejer rapi memenuhi dapur. Dia yang saat ini masih menggendong Catherine dalam pelukannya terlihat tidak suka dengan banyaknya orang di ruangan itu. "Maafkan Saya Tuan. Saya dengar dari ksatria Nolan kalau Tuan dan Nyonya akan memasak." Madam Giselle mewakili semua pelayan untuk berbicara. Bahkan Ana yang sudah terbiasa ada di sisi Catherine saja tidak berani mengangkat kepala karena takut dengan aura intimidasi Xavier. "Iya. Tapi aku tidak meminta kalian ke sini," kata Xavier tegas. "Maafkan saya Tuan. Jika memang begitu, biarkan para pelayan dan koki saja yang memasak. Tuan dan Nyonya silakan beristirahat," kata Madam Giselle panik. "Bibi, jika aku ingin kalian memasak. Maka aku akan memanggil kalian dari tadi. Tapi sekarang istriku ingin memasak. Kalian semua kembalilah." Semua pelayan terlihat berpandangan satu sama lain. Mereka masih tidak menyangka kalau Xavier akan menyebut Catherine sebagai istrinya den
Catherine membuka matanya secara perlahan. Dia merasa kepalanya masih sakit saat ini. Wanita itu melirik, melihat sekitar. Sepertinya dia ingat, sebelum menutup matanya dan pingsan. Dia sedang berdialog dengan Veronica. Tapi sepertinya dia pingsan terlalu lama. Terbukti dengan hari yang sudah malam. Catherine bahkan tidak tahu kalau dia bisa tidur seharian penuh. "Kau sudah bangun?"Catherine menoleh. Jantungnya nyaris melompat mendengar suara familiar itu. Dia kemudian melihat jauh ke sofa. Sialan. Ternyata dia tidak sendirian. "Xavier?" panggil Catherine memastikan kalau saat ini dia tidak sedang berhalusinasi. "Xavier? Kau benar-benar Xavier kan?" tanya Catherine sekali lagi. Sosok panglima perang Victoria itu berdiri. Dia kemudian mendekati ranjang Catherine dan menyentuh keningnya. Catherine membeku. Apa yang lelaki ini lakukan?"Aku bisa menyentuhmu. Apa kau sekarang percaya aku nyata?" jawab Xavier enteng. Dia diam-diam bersyukur karena demam wanita ini sudah turun. Saat i
"Bagaimana keadaannya?" tanya Xavier yang datang ke kamar Catherine dengan terburu-buru. Veronica yang baru saja mengecek kondisi Catherine mengisyaratkan pada Xavier untuk berbicara berdua saja. Xavier pun akhirnya memerintahkan semua orang untuk keluar dari kamar itu. Setelah memastikan kalau tidak ada orang. Veronica kemudian berbicara. "Catalina pingsan setelah aku menanyainya soal insiden kecelakaan yang menimpanya. Kepalanya tiba-tiba sakit. Aku yakin ini gejala trauma." Xavier tidak tahu harus merespons apa. Jadi dia hanya diam mendengarkan penjelasan Veronica dengan saksama. "Apa kau sempat menyelidiki penyebab Catalina jatuh di istana malam itu?" tanya Veronica yang berniat mewawancarai Xavier soal kronologi yang terjadi. Selama ini, dia tahu kalau Xavier berkepribadian acuh dan dingin. Tapi dia tidak akan mungkin membiarkan seseorang melukai istrinya. Xavier, dia adalah lelaki yang menjunjung tinggi martabatnya.
Semesta memang selalu punya kejutan. Tapi tak jarang, kejutan yang diberikan terlalu di luar nalar sampai rasanya bisa membuat gila. Catherine yang kini mencoret-coret kertas di ranjangnya merasa frustrasi dan pusing sendiri. Pasalnya, dilihat dari sudut pandang mana pun semua ini terlalu nyata. Pada awalnya, dia masih berpikir kalau dunia novel yang saat ini dimasukinya adalah mimpi. Dia berusaha yakin kalau setelah tertidur. Dunianya akan kembali seperti semula. Tapi setelah seminggu ada di dunia ini. Tertidur dan terbangun di ranjang sutera yang sama. Membuatnya sadar kalau dia tidak punya kesempatan kembali. Ini adalah dunia yang harus dihadapinya. "Apa di dunia ini tidak ada portal? Aku bisa gila jika begini." Catherine meracau sendiri. Dia saat ini tengah menuliskan alur cerita yang dia ingat di kertas yang selalu dia simpan di laci kamarnya. Sudah seminggu, dan luka-luka ditubuhnya sudah
Catherine menatap Xavier yang masih menggendongnya melewati lorong untuk kembali ke kamarnya. Banyak pelayan yang mereka lalui tersentak heran karena Xavier yang menggendong Catherine tanpa bergeming. Bukan sebuah rahasia, jika pada awalnya hubungan sepasang suami istri memanglah buruk. Sebagai penulis, Catherine bahkan tidak pernah memberikan momen manis di rumah tangga Xavier dan Catalina. Tapi apa ini? Perlakuan macam apa ini? Apa ini tanda kalau Catherine bisa mengubah alur ceritanya?"Xavier ... " Catherine berusaha memanggil Xavier yang berjalan tegap dengan tatapan yang lurus ke depan. Dia seperti singa yang membawa harta karun di lengannya. "Xavier," panggil Catherine sekali lagi. Mereka saat ini sedang berjalan menuju kamarnya diikuti oleh Nolan dan juga Madam Giselle dan beberapa pelayan yang membawakan sarapan Catherine sesuai perintah Xavier. "Aku tidak tuli. Jadi katakan saja apa maumu." Xavier membalas dengan dingin. Duke muda Victoria itu bahkan tidak menoleh kearah
Pagi harinya, Catherine terbangun dengan banyak pelayan di sisinya. Ana yang ditugaskan sebagai pelayan pribadinya hadir bersama Madam Giselle. Mereka memperlakukan Catherine dengan baik. Catherine yang tadinya adalah wanita mandiri dan terbiasa melakukan pekerjaan rumah sendirian. Bahkan bingung saat dia tidak diizinkan melakukan apa pun.Kenapa kehidupan di sini terasa menyenangkan? Dia tidak boleh terlena. Tapi itulah kenyataannya."Nyonya, biarkan kami saja. Bukankah tangan Anda masih sakit?" tegur Ana yang tidak mengizinkan Catherine menyisir rambutnya sendiri. Wanita muda itu lantas mengambil sisir dari tangannya dan menyisir rambut Catalina yang berwarna putih perak itu. Jika dilihat-lihat, wajah Catalina begitu cantik. Mata merah rubynya bahkan terlihat seperti permata yang bersinar digundukan salju putih."Apa yang biasanya aku lakukan setelah mandi?" tanya Catalina pada Madam Giselle yang juga berdiri di sana memantau keadaan Nyonya rumahnya. Saat ini, karena kakinya yang
"Madam, Tuan Duke ada di depan. Beliau menginginkan pertemuan dengan Nyonya Catalina berdua saja."Catherine yang saat ini sedang berusaha mencerna situasi gila macam apa lagi yang akan dia hadapi, menoleh kaget dengan perkataan yang dibawa oleh salah satu pelayan wanita tersebut. Dia yang baru saja selesai diganti perban lukanya oleh Madam Giselle lantas tertegun mendengar nama seseorang yang rasa-rasanya pasti dia kenal.Duke? Apa orang yang dimaksud pelayan tadi adalah Duke? Apa dia Xavier? Salah satu karakter yang dia ciptakan?!"Nyonya, saya sudah selesai membalut luka Anda. Tolong kedepannya lebih berhati-hati. Saya tidak ingin melihat Anda terluka lagi, Nyonya." Tatapan Madam Giselle begitu tulus. Itu mengingatkan Catherine pada ibunya sendiri. Di dunia nyata, dia sudah lama tidak mengunjungi ibunya setelah memutuskan untuk tinggal sendirian.Saat mencoba kabur dengan kaki patahnya beberapa jam yang lalu. Dia ketahuan Madam Giselle dan kakinya kembali terluka karena dipakai b
Seminggu yang lalu. Undangan dengan kertas emas tersebar. Tapi tak seperti hujan yang menyinggahi hati setiap orang. Undangan mewah itu hanya mendarat ke setiap rumah dengan status tertentu. "Nyonya, ada undangan dari istana kekaisaran, apa saya perlu membawakannya ke sini?"Seorang wanita yang sedang merias dirinya itu terlihat berjingkat senang. Dia menatap pelayannya dengan wajah sumringah. "Apa itu dari Putra Mahkota?""Bukan, Nyonya. Tapi Permaisuri, beliau mengadakan ulang tahun untuk Tuan Putri Cessa dan mengundang Duke Xavier untuk hadir.""Baiklah. Bawakan ke sini dan bacakan."Undangan dengan wangi bunga mawar itu datang dan langsung membuat Catalina heboh sendiri memilih gaun. Xavier yang menjadi suaminya sedang tidak ada di tempat, jadi sebagai istri yang baik dia harus mendatangi undangan dari kekaisaran itu untuk mewakilinya, bukan?Istri yang sangat berbakti sekali. Berias dari siang, malam harinya Catalina datang dengan gaun terbaiknya. Dia bertingkah layaknya wanit
Catherine membuka matanya secara perlahan-lahan. Dia mengerjap, merasakan kalau kepalanya sakit dan kelopak matanya sangat berat. Dia melihat chandelier menggantung di atas kepalanya. Aroma wangi-wangian segera memenuhi indera penciumannya yang mulai berfungsi kembali.Dia merasa asing."Apa aku sudah di surga?" gumam Catherine dalam hati. Ada begitu banyak pertanyaan dalam dirinya sekarang. Karena ruangan yang dia lihat di depan matanya sangat jauh dari ruangan yang selama ini dia selalu lihat. Jelas-jelas ini bukan kamarnya. Ini juga bukan kamar rumah sakit seperti yang sempat dia pikirkan saat pertama kali dia bisa membuka mata. Jadi satu-satunya kemungkinan yang saat ini hinggap di otaknya adalah kalau dia ada di surga. Karena kamar dengan penuh lampu dan hiasan cantik ini tak mungkin milik sebuah rumah sakit atau bangunan komersial apa pun. Mungkin dia mati karena fobianya terakhir kali.Sangat menyedihkan.Berusaha bangun, Catherine terduduk dengan susah payah. Entah kenapa,