Semesta memang selalu punya kejutan.
Tapi tak jarang, kejutan yang diberikan terlalu di luar nalar sampai rasanya bisa membuat gila.Catherine yang kini mencoret-coret kertas di ranjangnya merasa frustrasi dan pusing sendiri. Pasalnya, dilihat dari sudut pandang mana pun semua ini terlalu nyata. Pada awalnya, dia masih berpikir kalau dunia novel yang saat ini dimasukinya adalah mimpi.Dia berusaha yakin kalau setelah tertidur. Dunianya akan kembali seperti semula.Tapi setelah seminggu ada di dunia ini. Tertidur dan terbangun di ranjang sutera yang sama. Membuatnya sadar kalau dia tidak punya kesempatan kembali. Ini adalah dunia yang harus dihadapinya."Apa di dunia ini tidak ada portal? Aku bisa gila jika begini." Catherine meracau sendiri. Dia saat ini tengah menuliskan alur cerita yang dia ingat di kertas yang selalu dia simpan di laci kamarnya.Sudah seminggu, dan luka-luka ditubuhnya sudah hampir sembuh. Walau cedera di kakinya belum pulih sepenuhnya."Nyonya! Dokter Veronica datang untuk pemeriksaan Anda." Suara Ana pelayan pribadinya terdengar dari luar. Catherine yang sedari tadi memang tidak mengizinkan orang lain masuk ke kamarnya langsung menoleh. Dengan cepat, dia menyembunyikan buku catatan pribadinya ke laci. Tak ingin siapa pun melihat tulisannya itu."Biarkan Veronica masuk!" kata Catherine setelah memastikan kalau sudah tidak ada yang mencurigakan dari dirinya.Tak berselang lama. Veronica terlihat masuk dengan setelan Dokternya. Wanita dengan rambut coklatnya yang diikat itu masuk dengan senyuman cerahnya.Sejak Xavier melarangnya keluar kamar untuk fokus melakukan pengobatan. Catherine menurut. Dia juga tidak keberatan karena tujuannya dari awal memang tidak berdebat dengan Xavier.Selama seminggu itu pula dia selalu bertemu dengan Veronica. Dokter cantik yang berasal dari keluar Marquess yang terpandang. Dia bahkan sudah lumayan akrab dengan wanita itu.Sebagai penulis, Catherine ingat kalau dia pernah memasukkan tokoh Veronica dalam novelnya. Tapi dia bukan orang yang membawa perubahan besar dalam cerita. Seperti Madam Giselle, Veronica hanya figuran yang sayangnya punya alur cerita yang juga lumayan menyedihkan.Jika perang dengan Albenian sudah terjadi. Maka dua tahun lagi, wabah akan menyerang kota. Veronica yang mempunyai profesi sebagai Dokter jelas akan turun tangan. Sayangnya, dia terkena penyakit mematikan itu dan meninggal."Hai Catalina. Aku lihat kondisimu sudah cukup baik." Veronica menyapa ramah. Setelah sebelumnya hubungan mereka canggung karena sifat asli Catalina yang sulit didekati. Kini, Catherine dan Veronica malah terlihat akrab.Catherine di ranjangnya tersenyum. "Iya, sudah lumayan membaik," jawabnya dengan wajah berseri.Di kehidupan nyata, Catherine yang berprofesi sebagai penulis lebih sering mengurung dirinya di kamar. Tanpa sadar, dia jadi membatasi lingkungannya sendiri, termasuk lingkungan pertemanannya. Setiap kali melihat Veronica, dia selalu teringat salah satu temannya yang selalu menanyakan kabarnya di dunia nyata tapi sering dia abaikan secara tidak sengaja.Entah kenapa, Catherine mendadak rindu."Baiklah. Sepertinya kita hanya perlu fokus pada pemulihan kakimu sekarang, aku lihat anggota tubuhmu yang lain sudah semakin membaik." Veronica mulai membongkar alat medisnya. Di dunia ini, Catherine sendiri menyamakan alat medis yang ada dengan alat medis di dunianya. Bahkan Kekaisaran Victoria memang terkenal sebagai daerah Kekasairan yang sangat maju.Banyak sekolah yang di buka untuk umum dan tidak ada penindasan gender tertentu di sini. Catherine memang sengaja menuliskan semua itu karena dia sendiri benci diskriminasi."Iya. Aku pikir, aku harus belajar berjalan." Catherine mencoba fokus kembali pada Veronica."Itu bagus! Bagaimana dengan ingatanmu, apakah ada perkembangan?" Veronica bertanya ke bagian yang lain. Selain fisik, perkembangan psikologis Catherine juga harus dia pantau.Catherine menggeleng. Tentu saja dia tidak ingin mengungkapkan kebenaran tentang dia yang ingat segalanya."Baiklah. Tidak apa-apa, pelan-pelan saja.""Tapi Veronica ... ""Hm, katakan Catalina. Apa kau merasa tidak nyaman pada sesuatu?" tanya Veronica yang sadar kalau raut wajah Catherine berubah menjadi ragu."Aku tidak tau harus mengatakan hal ini dari mana. Tapi aku rasa, setelah kecelakaan itu aku takut berada di tempat gelap. Aku ... takut kegelapan."Catherine mengungkapkan fobia aslinya. Dia sengaja mengatakan hal itu karena siapa tahu di dunia ini ada semacam terapi yang turut menyembuhkan fobianya.Veronica terlihaf berpikir keras. Sejujurnya dia cukup terkejut karena Catherine tidak mengatakan hal ini lebih awal."Tenang saja, Catalina. Hal itu mungkin wajar mengingat kau terjatuh pada malam hari dan tenggelam di kolam yang gelap. Sepertinya itu efek trauma. Aku akan mencoba mengkonsultasikan hal ini dengan Guru seniorku." Veronica berusaha bersikap tenang. Sebagai Dokter, dia tidak ingin mengucilkan hati pasiennya."Ah satu lagi," kata Veronica membuat Catherine yang baru saja ingin mengeluarkan kakinya dari ranjang menatap Veronica di sampingnya."Jika ingatanmu hilang. Apa kau juga tidak ingat bagaimana kau bisa jatuh malam itu? Atau siapa yang sedang bersamamu? Aku pikir, itu perlu diselidiki Catalina."Catherine terdiam. Sejujurnya, dia sendiri tidak menuliskan detail bagaimana Catalina asli bisa terjatuh sebelumnya. Di prolog cerita, dia hanya menulis kalau wanita itu jatuh dan membuat keributan. Semua orang mencemoohnya karena dia dianggap mencari perhatian."Ahk!" Catherine mengerang. Dia memegangi kepalanya yang langsung sakit saat dipaksa mengingat alasan kenapa Catalina asli jatuh dari balko istana kekaisaran malam itu.Seolah, ada ribuan jarum yang menusuk kepalanya saat ini."Catalina!? Ada apa! Apa kepalamu sakit!?" Veronica mendekat dengan panik. Dia berusaha melihat wajah Catherine dengan lebih jelas, tapi tidak bisa. Wanita itu terlihat sibuk dengan rasa sakitnya.Tidak berselang lama. Tubuh Catherine lemas. Teriakan Veronica hanya terdengar seperti dengungan di telinganya. Beberapa detik kemudian Catherine pun pingsan di pelukan Veronica. Membuat Dokter wanita itu panik sendiri."CATALINA!"Sementara itu di sisi lain. Xavier yang tengah mengurusi dokumen-dokumen negara di ruang kerjanya terlihat damai. Dia di temani Parviz sekretarisnya, tengah membereskan pekerjaan yang terbengkalai selama Xavier pergi ke wilayah saat melakukan ekspedisi."Tuan, Rakyat wilayah utara menuntut penurunan harga gandum dan harga pokok makanan lain. Sudah ada sepuluh laporan tentang itu. Bagaimana kita harus menindak lanjutinya?" tanya Parviz yang menyerahkan dokumen berisi keluhan itu pada Xavier.Kekaisaran Victoria sejatinya membebaskan wilayahnya mengelola pemerintahan mereka sendiri. Bahkan kemakmuran wilayah bisa berbeda tergantung siapa pemimpin mereka di sana.Sebagai seorang Duke yang punya wilayah kekuasaan sangat luas. Xavier bertanggung jawab atas kemakmuran rakyatnya. Selain ahli strategi dan berperang. Dia juga sejatinya harus punya kemampuan di bidang ekonomi, diplomasi dan politik."Sebaiknya diskusikan dengan Marquess Lehman, karena selain keluhan ada banyak hal yang harus diselidiki tentang hal itu. Laporkan padaku jika terbukti ada pejabat atau bangsawan yang korup. Aku akan menindaklanjutinya nanti," ujar Xavier memberi perintah.Parviz, lelaki dengan rambut coklat itu mengangguk. Di antara semua bangsawan, bahkan para petinggi kekaisaran. Parviz sejatinya sangat menghormati Xavier. Meskipun usianya masih muda. Tapi dia adalah bangsawan yang selalu mementingkan rakyatnya.Bahkan ketika seluruh dunia mengenalnya sebagai lelaki haus darah dan si gila perang. Orang yang ada di mansion ini paling tahu sebaik dan sebijak apa lelaki itu."Tuan! Maaf mengganggu waktu Anda! Ini saya Madam Giselle!" Terdengar suara ketukan sekaligus teriakan di luar pintu."Masuklah!" Xavier mempersilakan wanita paruh baya itu untuk masuk. Madam Giselle terlihat masuk dengan terburu-buru, bahkan Parviz yang ada di ruangan itu cukup terkejut karena kedatangannya."Tuan, Maaf mengganggu waktu Anda.""Katakan Bibi. Apa ada masalah?" tanya Xavier akrab. Karena selain kepala pelayan, Madam Giselle pernah menjadi pengasuhnya. Saat kedua orang tuanya terbunuh dan Xavier diangkat menjadi Duke di usia sepuluh tahun. Wanita itulah yang menemani dan merawatnya."Anu Tuan. Itu ... Nyonya jatuh pingsan. Anda disuruh ke kamar Nyonya oleh Nona Veronica."Xavier terdiam. Dia cukup terkejut dengan laporan dari Bibi pengasuhnya itu. Seingatnya, selama seminggu ini Catalina baik-baik saja. Jadi ada apa sekarang?"Bagaimana keadaannya?" tanya Xavier yang datang ke kamar Catherine dengan terburu-buru. Veronica yang baru saja mengecek kondisi Catherine mengisyaratkan pada Xavier untuk berbicara berdua saja. Xavier pun akhirnya memerintahkan semua orang untuk keluar dari kamar itu. Setelah memastikan kalau tidak ada orang. Veronica kemudian berbicara. "Catalina pingsan setelah aku menanyainya soal insiden kecelakaan yang menimpanya. Kepalanya tiba-tiba sakit. Aku yakin ini gejala trauma." Xavier tidak tahu harus merespons apa. Jadi dia hanya diam mendengarkan penjelasan Veronica dengan saksama. "Apa kau sempat menyelidiki penyebab Catalina jatuh di istana malam itu?" tanya Veronica yang berniat mewawancarai Xavier soal kronologi yang terjadi. Selama ini, dia tahu kalau Xavier berkepribadian acuh dan dingin. Tapi dia tidak akan mungkin membiarkan seseorang melukai istrinya. Xavier, dia adalah lelaki yang menjunjung tinggi martabatnya.
Catherine membuka matanya secara perlahan. Dia merasa kepalanya masih sakit saat ini. Wanita itu melirik, melihat sekitar. Sepertinya dia ingat, sebelum menutup matanya dan pingsan. Dia sedang berdialog dengan Veronica. Tapi sepertinya dia pingsan terlalu lama. Terbukti dengan hari yang sudah malam. Catherine bahkan tidak tahu kalau dia bisa tidur seharian penuh. "Kau sudah bangun?"Catherine menoleh. Jantungnya nyaris melompat mendengar suara familiar itu. Dia kemudian melihat jauh ke sofa. Sialan. Ternyata dia tidak sendirian. "Xavier?" panggil Catherine memastikan kalau saat ini dia tidak sedang berhalusinasi. "Xavier? Kau benar-benar Xavier kan?" tanya Catherine sekali lagi. Sosok panglima perang Victoria itu berdiri. Dia kemudian mendekati ranjang Catherine dan menyentuh keningnya. Catherine membeku. Apa yang lelaki ini lakukan?"Aku bisa menyentuhmu. Apa kau sekarang percaya aku nyata?" jawab Xavier enteng. Dia diam-diam bersyukur karena demam wanita ini sudah turun. Saat i
"Kenapa kalian ke sini?" Xavier terlihat menatap semua pelayan yang berjejer rapi memenuhi dapur. Dia yang saat ini masih menggendong Catherine dalam pelukannya terlihat tidak suka dengan banyaknya orang di ruangan itu. "Maafkan Saya Tuan. Saya dengar dari ksatria Nolan kalau Tuan dan Nyonya akan memasak." Madam Giselle mewakili semua pelayan untuk berbicara. Bahkan Ana yang sudah terbiasa ada di sisi Catherine saja tidak berani mengangkat kepala karena takut dengan aura intimidasi Xavier. "Iya. Tapi aku tidak meminta kalian ke sini," kata Xavier tegas. "Maafkan saya Tuan. Jika memang begitu, biarkan para pelayan dan koki saja yang memasak. Tuan dan Nyonya silakan beristirahat," kata Madam Giselle panik. "Bibi, jika aku ingin kalian memasak. Maka aku akan memanggil kalian dari tadi. Tapi sekarang istriku ingin memasak. Kalian semua kembalilah." Semua pelayan terlihat berpandangan satu sama lain. Mereka masih tidak menyangka kalau Xavier akan menyebut Catherine sebagai istrinya den
Bau anyir menyerbak. Memenuhi gersangnya tanah yang tak lagi berwarna coklat. Cairan merah menggenang di mana-mana. Api berkobar di berbagai sudut. Menandakan kekacauan. Di satu sisi, orang merayakan sorak sorai gembira. Di sisi lain, air mata menyelami lautan duka. Sesosok panglima perang dengan kudanya yang gagah berani melangkah. Menyalami satu persatu prajuritnya yang masih memiliki jatah untuk hidup esok hari. Sementara itu matanya menyelinap ke banyak jasad yang bergelimpangan kaku. Begitu saja, hatinya mencelos melihat para prajurit gagah itu tumbang di medan perang. Bertukar arah, dia melihat pedang di tangannya sendiri. Amis, anyir dan masih hangat dengan balutan darah. Meskipun begitu, wajahnya sudah dirancang dengan kaku. Dia biasa. Dia sudah terlalu terbiasa. "Duke, pasukan Albenian telah menyatakan kekalahan. Sebentar lagi kami akan ke tenda mereka untuk menyatakan kedaulatan dan kemenangan Victoria." Seseorang melapor, menghentikan lamunan Xavier dan kekacauan di hat
Catherine membuka matanya secara perlahan-lahan. Dia mengerjap, merasakan kalau kepalanya sakit dan kelopak matanya sangat berat. Dia melihat chandelier menggantung di atas kepalanya. Aroma wangi-wangian segera memenuhi indera penciumannya yang mulai berfungsi kembali.Dia merasa asing."Apa aku sudah di surga?" gumam Catherine dalam hati. Ada begitu banyak pertanyaan dalam dirinya sekarang. Karena ruangan yang dia lihat di depan matanya sangat jauh dari ruangan yang selama ini dia selalu lihat. Jelas-jelas ini bukan kamarnya. Ini juga bukan kamar rumah sakit seperti yang sempat dia pikirkan saat pertama kali dia bisa membuka mata. Jadi satu-satunya kemungkinan yang saat ini hinggap di otaknya adalah kalau dia ada di surga. Karena kamar dengan penuh lampu dan hiasan cantik ini tak mungkin milik sebuah rumah sakit atau bangunan komersial apa pun. Mungkin dia mati karena fobianya terakhir kali.Sangat menyedihkan.Berusaha bangun, Catherine terduduk dengan susah payah. Entah kenapa,
Seminggu yang lalu. Undangan dengan kertas emas tersebar. Tapi tak seperti hujan yang menyinggahi hati setiap orang. Undangan mewah itu hanya mendarat ke setiap rumah dengan status tertentu. "Nyonya, ada undangan dari istana kekaisaran, apa saya perlu membawakannya ke sini?"Seorang wanita yang sedang merias dirinya itu terlihat berjingkat senang. Dia menatap pelayannya dengan wajah sumringah. "Apa itu dari Putra Mahkota?""Bukan, Nyonya. Tapi Permaisuri, beliau mengadakan ulang tahun untuk Tuan Putri Cessa dan mengundang Duke Xavier untuk hadir.""Baiklah. Bawakan ke sini dan bacakan."Undangan dengan wangi bunga mawar itu datang dan langsung membuat Catalina heboh sendiri memilih gaun. Xavier yang menjadi suaminya sedang tidak ada di tempat, jadi sebagai istri yang baik dia harus mendatangi undangan dari kekaisaran itu untuk mewakilinya, bukan?Istri yang sangat berbakti sekali. Berias dari siang, malam harinya Catalina datang dengan gaun terbaiknya. Dia bertingkah layaknya wanit
"Madam, Tuan Duke ada di depan. Beliau menginginkan pertemuan dengan Nyonya Catalina berdua saja."Catherine yang saat ini sedang berusaha mencerna situasi gila macam apa lagi yang akan dia hadapi, menoleh kaget dengan perkataan yang dibawa oleh salah satu pelayan wanita tersebut. Dia yang baru saja selesai diganti perban lukanya oleh Madam Giselle lantas tertegun mendengar nama seseorang yang rasa-rasanya pasti dia kenal.Duke? Apa orang yang dimaksud pelayan tadi adalah Duke? Apa dia Xavier? Salah satu karakter yang dia ciptakan?!"Nyonya, saya sudah selesai membalut luka Anda. Tolong kedepannya lebih berhati-hati. Saya tidak ingin melihat Anda terluka lagi, Nyonya." Tatapan Madam Giselle begitu tulus. Itu mengingatkan Catherine pada ibunya sendiri. Di dunia nyata, dia sudah lama tidak mengunjungi ibunya setelah memutuskan untuk tinggal sendirian.Saat mencoba kabur dengan kaki patahnya beberapa jam yang lalu. Dia ketahuan Madam Giselle dan kakinya kembali terluka karena dipakai b
Pagi harinya, Catherine terbangun dengan banyak pelayan di sisinya. Ana yang ditugaskan sebagai pelayan pribadinya hadir bersama Madam Giselle. Mereka memperlakukan Catherine dengan baik. Catherine yang tadinya adalah wanita mandiri dan terbiasa melakukan pekerjaan rumah sendirian. Bahkan bingung saat dia tidak diizinkan melakukan apa pun.Kenapa kehidupan di sini terasa menyenangkan? Dia tidak boleh terlena. Tapi itulah kenyataannya."Nyonya, biarkan kami saja. Bukankah tangan Anda masih sakit?" tegur Ana yang tidak mengizinkan Catherine menyisir rambutnya sendiri. Wanita muda itu lantas mengambil sisir dari tangannya dan menyisir rambut Catalina yang berwarna putih perak itu. Jika dilihat-lihat, wajah Catalina begitu cantik. Mata merah rubynya bahkan terlihat seperti permata yang bersinar digundukan salju putih."Apa yang biasanya aku lakukan setelah mandi?" tanya Catalina pada Madam Giselle yang juga berdiri di sana memantau keadaan Nyonya rumahnya. Saat ini, karena kakinya yang