Pada saat Rita dan Risma sedang menghinaku, makanan pesananku datang. Mereka berdua pun pergi begitu saja dari hadapan aku dan keluargaku. Mereka kembali berjalan kemeja mereka."Permisi, makanannya sudah siap, ya Bu. Silakan," ujar seorang pelayan, sambil menyimpan makanan ke atas meja. "Terima kasih ya, Mbak," sahutku."Iya, Bu, silahkan dinikmati," ujarnya. Setelah menyiapkan makanan, pelayan itu pun pergi dari hadapanku. Kemudian kami semua pun makan, apa lagi Azka juga sudah berada di sampingku.***"Amira, bagaimana kabarmu?" tanya Mas Romi."Alhamdulillah, baik," sahutku.Mas Romi dan keluarganya menghampiri kami, setelah kami selesai makan. Entah mau apa mereka, yang jelas aku tidak suka kepada sifat kedua iparku, yang mulutnya begitu tajam."Alhamdulillah kalau kamu baik, soalnya kita tidak pernah bertemu lagi, semenjak aku datang ke rumah Ibu sebulan yang lalu. Karena setiap aku datang untuk menemui Azka, kamu selalu tidak ada. Kata Ibu, kamu sedang pergi kerja. Memangnya
Lisa pun mengangguk, tanda menyetujui perkataan Mas Romi. Pintar sekali dia berakting, padahal dua hari yang lalu aku melihat dia sedang belanja, serta bermesraan dengan pria lain. Terapi saat ini di depan mataku sendiri, ia malah merayu Mas Romi lagi.Kebetulan aku melihat itu semua, sebab saat ini Mas Romi dan Lisa sedang berada di ruang televisi. Dan aku juga sedang menemani Bu Rahma menonton, sambil memotong buah untuk camilannya. Karena Bu Rahma saat ini benar-benar sudah lumayan pulih, ia bahkan sudah bisa makan sendiri, walaupun masih belepotan."Aku yakin, pasti kamu seperti ini karena ada maunya kan?" tanya Mas Romi."Ih, kamu tau aja sih, Mas. Aku memang lagi pengen belanja nih, Mas. Belanja yuk," ajak Lisa.Ternyata ia merayu Mas Romi karena dia ingin mengajak Mas Romi belanja. Harus pintar ternyata, jika menjadi pelakor itu. Harus pintar merayu maksudnya."Mas, kita ngobrolnya jangan di sini yuk! Aku nggak nyaman," ajak Lisa, sambil melirik ke arahku."Memangnya kenapa, S
"Bukan maksud Mas untuk membandingkan kamu, Sayang. Hanya saja saat ini, perusahaan Mas sedang ada masalah keuangan. Belum lagi Mas butuh uang banyak untuk membeli obat Ibu yang juga serba mahal. Mas juga harus membayar mahal perawat, sebab ia berbeda dari yang lain. Seharusnya kamu itu mengerti dong, Sayang. Jangan malah marah seperti itu," ujar Mas Romi membujuk kekasihnya."Iya deh, Mas. Aku nggak usah membeli cincin berlian, tapi aku minta uangnya saja, ya Mas. Pokoknya aku minta sama kamu, kamu harus mengirim aku uang lima puluh juta," pinta Lisa.Ia merayu Mas Romi, dengan gayanya yang centil. Pantas jika membuat pria tergoda dan langsung klepek-klepek, jika sudah diperlakukan seperti itu oleh perempuan penggoda macam Lisa."Iya, deh, Mas akan transfer kamu. Kalau uang segitu, Mas juga ada. Nanti Mas akan transfer kamu, ya Sayang. Tapi Mas mau minta jatah ya," pinta Mas Romi.Ia menyetujui permintaan Lisa yang kedua, tetapi ia juga meminta sesuatu dari Lisa sebagai gantinya."Iy
Aku pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi sekarang, sebab ternyata Lisa sudah mendengar pembicaraanku dengan Bu Rahma."Terus apa yang akan kamu lakukan, Lisa? setelah kamu tau, kakau aku ini Amira ?" tanyaku."Aku akan membongkar semua kedok kamu ke hadapan Mas Romi, serta memberitahunya mengenai rencana, yang sedang disusun oleh kamu dan juga Bu Rahma. Aku juga akan memberitahu Mas Romi, kalau Amira tidaklah selugu yang ia tau selama ini. Biar kamu tidak mendapatkan sepeser pun, dari harta goni-gini ini." Lisa mengancamku akan memberitahu Mas Romi, tentang siapa Naira dan juga rencana Ibu."Silakan, jika kamu memang berani, Lisa! Tapi aku tidak menjamin, kalau Mas Romi akan mempercayai kamu. Karena kamu tidak mempunyai bukti apapun tentang semua itu, bukan? Coba mana, aku minta buktinya, kalau memang ada," tantangku.Aku sengaja menantang Lisa, meminta bukti tentang ucapannya tadi. Walau memang sebenarnya aku ini adalah Amira, serta sedang merencanakan sesuatu dengan Bu Rahma."Apa m
"Pokoknya, aku mau semua uang, yang pernah Mas Romi berikan sama kamu, Lisa. Kamu harus mengirim ke rekening aku sekarang juga," desakku.Aku saat ini benar-benar sedang mengintimidasi Lisa, perihal uang yang pernah Mas Romi berikan kepadanya. Sebenarnya aku cuma ingin uang, yang tadi Mas Romi kirim. Tetapi jika Lisa memberikan semuanya, ya aku juga tidak akan menolaknya. "Tapi, Amira, aku juga butuh uang itu," ujar Lisa."Maaf ya, Lisa. Tetapi tidak ada hak kamu dalam uangnya Mas Romi, selama kamu belum menjadi istrinya. Jadi semua uang yang Mas Romi berikan untuk kamu, itu adalah hak aku dan juga anakku. Ayo cepat, sebelum aku kirim semua vidio ini kepada Mas Romi," pintaku lagi.Tidak berapa lama, notifikasi m-banking pun terdengar dari handphoneku. Kemudian aku melihatnya dan nominalnya sangat fantastis buatku. Seratus juta rupiah di tambah lagi tadi dua puluh juta. Jadi total uang yang Lisa kirim kepadaku, sebanyak seratus dua puluh juta rupiah.Aku merasa bermimpi, mempunyai u
Tadinya aku mau mengeluarkan ilmu bela diriku, yang dulu pernah diajari seseorang. Tetapi ternyata ada orang baik, yang malah membantuku. Mungkin kali ini belum saatnya untuk menunjukan, siapa Amira yang sesungguhnya."Mas, terima kasih ya, kamu sudah mau membantuku," ucapku."Iya, Amira, sama-sama," sahutnya.Aku pun melongo, merasa heran dengan pria yang barusan menolongku tersebut. Kenapa bisa orang yang baru aku kenal, tetapi ia mengetahui namaku. Apa dia seorang pengagum rahasiamu? Aku juga tidak tahu, siapa pria yang memiliki wajah tampan seperti artis ini."Lho, Mas, kok kamu tau namaku sih? Memangnya kapan kita kenalan?" tanyaku."Apa kamu tidak mengenaliku, Amira? Apa aku seasing itu dimatanya?" tanya balik si pria.Aku pun terus mengingat, siapa pria ini? Tetapi aku tetap saja tidak mengingat siapa dia."Maaf, Mas, aku tidak ingat. Memangnya kamu itu siapa?" tanyaku kemudian."Baiklah kalau kamu memang melupakan siapa aku, Amira. Tetapi mungkin kamu ingat, sama kakak kelas k
"Iya, Amira, makanya kamu harus tetap berhati-hati. Sebab kita tidak tau siapa yang kita hadapi diluar sana," ujar Mas Rendi.Aku hanya mengangguk, menanggapi perkataan Mas Rendi. Karena apa yang dia ucapkan itu memang benar adanya, serta kenyataannya seperti itu. Setelah berbasa- basi aku pun pamit pulang kepada Mas Rendi, sebab hari sudah beranjak sore. Mas Rendi pun berniat untuk mengantar aku pulang, tetapi aku menolaknya. Karena aku takut malah akan menjadi permasalahan baru, bahkan aku tidak menjamin akan menjadi ocehan orang pada akhirnya. Apalagi aku belum resmi bercerai dengan Mas Romi.***"Amira, dari mana saja kamu? Kok sore-sore begini baru pulang sih? Aku kira kamu itu, tidak akan pulang lagi ke sini?" tanya Mbak Iren. Ia bertanya, sambil memasang wajah tidak suka kepadaku.Aku merasa heran, serta menaruh curiga kepada Mbak Iren. Karena dengan perkataan yang diucapkan oleh Kakak iparku tersebut, ada bahasa yang seolah dia tidak senang, saat melihat kedatanganku. Apa ja
"Terus bagaimana, apa pria yang menolongmu itu temanmu atau bukan?" tanya Mbak Iren."Iya, Nak, coba teruskan ceritanya,"pinta IbuRupanya Mbak Iren maupun Ibu juga penasaran, saat mendengar ceritaku tentang kejadian tadi. Hingga mereka ingin aku meneruskan ceritaku."Nah, jadi begini Bu kelanjutannya. Ternyata orang yang dimaksud perempuan tadi itu adalah benar Amira teman dia. Kami berdua saling mengenal, Bu. Kami bahkan sahabatan sejak SMA, lagian juga kalau menurut Amira kedua preman itu aneh banget, Bu. Kalau bukan settingan, masa iya sih mereka capek-capek nodong, hanya menginginkan ponsel doang. Padahal motor Amira kan ada, kalau dijual juga lakunya lebih besar daripada jual handphone. Bener nggak, Bu?" tanyaku, setelah aku membeberkan apa yang aku alami tadi."Hooh ya, Nak, menurut Ibu juga rasanya janggal banget. Masa iya mereka cuma mau handphone doang, yang harganya tidak seberapa. Sedangkan motor dibiarkan begitu saja, ini pasti karena mereka memang ada yang menyuruhnya."