"Iya, Amira, makanya kamu harus tetap berhati-hati. Sebab kita tidak tau siapa yang kita hadapi diluar sana," ujar Mas Rendi.Aku hanya mengangguk, menanggapi perkataan Mas Rendi. Karena apa yang dia ucapkan itu memang benar adanya, serta kenyataannya seperti itu. Setelah berbasa- basi aku pun pamit pulang kepada Mas Rendi, sebab hari sudah beranjak sore. Mas Rendi pun berniat untuk mengantar aku pulang, tetapi aku menolaknya. Karena aku takut malah akan menjadi permasalahan baru, bahkan aku tidak menjamin akan menjadi ocehan orang pada akhirnya. Apalagi aku belum resmi bercerai dengan Mas Romi.***"Amira, dari mana saja kamu? Kok sore-sore begini baru pulang sih? Aku kira kamu itu, tidak akan pulang lagi ke sini?" tanya Mbak Iren. Ia bertanya, sambil memasang wajah tidak suka kepadaku.Aku merasa heran, serta menaruh curiga kepada Mbak Iren. Karena dengan perkataan yang diucapkan oleh Kakak iparku tersebut, ada bahasa yang seolah dia tidak senang, saat melihat kedatanganku. Apa ja
"Terus bagaimana, apa pria yang menolongmu itu temanmu atau bukan?" tanya Mbak Iren."Iya, Nak, coba teruskan ceritanya,"pinta IbuRupanya Mbak Iren maupun Ibu juga penasaran, saat mendengar ceritaku tentang kejadian tadi. Hingga mereka ingin aku meneruskan ceritaku."Nah, jadi begini Bu kelanjutannya. Ternyata orang yang dimaksud perempuan tadi itu adalah benar Amira teman dia. Kami berdua saling mengenal, Bu. Kami bahkan sahabatan sejak SMA, lagian juga kalau menurut Amira kedua preman itu aneh banget, Bu. Kalau bukan settingan, masa iya sih mereka capek-capek nodong, hanya menginginkan ponsel doang. Padahal motor Amira kan ada, kalau dijual juga lakunya lebih besar daripada jual handphone. Bener nggak, Bu?" tanyaku, setelah aku membeberkan apa yang aku alami tadi."Hooh ya, Nak, menurut Ibu juga rasanya janggal banget. Masa iya mereka cuma mau handphone doang, yang harganya tidak seberapa. Sedangkan motor dibiarkan begitu saja, ini pasti karena mereka memang ada yang menyuruhnya."
Mbak Iren pun terdiam, setelah aku mengucapkan semua itu. Mungkin dia pikir, kalau aku tidak secerdas ini. Makanya ia berkata, sambil mengancamku. Mbak Iren mungkin berpikir, kalau aku memiliki bukti hanya masalah perselingkuhannya saja. Padahal aku juga memiliki bukti banyak, tentang perlakuan kasarnya dan sikap tidak sopannya terhadap orang tuaku. Suatu saat, kalau waktunya sudah tepat, aku pasti akan akan membongkar itu semua. Apalagi aku tau, kalau ternyata Mbak Iren bukanlah wanita psikopat seperti yang selama ini Ibu takutkan.Mbak Iren sengaja bersikap seperti itu, hanya untuk membuat orang tuaku takut kepadanya, serta tidak melaporkan perbuatannya kepada suaminya. Tetapi bisa saja ia menjadi buas, jika ternyata dia sudah merasa tertekan oleh keadaan."Ya sudah, Mbak, aku pamit mandi dulu! Aku harap Mbak pikirkan baik-baik, jika Mbak mau mengambil tindakan. Mbak jangan pernah berpikir untuk berbuat kasar, baik itu kepadaku atau keluargaku karena bisa fatal akibatnya. Apabila M
Karena hari ini Azka memintaku untuk pergi rekreasi bersama keluargaku dan juga keluarga Mas Romi ke tempat yang sama. Kebetulan juga tiga hari ini Azka libur sekolah, sebab hari jumat kemarin gurunya ada rapat, sedangkan sabtu dan minggu berurutan tanggal merah, sehingga Azka libur tiga hari ini.Sesampainya di ruang tamu, aku pun segera membuka pintu rumah. Namun, aku begitu kaget, siapa tamu yang datang saat ini."Mas Rendi, kok kamu ada di sini?" tanyaku."Kenapa, Amira? Kok kamu sepertinya kaget banget, melihat aku ada di depan rumahmu? Bukankah rumah ini dulunya adalah tempat singgahku, ketika aku sudah mengajarimu bela diri?" tanya balik Mas Rendi.Mas Rendi malah balik bertanya, saat aku bertanya kenapa ia ada di depan rumahbirang tuaku. Aku bertanya demikian, bukan karena apa-apa? Tetapi itu terjadi, ekspresi dari kekagetan aku. Jujur saja, aku merasa tidak percaya, jika saat ini Mas Rendi mengunjungi rumah orang tuaku lagi. Karena sudah hampir sepuluh tahun, ia tidak perna
Rupanya ia kepo, dengan kedekatan aku dan juga Mas Rendi. Karena selama ini aku tidak pernah membahas apa-apa, tentang semua ini. Bukan niat aku mau menyembunyikan semuanya, tetapi karena dulu Mas Rendi tidak ada kabar beritanya. Jadi pikirku, aku tidak perlu memberitahu Mas Romi, tentang hal tersebut. Karena aku tidak mau dianggap mengaku-ngaku, mengenali seorang anak dari pengusaha ternama tersebut.[Buat apa? Memangnya apa untungnya, jika aku memberitahu kamu tentang Mas Rendi? Sudahlah nggak usah chat aku, kalau Mas berani ngomong langsung saja sama orangnya,] pungkasku.[Ih kamu ini,] balas Mas Romi, yang tidak aku balas lagi.Malas sekali rasanya, jika harus membalas pesan Mas Romi tersebut. Aku pun memasukan handphoneku ke dalam tas, sebab aku tidak lagi membalas chat dari Mas Romi.Setelah itu, aku kembali mengobrol dengan semua keluargaku, termasuk Bu Rahma. Adik-adik Mas Romi pun mendadak sopan kepadaku. Mungkin karena aku datang bersama dengan putra pemilik perusahaan te
Bu Rahma panjang lebar menuturkan rasa kecewanya, terhadap ketiga anaknya tersebut. Sedangkan Mas Romi, Rita dan juga Risma, yang mendengar penuturan Ibunya tersebut hanya tertunduk tanpa berbicara sepatah kata pun. Mungkin mereka semua malu, sebab mereka sedang dikuliti boroknya oleh Ibu kandungnya sendiri dihadapan kami. Apalagi saat ini ada Mas Rendi, yang merupakan orang luar. Mas Rendi juga orang yang berpengaruh, terhadap bisnis yang sedang mereka geluti. Menurut pemikiranku, ketiga orang ini memang begitu keterlaluan, bisa berbuat seperti itu terhadap Ibunya sendiri.Karena tidak ada satu orang pun dari mereka semua, yang mau merawat Ibunya sendiri. Mereka tidak sadar, jika mereka bisa tumbuh besar dan menjadi seperti sekarang itu bukan karena tumbuh sendiri. Tetapi karena mereka dirawat dan dibesarkan oleh seorang Ibu, dengan penuh kasih dan sayang. "Bu, sudahlah, Ibu jangan bersedih lagi. Biar pun Amira bukan anak kandung Ibu, tetapi Amira sudah menganggap Ibu itu adalah or
"Iya, Mas," kataku.Setelah memberikan Natan kepadaku, Mas Raka pun segera menghampiri Mbak Iren, yang sedang berada dipelukan pria lain. "Oh, jadi toiletnya ada di sini, ya Iren. Toiletnya bagus banget ya, pantas kamu betah. Soalnya, toiletnya bisa sambil makan kue balok, sambil dipelukin orang," sungut Mas Raka, dengan sorot mata yang penuh amarah."M-Mas Raka, kok kamu tau aku ada disini?" tanya Mbak Iren gugup."Kenapa, Iren, kamu kaget ya?" tanya balik Mas Raka.Mas Raka bertanya, dengan sorot mata yang sangat tajam, hingga dapat menembus jantung Mbak Iren. Mbak Iren yang tadinya sedang berada di pelukan pria lain, saat ini tengah berdiri dan menghampiri suaminya. Aku yakin dia akan merayu suaminya."Mas, aku harap kamu tidak berpikiran jelek tentang aku ya. Karena semua ini tidak seperti yang Mas pikirkan. Aku hanya sedang menemui teman semasa sekolahku dulu," ujarnya."Kamu bilang mau menemui teman, tapi kok pamitnya mau ke toilet? Sekarang setelah bertemu teman, kok kalian b
Ia menatapku penuh tanda tanya, serta menginginkan kejujuran dariku."Iya, Mas, aku telah mengetahuinya. Bahkan aku sudah banyak bukti, tentang perbuatan Mbak Iren. Hanya saja aku selalu tidak memiliki waktu untuk memberitahumu, Mas. Apalagi Mbak Iren juga selalu mengancam, akan melukai Ibu dan Bapak, serta anak-anak, jika aku sampai memberitahumu tentang semua perbuatannya ini." Aku berterus terang mengatakan semuanya kepada Kakakku."Amira, kamu sudah berani ya membongkar semuanya? Awas kamu, kamu akan merasakan akibat dari kelancangan kamu ini," ancam Mbak Iren."Berani kamu menyakiti keluargaku, kamu berhadapan langsung dengan aku. Apalagi kamu mengatakan semua ini di tempat umum, jadi jika ada sesuatu terhadap keluargaku, polisi tidak akan susah mencari pelakunya. Mereka akan menganggap kamu pelakunya, walaupun kamu sana sekali tidak melakukannya. Makanya berhati-hatilah dengan ucapanmu, Iren," pesan Mas Raka.Mas Raka pun mengancam balik istrinya, hingga membuat Mbak Iren, yang