Setelah memberikan jawaban yang memuaskan Shanum, aku menyuruhnya masuk ke dalam mobil. Saat dia meminta untuk berganti pakaian, aku tidak mengijinkannya. Pasalnya tidak ada baju dia yang aku tinggalkan di dalam rumah. Dan pasti Shanum akan mempertanyakan kenapa lemarinya kosong, jika aku biarkan dia masuk ke kamarnya.Biarlah, nanti akan aku jelaskan perlahan di rumah ibu dan bapak. Sekarang aku tidak bisa berpikir panjang. Hanya ingin segera pulang ke rumah orang tuaku untuk menenangkan hati dan pikiran. "Mbak, kamu yakin bisa bawa mobil sendiri?" Soni kembali bertanya. "Bisa lah, kamu tenang saja. Aku tidak mungkin menabrakkan mobilku pada tiang listrik. Aku masih waras, kok. Nanti saat sampai rumah ibu, kamu bawa pulang Cahaya, ya? Langsung bawa ke rumah Mama, jangan ke sini. Takutnya Mas Sandi tidak bisa menjaga dia," ujarku panjang lebar. Soni mengerti. Aku pun masuk ke dalam mobil, mulai melajukan kendaraan roda empatku keluar dari pekarangan rumah yang sudah memberikan bany
"Eh ... ada cucuku, rupanya. Kenapa tidak bilang dulu kalau mau datang, Num? Sudah lama di sini?" ujar ibu langsung menghampiri kami yang duduk lesehan di teras rumah. Setelah kepergian Cahaya, aku menelepon ibu karena tidak bisa masuk ke dalam rumah yang terkunci. Tidak berapa lama, ibu dan bapak pun pulang dengan wajah semringah. Bahagia karena dikunjungi cucu yang sudah lama tak datang. "Ranum tidak mau merepotkan ibu, makanya tidak bilang dulu. Baru beberapa menit saja, kok Bu," ujarku mengikuti langkah kaki ibu yang masuk terlebih dahulu. Sedangkan Shanum, dia langsung meminta bapak mengambil joran pancing untuk bisa mendapatkan ikan dari kolam. Dan bapakku tidak bisa menolak keinginan cucunya itu. Di sini, Shanum seperti putri raja yang akan mendapatkan apa pun sesuai permintaannya. "Hanya berdua, Num? Suamimu dan Cahaya tak ikut?" tanya ibu lagi seraya menyimpan gelas berisikan air di depanku. "Tidak, Bu. Mas Sandi kerja, dan Cahaya ... sebenarnya tadi dia ikut, tapi pula
Pukul empat sore hujan masih membasahi bumi. Shanum yang kedinginan serta kelelahan setelah bermain tadi, kini sudah terlelap meringkuk di kamarku semasa gadis. Di sampingnya, aku tengah fokus pada layar ponsel yang menampilkan isi rumah Mas Sandi. Masih sepi. Pemilik rumah masih belum pulang dari tempat kerjanya. Namun, saat aku hendak mematikan layar tersebut, pergerakan mulai terlihat. Seorang pria masuk ke dalam kamar dengan langkah tergesa. "Sepertinya dia sangat kelelahan," ujarku seraya masih melihat layar ponsel. Mas Sandi berjalan ke arah lemari pakaian. Dia membukanya, lalu menutup pintu lemari dengan kasar. Mas Sandi berkacak pinggang seraya memindai seluruh ruangan kamar yang sudah tidak seperti biasanya. Aku, menurunkan seluruh foto kebersamaan kami yang ada di sana, lalu menyimpannya di pojok ruangan. Masih di ruangan yang sama, pria beralis tebal itu merogoh kantong celananya, mengeluarkan ponsel dan ... gawai di sampingku bergetar dengan nama Mas Sandi sebagai or
"Nda ...!" Aku diam di tempat saat Cahaya lari menubruk tubuhku dan memeluknya dengan erat. Sungguh aku tidak menduga jika Soni akan datang ke sini dengan membawa keponakannya itu. Tidak hanya Soni, Cahaya rupanya datang dengan ibu mertuaku. Mama, wanita itu menatapku yang berdiri kaku di ambang pintu. Aku bingung dengan keadaan ini. Apa maksud Mama membawa Cahaya ke sini? Sengajakah dia agar aku tidak bercerai dengan putranya? "Nda .... Aya, mau di sini, sama Bunda, ya?" ucap Cahaya mendongak melihat wajahku. Aku masih bergeming. Hanya tangan ini yang bergerak membelai lembut rambut anak tiriku itu. "Silahkan masuk, Bu Tami, Soni." Bapak mempersilahkan besannya yang masih berada di teras rumah.Ibu dan anak itu masuk, kemudian duduk di sofa ruang tamu. Aku mengusap punggung Cahaya, membawa gadis itu untuk duduk di sampingku. Hening. Suasana menjadi canggung. Aku memperhatikan raut wajah ibu yang terlihat tidak suka melihat keluarga suamiku datang. Dia bahkan tidak tersenyum
Langit pagi ini begitu sangat cerah. Aku sudah siap untuk pergi ke rumah Mas Sandi dengan membawa Cahaya. Drama terjadi pagi ini saat sedang membujuk Cahaya. Dia tidak mau aku bawa dan ingin ikut dengan ibu yang hendak pergi ke pasar bersama Shanum. "Fir, bisa kita bertemu sekarang? Aku butuh bantuanmu, nih," ujarku menghubungi temanku. "Bisa, Num. Mau ketemu di mana? Kebetulan pagi ini aku sedang joging di taman kota. Kalau aku tunggu kamu di sini, gimana?" "Emmh ... oke, deh. Tunggu, ya? Aku mungkin akan sedikit terlambat, tapi tidak akan terlalu lama, kok.""Siap, aku tungguin." Aku mematikan ponsel, menyimpannya ke dalam tas dan siap untuk menjalankan kendaraan roda empat yang sudah aku panaskan. Di sampingku, Cahaya duduk seraya melipat kedua tangan di perut. Ceritanya dia sedang ngambek karena aku tidak memperbolehkannya ikut dengan Shanum. "Kakak, Kakak marah sama Bunda?" tanyaku yang langsung disambut tidak baik olehnya.Cahaya memalingkan wajah melihat pada kaca pintu
"Kok, kamu ngomongnya gitu, Num?" "Terus aku harus gimana? Dia memang anak kamu, kan? Anak kalian. Kenapa aku harus repot-repot ngurusin dia sedangkan kamu di sini santai-santai seperti pasangan kekasih yang tidak memiliki tanggung jawab. Hey, kalian punya anak, lho ...," kataku seraya memindai wajah keduanya satu persatu.Mas Sandi salah tingkah. Dia melihat pada Cahaya, kemudian kembali melihatku yang berdiri berkacak pinggang."A–aku tahu, dia anakku, Num. Bukannya katamu, anak aku anak kamu juga? Kenapa sekarang kamu jadi mempermasalahkan Cahaya yang selalu ingin denganmu?""Aku tidak mempermasalahkan dia ingin denganku, Mas. Yang aku masalahkan itu adabmu! Di mana otakmu, sehingga tidak ada rasa bersalah sedikit pun. Tidak ada tanggung jawabnya sedikit pun sebagai seorang suami dan ayah. Di sana, di rumah orang tuaku, aku repot mengurusi, membujuk dia. Di sini, kamu enak-enakan memadu kasih tanpa memikirkan perasaanku! Aku masih istrimu, Mas. Masih istrimu!!" jeritku dengan menu
Aku tersedu, menangis seraya menelungkupkan wajah pada setir. Puas mengeluarkan rasa sakitku karena harus meninggalkan Cahaya, aku mengambil ponsel. Menelepon seseorang yang aku percaya bisa membantu menenangkan anak tiriku. "Halo, Son.""Halo, Mbak. Kamu kenapa, Mbak? Nangis?" tanya Soni panik."Emh ... aku tidak apa-apa, Son. Tapi, aku mau minta tolong sama kamu.""Tolong apa? Mbak, kenapa memangnya?" Soni kembali bertanya. "Tolong tenangkan Cahaya, Son. Tadi, aku mengantarkannya ke rumah, dan dia nangis saat aku tinggal. Takutnya dia melukai dirinya sendiri. Aku ..., aku benar-benar sudah tidak sanggup mengurusnya, Son." Aku langsung memutuskan sambungan telepon tanpa menunggu lawan bicaraku mengatakan apa pun. Tanganku terulur mengambil tisu untuk menghapus jejak air mata yang sudah membanjiri wajah. Sayangnya masih ada air yang keluar dari sudut mataku sehingga sulit bagiku untuk kembali melanjutkan perjalanan. Kutadahkan kepala ke atas, bersandar pada sandaran jok. Beberapa
"Tidak ada, Ranum ... Ibu tidak bermaksud apa-apa," tutur Ibu mendesah. Aku bangun, duduk bersila di samping ibu yang memandang lurus pada putriku. Tidak mungkin tidak ada apa-apa, jika tadi jawaban Ibu seperti itu.Apa mungkin Bapak telah berkhianat dari Ibu sewaktu dulu? Rasanya tidak mungkin jika Bapak melakukan itu. "Ibu ... Bapak pernah melakukan apa yang Mas Sandi lakukan?" tanyaku ingin mendapatkan jawaban pasti. Ibu memandangku dalam diam. Hingga akhirnya, anggukan kepala Ibu menjadi sebuah jawaban. "Kapan, Bu?" "Dulu. Duluuu sekali. Saat kamu masih bayi merah. Dan alasan kita pindah dari Bandung ke Jakarta, ya itu. Meninggalkan kepedihan." "Kok, Ibu kuat bertahan hingga sekarang? Kenapa Ibu tidak bercerai seperti apa yang aku lakukan?" tanyaku kembali. Ibu menarik napas panjang. Wajah tua itu mengadah ke atas mengingat masa-masa yang tidak pernah aku tahu. "Ada beberapa hal yang membuat Ibu, bertahan kala itu. Satu, kamu masih bayi. Butuh nutrisi dan asupan gizi. Se
"Bunda, kenapa, sih Shanum punya ibunya dua?" Pertanyaan Shanum membuatku menghentikan tangan yang tengah menuliskan nota belanjaan pelanggan."Kok, Shanum tiba-tiba nanya gitu?" Aku bertanya dengan hati yang tak enak. Setelah pernikahan Mas Sandi dan Aliya beberapa waktu yang lalu, banyak sekali pertanyaan yang diberikan Shanum padaku tentang ibu tiri dan ayah tiri. Tidak jarang, dia pun menolak ajakan Mas Sandi untuk menginap di rumahnya, karena takut Aliya jahat pada dia. Padahal, Aliya sama sekali tidak berubah. Dia masih sama seperti Aliya yang dulu, bahkan lebih dewasa dari itu. Kata-kata orang lain lah yang membuat putriku merasa takut dengan ibu tiri. Katanya mereka jahat, suka mukul dan lain sebagainya. "Mau tahu aja, Bunda. Orang-orang, kok satu. Tapi ... Shanum malah dua. Ayah dua, ibu juga dua. Apa benar, karena Shanum sangat nakal, jadi harus diurusi sama orang tua yang banyak?" tanya Shanum lagi semakin membuatku terperangah. "Sayang ... anaknya Bunda yang cantik,
"Maksudnya, Mbak?" tanya Aliya menatapku tidak percaya. "Duduk dulu, yuk. Biarkan Shanum bermain sendiri." Aliya melihat pada Shanum, kemudian matanya beralih lagi padaku. Aliya mengurungkan niat untuk pergi, dan memilih duduk menuruti mauku. Sedangkan Shanum, anak itu memilih bermain sendiri di kamar atas yang dulu menjadi kamarku dan ayahnya. "Sebenarnya, bukan aku yang harus mengatakan ini pada Aliya, Mas. Coba, kamu saja yang bilang. Kesannya, kok aku jadi ngatur hidupmu," ujarku pada Mas Sandi. Pria berbadan kurus itu mengembuskan napas kasar. Dia berdehem, kemudian memutarkan keinginan dia yang tadi sudah dia katakan padaku dan Soni. Aliya menunduk dalam ketika Mas Sandi bertanya ketersedian Aliya untuk menjadi istrinya. Namun, segurat kebahagiaan tidak bisa disembunyikan Aliya dari wajahnya. "Gimana, Al. Apa kamu mau menikah dengan pria cacat seperti saya?" Mas Sandi kembali bertanya pada perawatnya itu. Aliya masih menunduk, sesekali dia mengangkat kepala dan menoleh k
"Bunda ...!" Teriakan Shanum membuatku membuka tangan menyambut gadis itu masuk ke dalam pelukan. Tidak hanya Shanum yang menyambut kedatangan kami, tapi juga Mama dan Mas Sandi. Setelah pulang dari Bandung beberapa jam yang lalu, aku memutuskan untuk menjemput Shanum di rumah ayahnya. Ternyata putriku sudah cantik dengan jepit rambut kupu-kupu yang bertengger di rambutnya. "Harum sekali, Sha. Sudah mandi?" tanyaku menciumi kedua pipi itu. "Sudah, Bunda. Dimandiin sama Mbak Aliya.""Kok, mandi sama Mbak Aliya, sih? Mandi sendiri, dong." Shanum hanya mengedikkan bahu seraya tersenyum. Aku masuk ke dalam rumah dengan diikuti Soni yang menenteng paperbag di belakangku. "Aduh ... yang bulan madu. Gimana, sudah ada tanda-tanda kehidupan?" tanya Mama saat kami duduk di ruang tengah. "Ini hidup, kalau mati mana bisa datang ke sini, kan?""Bukan itu, maksud Mama. Ah, suka pura-pura kamu, Soni."Kami tergelak seraya menikmati tape goreng di sore hari ini. Shanum yang tahu aku membawak
Gerimis kembali menyapa bumi. Menghiasi hati, menyiram jiwa yang dibalut cinta. Awan putih berganti abu-abu, menghadirkan rasa yang membelai kalbu. Aku, duduk manis bersama pria muda si pemberi cinta. Menikmati udara sejuk yang membuat dua hati saling menyapa penuh damba. Tangannya yang tadi bersidekap di dada, kini menyelusup meraih jari jemariku untuk mencari kenyamanan serta kehangatan. "Udaranya semakin dingin. Masuk, yuk." Aku menoleh ke samping. Mata kami saling mengunci dengan senyum yang menghiasi bibir. Namun, aku tidak menjawab ajakannya. Aku justru kembali menatap ke depan seraya menarik napas menikmati udara yang semakin banyak. "Tidak ingin pulang?" tanyanya seraya membelai pipi yang telah disinggahi air dari langit. "Hujannya belum besar, kurasa ... masih aman jika kita di sini sebentar lagi. Udara di sini sangat sejuk, membuatku enggan melewatinya.""Sama. Aku juga tidak ingin melewati ini begitu saja. Akan sangat terasa biasa saja, jika rintik hujan ini menari seo
Hari-hari sebagai wanita pekerja, membuatku semakin menikmati perananku. Meskipun kini sudah ada karyawan baru yang membantu, tapi aku tidak ingin berpangku tangan menyerahkan semua pekerjaan kepada kedua orang yang membantuku. Aku masih mengawasi, melayani dan memberikan kenyamanan pada pelanggan. Tidak terkecuali, kepada dua orang yang sudah siap dengan pakaian mereka masing-masing. "Bunda, apa aku cantik?" tanya seorang gadis kecil yang begitu anggun dengan kebaya yang membalut tubuhnya. "Cantik sekali, Sayang. Ya ampun anaknya Bunda ...." Aku menangkup kedua pipi yang sedikit memerah oleh riasan makeup. Hari ini ada pentas seni di Taman Kanak-kanak tempat Shanum sekolah, sekaligus perpisahan Safira yang akan pergi ikut suaminya. Sedih, memang. Tapi, aku tidak punya hak untuk melarang. Dia sudah menikah, dan pastinya lebih baik ikut suami daripada menjalani hubungan jarak jauh. "Mas Sandi, sudah di telpon?" tanya Soni padaku.Aku berdiri dengan tegak, kemudian menggelengkan
"Cokelat panas untuk Mbak Istri." Pandangan ini beralih dari kertas dengan rentetan daftar barang yang akan aku pesan, pada satu cangkir cokelat yang masih mengeluarkan asap. "Terima kasih," ucapku dengan senyuman. Pria yang memakai kaus warna putih itu mengambil kursi, lalu duduk di sampingku yang masih berkutat dengan pekerjaan. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tapi mata ini diminta untuk tidak tidur dahulu sebelum menyelesaikan mencatat kebutuhan toko. Soni yang baru pulang dari kedai, dia pun tidak langsung pergi tidur. Dengan senang hati, pria yang semakin hari semakin tampan itu menemaniku seraya menceritakan keseharian dia di kedai. "Apa hubunganmu dan Nabila sudah kembali baik?" Entahlah, kenapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku ketika dia membahas kedai dengan segala kesibukannya. "Emh ... baik, tapi bukan berarti akan lebih dekat, 'kan? Lebih tepatnya, aku selalu menjaga jarak dengan teman perempuan.""Kenapa? Bukannya semakin dekat, pekerjaan pun a
"Iya, dia jatuh saat turun dari mobil. Pagi itu, dia pamit pergi dengan disupiri karyawan kantornya. Sandi bilang, mau lihat Shanum. Sebenarnya ... sudah beberapa kali dia datang ke tempat kalian, melihat aktivitas kalian, lalu pulang lagi. Dia ke sana hanya ingin memastikan Shanum baik-baik saja. Ah, entahlah tujuan utamanya apa, tapi itu yang dia katakan pada Mama.""Ya, Ranum juga beberapa kali melihat Mas Sandi datang, tapi tidak berani menegur. Karena emang tidak lama dia sana. Setelah Shanum berangkat sekolah, mobil Mas Sandi pun pergi begitu saja. Tapi ... berita Mas Sandi kena stroke, membuatku kaget, Mah." Aku berucap pelan. "Beberapa minggu terakhir, darah tinggi Sandi memang sering kumat. Setiap hari dia mengeluhkan pusing dan sakit kepala, tapi tidak mau periksa. Hingga minggu lalu, terjadilah sesuatu yang mengejutkan. Mama dan Aliya sampai gak tidur karena ngurusin kakakmu di rumah sakit." "Seandainya Mama kasih tahu Ranum, mungkin gak akan repot berdua saja, Mah.""Ah,
"Mas Sandi di rumah sakit?" Aku kembali bertanya untuk mengetahui tentang kakak suamiku itu. "Katanya sudah di rumah, Mama meminta kita datang untuk menjenguknya."Aku manggut-manggut. Tidak ada lagi kata yang keluar dari bibirku dan Soni. Dia fokus pada jalanan yang padat, sedangkan aku menelepon Desi untuk memberitahukan dia jika kami akan pulang terlambat. Jarak gedung tempat pernikahan Safira dan rumah Mas Sandi, cukup jauh. Apalagi kami terjebak macet, membuat perjalanan semakin terasa lama. Shanum sampai tertidur di kursi belakang saking jengkel dan jenuhnya dengan kemacetan ini. "Kenapa Mas Sandi tidak dirawat di rumah sakit saja, ya?" Aku kembali bicara untuk mengusir kebisuan di antara kami. "Kata Mama, sudah. Sudah enam hari Mas Sandi di rumah sakit, dan baru dibawa pulang tadi pagi.""Kok, tidak ngabarin kita?" tanyaku lagi. Soni tidak menjawab. Dia menggelengkan kepala seraya membuang napas kasar. Pantas saja, seminggu ini aku tidak lagi melihat mantan suamiku itu d
Satu minggu telah berlalu, kini tokoku sudah menjadi yang aku mau. Pelanggan lama semakin betah berbelanja, dan yang baru pun semakin bertambah. Tidak hanya menjual sembako dan kebutuhan rumah lainnya, kini aku menambahkan alat-alat tulis yang sering dicari ibu-ibu ketika datang ke sini. Ice cream kemasan pun turut hadir membuat ibu-ibu yang membawa anaknya dibuat naik darah karena si anak sering merengek meminta makanan dingin itu. Namun, meskipun aku menjual untuk orang lain, untuk putriku selalu memberikan batasan. Tidak memperbolehkan dia memakan ice cream terlalu sering, karena akan membuat kesehatannya terganggu. "Mbak, sudah siap?" tanya Soni seraya menghampiriku yang sedang di meja kasir. Aku menoleh ke arahnya, menyambut dia dengan senyuman manis. Ada yang berbeda dari suami berondongku itu. Dia yang baru saja memotong rambut, membuat wajahnya terlihat segar dan ... tampan. Iya, aku mengakui ketampanan paras suamiku itu. Selain muda dan rajin bekerja, dia pun berkarism