"Madam, Tuan Duke ada di depan. Beliau menginginkan pertemuan dengan Nyonya Catalina berdua saja."
Catherine yang saat ini sedang berusaha mencerna situasi gila macam apa lagi yang akan dia hadapi, menoleh kaget dengan perkataan yang dibawa oleh salah satu pelayan wanita tersebut.Dia yang baru saja selesai diganti perban lukanya oleh Madam Giselle lantas tertegun mendengar nama seseorang yang rasa-rasanya pasti dia kenal.Duke? Apa orang yang dimaksud pelayan tadi adalah Duke? Apa dia Xavier? Salah satu karakter yang dia ciptakan?!"Nyonya, saya sudah selesai membalut luka Anda. Tolong kedepannya lebih berhati-hati. Saya tidak ingin melihat Anda terluka lagi, Nyonya." Tatapan Madam Giselle begitu tulus.Itu mengingatkan Catherine pada ibunya sendiri. Di dunia nyata, dia sudah lama tidak mengunjungi ibunya setelah memutuskan untuk tinggal sendirian.Saat mencoba kabur dengan kaki patahnya beberapa jam yang lalu. Dia ketahuan Madam Giselle dan kakinya kembali terluka karena dipakai bergerak secara paksa. Alhasil, Madam Giselle kembali membawanya ke tempat tidur dan mengganti perban di kakinya."Saya pergi dulu, Nyonya. Sepertinya Tuan Duke ingin menemui Anda." kata Madam Giselle lembut. Wanita paruh baya itu terlihat hendak beranjak. Tapi ujung bajunya ditarik oleh Catherine yang saat ini tak ingin ditinggalkan."Ada apa Nyonya? Apa ada yang tidak nyaman?" tanya Madam Giselle penuh perhatian.Catherine menggunakan kemampuan aktingnya sebisa mungkin. Dengan wajah polosnya dan rambut perak milik Catalina yang terurai. Dia menatap Madam Giselle dan bertanya."Apa orang yang kau sebut Duke itu suamiku? Apa dia orang yang menyeramkan?" tanya Catherine berpura-pura polos.Padahal dalam hati, dia sangat amat tidak ingin Madam Giselle pergi karena tahu sosok seperti apa yang akan dia hadapi. Meskipun dia tidak yakin dengan kejadian yang akan terjadi selanjutnya. Tapi dia ingat, kalau dia menciptakan karakter Xavier dengan menakdirkannya tidak punya hati.Lelaki itu terlahir sempurna kecuali hatinya yang dingin dan beku. Xavier bukan sosok yang bisa beramah tamah. Apalagi pada tokoh Catalina yang saat ini Catherine masuki. Sejujurnya, dia juga tidak ingat apakah Xavier pernah mengunjungi Catalina seperti ini, atau tidak.Otaknya beku. Dia tidak bisa berpikir sekarang.Melihat ketakutan di mata Catherine. Madam Giselle kembali duduk. Dia perlahan melepaskan tangan Catherine pada ujung bajunya dan berganti menggenggam tangan Nyonya rumahnya yang terlihat kurus itu."Anda tenang saja Nyonya. Tuan orang yang baik. Dia menyayangi Anda. Jadi, dia pasti datang untuk melihat kondisi Anda. Tolong jangan takut pada beliau."Bohong.Catherine tahu kalau Madam Giselle hanya berusaha untuk menenangkannya saja. Sebagai penulis dunia fiksi ini. Catherine yang paling tahu kalau Xavier sejatinya sangat tidak menyukai Catalina.Bagi Xavier, Catalina tidak lebih dari benalu yang menyebalkan."Tapi Madam ... " Catherine berusaha memohon. Tapi usahanya untuk membuat Madam Giselle untuk tetap tinggal tidak berhasil. Wanita paruh baya itu tetap pergi meninggalkannya setelah memberikannya sebuah senyuman.Ditinggalkan oleh madam Giselle dan semua pelayan yang ada di kamarnya. Catherine melirik cemas, jantungnya seperti hendak melompat tatkala dia mendengar seseorang kembali membuka pintu kamarnya.Sungguh. Catherine benar-benar ketakutan sekarang. Dia ingin pulang. Demi apa pun, dia tidak mau berada di dunia asing ini!"Apa kau bahkan tidak ingin menatapku sekarang?" tanya Xavier dingin. Duke Victoria yang sangat dihormati itu menunjukkan kepemilikan dan egonya. Sejujurnya, saat dia masuk, dia sudah siap jika Catalina akan melemparnya dengan barang atau makian pedasnya.Xavier sudah mencoba terbiasa dengan perilaku istrinya itu. Tapi melihat Catalina yang kini malah menundukkan kepalanya dan tidak mau menatap Xavier, membuat lelaki itu bingung. Apa ini trik barunya?"Catalina," panggil Xavier sekali lagi. Catherine yang menyembunyikan wajahnya di balik juntaian rambut panjangnya itu akhirnya mau tak mau mendongakkan kepala. Dia menatap Xavier dengan netra merah rubinya yang basah.Catalina .... menangis?Xavier yang melihat itu lantas tertegun. Tangannya terkepal dingin. Dia tak menyangka kalau dia bisa melihat sosok Catalina yang menangis. Selama ini, wanita itu selalu dingin saat berhadapan dengannya. Dia seolah tak pernah menunjukkan sisi lemahnya pada siapa pun.Tapi apa ini? Apa wanita itu benar-benar menangis sekarang?"Maaf, maafkan aku. Aku bingung dengan keadaanku sekarang. Aku takut. Aku tidak mengenalmu atau diriku sendiri. Jadi maafkan aku." Catherine berbicara dengan terbata-bata. Dengan tangan putihnya, dia berusaha menyeka air mata yang terus-terusan turun dari netra cantik miliknya.Xavier yang tak menduga reaksi itulah yang akan pertama dia saksikan dari Catalina hanya mampu berdiri tanpa mengatakan apa pun. Sepertinya Sang duke Victoria itu terlalu tertegun sampai tak bisa berkata-kata."Jika ini hanya trikmu untuk bisa mendapatkan perhatianku, aku pastikan kau tidak akan berhasil."Dingin.Xavier mengucapkan kalimat itu untuk mengakhiri pertemuannya dengan Catherine hari ini. Setelahnya, lelaki dengan rambut hitam kelam dan mata birunya itu pergi, meninggalkan Catherine dengan sejuta tanya dibenaknya.Catherine yang melihat respons dingin dari Xavier itu hanya menghembuskan napas kesal. Wanita itu segera mengemasi air matanya yang berjatuhan.Apa aktingnya terlalu kentara? Padahal dia sengaja menangis di hadapan Xavier karena dia tahu lelaki itu paling lemah dengan tangisan.Xavier yang Catherine tulis adalah lelaki tangguh yang selama ini menghabiskan banyak waktunya di medan perang. Lelaki itu menerima pendidikan kerajaan dan militer sejak dia masih kecil.Xavier tidak tersentuh bahkan setelah dia resmi menjadi Duke kekaisaran Victoria ini. Cartherine membuat sosoknya tumbuh tanpa kasih sayang sang ibu karena ibu Xavier harus meninggal saat dia berusia sepuluh tahun."Ya, semua ini memang salahku. Aku menciptakan karakternya terlalu dingin." Gumam Catherine pada dirinya sendiri. Sembari melirik pintu kamarnya yang tertutup, wanita yang duduk di kasurnya itu tersenyum penuh arti.Walaupun dingin dan terlihat menyeramkan tapi sejujurnya Xavier cukup tampan. Sekarang, dia penasaran sampai mana alur cerita ini sudah berjalan."Nyonya, apa Anda baik-baik saja?" tanya Madam Giselle terdengar di balik pintu membuat Catherine kaget."Aku baik-baik saja. Tapi aku ingin waktu sendiri. Tolong jangan biarkan siapa pun masuk!" ujar Catherine balas berteriak. Madam Giselle yang tadinya khawatir dengan kondisi Catherine karena ekspresi di wajah Xavier saat keluar kamar akhirnya bisa menghembuskan napas lega.Setidaknya dia tahu kalau mereka tidak bertengkar. Keduanya mungkin memang butuh waktu sendiri-sendiri. Apalagi Catalina baru saja bangun dari tidur panjang yang menghilangkan ingatannya.Di dalam kamar. Catherine merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk itu. Walaupun wanita itu terlihat santai. Tapi dia diam-diam berpikir tentang kapan kematian akan mendekatinya."Jika lari bukan opsi terbaik. Aku harus mencari tahu alasan kenapa tubuhku bisa terlempar ke dunia ini. Lalu, apa jika aku bisa menyelesaikannya tanpa terluka atau mati aku akan kembali ke tubuh asalku?" Catherine bergumam sendirian."Untuk sekarang, ayo fokus memikirkan semuanya dari awal! Pertama-tama, aku harus bisa mengubah citra Catalina dan mendekati Xavier. Dia anak emasku! Aku tak akan melepaskannya!"Pagi harinya, Catherine terbangun dengan banyak pelayan di sisinya. Ana yang ditugaskan sebagai pelayan pribadinya hadir bersama Madam Giselle. Mereka memperlakukan Catherine dengan baik. Catherine yang tadinya adalah wanita mandiri dan terbiasa melakukan pekerjaan rumah sendirian. Bahkan bingung saat dia tidak diizinkan melakukan apa pun.Kenapa kehidupan di sini terasa menyenangkan? Dia tidak boleh terlena. Tapi itulah kenyataannya."Nyonya, biarkan kami saja. Bukankah tangan Anda masih sakit?" tegur Ana yang tidak mengizinkan Catherine menyisir rambutnya sendiri. Wanita muda itu lantas mengambil sisir dari tangannya dan menyisir rambut Catalina yang berwarna putih perak itu. Jika dilihat-lihat, wajah Catalina begitu cantik. Mata merah rubynya bahkan terlihat seperti permata yang bersinar digundukan salju putih."Apa yang biasanya aku lakukan setelah mandi?" tanya Catalina pada Madam Giselle yang juga berdiri di sana memantau keadaan Nyonya rumahnya. Saat ini, karena kakinya yang
Catherine menatap Xavier yang masih menggendongnya melewati lorong untuk kembali ke kamarnya. Banyak pelayan yang mereka lalui tersentak heran karena Xavier yang menggendong Catherine tanpa bergeming. Bukan sebuah rahasia, jika pada awalnya hubungan sepasang suami istri memanglah buruk. Sebagai penulis, Catherine bahkan tidak pernah memberikan momen manis di rumah tangga Xavier dan Catalina. Tapi apa ini? Perlakuan macam apa ini? Apa ini tanda kalau Catherine bisa mengubah alur ceritanya?"Xavier ... " Catherine berusaha memanggil Xavier yang berjalan tegap dengan tatapan yang lurus ke depan. Dia seperti singa yang membawa harta karun di lengannya. "Xavier," panggil Catherine sekali lagi. Mereka saat ini sedang berjalan menuju kamarnya diikuti oleh Nolan dan juga Madam Giselle dan beberapa pelayan yang membawakan sarapan Catherine sesuai perintah Xavier. "Aku tidak tuli. Jadi katakan saja apa maumu." Xavier membalas dengan dingin. Duke muda Victoria itu bahkan tidak menoleh kearah
Semesta memang selalu punya kejutan. Tapi tak jarang, kejutan yang diberikan terlalu di luar nalar sampai rasanya bisa membuat gila. Catherine yang kini mencoret-coret kertas di ranjangnya merasa frustrasi dan pusing sendiri. Pasalnya, dilihat dari sudut pandang mana pun semua ini terlalu nyata. Pada awalnya, dia masih berpikir kalau dunia novel yang saat ini dimasukinya adalah mimpi. Dia berusaha yakin kalau setelah tertidur. Dunianya akan kembali seperti semula. Tapi setelah seminggu ada di dunia ini. Tertidur dan terbangun di ranjang sutera yang sama. Membuatnya sadar kalau dia tidak punya kesempatan kembali. Ini adalah dunia yang harus dihadapinya. "Apa di dunia ini tidak ada portal? Aku bisa gila jika begini." Catherine meracau sendiri. Dia saat ini tengah menuliskan alur cerita yang dia ingat di kertas yang selalu dia simpan di laci kamarnya. Sudah seminggu, dan luka-luka ditubuhnya sudah
"Bagaimana keadaannya?" tanya Xavier yang datang ke kamar Catherine dengan terburu-buru. Veronica yang baru saja mengecek kondisi Catherine mengisyaratkan pada Xavier untuk berbicara berdua saja. Xavier pun akhirnya memerintahkan semua orang untuk keluar dari kamar itu. Setelah memastikan kalau tidak ada orang. Veronica kemudian berbicara. "Catalina pingsan setelah aku menanyainya soal insiden kecelakaan yang menimpanya. Kepalanya tiba-tiba sakit. Aku yakin ini gejala trauma." Xavier tidak tahu harus merespons apa. Jadi dia hanya diam mendengarkan penjelasan Veronica dengan saksama. "Apa kau sempat menyelidiki penyebab Catalina jatuh di istana malam itu?" tanya Veronica yang berniat mewawancarai Xavier soal kronologi yang terjadi. Selama ini, dia tahu kalau Xavier berkepribadian acuh dan dingin. Tapi dia tidak akan mungkin membiarkan seseorang melukai istrinya. Xavier, dia adalah lelaki yang menjunjung tinggi martabatnya.
Catherine membuka matanya secara perlahan. Dia merasa kepalanya masih sakit saat ini. Wanita itu melirik, melihat sekitar. Sepertinya dia ingat, sebelum menutup matanya dan pingsan. Dia sedang berdialog dengan Veronica. Tapi sepertinya dia pingsan terlalu lama. Terbukti dengan hari yang sudah malam. Catherine bahkan tidak tahu kalau dia bisa tidur seharian penuh. "Kau sudah bangun?"Catherine menoleh. Jantungnya nyaris melompat mendengar suara familiar itu. Dia kemudian melihat jauh ke sofa. Sialan. Ternyata dia tidak sendirian. "Xavier?" panggil Catherine memastikan kalau saat ini dia tidak sedang berhalusinasi. "Xavier? Kau benar-benar Xavier kan?" tanya Catherine sekali lagi. Sosok panglima perang Victoria itu berdiri. Dia kemudian mendekati ranjang Catherine dan menyentuh keningnya. Catherine membeku. Apa yang lelaki ini lakukan?"Aku bisa menyentuhmu. Apa kau sekarang percaya aku nyata?" jawab Xavier enteng. Dia diam-diam bersyukur karena demam wanita ini sudah turun. Saat i
"Kenapa kalian ke sini?" Xavier terlihat menatap semua pelayan yang berjejer rapi memenuhi dapur. Dia yang saat ini masih menggendong Catherine dalam pelukannya terlihat tidak suka dengan banyaknya orang di ruangan itu. "Maafkan Saya Tuan. Saya dengar dari ksatria Nolan kalau Tuan dan Nyonya akan memasak." Madam Giselle mewakili semua pelayan untuk berbicara. Bahkan Ana yang sudah terbiasa ada di sisi Catherine saja tidak berani mengangkat kepala karena takut dengan aura intimidasi Xavier. "Iya. Tapi aku tidak meminta kalian ke sini," kata Xavier tegas. "Maafkan saya Tuan. Jika memang begitu, biarkan para pelayan dan koki saja yang memasak. Tuan dan Nyonya silakan beristirahat," kata Madam Giselle panik. "Bibi, jika aku ingin kalian memasak. Maka aku akan memanggil kalian dari tadi. Tapi sekarang istriku ingin memasak. Kalian semua kembalilah." Semua pelayan terlihat berpandangan satu sama lain. Mereka masih tidak menyangka kalau Xavier akan menyebut Catherine sebagai istrinya den
Bau anyir menyerbak. Memenuhi gersangnya tanah yang tak lagi berwarna coklat. Cairan merah menggenang di mana-mana. Api berkobar di berbagai sudut. Menandakan kekacauan. Di satu sisi, orang merayakan sorak sorai gembira. Di sisi lain, air mata menyelami lautan duka. Sesosok panglima perang dengan kudanya yang gagah berani melangkah. Menyalami satu persatu prajuritnya yang masih memiliki jatah untuk hidup esok hari. Sementara itu matanya menyelinap ke banyak jasad yang bergelimpangan kaku. Begitu saja, hatinya mencelos melihat para prajurit gagah itu tumbang di medan perang. Bertukar arah, dia melihat pedang di tangannya sendiri. Amis, anyir dan masih hangat dengan balutan darah. Meskipun begitu, wajahnya sudah dirancang dengan kaku. Dia biasa. Dia sudah terlalu terbiasa. "Duke, pasukan Albenian telah menyatakan kekalahan. Sebentar lagi kami akan ke tenda mereka untuk menyatakan kedaulatan dan kemenangan Victoria." Seseorang melapor, menghentikan lamunan Xavier dan kekacauan di hat
Catherine membuka matanya secara perlahan-lahan. Dia mengerjap, merasakan kalau kepalanya sakit dan kelopak matanya sangat berat. Dia melihat chandelier menggantung di atas kepalanya. Aroma wangi-wangian segera memenuhi indera penciumannya yang mulai berfungsi kembali.Dia merasa asing."Apa aku sudah di surga?" gumam Catherine dalam hati. Ada begitu banyak pertanyaan dalam dirinya sekarang. Karena ruangan yang dia lihat di depan matanya sangat jauh dari ruangan yang selama ini dia selalu lihat. Jelas-jelas ini bukan kamarnya. Ini juga bukan kamar rumah sakit seperti yang sempat dia pikirkan saat pertama kali dia bisa membuka mata. Jadi satu-satunya kemungkinan yang saat ini hinggap di otaknya adalah kalau dia ada di surga. Karena kamar dengan penuh lampu dan hiasan cantik ini tak mungkin milik sebuah rumah sakit atau bangunan komersial apa pun. Mungkin dia mati karena fobianya terakhir kali.Sangat menyedihkan.Berusaha bangun, Catherine terduduk dengan susah payah. Entah kenapa,