"Nah, bagaimana, Mbak? Apa Mbak sudah siap dengan semua itu? Mbak bisa masuk penjara lho Mbak, Mbak akan mendekam di tahanan selama sembilan bulan. Menurutku sembilan bulan itu waktu yang lama, apalagi untuk wanita aktif sepertimu, Mbak. Kamu jan setiap harinya selalu ingin keluar rumah, walau hanya sekedar berjalan-jalan, atau ketememuan dengan teman-teman. Apa kami bisa? Makanya kamu itu pikir-pikir dulu jika memang mau bertindak," timpalku."Amira, si Iren itu tidak punya ot*k, yang ada di pikirannya itu hanya uang dan kesenangan. Ia tidak peduli, walaupun semuanya itu bisa berakibat fatal baginya. Soalnya pikiran dia, sudah pindah ke dengkul." Mas Raka mengomentari perkataanku.Mbak Iren tidak menjawab perkataan Mas Raka, atau pun ucapanku. Ia kini fokus terhadap apa yang sedang ia lakukan, yaitu memindai perlengkapannya ke dalam koper. Selesai berkemas, kami semua langsung mengantar Mbak Iren ke rumah orang tuanya.Di hadapan orang tuanya, Mas Raka langsung memberitahu duduk pe
"Bu, Pak, maafkan Raka ya," ucap Mas Raka, disela-sela tangisnya."Lho, kenapa kamu minta maaf, Nak? Memangnya apa yang telah kamu lakukan?" tanya Ibu heran.Mas Raka bukannya menjawab, tetapi ia malah terdiam sejenak. Ia menarik napas dengan begitu dalam, seakan merasa sesak saat akan mengatakan mengungkapkannya."Mas, ayo dong kamu jawab? Kenapa kamu meminta maaf," tanyaku ikut nimbrung."Jadi begini, ternyata benar apa yang dikatakan Rian, kalau Natan ini bukan anak bandung Raka. Tetapi anak kandung dia hasil dari perselingkuhan Iren dengannya. Jujur Raka terpukul dengan semua ini, Raka kecewa. Jika ternyata anak yang selama ini Raka banggakan dan Raka cintai itu anak orang lain. Raka benar-benar tidak bisa memaafkan, perbuatan Iren sampai kapanpun," terang Mas Raka."Astagfirullah, jadi Natan bukan cucu kami," tanya Ibu.Mas Raka menjawab pertanyaan Ibu hanya dengan anggukkan. Benar feeling-ku, kalau Natan ini bukanlah anak kandung Mas Raka. Aku bisa melihat Mas Raka yang menan
[Iya, Mas, mungkin sudah menjadi nasib kami begini,] balasku.[Kalian sabar ya, orang sabar rezekinya pasti lancar,] ujar Mas Rendi lagi.Aku pun mengamini perkataannya, sebab ucapan yang baik ya wajib kita amini. Karena itu merupakan doa untuk kita.***"Amira, kamu mau nggak bekerja di oerusahaanku?" tanya Mas Rendi, saat ia berkunjung ke rumahku."Sebagai apa, Mas?" tanyaku."Menjadi asisten pribadiku, kalau aku mau pergi ke mana pun kamu juga harus ikut serta. Kira-kira kamu mau nggak?" tanya Mas Rendi.Aku pun bingung mesti menjawab apa, sebab aku juga memang sedang membutuhkan pekerjaan. Aku juga tidak mungkin, harus terus-menerus numpang hidup kepada Mas Raka. Aku tetap harus mempunyai penghasilan sendiri.Walau Mas Romi masih tetap suka mengirimi uang sebulan sekali, tetapi itu uang untuk kebutuhan Azka. Aku tidak mungkin memakainya untuk diriku, sebab bukan hak aku lagi dinafkahi sama Mas Romi. "Ya sudah, Mas. Aku mau. Aku akan mencoba, bekerja sebagai asisten pribadimu," un
"Iya, Mas, aku suka. Ukurannya juga pas banget, kok kamu pandai ya Mas mengukur baju yang pas untukku?" tanyaku balik dengan sedikit heran kepadanya."Siapa dulu dong, Rendi," ujarnya sambil membusungkan dadanya.Aku pun tersenyum, melihat tingkah Mas Rendi yang terkadang kocak."Iya, Mas, kamu memang pandai," pujiku."Ya iya dong, Mira. Walaupun aku belum pernah melihat, eh menanyai ukuran bajumu. Tapi aku sudah tau, ukuran baju kamu itu nomer berapa?" sahutnya lagi.Mas Rendi sempat salah mengucap, entah apa yang mau dia ucapkan tadi, sehingga ia meralatnya."Mas, kamu sudah memilih baju buat kamu?" tanyaku."Aku inginnya kamu, yang memilihkan buat aku. Gantian dong, mau nggak?" tanya balik Mas Rendi.Aku pun mengiyakan, kemudian aku memilih pakaian dan celana buat Mas Rendi, yang senada dengan bajuku, yang tadi dipilihkan oleh Mas Rendi."Mas, bagaimana dengan yang ini, kamu cocok nggak?" tanyaku."Bagus, tapi sebentar aku coba dulu. Kali aja ukurannya tidak sesuai," ujarnya.Kem
"Tapi lihat, siapa yang mendampingi dia? Itu Tuan Rendi, anak pengusaha terkaya sepuluh besar di Indonesia," bisik Ibu yang lainnya. Walau berbisik, tetapi masih terdengar jelas di telingaku. Karena keberadaanku dengan mereka, juga tidak terlalu jauh jaraknya. Mas Rendi di sambut oleh para tamu undangan lainnnya, ia merupakan tamu kondangan paling terhormat di sini.Mas Rendi begitu sibuk dengan para tamu Mas Romi, yang kebanyakan klien perusahaannya. Dari pelaminan, aku melihat Mas Romi terus memandangiku. Ia sepertinya kaget, saat melihat kedatanganku bersama dengan Mas Rendi. Apalagi saat melihat penampilanku, yang berbeda dari biasanya. Rita dan Risma pun tidak berbeda jauh dengan yang lainnya. Mereka berdua juga memperhatikan aku dan juga Mas Rendi, yang banyak sekali orang yang mengenal kami."Mas, selamat ya, akhirnya kalian menikah juga. Kalian tidak perlu capek-capek ngumpet lagi untuk ketemuan, sebab sekarang kalian akan setiap hari akan bertemu. Bahkan mungkin, kalian ak
"Oh, jadi karena dia, kamu sampai sekarang belum menikah dan menolak perjodohan dengan Linda? Memangnya dia itu anaknya siapa sih, sampai kamu berani menolak perjodohan dengan wanita yang Mama pilihkan?" Bu Marta bertanya kepada Mas Rendi, tentang alasan Mas Rendi menolak perjodohan tersebut."Lho ... dari mana Mama tahu, kalau aku belum menikah itu karena aku menunggu Amira? Mama pasti mendapat laporan dari Linda, iya kan Mah?" tanya balik Mas Rendi.Iya bertanya kepada Mamanya, dari mana dia bisa mendapat berita, tentang aku dan Mas Rendi tersebut."Kalau iya memangnya kenapa, Rendi? Sepertinya apa yang diucapkan Linda itu benar, kalau perempuan yang kamu bawa ini, hanya seorang gadis biasa. Ia bukanlah anak atau keturunan dari seorang pengusaha, iya kan," tanya Bu Marta lagi terus mendesak."Maksud Mama apa, kok menanyakan Amira anak siapa? Amira memang bukan anak seorang pengusaha, Mah, orang tuanya juga hanya orang biasa. Memangnya salah ya, Mah, kalau aku menjalin pertemanan, ata
"Ya sudah, Amira, ayo kita pegi," ajak Mas Rendi."Rendi, berani kamu melangkahkan kaki dari rumah ini. Mama tidak akan pernah, mengizinkan kamu untuk kembali ke rumah ini lagi! Silakan saja kamu mencoba memjadi orang susah diluaran sana, jika kamu mampu" ancam Mama Mas Rendi."Mama pikir aku takut, jika jadi orang miskin? Tidak, Mah, aku tidak takut. Jika memang begitu maunya Mama, mulai sekarang Rendi tidak akan pulang ke rumah ini lagi. Rendi benar-benar kecewa sama Mama, Rendi tidak menyangka, kalau Mama memiliki sifat seperti itu. Mama hanya menilai orang itu dari segi derajatnya saja," lontar Mas Rendi.Aku tidak menyangka sama sekali, jika Mas Rendi akan mengambil keputusan seperti itu. Mas Rendi berani mengambil keputusan yang dapat merugikan dirinya sendiri, hanya karena ia tidak suka melihat aku ditindas olehh ibunya."Ini semua gara-gara kamu, hingga membuat Mas Rendi melawan Mamanya," tuding Linda kepadaku. Ia berkata sambil menunjuk ear "Linda, kamu tidak perlu menyalahk
"Tante, Linda mau pulang saja. Nggak ada gunanya Linda berlama-lama di sini. Sebab sepertinya Tante juga malah lebih membela perempuan ini, ketimbang Linda," ujar Linda merajuk."Ya sudah, Linda, kalau kamu mau pulang ya tinggal pulang saja," sahut Mamanya Mas Rendi. Setelah berkata seperti itu, Linda pun langsung pergi. Ia pergi, tanpa permisi lagi kepada kami. Padahal Si Linda itu kan seorang anak pengusaha, otomatis sekolah ia juga juga tinggi. Tapi entah kenapa, etikanya tersebut tidak dipakai olehnya? Bahkan untuk sekedar berpamitan secara sopan saja ia tidak mau. Aku hanya geleng-geleng kepala, saat melihatnya seperti itu. Sepeninggal Linda, aku kembali ditanyai ini dan itu oleh Mamanya Mas Rendi. Aku pun menjawab seadanya, tanpa mau menutupi apa pun juga.Sepeninggal Linda, aku pun segera menjawab pertanyaan Bu Marta, yang meminta aku agar mau menjadi istrinya Mas Rendi. Jujur aku juga bingung, tapi demi menjaga perasaan semua orang, aku pun menjawab untuk mencari aman."Beg