Iya, Tuan mungkin karena kita kangen Bu Amira, makanya mendengar suara Mbak Naira saja seperti syara Bu Amira." Bi Asmi menimpali ucapanku membuat aku merasa dibela.Beruntung saat tegang seperti ini juga, Bu Rahma memanggilku, dengan menyebut Naira. Jadi bisa membuktikan kepada Mas Romi dan Bi Asmi, kalau di kamar ini tidak ada Amira."Iya, Bu," sahutku, sambil menghampiri mertuaku."Na-ira, Ibu haus," ujarnya."Sebentar, Bu," ucapku kemudian.Aku pun segera mengangkat kepala Bu Rahma. Kemudian menambahkan bantal di bawahnya, supaya menjadi tinggi. Biar dia bisa minum dengan tenang, sebab aku takut dia tersedak. Setelah itu aku mengambil gelas yang berisi air lalu meminumkannya, dengan menempelkan sedotan ke mulutnya."Bu, terima kasih, ya Bu. Karena Ibu mau membantu penyamaranku," bisikku.Bu Rahma pun mengangguk, kemudian menyedot kembali, air yang aku berikan kepadanya."Bu, Romi mau keluar dulu ya! Mau ada perlu sebentar," pamitnya."Iya, Ro-mi, hati-hati," pesan Bu Rahma kepada
Mbak Iren pun tambah melongo, saat mendengar ucapanku. I seakan sedang mengingat, kejadian yang barusan aku sebutkan itu. Tapi biarin saja karena aku juga sengaja mengatakannya, supaya ia bisa mengingat kejadiannya. Biar dia sadar diri, kalau kelakuan murahannya itu, sudah terekspos oleh kamera handphoneku."Sudahlah, Amira, nggak usah dibahas lagi. Aku mendingan pergi, dari pada harus membahas itu semua. Aku juga sudah nggak mengerti, dengan alur pembicaraanmu. Kamu itu tidak jelas, Amira. Orang nanya apa, kamu malah membahas apa?" Mbak Iren mengelak perkataanku. Ia malah memilih pergi untuk menghindariku."Mbak, bilang saja, kalau Mbak itu takut. Benar kan, Mbak? Pokoknya awas saja ya, kalau sampai Mbak Iren masih berani kurang ajar kepada kedua orang tuaku dan juga keluargaku yang lain! Apalagi jika Mbak sampai berani berbuat kasar sama mereka semua. Aku nggak akan diam saja, Mbak. Tapi aku jamin, kalau Mbak bakal menyesal. Karena aku sudah pasti akan memberitahu, Mas Raka, tentang
Ibu begitu kaget, saat mendengar perkataanku tentang Mbak Iren. Tetapi apa yang mau dikata, memang begitulah kenyataan sifat menantunya itu. "Apa yang sedang kalian bahas sih, kok saling berbisik begitu?" tanya Bapak, yang memang tidak diajak bicara. Karena Bapak fokus, sedang mengajak main ketiga cucunya."Ini Pak, Ibu sedang membahas masalah penting. Bapak nanti saja ya, biar Ibu yang memberitahu," sahut Ibu."Ya sudah, terserah kalian saja," ujar Bapak.Bapak tidak berkata apa-apa lagi, setelah Ibu meminta Bapak untuk bersabar. Ibu Bilang akan memberitahu Bapak, apa yang sedang kami bicarakan saat ini. Bapak pun kembali fokus mengajak ketiga cucunya bermain.Bapak dan Ibu memang seorang penyayang anak-anak, apalagi ini adalah cucunya sendiri. Sehingga anakku dan anaknya Mas Raka begitu nurut, kepada kedua orang tua kami ini. Kemudian aku dan Ibu kembali fokus, dengan apa yang dibicarakan."Nah bagaimana, Nak? Apa kamu punya bukti, tentang perselingkuhan itu?" tanya Ibu lagi."A
Aku pun segera pergi, dari depan kamar Mbak Iren dan kembali ke kamarku. Karena aku takut, jika Mbak Iren mengetahui, kalau aku berada diluar pintu kamarnya. Sampai-sampai aku juga lupa, akan niatku keluar kamar, yaitu ingin mengambil minum.Aku begitu emosi, makanya aku lebih memilih pergi, daripada membuat semuanya malah menjadi sia-sia. Beruntung, aku juga telah melihat rupa pria selingkuhan Mbak Iren, jadi aku bisa berhati-hati, jika bertemu dia dimana saja.***"Bu, Pak, kalian sudah siap kan? Ayo kita berangkat, itu taksi online-nya sudah datang!" ajakku."Iya, Nak. Ibu dan Bapak sudah siap kok, ayo kita berangkat," ujarnya.Aku, Azka, serta kedua orang tuaku pun berangkat. Kami berniat ingin belanja bulanan, sambil makan diluar. Ini adalah kali pertama, aku mengajak kedua orangtua dan juga anakku belanja, dengan menggunakan yang hasil keringat aku sendiri.Alhamdulillah, dari gaji menjadi perawat di rumahnya Mas Romi, aku bisa mengajak keluargaku bersenang-senang. Gaji yang aku
"Kok Ibu jadi begini sih, malah lebih membela Amira. Apa karena aku hanya menantu Ibu, sehingga Ibu lebih membela Amira ketimbang aku? Ibu juga sebatang sudah tidak mau lagi mengurus Matan dan Naila." Mbak Iren malah menyalahkan Ibu, sebab Ibu berkata demikian.Ia mengira, kalau Ibu lebih memihak aku anak kandungnya, daripada memihak Mbak Iren yang hanya seorang menantu."Bukan begitu, Iren, Ibu hanya ingin kamu lebih fokus mengurus kedua anak kamu, ketimbang keluyuran terus," terang Ibu lagi."Tapi itu kenyataannya, Bu. Sekarang Ibu lebih mendengarkan perkataan Amira dibanding aku. Ibu sudah tidak mau lagi mengajak serta cucu Ibu pergi," ujar Mbak Iren lagi."Ya sudah, kalau memang itu mau kamu Iren. Tapi ini hanya untuk kali ini saja. Ibu akan mengajak Naila pergi. Boleh kan, Amira, kalau Ibu mengajak Naila? Sebab Naila sudah besar, jadi ia tidak terlalu merepotkan Ibu. Ia sudah bisa jalan sendiri, sama seperti Azka," pinta Ibu."Ya sudah, kalau memang Ibu mau mengajaknya. Tapi hany
Aku pun mengizinkan anakku untuk bertemu Ayah, serta Tante dan juga Omanya. Ia pun segera berlari, menuju keluarga dari Ayahnya tersebut."Ayah, Oma," sapa Azka.Ia menyapa Ayah serta Omanya, yang masih aku dengar dari tempat dudukku karena tidak terlalu jauh"Azka, kamu ada di sini sama siapa," tanya Mas Romi.Kebetulan saat ini tempat duduk Mas Romi membelakangi aku. Jadi ia tidak bisa melihatku secara langsung, tetapi aku dapat mengetahui, apa yang mereka lakukan saat ini. "Azka di sini bersama Bunda, Yah. Ada juga Oma, Opa dan juga Kak Naila," jawab Azka."Terus mereka dimana, Sayang? Kok kamu dibiarkan berkeliaran sendirian," selidik Rita.Ingin rasanya aku menghampiri mereka, saat mendengar perkataan Rita. Ia menganggap kalau aku seorang ibu yang teledor, sebab membiarkan anakku berkeliaran sendirian."Aku nggak berkeliaran sendirian, Tante. Tapi Bunda dan yang lainnya ada kok di sebelah sana," tunjuk Azka. Mereka semua pun menengok ke arah kami berada, tetapi kami berpura
Pada saat Rita dan Risma sedang menghinaku, makanan pesananku datang. Mereka berdua pun pergi begitu saja dari hadapan aku dan keluargaku. Mereka kembali berjalan kemeja mereka."Permisi, makanannya sudah siap, ya Bu. Silakan," ujar seorang pelayan, sambil menyimpan makanan ke atas meja. "Terima kasih ya, Mbak," sahutku."Iya, Bu, silahkan dinikmati," ujarnya. Setelah menyiapkan makanan, pelayan itu pun pergi dari hadapanku. Kemudian kami semua pun makan, apa lagi Azka juga sudah berada di sampingku.***"Amira, bagaimana kabarmu?" tanya Mas Romi."Alhamdulillah, baik," sahutku.Mas Romi dan keluarganya menghampiri kami, setelah kami selesai makan. Entah mau apa mereka, yang jelas aku tidak suka kepada sifat kedua iparku, yang mulutnya begitu tajam."Alhamdulillah kalau kamu baik, soalnya kita tidak pernah bertemu lagi, semenjak aku datang ke rumah Ibu sebulan yang lalu. Karena setiap aku datang untuk menemui Azka, kamu selalu tidak ada. Kata Ibu, kamu sedang pergi kerja. Memangnya
Lisa pun mengangguk, tanda menyetujui perkataan Mas Romi. Pintar sekali dia berakting, padahal dua hari yang lalu aku melihat dia sedang belanja, serta bermesraan dengan pria lain. Terapi saat ini di depan mataku sendiri, ia malah merayu Mas Romi lagi.Kebetulan aku melihat itu semua, sebab saat ini Mas Romi dan Lisa sedang berada di ruang televisi. Dan aku juga sedang menemani Bu Rahma menonton, sambil memotong buah untuk camilannya. Karena Bu Rahma saat ini benar-benar sudah lumayan pulih, ia bahkan sudah bisa makan sendiri, walaupun masih belepotan."Aku yakin, pasti kamu seperti ini karena ada maunya kan?" tanya Mas Romi."Ih, kamu tau aja sih, Mas. Aku memang lagi pengen belanja nih, Mas. Belanja yuk," ajak Lisa.Ternyata ia merayu Mas Romi karena dia ingin mengajak Mas Romi belanja. Harus pintar ternyata, jika menjadi pelakor itu. Harus pintar merayu maksudnya."Mas, kita ngobrolnya jangan di sini yuk! Aku nggak nyaman," ajak Lisa, sambil melirik ke arahku."Memangnya kenapa, S
"Pak Romi, kamu kenapa? Kok murung begitu," tanya Mas Rendi."Maafkan aku Pak Rendi, ternyata aku tidak bisa membohongi diriku. Aku ternyata merasa sedih, ketika melihat Amira dimiliki orang lain. Kini aku sadar, bagaimana perasaan Amira waktu itu. Ia pasti merasakan sakit hati, ketika dia mengetahui, kalau aku berhubungan dengan perempuan lain. Apalagi waktu itu kami masih berstatus suami istri. Aku saja sekarang merasa sedih, padahal kami sudah bukan suami istri," sahut Mas Romi mengungkapkan isi hatinya.Ternyata Mas Romi merasa sedih, ketika melihat aku bersanding dengan Mas Rendi. Lagian salah sendiri, kenapa ia dulu malah berselingkuh. Coba saja ia setia, aku juga tidak mungkin meminta cerai darinya. Jadi percuma saja kini ia mau merasakan apa yang aku rasa, sebab semuanya sudah terlambat."Maksud kamu apa, Mas Romi? Kok kamu bicaranya seperti itu sih," tanyaku."Amira, maafkan aku ya! Ternyata aku baru sadar sekarang, setelah kamu pergi meninggalkan aku. Amira, hidup aku hancu
"Mas Rendi dan juga Mama Marta, aku memang sudah menimbang, tentang lamaran, yang Mas Rendi utarakan beberapa bulan lalu. Aku sudah memikirkan matang-matang, rentan semua itu. Dan jawabannya ...," ucapku, sengaja menggantung ucapan biar mereka semua penasaran."Terus jawabannya apa, Amira? Ayo jawab jangan bikin Mama penasaran," pinta Bu Marta."Iya, Amira, jawab saja dengan jujur,walapun jawabannya bisa membuatku sakit hati. Aku nggak apa-apa kok nggak akan sakit hati juga," Mas Rendi juga kembali menimpali ucapan Mamanya.Selain Mas Rendi dan juga Bu Marta, orang-orang yang hadir pun ikut berteriak meminta jawaban dariku, termasuk keluargaku. Mereka juga memintaku, supaya segera menjawabnya karena mereka ingin tahu jawabanku tersebut.Raut wajah mereka begitu penasaran, bahkan terlihat menunggu jawaban dariku. Aku yakin jika mereka ingin mendengar jawaban aku tersebut, apakah nanti aku menjawab iya atau tidak, atas permintaan Mas Rendi tersebut."Baiklah, kalau memang kalian pen
Aku sebenarnya bukan hanya mendekati Romi, terapi aku juga mengincar pria kaya yang mata keranjang. Hingga Amira melihatku sedang jalan bersama pria lain. Ia pun mengancamku akan membongkar rahasiaku, jika aku membongkar rahasianya yang menyamar menjadi perawat Ibunya Romi.Aku pun menuruti apa maunya Amira, hingga uang yang aku dapat dari Mas Romi pun aku kirim kepadanya. Supaya Amira titip mulut, tetapi ternyata rahasia Amira pun terbongkar. Kini Amira pun tidak lagi bekerja menjadi perawat Ibunya Romi. Apalagi Bu Rahma juga sudah mulai membaik keadaannya.Setelah Amira pergi dari rumah Romi, aku selalu mendesak Romi, supaya ia mau menjadikan aku istrinya. Romi pun akhirnya menuruti permintaanku, aku dinikahi olehnya setelah ia resmi bercerai dengan Amira. Saat akan mengadakan resepsi, aku meminta Romi, supaya ia mengundang mantan istrinya itu.Aku ingin melihat reaksinya Amira, saat aku berada di pelaminan bersama matan suaminya. Tetapi ternyata ia malah membuat kaget semua orang.
Bab 40. Pov LisaNamaku Alisa, dan orang-orang biasa memanggil aku Lisa. Aku adalah teman, sekaligus sahabat Amira. Sebenarnya dari semenjak aku kenal dan dekat dengannya, aku itu tidak pernah suka, dengan orang yang bernama Amira. Karena dia itu lebih segalanya dari aku. Ia lebih cantik dan lebih pintar dariku. Amira selalu mendapat lebih dari yang aku dapatkan, baik itu nilai maupun masalah percintaan. Amira selalu saja lebih tinggi dan lebih bagus nasibnya dibanding aku. Sehingga membuat aku menjadi iri kepadanya.Aku ingin mendapatkan, seperti apa yang di miliki oleh Amira. Mungkin kalau masalah nilai aku akan menyerah, sebab otakku tidak sepintar dia. Tetapi kalau masalah cowok, aku juga harus bisa. Walaupun aku tidak secantik dia, tetapi aku mempunyai body yang seksi. Sedangkan Amira kecantikannya selalu ditutupi dengan pakaian, seperti Ibu-Ibu.Dari semenjak sekolah hingga bekerja aku selalu bersamanya. Aku dan Amira bekerja di sebuah perusahaan, tapi Amira beruntung karena
Pada saat aku kebingungan, memikirkan cara merawat Ibu. Mbak Nova datang dengan seorang wanita bercadar, ternyata wanita itu ingin melamar kerja menjadi perawat Ibuku. Karena ia sudah profesional, jadi Mbak Nova mematok harga yang tinggi. Akupun menyetujui, asalkan kinerjanya sesuai.Akhirnya si perawat pun mulai bekerja, pada saat hari itu juga. Tapi aku merasa ada yang familiar, dengan caranya si perawat merawat Ibu. Ia sangat persis sekali, dengan caranya Amira merawat Ibu. Tetapi si perawat bilang, kalau cara yang ia lakukan itu pasti sama, dengan cara orang lain, sebab itu perintah dari terapis.Aku pun percaya saja dengan kata-katanya, tetapi pada akhirnya ketahuan juga, kalau si perawat itu adalah Amira. Ia yang menyamar menjadi perawat. Kini aku menyesal, kenapa bisa aku tidak peka dengan semua itu, sehingga Amira yang sedang aku dekati lagi, malah tambak ilfil melihat kelakuanku dengan Lisa. Karena aku sering bermesraan dengan Lisa, di depan matanya sendiri. Setelah penyam
Pov Romi"Hallo, Mas Romi, kamu ternyata makan di sini juga ya? Kok sendirian sih, Amiranya nggak di ajak?" tanya Lisa teman istriku, saat aku sedang makan di restauran depan kantorku."Eh kamu, Lisa. Amira nggak bisa ikut, Lisa. Karena Amira sedang mengurus Ibu yang sakit di rumah," jawabku.Aku menjawab apa adanya, kepada teman istriku itu. Tapi ternyata si Lisa malah datang menghampiriku, entah di sengaja atau tidak, kami bisa bertemu di restauran saat ini. Lisa datang dengan gaya berjalannya yang begitu gemulai seperti seorang model, yang sedang berada di atas catwalk.Aku begitu terpana, saat melihat kemolekan tubuh Lisa, yang terpampang nyata dengan memakai baju yang minim bahan. Tapi aku berpura-pura kembali fokus menyantap makanan, yang terhidang di atas meja. Aku kembali mengontrol diri, yang tadi sempat tersihir oleh penampilan Lisa yang aduhai. Sebab istriku Amira tidak pernah berpenampilan seperti ini. Ia selalu berpakaian sar'i, sehingga saat aku melihat penampilan Lis
"Oh begitu ya, Mbak. Ya sudah nggak apa-apa, tapi lain kali kalau ada orang yang seperti itu lagi, sebaiknya dikonfirmasi dulu ke orang yang ditunjuknya. Barangkali saja mereka itu bukan saudaranya, tetapi berniat untuk menipu dan memeras orang lain. Maaf, ya Mbak, ini cuma saran dari aku. Ini, Mbak, uangnya," kataku lagi sambil memberikan uang sebesar tiga ratus lima puluh ribu."Iya maaf ya, Mbak. Aku kira kalian memang saudara, sebab tadi aku lihat kalian mengobrol," ucapnya.Ia begitu tidak enak, sebab telah berbuat teledor. Karena ia tidak menanyakan terlebih dahulu kepadaku."Sudah nggak apa-apa, kembaliannya buat kamu saja. Ya sudah aku permisi dulu ya, assalamualaikum," pamitku."Waalaikumsalam, terima kasih, ya Mbak. Semoga rezekinya makin berlimpah," sahutnya dengan begitu sumringah.Aku pun segera pergi dari kafe tersebut, menuju kafe yang dimaksud Mas Rendi. Aku datang sendirian menggunakan sepeda motor. Mas Rendi tidak menjemputku, sebab ia juga datang dari luar kota dan
"Tante, Linda mau pulang saja. Nggak ada gunanya Linda berlama-lama di sini. Sebab sepertinya Tante juga malah lebih membela perempuan ini, ketimbang Linda," ujar Linda merajuk."Ya sudah, Linda, kalau kamu mau pulang ya tinggal pulang saja," sahut Mamanya Mas Rendi. Setelah berkata seperti itu, Linda pun langsung pergi. Ia pergi, tanpa permisi lagi kepada kami. Padahal Si Linda itu kan seorang anak pengusaha, otomatis sekolah ia juga juga tinggi. Tapi entah kenapa, etikanya tersebut tidak dipakai olehnya? Bahkan untuk sekedar berpamitan secara sopan saja ia tidak mau. Aku hanya geleng-geleng kepala, saat melihatnya seperti itu. Sepeninggal Linda, aku kembali ditanyai ini dan itu oleh Mamanya Mas Rendi. Aku pun menjawab seadanya, tanpa mau menutupi apa pun juga.Sepeninggal Linda, aku pun segera menjawab pertanyaan Bu Marta, yang meminta aku agar mau menjadi istrinya Mas Rendi. Jujur aku juga bingung, tapi demi menjaga perasaan semua orang, aku pun menjawab untuk mencari aman."Beg
"Ya sudah, Amira, ayo kita pegi," ajak Mas Rendi."Rendi, berani kamu melangkahkan kaki dari rumah ini. Mama tidak akan pernah, mengizinkan kamu untuk kembali ke rumah ini lagi! Silakan saja kamu mencoba memjadi orang susah diluaran sana, jika kamu mampu" ancam Mama Mas Rendi."Mama pikir aku takut, jika jadi orang miskin? Tidak, Mah, aku tidak takut. Jika memang begitu maunya Mama, mulai sekarang Rendi tidak akan pulang ke rumah ini lagi. Rendi benar-benar kecewa sama Mama, Rendi tidak menyangka, kalau Mama memiliki sifat seperti itu. Mama hanya menilai orang itu dari segi derajatnya saja," lontar Mas Rendi.Aku tidak menyangka sama sekali, jika Mas Rendi akan mengambil keputusan seperti itu. Mas Rendi berani mengambil keputusan yang dapat merugikan dirinya sendiri, hanya karena ia tidak suka melihat aku ditindas olehh ibunya."Ini semua gara-gara kamu, hingga membuat Mas Rendi melawan Mamanya," tuding Linda kepadaku. Ia berkata sambil menunjuk ear "Linda, kamu tidak perlu menyalahk