Catherine membuka matanya secara perlahan. Dia merasa kepalanya masih sakit saat ini. Wanita itu melirik, melihat sekitar. Sepertinya dia ingat, sebelum menutup matanya dan pingsan. Dia sedang berdialog dengan Veronica.
Tapi sepertinya dia pingsan terlalu lama. Terbukti dengan hari yang sudah malam. Catherine bahkan tidak tahu kalau dia bisa tidur seharian penuh."Kau sudah bangun?"Catherine menoleh. Jantungnya nyaris melompat mendengar suara familiar itu. Dia kemudian melihat jauh ke sofa. Sialan. Ternyata dia tidak sendirian."Xavier?" panggil Catherine memastikan kalau saat ini dia tidak sedang berhalusinasi. "Xavier? Kau benar-benar Xavier kan?" tanya Catherine sekali lagi.Sosok panglima perang Victoria itu berdiri. Dia kemudian mendekati ranjang Catherine dan menyentuh keningnya.Catherine membeku. Apa yang lelaki ini lakukan?"Aku bisa menyentuhmu. Apa kau sekarang percaya aku nyata?" jawab Xavier enteng. Dia diam-diam bersyukur karena demam wanita ini sudah turun. Saat ini, pria itu tidak memedulikan wajah Catherine yang syok berat karena kehadiran dan tindakannya.Dalam novel, Catherine ingat kalau Xavier tidak dia ciptakan seperti ini. Harusnya, dia mengabaikan istrinya dan tidak ada adegan berdua seperti ini. Apa ini artinya Catherine perlahan mulai bisa mengubah alurnya?"Apa kau menungguku bangun?" tanya Catherine setelah beranjak dari keterkejutannya."Menurutmu?""Aku ingin jawaban bukan pertanyaan balik, Xavier. Aku tanya sekali lagi apa kau menungguku bangun?""Aku hanya di sini untuk beberapa menit. Jadi jangan besar kepala."Catherine mendengus. Lelaki ini ... Catherine cukup menyesal karena menciptakan karakter yang terlalu banyak memilki gengsi.Di tengah percakapan itu. Perut kosong Catherine berbunyi, menginterupsi semua dialog yang ingin dikatakan oleh wanita itu untuk membalas Xavier. Catherine seakan baru ingat kalau dia memang belum makan apa pun setelah pingsan dari tadi siang.Sangat pantas jika saat ini perutnya berdemo kelaparan."Hehehe, sepertinya aku lapar." Catherine bergumam dengan senyuman lucu miliknya. Jika di dunia nyata, dia mungkin akan membenci nada imut itu. Tapi karena sekarang dia ada di tubuh Catalina yang cantik dan mungil. Dia akan memanfaatkannya.Xavier yang terdiam karena Catherine baru saja mengeluh lapar padanya itu kemudian mulai tersadar. "Aku akan memanggilkan seseorang untuk menyajikan makanan.""Tapi ini terlalu malam, Xavier. Aku akan memasak sendiri saja." Catherine melirik. Walaupun tidak ada jam digital seperti di dunianya. Tapi di dunia ini ada satu aturan yang Catherine buat sendiri sebagai penanda waktu.Setiap kota, terutama rumah bangsawan memiliki menara lonceng yang akan bersuara setiap tiga jam sekali. Tapi bunyi lonceng yang baru saja Catherine dengar berbunyi tiga kali. Itu menandakan kalau saat ini dia terbangun tepat saat tengah malam.Hal itu juga menjelaskan kenapa dari tadi tidak ada pelayan yang menunggu di kamarnya, bahkan suara Madam Giselle juga tidak terdengar. Semua orang termasuk para pelayan pasti sedang beristirahat."Memasak? Dengan kaki yang seperti itu?" Xavier menegur halus.Catherine yang sudah menyibakkan selimut dari kakinya itu menatap kearah yang sama dengan Xavier. Lelaki ini benar, dia sedang terluka. Sial. Catherine benar-benar lupa.Baru saja hendak mengeluh. Catherine memikirkan ide cemerlang di kepalanya. Dia kemudian melihat Xavier yang berdiri dengan gagah di sampingnya. Wanita itu lantas tersenyum. Senyum yang membuat Xavier merinding."Kenapa? Kenapa kau melihatku seperti itu?" tanya Xavier berusaha menutupi kegugupannya.Catherine kembali tersenyum lebar. "Aku memang terluka. Tapi kau tidak. Kau bisa mengantarkanku ke dapur kan?"Alis Xavier mengerut. Lelaki itu tidak bisa menahan ekspresi keterkejutannya dengan ide gila Catherine. Sejak kapan Catalina bisa seberani itu padanya? Lagi pula apa dia benar-benar bisa memasak?"Xavier, bagaimana?" tanya Catherine lagi, kali ini nadanya membujuk.Sekarang, telinga Xavier merasa geli. Sebelumnya, tidak ada yang pernah memanggil namanya dengan nada panggilan semacam itu. Bahkan Veronica yang dia izinkan untuk memanggil namanya langsung juga tidak pernah membuatnya tergelitik dengan nama panggilannya sendiri."Bagaimana? Aku lapar, Xavier!" Catherine tidak bisa berkompromi. Dia paling tidak senang jika harus menahan lapar tengah malam. Dia mantan penulis, memasak masakan sederhana bukan sesuatu yang sulit karena dia memang terbiasa memasak sendiri.Melihat Xavier yang terdiam dan tak banyak bereaksi akhirnya membuat Catherine gemas. Wanita itu pun mulai menjulurkan kakinya keluar dari kasur dan hendak berdiri dengan kakinya sendiri. Xavier pasti tidak sudi menyentuhnya. Sudah dia duga. Lelaki itu memang menyebalkan.Belum selesai Catherine mengumpati Xavier di kepalanya. Wanita itu kembali dikejutkan dengan tindakan Xavier yang langsung menggendongnya tanpa aba-aba. Catherine yang membeku itu lantas menatap wajah dingin nan tampan Xavier dengan cukup dramatis."Kau mau menggendongku?" tanya Catherine hilang kata."Menurutmu siapa lagi? Nolan? Apa aku harus membiarkan istriku dibawa pria lain?"Posesif.Catherine lupa kalau dia menciptakan karakter dingin yang juga posesif ini. Tapi karena hal itu Catherine merasa senang. Sepertinya dia tahu bagaimana caranya menarik perhatian Xavier dan membuatnya melindungi tubuh wanita ini dari pedang milik Jayden."Tuan,"Catherine menoleh. Dia melihat Nolan yang terperanjak saat dia dan Xavier keluar kamar. Berdua."Apa ada yang bisa saya bantu Tuan?" tanya Nolan yang memang berjaga seharian di depan kamar Catherine. Catherine pikir, dia benar-benar ditinggalkan sendirian bersama Xavier. Ternyata sebagai Ksatria pribadi Xavier. Nolan memang selalu mengikutinya."Siapkan saja dapur. Aku akan memasak.""Ya? Memasak? Selarut ini?" tanya Nolan yang sama syoknya dengan Catherine yang saat ini masih ada di pangkuan Xavier.Keduanya, diikuti Nolan tengah berjalan di lorong dari kamar Catherine menuju dapur yang jaraknya lumayan jauh. Catherine yang belum bisa mengeksplor Mansion Duke ini bahkan bertanya-tanya seberapa luas rumah yang saat ini dia tinggali.Jika dia hidup di dunia modern dengan kekayaan Xavier saat ini. Mungkin dia akan masuk jajaran orang terkaya versi majalah Forbes. Bangunan tiga lantai ini begitu megah dan berkilau. Walaupun berarsitektur minimalis. Tapi dalam sekali lihat orang-orang akan tahu kalau harga bangunan serta furnitur di Mansion ini berharga sangat mahal."Kau tunggu apalagi? Segera siapkan dapurnya." Xavier memerintah. Nolan yang tahu kalau Xavier tidak suka dibantah akhirnya pergi mendahului mereka untuk melaksanakan perintah khusus dari Xavier."Kau memangnya bisa memasak?" tanya Catherine penasaran."Kau meremehkanku?""Bukan seperti itu, Xavier. Tapi kau kan panglima perang. Apa panglima perang bisa memasak?""Kau ingat aku sebagai panglima perang?"Cathterine terdiam. Sial. Dia nyaris saja keceplosan. Dia lupa kalau saat ini, Veronica bahkan orang-orang di mansion ini termasuk Xavier percaya bahwa dia amnesia."Iya. Entah kenapa aku hanya mengingatmu. Apa Veronica pernah bilang kalau hanya identitas dirimu yang tidak aku lupakan?" Catherine berkata dengan polos.Langkah Xavier otomatis berhenti. Membuat degupan jantung Catherine menggila. Apa lelaki itu marah padanya? Dia tahu alasannya memang cukup konyol. Tapi hanya itu solusi yang terpikirkan oleh Catherine sekarang.Xavier terlihat berdehem pelan. Saat ini rasa panas menyengat wajahnya. "Katakan padaku semua tentangku yang kau ingat. Aku tidak ingin ingatanmu ada yang keliru," balas Xavier berusaha kalem.Catherine hanya mengangguk, dia diam-diam bersyukur karena Xavier tidak marah atau curiga dengan alasan konyolnya."Kenapa kalian ke sini?" Xavier terlihat menatap semua pelayan yang berjejer rapi memenuhi dapur. Dia yang saat ini masih menggendong Catherine dalam pelukannya terlihat tidak suka dengan banyaknya orang di ruangan itu. "Maafkan Saya Tuan. Saya dengar dari ksatria Nolan kalau Tuan dan Nyonya akan memasak." Madam Giselle mewakili semua pelayan untuk berbicara. Bahkan Ana yang sudah terbiasa ada di sisi Catherine saja tidak berani mengangkat kepala karena takut dengan aura intimidasi Xavier. "Iya. Tapi aku tidak meminta kalian ke sini," kata Xavier tegas. "Maafkan saya Tuan. Jika memang begitu, biarkan para pelayan dan koki saja yang memasak. Tuan dan Nyonya silakan beristirahat," kata Madam Giselle panik. "Bibi, jika aku ingin kalian memasak. Maka aku akan memanggil kalian dari tadi. Tapi sekarang istriku ingin memasak. Kalian semua kembalilah." Semua pelayan terlihat berpandangan satu sama lain. Mereka masih tidak menyangka kalau Xavier akan menyebut Catherine sebagai istrinya den
Bau anyir menyerbak. Memenuhi gersangnya tanah yang tak lagi berwarna coklat. Cairan merah menggenang di mana-mana. Api berkobar di berbagai sudut. Menandakan kekacauan. Di satu sisi, orang merayakan sorak sorai gembira. Di sisi lain, air mata menyelami lautan duka. Sesosok panglima perang dengan kudanya yang gagah berani melangkah. Menyalami satu persatu prajuritnya yang masih memiliki jatah untuk hidup esok hari. Sementara itu matanya menyelinap ke banyak jasad yang bergelimpangan kaku. Begitu saja, hatinya mencelos melihat para prajurit gagah itu tumbang di medan perang. Bertukar arah, dia melihat pedang di tangannya sendiri. Amis, anyir dan masih hangat dengan balutan darah. Meskipun begitu, wajahnya sudah dirancang dengan kaku. Dia biasa. Dia sudah terlalu terbiasa. "Duke, pasukan Albenian telah menyatakan kekalahan. Sebentar lagi kami akan ke tenda mereka untuk menyatakan kedaulatan dan kemenangan Victoria." Seseorang melapor, menghentikan lamunan Xavier dan kekacauan di hat
Catherine membuka matanya secara perlahan-lahan. Dia mengerjap, merasakan kalau kepalanya sakit dan kelopak matanya sangat berat. Dia melihat chandelier menggantung di atas kepalanya. Aroma wangi-wangian segera memenuhi indera penciumannya yang mulai berfungsi kembali.Dia merasa asing."Apa aku sudah di surga?" gumam Catherine dalam hati. Ada begitu banyak pertanyaan dalam dirinya sekarang. Karena ruangan yang dia lihat di depan matanya sangat jauh dari ruangan yang selama ini dia selalu lihat. Jelas-jelas ini bukan kamarnya. Ini juga bukan kamar rumah sakit seperti yang sempat dia pikirkan saat pertama kali dia bisa membuka mata. Jadi satu-satunya kemungkinan yang saat ini hinggap di otaknya adalah kalau dia ada di surga. Karena kamar dengan penuh lampu dan hiasan cantik ini tak mungkin milik sebuah rumah sakit atau bangunan komersial apa pun. Mungkin dia mati karena fobianya terakhir kali.Sangat menyedihkan.Berusaha bangun, Catherine terduduk dengan susah payah. Entah kenapa,
Seminggu yang lalu. Undangan dengan kertas emas tersebar. Tapi tak seperti hujan yang menyinggahi hati setiap orang. Undangan mewah itu hanya mendarat ke setiap rumah dengan status tertentu. "Nyonya, ada undangan dari istana kekaisaran, apa saya perlu membawakannya ke sini?"Seorang wanita yang sedang merias dirinya itu terlihat berjingkat senang. Dia menatap pelayannya dengan wajah sumringah. "Apa itu dari Putra Mahkota?""Bukan, Nyonya. Tapi Permaisuri, beliau mengadakan ulang tahun untuk Tuan Putri Cessa dan mengundang Duke Xavier untuk hadir.""Baiklah. Bawakan ke sini dan bacakan."Undangan dengan wangi bunga mawar itu datang dan langsung membuat Catalina heboh sendiri memilih gaun. Xavier yang menjadi suaminya sedang tidak ada di tempat, jadi sebagai istri yang baik dia harus mendatangi undangan dari kekaisaran itu untuk mewakilinya, bukan?Istri yang sangat berbakti sekali. Berias dari siang, malam harinya Catalina datang dengan gaun terbaiknya. Dia bertingkah layaknya wanit
"Madam, Tuan Duke ada di depan. Beliau menginginkan pertemuan dengan Nyonya Catalina berdua saja."Catherine yang saat ini sedang berusaha mencerna situasi gila macam apa lagi yang akan dia hadapi, menoleh kaget dengan perkataan yang dibawa oleh salah satu pelayan wanita tersebut. Dia yang baru saja selesai diganti perban lukanya oleh Madam Giselle lantas tertegun mendengar nama seseorang yang rasa-rasanya pasti dia kenal.Duke? Apa orang yang dimaksud pelayan tadi adalah Duke? Apa dia Xavier? Salah satu karakter yang dia ciptakan?!"Nyonya, saya sudah selesai membalut luka Anda. Tolong kedepannya lebih berhati-hati. Saya tidak ingin melihat Anda terluka lagi, Nyonya." Tatapan Madam Giselle begitu tulus. Itu mengingatkan Catherine pada ibunya sendiri. Di dunia nyata, dia sudah lama tidak mengunjungi ibunya setelah memutuskan untuk tinggal sendirian.Saat mencoba kabur dengan kaki patahnya beberapa jam yang lalu. Dia ketahuan Madam Giselle dan kakinya kembali terluka karena dipakai b
Pagi harinya, Catherine terbangun dengan banyak pelayan di sisinya. Ana yang ditugaskan sebagai pelayan pribadinya hadir bersama Madam Giselle. Mereka memperlakukan Catherine dengan baik. Catherine yang tadinya adalah wanita mandiri dan terbiasa melakukan pekerjaan rumah sendirian. Bahkan bingung saat dia tidak diizinkan melakukan apa pun.Kenapa kehidupan di sini terasa menyenangkan? Dia tidak boleh terlena. Tapi itulah kenyataannya."Nyonya, biarkan kami saja. Bukankah tangan Anda masih sakit?" tegur Ana yang tidak mengizinkan Catherine menyisir rambutnya sendiri. Wanita muda itu lantas mengambil sisir dari tangannya dan menyisir rambut Catalina yang berwarna putih perak itu. Jika dilihat-lihat, wajah Catalina begitu cantik. Mata merah rubynya bahkan terlihat seperti permata yang bersinar digundukan salju putih."Apa yang biasanya aku lakukan setelah mandi?" tanya Catalina pada Madam Giselle yang juga berdiri di sana memantau keadaan Nyonya rumahnya. Saat ini, karena kakinya yang
Catherine menatap Xavier yang masih menggendongnya melewati lorong untuk kembali ke kamarnya. Banyak pelayan yang mereka lalui tersentak heran karena Xavier yang menggendong Catherine tanpa bergeming. Bukan sebuah rahasia, jika pada awalnya hubungan sepasang suami istri memanglah buruk. Sebagai penulis, Catherine bahkan tidak pernah memberikan momen manis di rumah tangga Xavier dan Catalina. Tapi apa ini? Perlakuan macam apa ini? Apa ini tanda kalau Catherine bisa mengubah alur ceritanya?"Xavier ... " Catherine berusaha memanggil Xavier yang berjalan tegap dengan tatapan yang lurus ke depan. Dia seperti singa yang membawa harta karun di lengannya. "Xavier," panggil Catherine sekali lagi. Mereka saat ini sedang berjalan menuju kamarnya diikuti oleh Nolan dan juga Madam Giselle dan beberapa pelayan yang membawakan sarapan Catherine sesuai perintah Xavier. "Aku tidak tuli. Jadi katakan saja apa maumu." Xavier membalas dengan dingin. Duke muda Victoria itu bahkan tidak menoleh kearah
Semesta memang selalu punya kejutan. Tapi tak jarang, kejutan yang diberikan terlalu di luar nalar sampai rasanya bisa membuat gila. Catherine yang kini mencoret-coret kertas di ranjangnya merasa frustrasi dan pusing sendiri. Pasalnya, dilihat dari sudut pandang mana pun semua ini terlalu nyata. Pada awalnya, dia masih berpikir kalau dunia novel yang saat ini dimasukinya adalah mimpi. Dia berusaha yakin kalau setelah tertidur. Dunianya akan kembali seperti semula. Tapi setelah seminggu ada di dunia ini. Tertidur dan terbangun di ranjang sutera yang sama. Membuatnya sadar kalau dia tidak punya kesempatan kembali. Ini adalah dunia yang harus dihadapinya. "Apa di dunia ini tidak ada portal? Aku bisa gila jika begini." Catherine meracau sendiri. Dia saat ini tengah menuliskan alur cerita yang dia ingat di kertas yang selalu dia simpan di laci kamarnya. Sudah seminggu, dan luka-luka ditubuhnya sudah