Sanggupkah dirimu jika harus mengurus anak tiri yang mengidap down syndrome? Tidak kah kamu akan berpikir berulang kali untuk menikah dengan seorang duda yang memiliki anak istimewa itu? Ranum, wanita baik hati bersedia melakukan semua itu. Dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, Ranum merawat Cahaya layaknya anak sendiri. Tidak ada rasa jijik sama sekali pada diri wanita itu dalam mengurus Cahaya. Dia menganggap apa yang dia lakukan pada putri suaminya itu adalah bentuk bakti pada laki-laki yang menikahinya. Namun, nyatanya keihklasan serta ketulusan Ranum dibalas dengan begitu menyakitkan oleh Sandi dan mantan istrinya. Dua sejoli yang pernah memiliki hubungan pernikahan itu nyatanya mengkhianati Ranum dengan cara menjalin hubungan gelap. Mereka bermain api yang pada akhirnya membakar kehidupan mereka sendiri.
View More"Nda ... jangan masuk. Stttt ...."
Aku mengerutkan kening ke arah Cahaya yang mencegahku untuk masuk ke kamar. Gadis itu menggelengkan kepala dengan jari telunjuk di bibir menyuruhku tidak berisik.
Tangan yang sudah menempel pada gagang pintu, terpaksa aku tarik dan berdiri tegak di depan gadis lima belas tahun itu.
"Kenapa, Bunda tidak boleh masuk?" tanyaku kemudian.
"Ayah lagi bobok sama Mama, Nda."
Deg!
Aku tersentak kaget dengan jawaban dari bibir Cahaya. Jantungku berhenti berdetak untuk beberapa detik, hingga akhirnya aku menarik napas panjang seraya menatap daun pintu yang tertutup rapat.
'Mas Sandi bersama Mawar di dalam kamar?'
Pikiranku langsung buruk pada dua orang berlainan jenis kelamin yang berstatuskan mantan pasangan itu.
"Nda, main sama Aya, yuuuuk. Aya, gak ada temannya," ujar Cahaya menarik tanganku dengan wajah imutnya.
Aku membungkukkan badan, mengusap surai hitam milik gadis itu, lalu menyuruhnya masuk ke dalam kamar pribadinya. Aku meminta Cahaya menggambar sebuah kupu-kupu besar agar dia tidak melihat apa yang seharusnya tidak dia lihat.
Setelah Cahaya masuk ke dalam kamarnya, aku menyiapkan hati jika nanti apa yang aku lihat memang melukai sanubari. Tidak akan ada penampakan indah, selain kenyataan yang menyakitkan jika aku membuka pintu kamar itu.
Tidak mungkin, bukan, dua orang dewasa hanya tidur tanpa melakukan apa-apa di dalam sana? Hanya berdua, dan pernah menjadi pasangan suami istri.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya kasar. Dengan satu entakkan tangan aku memutar dan membuka pintu hingga apa yang aku pikirkan akhirnya terjawab.
"Astaghfirullah ...!" ujarku lantang.
Dua sejoli yang tengah terlelap dalam satu selimut terlonjak kaget saat mataku menyoroti keduanya.
Miris. Kedua tubuh itu hanya dibalut selimut, tanpa ada pakaian yang menempel sehelai pun.
"Ra–ranum!" ucap Mas Sandi terbata.
"Kurang ajar! Jadi ini yang kalian lakukan jika aku tidak ada di rumah? Ini yang kalian lakukan jika lengah dariku?!"
Dengan emosi yang memuncak, aku menghampiri kedua manusia tak beradab itu dan menarik selimut yang menutupi tubuh polosnya.
"Num, aku bisa menjelaskan semuanya. Tolong jangan salah paham!" ujar suamiku.
"Salah paham katamu? Apanya yang salah? Jelas-jelas aku melihat pemandangan yang menjijikkan di sini! Dasar tidak tahu malu, kalian binatang! Bisa-bisanya melakukan perbuatan ini di rumahku!!" Aku berteriak kencang dengan air mata yang bercucuran.
Pagi tadi Mas Sandi bilang tidak enak badan hingga tidak bisa masuk kerja. Aku yang pagi ini harus rapat di sekolah putriku, terpaksa meninggalkan rumah untuk beberapa jam saja.
Menyesakkan, saat aku pulang bukan disambut hangat oleh orang-orang di dalam rumah, melainkan disuguhkan kenyataan yang melukai perasaan.
"Tenang dulu, Num. Tenang," ujar Mas Sandi lagi.
Mas Sandi berusaha kuat menahan selimut agar tidak terlepas darinya. Aksi tarik menarik antara aku dan suamiku terjadi hingga akhirnya aku berhasil menguasai selimut itu lalu menjatuhkannya kasar ke lantai.
Nampaklah kulit-kulit hina yang menjijikkan di atas tempat tidurku. Mawar, wanita yang tujuh tahun lalu diceraikan suamiku langsung memunguti pakaiannya.
Aku tidak tinggal diam. Tanganku langsung menarik rambutnya, menjambaknya dengan sekuat tenaga.
"Aw, sakit, Ranum! Lepaskan!" Mawar menjerit.
Namun, aku menulikan telinga. Hatiku jauh lebih sakit dengan apa yang mereka suguhkan padaku.
"Ranum, hentikan! Kamu menyakiti Mawar!" Mas Sandi yang baru memakai kolor, menghampiri kami berusaha memisahkan aku dari wanita selingkuhannya itu.
Aku abai akan kata-kata pria yang menikahiku enam tahun yang lalu. Kini tanganku semakin membuat Mawar meringis kesakitan. Aku tidak hanya menarik rambut wanita itu, tapi juga mencakar dadanya yang belum tertutup kain.
"Ranum berhenti!!"
Plak!
Aku terhuyung ke lantai dengan panas menjalar di pipi bagian kiri. Aku diam, memandang wajah Mas Sandi yang juga terlihat kaget karena berhasil menamparku.
"Maaf, Sayang ...." Mas Sandi berjongkok hendak meraih tubuhku, tapi aku menepis tangan itu.
Bukan hanya sakit di pipi, tapi juga di hati. Enam tahun bersama, ini adalah kali pertama Mas Sandi berbuat kasar padaku. Sebelumnya, jangankan menampar, berucap dengan nada tinggi pun tidak ia lakukan. Dan itu di depan wanita yang kini tersenyum miring ke arahku.
Dadaku semakin bergemuruh, tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa. Kekuatanku hilang setelah dengan sadar Mas Sandi menamparku demi untuk melindungi mantan istrinya itu.
"Ranum, Mas minta maaf. Mas, tidak bermaksud untuk itu, Sayang. Mas, hanya ingin kamu mendengarkan penjelasan dari Mas, dulu."
"Pergi. Bawa wanita itu pergi dari rumah ini," ucapku dingin seraya mengusap air mata yang meleleh di pipi.
"Ranum."
"Pergi, kataku. Jangan jelaskan apa pun, jangan berucap apa pun lagi. Sekarang, suruh wanita itu pergi, beserta anaknya."
"Ranum!!" Mas Sandi kembali berteriak saat aku menyinggung tentang anak.
Dengan sisa tenaga aku berdiri. Melihat wajah kedua manusia terkutuk itu bergantian. Raut kaget terlihat dari keduanya. Mungkin mereka tidak pernah menyangka jika aku akan mengatakan hal tersebut.
Menyuruh mereka membawa Cahaya buah hati mereka yang tidak seperti anak gadis pada umumnya. Cahaya istimewa, dia anak dari surga yang ditolak ibunya sendiri. Mawar memberikan hak asuh anak pada Mas Sandi setelah tahu jika putrinya tidak bisa tumbuh seperti anak pada umumnya.
Cahaya, mengidap down syndrome. Di usia yang sudah menginjak lima belas tahun, Cahaya masih berprilaku seperti Shanum adiknya, putriku yang berusia lima tahun.
"Kamu menyuruh Cahaya pergi dari sini?" ujar Mas Sandi dengan wajah yang memerah.
"Kurang ajar istrimu ini, Mas. Dia mengusir Aya? Hey, ini rumah Mas Sandi, dan Cahaya lebih berhak berada di sini dibandingkan dirimu dan anakmu. Jika ada yang harus keluar dari sini, itu kamu! Bukan Cahaya!" ujar Mawar bersungut-sungut.
"Begitu? Baiklah, aku yang akan pergi dari sini. Silahkan rawat anakmu sendiri, tanpa aku."
Aku langsung melangkah ke luar dari kamar, menyambar kunci mobil yang tadi aku simpan di atas meja ruang tengah.
Kita lihat saja, siapa yang akan kuat di antara aku dan mereka dalam mengurus Cahaya. Jika sebagai ibu Mawar mampu, kenapa Cahaya harus dia berikan padaku dan ayahnya?
"Ranum, tunggu! Kita bisa bicarakan ini baik-baik, Sayang. Tolong jangan pergi, Cahaya akan mencarimu!"
Aku tersenyum miring mendengar permintaan Mas Sandi yang berlari menghampiri mobil yang siap pergi.
Haruskah aku mengabulkan keinginan mereka?
"Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,
"Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k
"Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak
Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo
Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan
"Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a
"Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,
"Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d
Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments