Share

Bab 8

Penulis: Pena_yuni
last update Terakhir Diperbarui: 2022-08-19 11:19:36

"Aku menyukaimu sejak lama, Mbak. Kamu pun tahu itu."

Aku mengembuskan napas kasar. Lagi-lagi Soni membahas perasaan dia yang tak terbalaskan. 

Ini yang membuatku tidak nyaman selalu berhubungan dengan adik iparku itu. Dia menyukaiku, bahkan sejak sebelum aku menikah dengan kakaknya. 

Bukan maksudku untuk mempermainkan perasaan dia dengan menikahi kakaknya. Namun, ada beberapa hal yang membuatku akhirnya menjatuhkan pilihan pada Mas Sandi kala itu. 

"Jangan mengada-ada, Soni. Hargai aku sebagai kakak iparmu." 

"Kurangku di mana, Mbak? Hingga kamu sama sekali tidak percaya dengan perasaan ini. Bahkan sampai sejauh ini, selama pernikahanmu dengan Mas Sandi, tidak pernah sedikit pun rasa cinta ini berkurang dariku." 

"Hentikan omong kosongmu, Son. Sebaiknya lakukan apa yang semalam aku bahas. Waktumu sampai Shanum pulang dari sekolah. Hanya dua jam dari sekarang," ujarku hendak berdiri untuk menyuruh Shanum bersiap. 

 "Aku sudah memiliki bukti lain tentang perselingkuhan Mas Sandi dan Mbak Mawar."

Tubuh yang sudah setengah berdiri, kini duduk kembali dengan tatapan lekat pada Soni. Pria itu mengangguk, lalu menepuk-nepuk tasnya. 

"Bukti apa, Son?" tanyaku kemudian. 

"Ada lah. Dan pastinya akan membuat Mbak kaget luar biasa. Tapi ... aku tidak akan memperlihatkan bukti ini sekarang, karena gak gratis."

"Aku harus bayar?" tanyaku. 

"Yes ... bayar."

"Son ...."

"Hanya makan siang saja. Aku ingin Mbak, menemaniku makan, siang ini. Mbak akan mendapatkan apa yang ada di sini, siang ini." Soni mengusap-usap ransel yang berada dalam pangkuannya. 

Ingin sekali aku merebut tas itu darinya, tapi tidak akan mudah. Kini, dia bahkan memeluk ransel berwarna hitam itu saat menyadari tatapanku tak lepas dari sana.

"Oke, makan siang," pungkasku akhirnya, lalu beranjak pergi. 

Soni kesenangan. Dia sampai bersiul-siul seperti remaja yang tengah dimabuk cinta. 

Aku memanggil Shanum, memandikan dia dan menyuruhnya berpakaian. Karena ada Soni, aku jadi tidak repot dengan Cahaya. Anak itu anteng memperlihatkan hasil lukisannya kepada Soni yang pandai membuat Cahaya tertawa. 

Soni berekspresi seolah-olah dia kagum dengan gambar-gambar hasil karya Cahaya. Soni juga memotret semua lukisan dengan gaya yang membuat Cahaya tak hentinya tertawa bahagia. 

Satu pertanyaan yang ada dalam benakku. 

Kenapa, Mas Sandi tidak bisa seperti itu? 

Ekspresinya datar ketika Cahaya dengan antusias memperlihatkan gambar yang dia buat. Bahkan bisa dibilang masa bodoh dengan keistimewaan yang anak pertamanya punya. 

Di saat aku menginginkan Cahaya belajar di sekolah anak berkebutuhan khusus, Mas Sandi menolak. 

"Lebih baik di rumah, tidak sekolah pun tidak apa-apa. Asal bisa mengurus dirinya sendiri, itu sudah cukup," ujarnya kala itu. 

Aku bisa apa? Dia ayahnya, memaksa pun rasanya percuma. Dia yang punya kendali di rumah ini. Termasuk masalah keuangan. Aku yang tidak punya penghasilan, harus nurut pada dia yang memberikan nafkah. 

"Dah, sekarang ambil tasnya, ya? Bunda mau panggil kakak buat ikut," ujarku pada Shanum setelah selesai menguncir rambutnya. 

Gadis kecilku menurut. Aku pun keluar dari kamar Shanum, menghampiri Cahaya yang masih asik dengan gambar-gambarnya. 

"Kakak, ikut Bunda antar adik, yuk!" 

Cahaya mendongak. Dia melihatku lama tanpa bicara. 

"Bunda, mau pergi ke sekolah adik. Kakak, ikut Bunda, ya? Kita jalan-jalan," ulangku lagi sampai akhirnya dia paham dan menganggukkan kepala. 

Melihat Shanum keluar dari kamar, Cahaya langsung berdiri dan menghampiri adiknya. Dia tiba-tiba memeluk Shanum, lalu mengusap-usap pucuk kepalanya. Dia juga mengambil tas punggung adiknya, lalu menuntun anak itu ke arah pintu depan. 

Sesayang itu Cahaya pada Shanum. 

Aku pergi ke atas sebentar untuk mengambil tas dan kunci mobil. Setelahnya, aku segera kembali ke bawah dengan cepat karena takut Cahaya membawa Shanum berjalan ke luar dari pagar rumah. 

Ternyata dugaanku salah. Cahaya justru sedang memakaikan sepatu pada adiknya di teras rumah. Sesekali tawa Shanum pecah saat Cahaya menggelitik telapak kakinya yang terbungkus kaus kaki.

"Diam," ujar Cahaya menepuk kaki adiknya. 

Shanum menutup mulut, meredam tawa yang akhirnya kembali pecah saat menyadari jika sepatu yang dipakaikan Cahaya terbalik. Kanan ke kiri, dan yang kiri di kaki kanan. 

"Kakak, salah ...!" 

"Hah, salah?" ujar Cahaya bengong masih menatap pada kedua kaki adiknya. 

"Ini di sini, dan yang ini ke sini, Kakak."

Cahaya menggaruk kepalanya seraya manggut-manggut. 

Seandainya Mas Sandi tidak berkhianat, mungkin kebersamaan mereka masih akan terus terjadi hingga dewasa. Atau, bahkan sampai tua. 

Sedih sekali jika membayangkan perpisahan dengan Cahaya. Waktuku hanya tinggal beberapa jam saja dengan dia. Setelah itu, mungkinkah aku masih bisa jadi ibunya, tapi tidak menjadi istri ayahnya? 

Apa Mas Sandi dan Mawar akan mengijinkan jika aku mengadopsi Cahaya? 

Ah, ego mereka mungkin tidak akan setuju. Tapi, akan aku coba untuk tetap bisa mendekatkan dua saudara itu. 

"Kenapa diam di sini?" 

Aku menoleh pada pria yang tiba-tiba muncul di sampingku.

"Tidak apa-apa. Oh, iya ini ponselku. Kamu sambungkan kamera CCTV yang sudah terpasang ke sini. Kamu tahu, kan bagaimana caranya menyembunyikan CCTV agar tidak terlihat?" kataku seraya memberikan benda pipih ke tangan Soni. 

"Bisalah. Menyembunyikan luka saja bisa, apalagi menyembunyikan CCTV yang bentuknya lebih kecil dari perasaan." 

Aku memutar bola mata malas, lalu meninggalkan Soni yang berdiri menyandarkan punggung pada tembok. Aku memanggil dua anak gadisku, menyuruh mereka segera masuk ke dalam mobil karena akan segera berangkat. 

Sepanjang perjalanan, mereka selalu berceloteh dengan riangnya. Bernyanyi, mengobrol dan tertawa semau mereka.

Aku hanya menjadi pendengar yang sesekali ikut tersenyum menikmati keakraban keduanya.

"Hai, Cahaya. Ikut antar adik?" ujar Safira menghampiri kami setelah kami sampai.

"Salim dulu sama Ibu Guru Safira, Kak." Aku memberikan perintah. 

Cahaya menurut. Dia mencium takzim tangan Safira, lalu masuk mengantarkan Shanum ke kelasnya.

Sedangkan aku, berdiri di depan gerbang bersama Safira. 

"Fir, apa di sini butuh pengajar tambahan?" 

Safira menatapku dengan mengerutkan kening. Pastilah dia heran kenapa aku sampai bertanya seperti ini. 

Dulu, sebelum menikah dengan Mas Sandi, aku adalah salah satu pengajar di sini. Pertemuanku dan Soni berawal dari sini juga. 

"Kamu mau kerja lagi?" Safira balik bertanya. 

"Misalkan, ini baru rencana, sih. Seandainya nanti aku butuh pekerjaan, mungkin gak, ya sekolah ini akan menerima aku lagi?" ujarku dengan melipat kedua tangan di perut. 

"Aku gak tahu, Num. Tapi ... sepertinya guru-guru pengajar di sini sudah komplit, deh. Emangnya kenapa kamu mau kerja lagi? Jangan bilang suamimu bangkrut, ya? Gak mungkin, deh."

Aku terkekeh, tertawa sumbang. 

Belum saatnya aku menceritakan semua tentangku pada Safira. Akan ada masanya, tapi tidak sekarang. 

Aku mengalihkan topik pembahasan agar Safira tidak terus bertanya tentang masalah pribadiku. Kami mengenang masa lalu di saat aku masih jadi bagian dari sekolah ini. 

Mengingat akan kenangan itu, aku dan Safira tertawa saling melempar canda. Hingga akhirnya, tawaku menghilang ketika Shanum keluar dari kelasnya seraya menangis dengan menuntun Cahaya. 

"Kenapa, Sayang?" Safira langsung menghampiri Shanum, dan aku memeluk Cahaya yang ekspresi wajahnya terlihat sendu. 

Komen (8)
goodnovel comment avatar
wiji utami
terlalu mahal kalo ceritanya ok banget adyik
goodnovel comment avatar
Rita Pardede
bagus ceritanya, tapi mahal betul bacanya
goodnovel comment avatar
Emi Wa Ode
keren ceritanya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 9

    "Tadi, Kakak disebut gila sama teman-teman, Bunda," adu Shanum sambil menangis. Aku mengambil alih Shanum dari Safira, lalu menenangkan anak itu. Aku memberikan pengertian pada dia untuk tidak mendengarkan apa yang dikatakan teman-temannya. Sebagai guru Shanum, Safira pun ikut membujuk putriku itu agar mau kembali masuk ke dalam kelas karena pelajaran akan segera dimulai. "Yuk, masuk bersama Ibu? Nanti, Ibu akan hukum anak-anak nakal yang sudah membuat Shanum sedih," ujar Safira membujuk. Awalnya Shanum menolak, dia sakit hati dengan olok-olokan teman sekelasnya pada Cahaya. Putriku malah meminta pulang dan tidak mau melanjutkan sekolah. Sebagai ibu, tentu saja aku sedih dengan ungkapan dan tanggapan mereka pada anak istimewa seperti Cahaya. Tidak hanya kali ini saja aku harus mengurut dada menahan rasa nelangsa mendengar kata-kata yang tidak enak tentang anak sambungku itu. Jika anak-anak yang bicara, aku masih maklum. Namun, jika orang dewasa atau orang tua yang bicara, aku ti

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-19
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 10

    Aku terpaku, lidahku kelu tidak mampu berkata-kata setelah Mawar mengatakan keinginannya. Benarkah dia seorang ibu? Di mana letak hati dan pikirannya hingga dengan mudah mengungkapkan itu? "Coba kamu ulang?" kataku ingin mendengarnya lagi. "Iya, kita tukeran anak. Shanum aku yang urus, Cahaya kamu yang bawa.""Gila, kamu!" semprotku mulai emosi. Namun, dia sepertinya tidak terbebani dengan reaksiku. Justru sangat santai seolah-olah itu hal biasa. Anak, dia anggap sebuah barang murah, tidak berharga yang bisa ditukar semuanya. Aku tidak habis pikir dengan wanita itu. Bisa-bisanya mengatakan hal yang merendahkan derajat dia sebagai seorang ibu. Inikah wanita pilihan suamiku yang sudah membuatnya berani mengkhianati pernikahan kami? Wanita yang tidak punya hati, tidak punya perasaan dan tidak punya otak. Wanita miskin kasih sayang. "Ya ... ini memang kedengaran sedikit gila, Ranum. Tapi jika aku perhatikan, kamu lebih cocok jadi ibunya Cahaya, dibandingkan jadi bundanya Shanum."

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-19
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 11

    Cahaya menyimpan kertas itu di pangkuanku, lalu memelukku dengan sayang. "Tapi, pelukan Bunda, hangat. Seperti burung yang memeluk anaknya dengan kedua sayap mereka. Hangat, hangaaat sekali," tutur Cahaya semakin mengeratkan pelukan."Oh, Sayang ...." Aku membalas pelukan Cahaya, mencium ubun-ubunnya beberapa kali. Tidak terasa, air mataku berlinang dan jatuh di kepala anak tiriku ini. Ah, bukan. Dia bukan anak tiri. Dia anak dari surga yang Tuhan kirim untukku. Aku menoleh ke arah bangku yang tadi aku duduki bersama Mawar. Rupanya perempuan itu sudah pergi. Lihatlah, dia bahkan tidak ingin menyapa putrinya yang jelas-jelas ada di sekitar dia. Hatinya beku, perasaannya tertutup kabut kebencian yang tidak bisa menerima kenyataan. Sungguh disayangkan sikap wanita itu. Waktu kepulangan Shanum dari sekolah masih ada satu jam lagi. Aku memutuskan untuk pulang dulu ke rumah melihat Soni yang tidak memberikan kabar. Jangan-jangan dia tidur dan tidak menyelesaikan pekerjaannya? Awas s

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-19
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 12

    Aku menutup wajahku dengan kedua tangan. Meredam sakit yang tidak tertahankan. "Mbak ....""Aku baik-baik saja, Son. Aku tidak apa-apa," ujarku dengan bibir bergetar dan akhirnya pertahananku runtuh seketika. Tangis yang kuredam, tak mampu kutahan. Seiring dengan air mata yang berlinang, suara isak pun keluar membuatku seperti anak kecil yang tersedu di depan makanan. Bagiamana aku bisa menahan gejolak di dalam hati, jika apa yang aku lihat sungguh menyakitkan. Ini lebih sakit dari saat melihat mereka tidur bersama. Foto itu menunjukkan dua sejoli yang sedang melangsungkan pernikahan. Suamiku menikah dengan mantan istrinya, dan aku tidak tahu. Aku dibodohi, aku dibohongi sejauh ini. Ya Tuhan ... di mana aku saat mereka menikah? Ke mana saja aku hingga tak menyadari perubahan sikap Mas Sandi? Allah ... sakit sekali luka ini. "Kapan itu, Son?" tanyaku mencoba tegar dengan melihat pada adik iparku. "Maaf, Mbak. Jika aku tahu akan seperti ini, tidak akan aku memberitahumu tentan

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-19
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 13

    Setelah memberikan jawaban yang memuaskan Shanum, aku menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Saat dia meminta untuk berganti pakaian, aku tidak mengijinkannya. Pasalnya tidak ada baju dia yang aku tinggalkan di dalam rumah. Dan pasti Shanum akan mempertanyakan kenapa lemarinya kosong, jika aku biarkan dia masuk ke kamarnya.Biarlah, nanti akan aku jelaskan perlahan di rumah ibu dan bapak. Sekarang aku tidak bisa berpikir panjang. Hanya ingin segera pulang ke rumah orang tuaku untuk menenangkan hati dan pikiran. "Mbak, kamu yakin bisa bawa mobil sendiri?" Soni kembali bertanya. "Bisa lah, kamu tenang saja. Aku tidak mungkin menabrakkan mobilku pada tiang listrik. Aku masih waras, kok. Nanti saat sampai rumah ibu, kamu bawa pulang Cahaya, ya? Langsung bawa ke rumah Mama, jangan ke sini. Takutnya Mas Sandi tidak bisa menjaga dia," ujarku panjang lebar. Soni mengerti. Aku pun masuk ke dalam mobil, mulai melajukan kendaraan roda empatku keluar dari pekarangan rumah yang sudah memberikan bany

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-19
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 14

    "Eh ... ada cucuku, rupanya. Kenapa tidak bilang dulu kalau mau datang, Num? Sudah lama di sini?" ujar ibu langsung menghampiri kami yang duduk lesehan di teras rumah. Setelah kepergian Cahaya, aku menelepon ibu karena tidak bisa masuk ke dalam rumah yang terkunci. Tidak berapa lama, ibu dan bapak pun pulang dengan wajah semringah. Bahagia karena dikunjungi cucu yang sudah lama tak datang. "Ranum tidak mau merepotkan ibu, makanya tidak bilang dulu. Baru beberapa menit saja, kok Bu," ujarku mengikuti langkah kaki ibu yang masuk terlebih dahulu. Sedangkan Shanum, dia langsung meminta bapak mengambil joran pancing untuk bisa mendapatkan ikan dari kolam. Dan bapakku tidak bisa menolak keinginan cucunya itu. Di sini, Shanum seperti putri raja yang akan mendapatkan apa pun sesuai permintaannya. "Hanya berdua, Num? Suamimu dan Cahaya tak ikut?" tanya ibu lagi seraya menyimpan gelas berisikan air di depanku. "Tidak, Bu. Mas Sandi kerja, dan Cahaya ... sebenarnya tadi dia ikut, tapi pula

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-19
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 15

    Pukul empat sore hujan masih membasahi bumi. Shanum yang kedinginan serta kelelahan setelah bermain tadi, kini sudah terlelap meringkuk di kamarku semasa gadis. Di sampingnya, aku tengah fokus pada layar ponsel yang menampilkan isi rumah Mas Sandi. Masih sepi. Pemilik rumah masih belum pulang dari tempat kerjanya. Namun, saat aku hendak mematikan layar tersebut, pergerakan mulai terlihat. Seorang pria masuk ke dalam kamar dengan langkah tergesa. "Sepertinya dia sangat kelelahan," ujarku seraya masih melihat layar ponsel. Mas Sandi berjalan ke arah lemari pakaian. Dia membukanya, lalu menutup pintu lemari dengan kasar. Mas Sandi berkacak pinggang seraya memindai seluruh ruangan kamar yang sudah tidak seperti biasanya. Aku, menurunkan seluruh foto kebersamaan kami yang ada di sana, lalu menyimpannya di pojok ruangan. Masih di ruangan yang sama, pria beralis tebal itu merogoh kantong celananya, mengeluarkan ponsel dan ... gawai di sampingku bergetar dengan nama Mas Sandi sebagai or

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-19
  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 16

    "Nda ...!" Aku diam di tempat saat Cahaya lari menubruk tubuhku dan memeluknya dengan erat. Sungguh aku tidak menduga jika Soni akan datang ke sini dengan membawa keponakannya itu. Tidak hanya Soni, Cahaya rupanya datang dengan ibu mertuaku. Mama, wanita itu menatapku yang berdiri kaku di ambang pintu. Aku bingung dengan keadaan ini. Apa maksud Mama membawa Cahaya ke sini? Sengajakah dia agar aku tidak bercerai dengan putranya? "Nda .... Aya, mau di sini, sama Bunda, ya?" ucap Cahaya mendongak melihat wajahku. Aku masih bergeming. Hanya tangan ini yang bergerak membelai lembut rambut anak tiriku itu. "Silahkan masuk, Bu Tami, Soni." Bapak mempersilahkan besannya yang masih berada di teras rumah.Ibu dan anak itu masuk, kemudian duduk di sofa ruang tamu. Aku mengusap punggung Cahaya, membawa gadis itu untuk duduk di sampingku. Hening. Suasana menjadi canggung. Aku memperhatikan raut wajah ibu yang terlihat tidak suka melihat keluarga suamiku datang. Dia bahkan tidak tersenyum

    Terakhir Diperbarui : 2022-08-19

Bab terbaru

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 145

    "Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 144

    "Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 143

    "Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 142

    Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 141

    Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 140

    "Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 139

    "Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 138

    "Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d

  • Silakan, Urus Putrimu Tanpa Aku   Bab 137

    Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status