"Iya, Romi, kamu tunggu saja dulu," pesanku."Iya, Mbak," sahut Romi. Tidak berapa lama, Amira dan juga kedua mertuaku datang menemui kami. Kemudian aku pergi dari sana, sebab mereka sepertinya akan berbicara serius. Aku segera menuju ruang keluarga untuk melanjutkan menonton sinetron, yang sempat aku tinggalkan karena mengurusi Romi dab Amira.Secara tidak sengaja, aku pun mendengar apa yang mereka bicarakan. Karena ruang tamu dan ruang keluarga tidak terlalu jauh, sehingga aku juga dapat mendengarnya. Aku yang tadinya mau menonton sinetron pun tidak fokus, sebab mendengar pertengkaran antara Romi dan juga Amira. Secara diam-diam aku pun menguping di sebelah dinding yang menuju ruang tamu."Tapi maaf, Mas. Aku tidak mau kembali pulang ke rumah kamu, lebih baik kita bertemu saja di pengadilan," tolakku Amira"Dek, kamu jangan bilang seperti itu dong! Kamu harus ingat anak kita Azka. Dia itu masih membutuhkan kasih sayang dari, Mas. Kalau kita berpisah, otomatis kasih sayang yang terc
Mereka selalu nurut saat aku minta ini dan itu. Mereka seperti itu, sebab ada tetanggaku yang aku suruh, supaya ia memberitahu orang tua suamiku. Aku memintanya, supaya mereka jangan pernah berani memerintahkan apa pun kepadaku. Aku juga menyuruhnya, kalau keluargaku psikopat dan itu turun temurun.Maka dari situ mereka tidak pernah sekalipun memerintahkan aku atau bagaimana, tetapi mereka sendiri yang selalu meladeni aku. Semua yang aku mau mereka selalu melaksanakannya."Amira, apa yang akan kalian laporkan kepada Mas Raka tentangku? Silakan saja kalian lapor, jika Mas Raka akan mempercayai kalian. Tetapi aku yakin, kalau kalian berdua malah akan dibenci olehnya. Karena Mas Raka itu lebih percaya aku, ketimbang kalian," terangku."Awas saja, kalau kalian mencoba bermain-main denganku. Aku akan membuat kalian semua menyesal, sebab aku tidak akan tinggal diam. Kalian tidak tau, siapa aku yang sebenarnya," ancamku kemudian.Kesal sekali aku tuh, saat mendengar perkataan Amira tadi, yan
Setelah Ibu mertuaku membela anaknya, aku pun menjawab dengan bijak, kalau aku tidak tersinggung kepada Amira. Padahal hatiku dongkol setengah mati.Mereka semua pun menanggapi perkataanku dengan mengucap syukur dan juga berterima kasih. Karena aku mau legowo menerima kesalahan Amira. Aku menanggapinya sambil tersenyum, tetapi senyumku tidak ikhlas sama sekali. Setelah Mas Raka mendengar penuturan, tentang rumah tangga Amira.Mas Raka pun menanggapinya, sambil manggut-manggut. Jujur aku itu malas sekali mendengarkan ocehannya, kalau bukan karena ada suamiku. Aku harus tetap terlihat baik dan peduli terhadap keluarganya, walaupun hatiku semerawut.Setelah Amira mengungkapkan semuanya, akhirnya kami pun membicarakan hal yang lain. Saat ini kebersamaan benar-benar tercipta, seolah tidak ada masalah. Padahal dijatuhi amarah benar-benar memuncak.Aku merasa heran, saat pagi-pagi Amira sudah terlihat rapi. Sepertinya ia mau pergi, entah mau kelayapan kemana dia sepagi ini. Mungkin juga
Seperti biasa, setelah makan kami jalan-jalan dulu. Kemudian belanja kebutuhan aku dan juga kedua anakku. Mas Rian juga memberinya sejumlah uang untuk biaya hidup kami bertiga, yaitu aku dan kedua anakku tersebut, yang salah satunya adalah anak dari hasil perselingkuhan kami.Ya Natan bukanlah anak kandung Mas Raka, tetapi ada campur darah Mas Rian di dalamnya. Karena Mas Rian tidak mungkin akan memberikan uang secara cuma-cuma kepadaku, apalagi uang yang diberikannya dengan jumlah besar. Ia memberikannya padaku, dengan imbalan yang sesuai dengan apa yang aku berikan.Kebetulan hari ini, adalah hari waktunya Amira gajian. Sebab sudah tepat satu bulan, setelah aku ketemuan dengan Mas Rian. Aku akan meminta Amira untuk mengganti, dengan apa yang selama ini dimakan dirinya dan juga anaknya. Karena selama satu bulan ini, Amira numpang makan dariku, yaitu dari uangnya Mas Raka.Aku akan meminta ganti rugi padanya untuk apa yang telah mereka makan selama ini. Aku meminta Amira untuk memb
"Mbak, seharusnya kamu itu insyaf, jangan malah mau menambah masalah lagi. Perkara yang tadi saja belum selesai, kini malah mau menambah masalah baru," balasku.Aku tidak takut dengan ancaman yang ia ucapkan. Apalagi Mas Raka sudah mengetahui perbuatan istrinya, jadi tidak ada rasa ragu lagi untukku berbuat sesuatu, buat membalas perlakuan Mbak Iren tersebut."Kamu benar-benar nggak takut, jika suatu saat nanti keluargamu, atau kamu sendiri ada yang mencelakai?" tanya Mbak Iren lagi. "Ngapain mesti takut, Mbak. Toh Mbak sendiri yang sudah bilang seperti itu, jadi jika diantara aku atau keluargaku ada yang celaka, itu berarti ulah kamu. Kami tinggal lapor polisi, lalu kamu diamankan olehnya," sahutku, tanpa ada rasa takut sedikit pun.Mbak Iren meremas bajunya sendiri, mungkin saking emosinya dia mendengar perkataanku. Setelah itu dia pergi meninggalkanku tanpa kata. Melihat Mbak Iren pergi, aku hanya mengusap dada. Aku tidak menyangka bakal mempunyai Kakak Ipar seperti dirinya.Setel
"Bu, Pak, aku tidak asal bicara. Aku juga tidak mendengarnya dari siapapun, tetapi aku melihat dengan mata kepala aku sendiri, kalau Iren sedang berpelukan dengan pria lain, di kedai kue balok saat kita tamasya tadi." Mas Raka menyeberangkan kepada Ibu dan Bapak, tentang apa yang tadi ia lihat."Masya Allah, Astagfirullah hal adzim, jadi seperti itu ceritanya? Ibu nggak menyangka banget, kalau ternyata Iren seperti itu. Sudah sama mertua ngelunjak, kini sama suami pun tega mengkhianati," ungkap Ibu."Apa maksud Ibu, dengan ngelunjak mertua? Apa Iren selalu kurang ajar sama kalian?" tanya Mas Raka.Ia bertambah emosi, saat Mendengar perkataan Ibu. Mungkin ini cara Allah untuk mengungkap semuanya, kalau Iren itu memang seorang perempuan jahat, yang tidak pantas dijadikan istri. Karena selama ia menikah dengan Mas Raka, Ibu dan Bapakku dianggapnya sebagai seorang pembantu, di rumahnya sendiri. Sedangkan ia enak-enakan bagaikan ratu. Gemes aku tuh, kalau mengingat tentang kelakuan Mbak
"Natan, kenapa, Sayang? Adek kamu kenapa?" tanya Mas Raka dengan wajah panik."Itu, Yah, Natan keluar darah dari hidungnya," terang Naila.Setelah mendengar perkataan Naila, kami pun segera menuju kamar untuk melihat keadaan Natan. Tidak biasanya ia seperti ini, membuat kami menjadi panik.Ternyata benar apa yang dikatakan Naila, kalau ternyata Natan keluar darah dari bagian hidungnya. Mas Raka pun segera mengambil tisu dan mengelap darah tersebut."Natan, kamu kenapa, Nak? Kok kamu keluar darahnya banyak banget?" tanya Mas Raka."Mas, tolong bawa Natan ke rumah sakit ya," pinta Mbak Iren."Maaf, Iren, tanpa kamu minta pun, aku akan membawa anakku ke rumah sakit." Mas Raka menjawab dengan nada ketus.Setelah itu Natan pun dibawa ke rumah sakit, sedangkan Naila dan aku tidak ikut, sebab Azka sedang tidur. "Tante, kira-kira Natan kenapa ya, kok hidungnya bisa berdarah?" tanya Naila, dengan wajahnya murung."Tante juga belum tau Natan kenapa, Sayang. Kita berdoa saja, supaya Natan tida
"Mas, aku tidak mau kita bercerai, Mas. Kamu harus memaafkan aku, aku berjanji tidak akan pernah mengulanginya lagi," pinta Mbak Iren.Ia meminta supaya Mas Raka memberi kesempatan kepadanya."Maaf Iren, luka yang kau timbulkan kepadaku begitu menganga. Aku pun belum tentu bisa mengobatinya. Lebih baik kamu segera berkemas, akan aku antarkan kamu ke rumah orang tuamu," perintah Mas Raka."Bu, Pak, tolong Iren. Beritahu Mas Raka supaya tidak menceraikan Iren, aku mohon Bu, Pak." Mbak Iren meminta supaya Ibu dan Bapak dapat menasehati Mas Raka, supaya tidak mengerjakannya."Maaf, Nak Iren, Ibu dan Bapak tidak bisa membantu lagi. Semua keputusan ada di tangan Raka," tolak Ibu.Ibu menolak permintaan Mbak Iren bukan tanpa alasan, justru karena begitu banyak alasan yang hingga Ibu menolaknya. Alasan yang pertama, karena Mbak Iren menjadi menantu yang berani kurang ajar terhadap mertuanya.Kedua karena ia telah terbukti berselingkuh, sedangkan yang ketiga, ia telah kecewa karena Mbak Iren
"Pak Romi, kamu kenapa? Kok murung begitu," tanya Mas Rendi."Maafkan aku Pak Rendi, ternyata aku tidak bisa membohongi diriku. Aku ternyata merasa sedih, ketika melihat Amira dimiliki orang lain. Kini aku sadar, bagaimana perasaan Amira waktu itu. Ia pasti merasakan sakit hati, ketika dia mengetahui, kalau aku berhubungan dengan perempuan lain. Apalagi waktu itu kami masih berstatus suami istri. Aku saja sekarang merasa sedih, padahal kami sudah bukan suami istri," sahut Mas Romi mengungkapkan isi hatinya.Ternyata Mas Romi merasa sedih, ketika melihat aku bersanding dengan Mas Rendi. Lagian salah sendiri, kenapa ia dulu malah berselingkuh. Coba saja ia setia, aku juga tidak mungkin meminta cerai darinya. Jadi percuma saja kini ia mau merasakan apa yang aku rasa, sebab semuanya sudah terlambat."Maksud kamu apa, Mas Romi? Kok kamu bicaranya seperti itu sih," tanyaku."Amira, maafkan aku ya! Ternyata aku baru sadar sekarang, setelah kamu pergi meninggalkan aku. Amira, hidup aku hancu
"Mas Rendi dan juga Mama Marta, aku memang sudah menimbang, tentang lamaran, yang Mas Rendi utarakan beberapa bulan lalu. Aku sudah memikirkan matang-matang, rentan semua itu. Dan jawabannya ...," ucapku, sengaja menggantung ucapan biar mereka semua penasaran."Terus jawabannya apa, Amira? Ayo jawab jangan bikin Mama penasaran," pinta Bu Marta."Iya, Amira, jawab saja dengan jujur,walapun jawabannya bisa membuatku sakit hati. Aku nggak apa-apa kok nggak akan sakit hati juga," Mas Rendi juga kembali menimpali ucapan Mamanya.Selain Mas Rendi dan juga Bu Marta, orang-orang yang hadir pun ikut berteriak meminta jawaban dariku, termasuk keluargaku. Mereka juga memintaku, supaya segera menjawabnya karena mereka ingin tahu jawabanku tersebut.Raut wajah mereka begitu penasaran, bahkan terlihat menunggu jawaban dariku. Aku yakin jika mereka ingin mendengar jawaban aku tersebut, apakah nanti aku menjawab iya atau tidak, atas permintaan Mas Rendi tersebut."Baiklah, kalau memang kalian pen
Aku sebenarnya bukan hanya mendekati Romi, terapi aku juga mengincar pria kaya yang mata keranjang. Hingga Amira melihatku sedang jalan bersama pria lain. Ia pun mengancamku akan membongkar rahasiaku, jika aku membongkar rahasianya yang menyamar menjadi perawat Ibunya Romi.Aku pun menuruti apa maunya Amira, hingga uang yang aku dapat dari Mas Romi pun aku kirim kepadanya. Supaya Amira titip mulut, tetapi ternyata rahasia Amira pun terbongkar. Kini Amira pun tidak lagi bekerja menjadi perawat Ibunya Romi. Apalagi Bu Rahma juga sudah mulai membaik keadaannya.Setelah Amira pergi dari rumah Romi, aku selalu mendesak Romi, supaya ia mau menjadikan aku istrinya. Romi pun akhirnya menuruti permintaanku, aku dinikahi olehnya setelah ia resmi bercerai dengan Amira. Saat akan mengadakan resepsi, aku meminta Romi, supaya ia mengundang mantan istrinya itu.Aku ingin melihat reaksinya Amira, saat aku berada di pelaminan bersama matan suaminya. Tetapi ternyata ia malah membuat kaget semua orang.
Bab 40. Pov LisaNamaku Alisa, dan orang-orang biasa memanggil aku Lisa. Aku adalah teman, sekaligus sahabat Amira. Sebenarnya dari semenjak aku kenal dan dekat dengannya, aku itu tidak pernah suka, dengan orang yang bernama Amira. Karena dia itu lebih segalanya dari aku. Ia lebih cantik dan lebih pintar dariku. Amira selalu mendapat lebih dari yang aku dapatkan, baik itu nilai maupun masalah percintaan. Amira selalu saja lebih tinggi dan lebih bagus nasibnya dibanding aku. Sehingga membuat aku menjadi iri kepadanya.Aku ingin mendapatkan, seperti apa yang di miliki oleh Amira. Mungkin kalau masalah nilai aku akan menyerah, sebab otakku tidak sepintar dia. Tetapi kalau masalah cowok, aku juga harus bisa. Walaupun aku tidak secantik dia, tetapi aku mempunyai body yang seksi. Sedangkan Amira kecantikannya selalu ditutupi dengan pakaian, seperti Ibu-Ibu.Dari semenjak sekolah hingga bekerja aku selalu bersamanya. Aku dan Amira bekerja di sebuah perusahaan, tapi Amira beruntung karena
Pada saat aku kebingungan, memikirkan cara merawat Ibu. Mbak Nova datang dengan seorang wanita bercadar, ternyata wanita itu ingin melamar kerja menjadi perawat Ibuku. Karena ia sudah profesional, jadi Mbak Nova mematok harga yang tinggi. Akupun menyetujui, asalkan kinerjanya sesuai.Akhirnya si perawat pun mulai bekerja, pada saat hari itu juga. Tapi aku merasa ada yang familiar, dengan caranya si perawat merawat Ibu. Ia sangat persis sekali, dengan caranya Amira merawat Ibu. Tetapi si perawat bilang, kalau cara yang ia lakukan itu pasti sama, dengan cara orang lain, sebab itu perintah dari terapis.Aku pun percaya saja dengan kata-katanya, tetapi pada akhirnya ketahuan juga, kalau si perawat itu adalah Amira. Ia yang menyamar menjadi perawat. Kini aku menyesal, kenapa bisa aku tidak peka dengan semua itu, sehingga Amira yang sedang aku dekati lagi, malah tambak ilfil melihat kelakuanku dengan Lisa. Karena aku sering bermesraan dengan Lisa, di depan matanya sendiri. Setelah penyam
Pov Romi"Hallo, Mas Romi, kamu ternyata makan di sini juga ya? Kok sendirian sih, Amiranya nggak di ajak?" tanya Lisa teman istriku, saat aku sedang makan di restauran depan kantorku."Eh kamu, Lisa. Amira nggak bisa ikut, Lisa. Karena Amira sedang mengurus Ibu yang sakit di rumah," jawabku.Aku menjawab apa adanya, kepada teman istriku itu. Tapi ternyata si Lisa malah datang menghampiriku, entah di sengaja atau tidak, kami bisa bertemu di restauran saat ini. Lisa datang dengan gaya berjalannya yang begitu gemulai seperti seorang model, yang sedang berada di atas catwalk.Aku begitu terpana, saat melihat kemolekan tubuh Lisa, yang terpampang nyata dengan memakai baju yang minim bahan. Tapi aku berpura-pura kembali fokus menyantap makanan, yang terhidang di atas meja. Aku kembali mengontrol diri, yang tadi sempat tersihir oleh penampilan Lisa yang aduhai. Sebab istriku Amira tidak pernah berpenampilan seperti ini. Ia selalu berpakaian sar'i, sehingga saat aku melihat penampilan Lis
"Oh begitu ya, Mbak. Ya sudah nggak apa-apa, tapi lain kali kalau ada orang yang seperti itu lagi, sebaiknya dikonfirmasi dulu ke orang yang ditunjuknya. Barangkali saja mereka itu bukan saudaranya, tetapi berniat untuk menipu dan memeras orang lain. Maaf, ya Mbak, ini cuma saran dari aku. Ini, Mbak, uangnya," kataku lagi sambil memberikan uang sebesar tiga ratus lima puluh ribu."Iya maaf ya, Mbak. Aku kira kalian memang saudara, sebab tadi aku lihat kalian mengobrol," ucapnya.Ia begitu tidak enak, sebab telah berbuat teledor. Karena ia tidak menanyakan terlebih dahulu kepadaku."Sudah nggak apa-apa, kembaliannya buat kamu saja. Ya sudah aku permisi dulu ya, assalamualaikum," pamitku."Waalaikumsalam, terima kasih, ya Mbak. Semoga rezekinya makin berlimpah," sahutnya dengan begitu sumringah.Aku pun segera pergi dari kafe tersebut, menuju kafe yang dimaksud Mas Rendi. Aku datang sendirian menggunakan sepeda motor. Mas Rendi tidak menjemputku, sebab ia juga datang dari luar kota dan
"Tante, Linda mau pulang saja. Nggak ada gunanya Linda berlama-lama di sini. Sebab sepertinya Tante juga malah lebih membela perempuan ini, ketimbang Linda," ujar Linda merajuk."Ya sudah, Linda, kalau kamu mau pulang ya tinggal pulang saja," sahut Mamanya Mas Rendi. Setelah berkata seperti itu, Linda pun langsung pergi. Ia pergi, tanpa permisi lagi kepada kami. Padahal Si Linda itu kan seorang anak pengusaha, otomatis sekolah ia juga juga tinggi. Tapi entah kenapa, etikanya tersebut tidak dipakai olehnya? Bahkan untuk sekedar berpamitan secara sopan saja ia tidak mau. Aku hanya geleng-geleng kepala, saat melihatnya seperti itu. Sepeninggal Linda, aku kembali ditanyai ini dan itu oleh Mamanya Mas Rendi. Aku pun menjawab seadanya, tanpa mau menutupi apa pun juga.Sepeninggal Linda, aku pun segera menjawab pertanyaan Bu Marta, yang meminta aku agar mau menjadi istrinya Mas Rendi. Jujur aku juga bingung, tapi demi menjaga perasaan semua orang, aku pun menjawab untuk mencari aman."Beg
"Ya sudah, Amira, ayo kita pegi," ajak Mas Rendi."Rendi, berani kamu melangkahkan kaki dari rumah ini. Mama tidak akan pernah, mengizinkan kamu untuk kembali ke rumah ini lagi! Silakan saja kamu mencoba memjadi orang susah diluaran sana, jika kamu mampu" ancam Mama Mas Rendi."Mama pikir aku takut, jika jadi orang miskin? Tidak, Mah, aku tidak takut. Jika memang begitu maunya Mama, mulai sekarang Rendi tidak akan pulang ke rumah ini lagi. Rendi benar-benar kecewa sama Mama, Rendi tidak menyangka, kalau Mama memiliki sifat seperti itu. Mama hanya menilai orang itu dari segi derajatnya saja," lontar Mas Rendi.Aku tidak menyangka sama sekali, jika Mas Rendi akan mengambil keputusan seperti itu. Mas Rendi berani mengambil keputusan yang dapat merugikan dirinya sendiri, hanya karena ia tidak suka melihat aku ditindas olehh ibunya."Ini semua gara-gara kamu, hingga membuat Mas Rendi melawan Mamanya," tuding Linda kepadaku. Ia berkata sambil menunjuk ear "Linda, kamu tidak perlu menyalahk