Selama perjalanan, hanya keheningan menemani mereka. Tak ada yang mau memulai pembicaraan. Mereka berdua larut dalam pikiran mereka masing-masing. Hingga mobil yang mereka tumpangi sampai di depan rumah Aurel. Disana bahkan, nampak Abi yang tengah berjalan mondar-mandir sembari memegang ponselnya. Raut wajahnya terlihat sangat kawatir. Bagaiman tidak? adiknya semalaman tidak pulang dan memberi kabar. Ditambah, ponsel Aurel tidak bisa dihubungi. Aries menghentikan langkahnya saat mendengar suara mesin mobil berhenti di tera rumahnya. Ia menatap seksama dan penuh tanya siapa pemilik mobil itu. Aurel tidak langsung turun, dia masih memikirkan apa yang harus ia jelaskan pada sang kakak. Dia tidak bisa berbohong, karena Abi memang tidak mudah untuk dibohongi. "Kau tidak ingin turun? lihatlah, kakakmu terlihat sangat kawatir, " ucap Zain menatap ke arah Abi yang menghampiri mobilnya. Aurel menghembuskan nafas kasar dan menatap Zain, "Aku harap, Tuan tidak mengatakan apapun tentang ke
Setelah menjelaskan semuanya, Abi merasa sedikit lega. Karena Zain mau menerima kekurangan dan akan berusaha untuk mengambil hati Aurel. Zain sudah mantap dengan keputusan nya. Dia ingin menikahi Aurel, sebagai bentuk tanggung jawabnya. Meski, belum ada rasa cinta, namun dengan seiring berjalan nya waktu, rasa itu akan tumbuh diantara mereka berdua. Zain pamit untuk pulang, karena dia ada keperluan mendesak. Tetapi, dia akan berjanji untuk menemui Aurel dan memulai untuk meyakinkan wanita itu untuk mau menikah dengan nya. Setelah mengantar Zain, Abi segera masuk dan menuju ke kamar sang adik. Dia juga harus membujuk adiknya untuk mau menerima niat baik dari Zain. Abi yakin, Zain adalah pria yang baik. Abi juga berharap, agar Aurel mau segera menikah. Dengan begitu, Aurel bisa lepas dari rasa trauma nya. Karena tidak semua laki-laki itu sama dengan mantan suaminya dulu. Abi menghembuskan nafas kasar, ia mengangkat tangan nya dan mengetuk pintu kamar sang adik. "Aurel, Kakak ingin
Aurel menghembuskan nafas kasar, ia tak menyangka harus membayar sejumlah uang yang cukup besar jika dirinya berhenti bekerja. Ia menatap Zain dengan kesal, bagaimana tidak? dulu, saat dirinya menandatangani perjanjian kontrak, tidak ada poin yang tertulis tentang dirinya harus membayar ganti rugi. "Jangan bilang, kalau ini hanya akal-akalan Tuan saja, agar saya mengurungkan niat untuk berhenti!" tuduhnya. "Sebelum menandatangani, seharusnya kau lebih teliti!" jawab Zain enteng. "Tapi, seingatku tidak ada poin tentang hal ini! lagi pula, dulu Anda yang sudah memaksa saya untuk menjadi asisten Anda!" Aurel mengingatkan hal itu."Tetap saja, kau harus mematuhi peraturan yang ada! bagaimana, apa masih tetap ingin berhenti?" tanya Zain santai. Aurel terdiam, memikirkan apa yang harus ia lakukan. Jika dia berhenti, maka dirinya harus membayar denda. Jika tidak, dia harus setiap hari bertemu dengan Zain. Itu berarti, dirinya harus siap menghadapi sikap yang mungkin berbeda dari biasan
Dengan kesal Nisa berjalan keluar dari ruangan Zain. Di depan ia berpapasan dengan Aurel, ia menatap tajam. pada Aurel dengan tatapan benci. "Ada apa?" tanya Aurel yang merasa heran dengan tatapan tajam. "Kau sudah membuatku dipecat! jadi, tunggu saja pembalasanku!" ucap Nisa dan segera meninggalkan Aurel yang masih kebingungan dengan apa yang diucapkan oleh Nisa. "Dasar aneh," gumam Aurel dan memilih mengabagaikan ucapan Nisa yang menurutnya nglantur itu. "Tuan, ini makan siang Anda!" Aurel mempersiapkan makan siang untuk Zain. Zain segera beranjak dari duduknya dan segera memakan apa yang sudah disiapkan oleh asisten pribadinya itu. Sembari menunggu Zain menikmati makan siangnya, Aurel kembali ke meja kerjanya dan memeriksa beberapa dokumen yang harus ia persiapkan untuk pertemuan nanti. Tanpa terasa waktu terus berlalu, hingga sudah saatnya untuk pulang. Aurel bergegas membereskan mejanya, ia ingin segera sampai di rumah dan segera merebahkan tubuhnya. Setelah selesai, ia s
Pagi ini, Aurel sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Aurel mengurungkan niatnya untuk menggerakkan motornya, saat ada sebuah mobil berhenti di teras rumahnya.Aurel sangat mengenali siapa pemilik mobil bewarna putih itu. Bahkan, sang pemilik turun dari mobilnya dan tengah memamerkan senyumnya saat tatapan mereka saling beradu. "Kau sudah ingin berangkat?" tanya Zain. "Ya, kenapa Anda kesini?" tanya Aurel. Terkesan tidak sopan memang, tetapi Aurel merasa tidak nyaman mendapati Zain berada di rumahnya. "Tentu saja ingin menjemputmu!" jawab Zain santai. "Tidak perlu, aku bisa naik motor!" jawab Aurel. "Kalau begitu, biar aku yang ikut denganmu!""Terserah saja!" jawab Aurel dengan acuh. "Biar aku yang mengendarainya!" Zain menyuruh Aurel untuk geser kebelakang dan memakaikan helem ke Aurel. Aurel hanya diam saja tak menolak, percuma saja jika ia menolak pasti Zain dengan seribu alasan nya akan ia keluarkan. Sementara Aurel, sedang malas untuk berdebat. Setelah dirasa siap, Z
Byur... Seketika Aurel membuka matanya, saat merasakan ada air yang mengguyur tubuhnya. Benar saja, di depannya ada dua orang pria salah satunya memegang sebuah ember kosong. Ia yakin, air itu sudah disiramkan ke tubuhnya sehingga membuatnya basah kuyub. Ia mengerutkan keningnya, menatap kedua pria yang tak dikenalnya. "Siapa kalian dan mau apa kalian?" tanya Aurel sembari menggerakkan tubuhnya, namun tak bisa karena tangan dan kakinya terikat. "Kau tak perlu tahu siapa kami, yang jelas sebentar lagi kita akan bersenang-senang!" jawab salah satu dari mereka dengan seringaian mesumnya. "Apa maksud kalian? lepas!" Aurel berusaha melepaskan tali yang mengikat tubuhnya, namun tidak bisa. Mereka tertawa melihat Aurel yang terlihat ketakutan sembari terus bergerak-gerak berusaha melepas ikatannya. "Hei, jangan membuatnya takut!" sela seorang wanita yang sudah muncul dari belakang kedua pria asing itu. "Maaf Nona," jawab mereka serempak. "Nisa, tolong aku!" Aurel berharap wanita itu
"Nona, minumlah dulu!" Marvel menyodorkan sebotol air mineral kepada Aurel. Tanpa banyak kata, Aurel menerima air itu dan segera meneguknya. Sungguh, dia sangat mengkhawatirkan keadaan Zain saat ini. Pikiran buruk terus menghantuinya. "Terima kasih," ucapnya setelah meneguk habis air dalam botol itu. Matanya menatap Marvel, lalu beralih pada ruang UGD dimana Zain di rawat. Pandangan nya sendu dan penuh kekhawatiran. "Tak perlu kawatir Nona, tuan Zain pasti baik-baik saja!" Marvel mencoba menenangkan Aurel. "Kau yakin Marvel? aku sangat takut jika terjadi sesuatu padanya!" ungkap Aurel jujur. Marvel menghembuskan nafas kasar, jujur dirinya juga merasa kawatir pada atasan nya itu. Tetapi ia yakin tuan nya pasti baik-baik saja. Mengingat, itu hanyalah pukulan kecil bagi tuan nya itu. "Ya," jawab Marvel singkat. Meski sudah mendapat jawaban dari Marvel, tidak menyurutkan rasa kawatirnya terhadap Zain. Berbagai pikiran buruk terus menghantuinya. "Aurel," panggil seseorang yang sud
Aurel terdiam mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Zain. Ia menatap tepat di kedua bola matanya. "Tuan dengar semuanya? jangan bilang Tuan hanya pura-pura tidur tadi!" tanya Aurel penuh selidik. "Sebenarnya aku sudah bangun sejak lima menit yang lalu dan aku tak sengaja mendengar percakapan kalian! jadi, kapan kita akan menikah?" tanya Zain dengan santai. "Kenapa tidak langsung membuka mata dan memanggil kami? Tuan tahu bagaimana kawatirnya kami?" kesal Aurel dan enggan menjawab pertanyaan Aurel. Jujur dia sangat malu dengan apa yang ditanyakan oleh Zain, dia juga belum siap untuk memberitahu kapan dia akan menikah dengan Zain. "Jika aku memanggil kalian, ucapan persetujuan untuk menikah denganku tidak akan pernah ada! jadi, kapan kau siap untuk menikah denganku?" Lagi-lagi Zain melontarkan pertanyaan yang sama, karena sedari tadi Aurel seolah enggan untuk menjawab pertanyaan nya. "Seminggu lagi, kalian akan menikah!" kali ini Rindu yang menjawab dengan tegas. "Apa? ini