Aurel meringis saat mengolesi salep pada lukanya, bahkan tanpa ia sadari, air mata keluar dari kedua matanya. "Duh, kayak gini aja nangis! cengeng!" gerutunya sembari mengusap air matanya. "Bagaimana apa sudah selesai?" Aurel kaget saat mendengar suara pintu terbuka dan Zain yang bertanya. Ssshhhtttt.... Aurel meringis karena kain yang bergesekan kasar pada lukanya. Karena terkejut, Aurel segera menutup pahanya dengan kasar. "Ah, maaf! aku kira kau sudah selesai!" ucap Zain merasa bersalah. "Saya sudah selesai Tuan, maaf merepotkan!" jawab Aurel cepat dan segera berdiri. "Apa masih sakit?" tanya Zain penuh perhatian. Aurel menggeleng cepat dan membereskan kotak obat yang tadi ia pakai. "Sudah biarkan, lebih baik kita makan siang dulu!" Zain segera mengambil alih kotak obat itu dan menaruh makanan diatas meja. Ia mengajak Aurel untuk makan bersama. Aurel yang memang sudah merasa lapar, tak menolak ajakan atasanya ini. Mereka makan dengan tenang, tak ada yang bersuara, hingg
Bram melihat kearah Aurel yang baru saja datang , ia memasang senyum manisnya dan dibalas tak kalah manis oleh wanita itu. "Bram, sepertinya aku harus segera pulang!" ucap Aurel merasa tak enak. "Baiklah, tapi sebelum itu kau harus menghabiskan minuman mu! jikantidak, maka aku akan sangat marah!" Aurel berdecak, namun masih tetap meminum minuman nya. Bram yang melihat minuman Aurel sudah habis pun, tersenyum penuh arti. "Lihatlah, gelasnya sudsh kosong!" ucap Aurel sembari menuangkan gelas yang ia pegang sudah kosong. "Kalau begitu aku sudah boleh pulang kan?" tanya Aurel. "Ya, terima kasih karena sudah mau meluangkan waktumu!" ucap Bram. Aurel hanya mengangguk dan segera beranjak dari tempat duduknya. Saat berdiri, Aurel tiba-tiba memegangi kepalanya karena merasa sangat pusing. Aurel samar mendengar suara bariton memanggil namanya, lalu setelah itu ia merasa pandangan nya buram dan berwarna gelap, setelah itu ia tak mengingat apapun. Bram tersenyum penuh arti, kala Aurel be
Zain menarik pinggang Aurel dan membuat tidak ada jarak diantara mereka. Zain menatap lekat wajah Aurel yang terlihat sangat cantik. "Cantik," puji nya sembari menyentuh wajah Aurel dengan jari telunjuknya dengan sangat lembut. Ini pertama kalinya Zain memuji wanita lain selain Zalora. Selama ini, dimatanya hanya Zalora wanita paling cantik. Tetapi, dengan Aurel ia mengakui kecantikan wanita itu. Bahkan, setelah Zalora meninggal ia tidak pernah tertarik dengan wanita lain. Tetapi dengan Aurel, jujur ia tertarik. Jari telunjuk yang membelai wajah Aurel dengan lembut, kini berhenti tepat di bibir ranum Aurel. Tanpa banyak kata, Zain melumat lembut bibir yang sedari tadi menggodanya. Zain menggigit bibir bawah Aurel agar sedikit terbuka. Mendapat celah, Zain memasukkan lidahnya dan mengabsen setiap benda yang ada dalam mulut Aurel. Eenngghh... Terdengar lenguhan kecil, keluar dari mulut Aurel saat Zain menghisap kuat lidah Aurel. "Manis," ucap Zain saat dirinya sudah melepas pag
"Ya ini aku, kau kira siapa? jangan bilang, kau tidak mengingat kegiatan kita semalam! atau mau aku ingatkan?" Mendengar hal itu, mata Aurel seketika melebarkan matanya. Ia tak percaya jika Zain bisa berbicara seperti itu. Zain mencuri satu kecupan di pipi Aurel karena gemas, melihat Aurel dengan muka merahnya. Entahlah, rasanya ia ingin menciumi seluruh wajah Aurel dengan gemas. Tetapi, sekuat tenaga ia tahan. Ia tak ingin, membuat Aurel takut dengan nya. Dia harus membicarakan tentang kejadian semalam. Zain akan bertanggung jawab atas apa yang sudah diperbuatnya. "T-tuan, apa yang Anda.... ""Sudahlah, bersihkan dirimu! ayo kita bicarakan di luar! aku tak ingin kehilangan kendali, apalagi kau memarkan tubuhmu dihadapanku!" ucap Zain sembari melihat kebawah.Aurel mengikuti arah pandang Zain, betapa terkejutnya dirinya saat melihat kedua buah dadanya terekspos jelas. Aurel segera menarik selimut nya yang melorot, dan mencengkram erat selimut itu. Ia benar-benar merutuki kebodoha
Selama perjalanan, hanya keheningan menemani mereka. Tak ada yang mau memulai pembicaraan. Mereka berdua larut dalam pikiran mereka masing-masing. Hingga mobil yang mereka tumpangi sampai di depan rumah Aurel. Disana bahkan, nampak Abi yang tengah berjalan mondar-mandir sembari memegang ponselnya. Raut wajahnya terlihat sangat kawatir. Bagaiman tidak? adiknya semalaman tidak pulang dan memberi kabar. Ditambah, ponsel Aurel tidak bisa dihubungi. Aries menghentikan langkahnya saat mendengar suara mesin mobil berhenti di tera rumahnya. Ia menatap seksama dan penuh tanya siapa pemilik mobil itu. Aurel tidak langsung turun, dia masih memikirkan apa yang harus ia jelaskan pada sang kakak. Dia tidak bisa berbohong, karena Abi memang tidak mudah untuk dibohongi. "Kau tidak ingin turun? lihatlah, kakakmu terlihat sangat kawatir, " ucap Zain menatap ke arah Abi yang menghampiri mobilnya. Aurel menghembuskan nafas kasar dan menatap Zain, "Aku harap, Tuan tidak mengatakan apapun tentang ke
Setelah menjelaskan semuanya, Abi merasa sedikit lega. Karena Zain mau menerima kekurangan dan akan berusaha untuk mengambil hati Aurel. Zain sudah mantap dengan keputusan nya. Dia ingin menikahi Aurel, sebagai bentuk tanggung jawabnya. Meski, belum ada rasa cinta, namun dengan seiring berjalan nya waktu, rasa itu akan tumbuh diantara mereka berdua. Zain pamit untuk pulang, karena dia ada keperluan mendesak. Tetapi, dia akan berjanji untuk menemui Aurel dan memulai untuk meyakinkan wanita itu untuk mau menikah dengan nya. Setelah mengantar Zain, Abi segera masuk dan menuju ke kamar sang adik. Dia juga harus membujuk adiknya untuk mau menerima niat baik dari Zain. Abi yakin, Zain adalah pria yang baik. Abi juga berharap, agar Aurel mau segera menikah. Dengan begitu, Aurel bisa lepas dari rasa trauma nya. Karena tidak semua laki-laki itu sama dengan mantan suaminya dulu. Abi menghembuskan nafas kasar, ia mengangkat tangan nya dan mengetuk pintu kamar sang adik. "Aurel, Kakak ingin
Aurel menghembuskan nafas kasar, ia tak menyangka harus membayar sejumlah uang yang cukup besar jika dirinya berhenti bekerja. Ia menatap Zain dengan kesal, bagaimana tidak? dulu, saat dirinya menandatangani perjanjian kontrak, tidak ada poin yang tertulis tentang dirinya harus membayar ganti rugi. "Jangan bilang, kalau ini hanya akal-akalan Tuan saja, agar saya mengurungkan niat untuk berhenti!" tuduhnya. "Sebelum menandatangani, seharusnya kau lebih teliti!" jawab Zain enteng. "Tapi, seingatku tidak ada poin tentang hal ini! lagi pula, dulu Anda yang sudah memaksa saya untuk menjadi asisten Anda!" Aurel mengingatkan hal itu."Tetap saja, kau harus mematuhi peraturan yang ada! bagaimana, apa masih tetap ingin berhenti?" tanya Zain santai. Aurel terdiam, memikirkan apa yang harus ia lakukan. Jika dia berhenti, maka dirinya harus membayar denda. Jika tidak, dia harus setiap hari bertemu dengan Zain. Itu berarti, dirinya harus siap menghadapi sikap yang mungkin berbeda dari biasan
Dengan kesal Nisa berjalan keluar dari ruangan Zain. Di depan ia berpapasan dengan Aurel, ia menatap tajam. pada Aurel dengan tatapan benci. "Ada apa?" tanya Aurel yang merasa heran dengan tatapan tajam. "Kau sudah membuatku dipecat! jadi, tunggu saja pembalasanku!" ucap Nisa dan segera meninggalkan Aurel yang masih kebingungan dengan apa yang diucapkan oleh Nisa. "Dasar aneh," gumam Aurel dan memilih mengabagaikan ucapan Nisa yang menurutnya nglantur itu. "Tuan, ini makan siang Anda!" Aurel mempersiapkan makan siang untuk Zain. Zain segera beranjak dari duduknya dan segera memakan apa yang sudah disiapkan oleh asisten pribadinya itu. Sembari menunggu Zain menikmati makan siangnya, Aurel kembali ke meja kerjanya dan memeriksa beberapa dokumen yang harus ia persiapkan untuk pertemuan nanti. Tanpa terasa waktu terus berlalu, hingga sudah saatnya untuk pulang. Aurel bergegas membereskan mejanya, ia ingin segera sampai di rumah dan segera merebahkan tubuhnya. Setelah selesai, ia s