Mbak Iren pun terdiam, setelah aku mengucapkan semua itu. Mungkin dia pikir, kalau aku tidak secerdas ini. Makanya ia berkata, sambil mengancamku. Mbak Iren mungkin berpikir, kalau aku memiliki bukti hanya masalah perselingkuhannya saja. Padahal aku juga memiliki bukti banyak, tentang perlakuan kasarnya dan sikap tidak sopannya terhadap orang tuaku. Suatu saat, kalau waktunya sudah tepat, aku pasti akan akan membongkar itu semua. Apalagi aku tau, kalau ternyata Mbak Iren bukanlah wanita psikopat seperti yang selama ini Ibu takutkan.Mbak Iren sengaja bersikap seperti itu, hanya untuk membuat orang tuaku takut kepadanya, serta tidak melaporkan perbuatannya kepada suaminya. Tetapi bisa saja ia menjadi buas, jika ternyata dia sudah merasa tertekan oleh keadaan."Ya sudah, Mbak, aku pamit mandi dulu! Aku harap Mbak pikirkan baik-baik, jika Mbak mau mengambil tindakan. Mbak jangan pernah berpikir untuk berbuat kasar, baik itu kepadaku atau keluargaku karena bisa fatal akibatnya. Apabila M
Karena hari ini Azka memintaku untuk pergi rekreasi bersama keluargaku dan juga keluarga Mas Romi ke tempat yang sama. Kebetulan juga tiga hari ini Azka libur sekolah, sebab hari jumat kemarin gurunya ada rapat, sedangkan sabtu dan minggu berurutan tanggal merah, sehingga Azka libur tiga hari ini.Sesampainya di ruang tamu, aku pun segera membuka pintu rumah. Namun, aku begitu kaget, siapa tamu yang datang saat ini."Mas Rendi, kok kamu ada di sini?" tanyaku."Kenapa, Amira? Kok kamu sepertinya kaget banget, melihat aku ada di depan rumahmu? Bukankah rumah ini dulunya adalah tempat singgahku, ketika aku sudah mengajarimu bela diri?" tanya balik Mas Rendi.Mas Rendi malah balik bertanya, saat aku bertanya kenapa ia ada di depan rumahbirang tuaku. Aku bertanya demikian, bukan karena apa-apa? Tetapi itu terjadi, ekspresi dari kekagetan aku. Jujur saja, aku merasa tidak percaya, jika saat ini Mas Rendi mengunjungi rumah orang tuaku lagi. Karena sudah hampir sepuluh tahun, ia tidak perna
Rupanya ia kepo, dengan kedekatan aku dan juga Mas Rendi. Karena selama ini aku tidak pernah membahas apa-apa, tentang semua ini. Bukan niat aku mau menyembunyikan semuanya, tetapi karena dulu Mas Rendi tidak ada kabar beritanya. Jadi pikirku, aku tidak perlu memberitahu Mas Romi, tentang hal tersebut. Karena aku tidak mau dianggap mengaku-ngaku, mengenali seorang anak dari pengusaha ternama tersebut.[Buat apa? Memangnya apa untungnya, jika aku memberitahu kamu tentang Mas Rendi? Sudahlah nggak usah chat aku, kalau Mas berani ngomong langsung saja sama orangnya,] pungkasku.[Ih kamu ini,] balas Mas Romi, yang tidak aku balas lagi.Malas sekali rasanya, jika harus membalas pesan Mas Romi tersebut. Aku pun memasukan handphoneku ke dalam tas, sebab aku tidak lagi membalas chat dari Mas Romi.Setelah itu, aku kembali mengobrol dengan semua keluargaku, termasuk Bu Rahma. Adik-adik Mas Romi pun mendadak sopan kepadaku. Mungkin karena aku datang bersama dengan putra pemilik perusahaan te
Bu Rahma panjang lebar menuturkan rasa kecewanya, terhadap ketiga anaknya tersebut. Sedangkan Mas Romi, Rita dan juga Risma, yang mendengar penuturan Ibunya tersebut hanya tertunduk tanpa berbicara sepatah kata pun. Mungkin mereka semua malu, sebab mereka sedang dikuliti boroknya oleh Ibu kandungnya sendiri dihadapan kami. Apalagi saat ini ada Mas Rendi, yang merupakan orang luar. Mas Rendi juga orang yang berpengaruh, terhadap bisnis yang sedang mereka geluti. Menurut pemikiranku, ketiga orang ini memang begitu keterlaluan, bisa berbuat seperti itu terhadap Ibunya sendiri.Karena tidak ada satu orang pun dari mereka semua, yang mau merawat Ibunya sendiri. Mereka tidak sadar, jika mereka bisa tumbuh besar dan menjadi seperti sekarang itu bukan karena tumbuh sendiri. Tetapi karena mereka dirawat dan dibesarkan oleh seorang Ibu, dengan penuh kasih dan sayang. "Bu, sudahlah, Ibu jangan bersedih lagi. Biar pun Amira bukan anak kandung Ibu, tetapi Amira sudah menganggap Ibu itu adalah or
"Iya, Mas," kataku.Setelah memberikan Natan kepadaku, Mas Raka pun segera menghampiri Mbak Iren, yang sedang berada dipelukan pria lain. "Oh, jadi toiletnya ada di sini, ya Iren. Toiletnya bagus banget ya, pantas kamu betah. Soalnya, toiletnya bisa sambil makan kue balok, sambil dipelukin orang," sungut Mas Raka, dengan sorot mata yang penuh amarah."M-Mas Raka, kok kamu tau aku ada disini?" tanya Mbak Iren gugup."Kenapa, Iren, kamu kaget ya?" tanya balik Mas Raka.Mas Raka bertanya, dengan sorot mata yang sangat tajam, hingga dapat menembus jantung Mbak Iren. Mbak Iren yang tadinya sedang berada di pelukan pria lain, saat ini tengah berdiri dan menghampiri suaminya. Aku yakin dia akan merayu suaminya."Mas, aku harap kamu tidak berpikiran jelek tentang aku ya. Karena semua ini tidak seperti yang Mas pikirkan. Aku hanya sedang menemui teman semasa sekolahku dulu," ujarnya."Kamu bilang mau menemui teman, tapi kok pamitnya mau ke toilet? Sekarang setelah bertemu teman, kok kalian b
Ia menatapku penuh tanda tanya, serta menginginkan kejujuran dariku."Iya, Mas, aku telah mengetahuinya. Bahkan aku sudah banyak bukti, tentang perbuatan Mbak Iren. Hanya saja aku selalu tidak memiliki waktu untuk memberitahumu, Mas. Apalagi Mbak Iren juga selalu mengancam, akan melukai Ibu dan Bapak, serta anak-anak, jika aku sampai memberitahumu tentang semua perbuatannya ini." Aku berterus terang mengatakan semuanya kepada Kakakku."Amira, kamu sudah berani ya membongkar semuanya? Awas kamu, kamu akan merasakan akibat dari kelancangan kamu ini," ancam Mbak Iren."Berani kamu menyakiti keluargaku, kamu berhadapan langsung dengan aku. Apalagi kamu mengatakan semua ini di tempat umum, jadi jika ada sesuatu terhadap keluargaku, polisi tidak akan susah mencari pelakunya. Mereka akan menganggap kamu pelakunya, walaupun kamu sana sekali tidak melakukannya. Makanya berhati-hatilah dengan ucapanmu, Iren," pesan Mas Raka.Mas Raka pun mengancam balik istrinya, hingga membuat Mbak Iren, yang
*POV Iren"Amira, ngapain kamu datang ke sini sambil membawa koper?" tanyaku kepada adik iparku Amira."Memangnya kenapa, Mbak, kalau aku datang ke sini? Ini kan masih rumah Ibu dan Bapak, mereka itu orang tua kandungku," jawabnya.Kesal sekali hati ini, saat mendengar jawaban Amira. Ia begitu berani mengatakan itu semua kepadaku, walaupun perkataannya memang benar, kalau rumah ini milik orang tuanya. Tetapi kini menjadi wilayah kekuasaanku, sehingga Amira pun harus tunduk kepadaku.Aku sengaja membuat orang tuanya takut, dengan mengancamnya dan menyebarkan gosip, kalau keluargaku adalah seorang psikopat. Aku sengaja melakukannya, supaya mereka semua tertekan dan menuruti semua keinginanku.Tetapi jika sedang ada mas Raka, aku berubah menjadi menantu yang seharusnya, yaitu baik, sopan serta pengertian kepada kedua orang tua suamiku tersebut. Tetapi aku merasa risih, dengan adanya Amira di rumah ini. Karena dia bisa saja menjadi duri dalam kehidupan rumah tanggaku, serta mungkin saja
"Iya, Romi, kamu tunggu saja dulu," pesanku."Iya, Mbak," sahut Romi. Tidak berapa lama, Amira dan juga kedua mertuaku datang menemui kami. Kemudian aku pergi dari sana, sebab mereka sepertinya akan berbicara serius. Aku segera menuju ruang keluarga untuk melanjutkan menonton sinetron, yang sempat aku tinggalkan karena mengurusi Romi dab Amira.Secara tidak sengaja, aku pun mendengar apa yang mereka bicarakan. Karena ruang tamu dan ruang keluarga tidak terlalu jauh, sehingga aku juga dapat mendengarnya. Aku yang tadinya mau menonton sinetron pun tidak fokus, sebab mendengar pertengkaran antara Romi dan juga Amira. Secara diam-diam aku pun menguping di sebelah dinding yang menuju ruang tamu."Tapi maaf, Mas. Aku tidak mau kembali pulang ke rumah kamu, lebih baik kita bertemu saja di pengadilan," tolakku Amira"Dek, kamu jangan bilang seperti itu dong! Kamu harus ingat anak kita Azka. Dia itu masih membutuhkan kasih sayang dari, Mas. Kalau kita berpisah, otomatis kasih sayang yang terc
"Pak Romi, kamu kenapa? Kok murung begitu," tanya Mas Rendi."Maafkan aku Pak Rendi, ternyata aku tidak bisa membohongi diriku. Aku ternyata merasa sedih, ketika melihat Amira dimiliki orang lain. Kini aku sadar, bagaimana perasaan Amira waktu itu. Ia pasti merasakan sakit hati, ketika dia mengetahui, kalau aku berhubungan dengan perempuan lain. Apalagi waktu itu kami masih berstatus suami istri. Aku saja sekarang merasa sedih, padahal kami sudah bukan suami istri," sahut Mas Romi mengungkapkan isi hatinya.Ternyata Mas Romi merasa sedih, ketika melihat aku bersanding dengan Mas Rendi. Lagian salah sendiri, kenapa ia dulu malah berselingkuh. Coba saja ia setia, aku juga tidak mungkin meminta cerai darinya. Jadi percuma saja kini ia mau merasakan apa yang aku rasa, sebab semuanya sudah terlambat."Maksud kamu apa, Mas Romi? Kok kamu bicaranya seperti itu sih," tanyaku."Amira, maafkan aku ya! Ternyata aku baru sadar sekarang, setelah kamu pergi meninggalkan aku. Amira, hidup aku hancu
"Mas Rendi dan juga Mama Marta, aku memang sudah menimbang, tentang lamaran, yang Mas Rendi utarakan beberapa bulan lalu. Aku sudah memikirkan matang-matang, rentan semua itu. Dan jawabannya ...," ucapku, sengaja menggantung ucapan biar mereka semua penasaran."Terus jawabannya apa, Amira? Ayo jawab jangan bikin Mama penasaran," pinta Bu Marta."Iya, Amira, jawab saja dengan jujur,walapun jawabannya bisa membuatku sakit hati. Aku nggak apa-apa kok nggak akan sakit hati juga," Mas Rendi juga kembali menimpali ucapan Mamanya.Selain Mas Rendi dan juga Bu Marta, orang-orang yang hadir pun ikut berteriak meminta jawaban dariku, termasuk keluargaku. Mereka juga memintaku, supaya segera menjawabnya karena mereka ingin tahu jawabanku tersebut.Raut wajah mereka begitu penasaran, bahkan terlihat menunggu jawaban dariku. Aku yakin jika mereka ingin mendengar jawaban aku tersebut, apakah nanti aku menjawab iya atau tidak, atas permintaan Mas Rendi tersebut."Baiklah, kalau memang kalian pen
Aku sebenarnya bukan hanya mendekati Romi, terapi aku juga mengincar pria kaya yang mata keranjang. Hingga Amira melihatku sedang jalan bersama pria lain. Ia pun mengancamku akan membongkar rahasiaku, jika aku membongkar rahasianya yang menyamar menjadi perawat Ibunya Romi.Aku pun menuruti apa maunya Amira, hingga uang yang aku dapat dari Mas Romi pun aku kirim kepadanya. Supaya Amira titip mulut, tetapi ternyata rahasia Amira pun terbongkar. Kini Amira pun tidak lagi bekerja menjadi perawat Ibunya Romi. Apalagi Bu Rahma juga sudah mulai membaik keadaannya.Setelah Amira pergi dari rumah Romi, aku selalu mendesak Romi, supaya ia mau menjadikan aku istrinya. Romi pun akhirnya menuruti permintaanku, aku dinikahi olehnya setelah ia resmi bercerai dengan Amira. Saat akan mengadakan resepsi, aku meminta Romi, supaya ia mengundang mantan istrinya itu.Aku ingin melihat reaksinya Amira, saat aku berada di pelaminan bersama matan suaminya. Tetapi ternyata ia malah membuat kaget semua orang.
Bab 40. Pov LisaNamaku Alisa, dan orang-orang biasa memanggil aku Lisa. Aku adalah teman, sekaligus sahabat Amira. Sebenarnya dari semenjak aku kenal dan dekat dengannya, aku itu tidak pernah suka, dengan orang yang bernama Amira. Karena dia itu lebih segalanya dari aku. Ia lebih cantik dan lebih pintar dariku. Amira selalu mendapat lebih dari yang aku dapatkan, baik itu nilai maupun masalah percintaan. Amira selalu saja lebih tinggi dan lebih bagus nasibnya dibanding aku. Sehingga membuat aku menjadi iri kepadanya.Aku ingin mendapatkan, seperti apa yang di miliki oleh Amira. Mungkin kalau masalah nilai aku akan menyerah, sebab otakku tidak sepintar dia. Tetapi kalau masalah cowok, aku juga harus bisa. Walaupun aku tidak secantik dia, tetapi aku mempunyai body yang seksi. Sedangkan Amira kecantikannya selalu ditutupi dengan pakaian, seperti Ibu-Ibu.Dari semenjak sekolah hingga bekerja aku selalu bersamanya. Aku dan Amira bekerja di sebuah perusahaan, tapi Amira beruntung karena
Pada saat aku kebingungan, memikirkan cara merawat Ibu. Mbak Nova datang dengan seorang wanita bercadar, ternyata wanita itu ingin melamar kerja menjadi perawat Ibuku. Karena ia sudah profesional, jadi Mbak Nova mematok harga yang tinggi. Akupun menyetujui, asalkan kinerjanya sesuai.Akhirnya si perawat pun mulai bekerja, pada saat hari itu juga. Tapi aku merasa ada yang familiar, dengan caranya si perawat merawat Ibu. Ia sangat persis sekali, dengan caranya Amira merawat Ibu. Tetapi si perawat bilang, kalau cara yang ia lakukan itu pasti sama, dengan cara orang lain, sebab itu perintah dari terapis.Aku pun percaya saja dengan kata-katanya, tetapi pada akhirnya ketahuan juga, kalau si perawat itu adalah Amira. Ia yang menyamar menjadi perawat. Kini aku menyesal, kenapa bisa aku tidak peka dengan semua itu, sehingga Amira yang sedang aku dekati lagi, malah tambak ilfil melihat kelakuanku dengan Lisa. Karena aku sering bermesraan dengan Lisa, di depan matanya sendiri. Setelah penyam
Pov Romi"Hallo, Mas Romi, kamu ternyata makan di sini juga ya? Kok sendirian sih, Amiranya nggak di ajak?" tanya Lisa teman istriku, saat aku sedang makan di restauran depan kantorku."Eh kamu, Lisa. Amira nggak bisa ikut, Lisa. Karena Amira sedang mengurus Ibu yang sakit di rumah," jawabku.Aku menjawab apa adanya, kepada teman istriku itu. Tapi ternyata si Lisa malah datang menghampiriku, entah di sengaja atau tidak, kami bisa bertemu di restauran saat ini. Lisa datang dengan gaya berjalannya yang begitu gemulai seperti seorang model, yang sedang berada di atas catwalk.Aku begitu terpana, saat melihat kemolekan tubuh Lisa, yang terpampang nyata dengan memakai baju yang minim bahan. Tapi aku berpura-pura kembali fokus menyantap makanan, yang terhidang di atas meja. Aku kembali mengontrol diri, yang tadi sempat tersihir oleh penampilan Lisa yang aduhai. Sebab istriku Amira tidak pernah berpenampilan seperti ini. Ia selalu berpakaian sar'i, sehingga saat aku melihat penampilan Lis
"Oh begitu ya, Mbak. Ya sudah nggak apa-apa, tapi lain kali kalau ada orang yang seperti itu lagi, sebaiknya dikonfirmasi dulu ke orang yang ditunjuknya. Barangkali saja mereka itu bukan saudaranya, tetapi berniat untuk menipu dan memeras orang lain. Maaf, ya Mbak, ini cuma saran dari aku. Ini, Mbak, uangnya," kataku lagi sambil memberikan uang sebesar tiga ratus lima puluh ribu."Iya maaf ya, Mbak. Aku kira kalian memang saudara, sebab tadi aku lihat kalian mengobrol," ucapnya.Ia begitu tidak enak, sebab telah berbuat teledor. Karena ia tidak menanyakan terlebih dahulu kepadaku."Sudah nggak apa-apa, kembaliannya buat kamu saja. Ya sudah aku permisi dulu ya, assalamualaikum," pamitku."Waalaikumsalam, terima kasih, ya Mbak. Semoga rezekinya makin berlimpah," sahutnya dengan begitu sumringah.Aku pun segera pergi dari kafe tersebut, menuju kafe yang dimaksud Mas Rendi. Aku datang sendirian menggunakan sepeda motor. Mas Rendi tidak menjemputku, sebab ia juga datang dari luar kota dan
"Tante, Linda mau pulang saja. Nggak ada gunanya Linda berlama-lama di sini. Sebab sepertinya Tante juga malah lebih membela perempuan ini, ketimbang Linda," ujar Linda merajuk."Ya sudah, Linda, kalau kamu mau pulang ya tinggal pulang saja," sahut Mamanya Mas Rendi. Setelah berkata seperti itu, Linda pun langsung pergi. Ia pergi, tanpa permisi lagi kepada kami. Padahal Si Linda itu kan seorang anak pengusaha, otomatis sekolah ia juga juga tinggi. Tapi entah kenapa, etikanya tersebut tidak dipakai olehnya? Bahkan untuk sekedar berpamitan secara sopan saja ia tidak mau. Aku hanya geleng-geleng kepala, saat melihatnya seperti itu. Sepeninggal Linda, aku kembali ditanyai ini dan itu oleh Mamanya Mas Rendi. Aku pun menjawab seadanya, tanpa mau menutupi apa pun juga.Sepeninggal Linda, aku pun segera menjawab pertanyaan Bu Marta, yang meminta aku agar mau menjadi istrinya Mas Rendi. Jujur aku juga bingung, tapi demi menjaga perasaan semua orang, aku pun menjawab untuk mencari aman."Beg
"Ya sudah, Amira, ayo kita pegi," ajak Mas Rendi."Rendi, berani kamu melangkahkan kaki dari rumah ini. Mama tidak akan pernah, mengizinkan kamu untuk kembali ke rumah ini lagi! Silakan saja kamu mencoba memjadi orang susah diluaran sana, jika kamu mampu" ancam Mama Mas Rendi."Mama pikir aku takut, jika jadi orang miskin? Tidak, Mah, aku tidak takut. Jika memang begitu maunya Mama, mulai sekarang Rendi tidak akan pulang ke rumah ini lagi. Rendi benar-benar kecewa sama Mama, Rendi tidak menyangka, kalau Mama memiliki sifat seperti itu. Mama hanya menilai orang itu dari segi derajatnya saja," lontar Mas Rendi.Aku tidak menyangka sama sekali, jika Mas Rendi akan mengambil keputusan seperti itu. Mas Rendi berani mengambil keputusan yang dapat merugikan dirinya sendiri, hanya karena ia tidak suka melihat aku ditindas olehh ibunya."Ini semua gara-gara kamu, hingga membuat Mas Rendi melawan Mamanya," tuding Linda kepadaku. Ia berkata sambil menunjuk ear "Linda, kamu tidak perlu menyalahk