Dengan kesal Nisa berjalan keluar dari ruangan Zain. Di depan ia berpapasan dengan Aurel, ia menatap tajam. pada Aurel dengan tatapan benci. "Ada apa?" tanya Aurel yang merasa heran dengan tatapan tajam. "Kau sudah membuatku dipecat! jadi, tunggu saja pembalasanku!" ucap Nisa dan segera meninggalkan Aurel yang masih kebingungan dengan apa yang diucapkan oleh Nisa. "Dasar aneh," gumam Aurel dan memilih mengabagaikan ucapan Nisa yang menurutnya nglantur itu. "Tuan, ini makan siang Anda!" Aurel mempersiapkan makan siang untuk Zain. Zain segera beranjak dari duduknya dan segera memakan apa yang sudah disiapkan oleh asisten pribadinya itu. Sembari menunggu Zain menikmati makan siangnya, Aurel kembali ke meja kerjanya dan memeriksa beberapa dokumen yang harus ia persiapkan untuk pertemuan nanti. Tanpa terasa waktu terus berlalu, hingga sudah saatnya untuk pulang. Aurel bergegas membereskan mejanya, ia ingin segera sampai di rumah dan segera merebahkan tubuhnya. Setelah selesai, ia s
Pagi ini, Aurel sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Aurel mengurungkan niatnya untuk menggerakkan motornya, saat ada sebuah mobil berhenti di teras rumahnya.Aurel sangat mengenali siapa pemilik mobil bewarna putih itu. Bahkan, sang pemilik turun dari mobilnya dan tengah memamerkan senyumnya saat tatapan mereka saling beradu. "Kau sudah ingin berangkat?" tanya Zain. "Ya, kenapa Anda kesini?" tanya Aurel. Terkesan tidak sopan memang, tetapi Aurel merasa tidak nyaman mendapati Zain berada di rumahnya. "Tentu saja ingin menjemputmu!" jawab Zain santai. "Tidak perlu, aku bisa naik motor!" jawab Aurel. "Kalau begitu, biar aku yang ikut denganmu!""Terserah saja!" jawab Aurel dengan acuh. "Biar aku yang mengendarainya!" Zain menyuruh Aurel untuk geser kebelakang dan memakaikan helem ke Aurel. Aurel hanya diam saja tak menolak, percuma saja jika ia menolak pasti Zain dengan seribu alasan nya akan ia keluarkan. Sementara Aurel, sedang malas untuk berdebat. Setelah dirasa siap, Z
Byur... Seketika Aurel membuka matanya, saat merasakan ada air yang mengguyur tubuhnya. Benar saja, di depannya ada dua orang pria salah satunya memegang sebuah ember kosong. Ia yakin, air itu sudah disiramkan ke tubuhnya sehingga membuatnya basah kuyub. Ia mengerutkan keningnya, menatap kedua pria yang tak dikenalnya. "Siapa kalian dan mau apa kalian?" tanya Aurel sembari menggerakkan tubuhnya, namun tak bisa karena tangan dan kakinya terikat. "Kau tak perlu tahu siapa kami, yang jelas sebentar lagi kita akan bersenang-senang!" jawab salah satu dari mereka dengan seringaian mesumnya. "Apa maksud kalian? lepas!" Aurel berusaha melepaskan tali yang mengikat tubuhnya, namun tidak bisa. Mereka tertawa melihat Aurel yang terlihat ketakutan sembari terus bergerak-gerak berusaha melepas ikatannya. "Hei, jangan membuatnya takut!" sela seorang wanita yang sudah muncul dari belakang kedua pria asing itu. "Maaf Nona," jawab mereka serempak. "Nisa, tolong aku!" Aurel berharap wanita itu
"Nona, minumlah dulu!" Marvel menyodorkan sebotol air mineral kepada Aurel. Tanpa banyak kata, Aurel menerima air itu dan segera meneguknya. Sungguh, dia sangat mengkhawatirkan keadaan Zain saat ini. Pikiran buruk terus menghantuinya. "Terima kasih," ucapnya setelah meneguk habis air dalam botol itu. Matanya menatap Marvel, lalu beralih pada ruang UGD dimana Zain di rawat. Pandangan nya sendu dan penuh kekhawatiran. "Tak perlu kawatir Nona, tuan Zain pasti baik-baik saja!" Marvel mencoba menenangkan Aurel. "Kau yakin Marvel? aku sangat takut jika terjadi sesuatu padanya!" ungkap Aurel jujur. Marvel menghembuskan nafas kasar, jujur dirinya juga merasa kawatir pada atasan nya itu. Tetapi ia yakin tuan nya pasti baik-baik saja. Mengingat, itu hanyalah pukulan kecil bagi tuan nya itu. "Ya," jawab Marvel singkat. Meski sudah mendapat jawaban dari Marvel, tidak menyurutkan rasa kawatirnya terhadap Zain. Berbagai pikiran buruk terus menghantuinya. "Aurel," panggil seseorang yang sud
Aurel terdiam mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Zain. Ia menatap tepat di kedua bola matanya. "Tuan dengar semuanya? jangan bilang Tuan hanya pura-pura tidur tadi!" tanya Aurel penuh selidik. "Sebenarnya aku sudah bangun sejak lima menit yang lalu dan aku tak sengaja mendengar percakapan kalian! jadi, kapan kita akan menikah?" tanya Zain dengan santai. "Kenapa tidak langsung membuka mata dan memanggil kami? Tuan tahu bagaimana kawatirnya kami?" kesal Aurel dan enggan menjawab pertanyaan Aurel. Jujur dia sangat malu dengan apa yang ditanyakan oleh Zain, dia juga belum siap untuk memberitahu kapan dia akan menikah dengan Zain. "Jika aku memanggil kalian, ucapan persetujuan untuk menikah denganku tidak akan pernah ada! jadi, kapan kau siap untuk menikah denganku?" Lagi-lagi Zain melontarkan pertanyaan yang sama, karena sedari tadi Aurel seolah enggan untuk menjawab pertanyaan nya. "Seminggu lagi, kalian akan menikah!" kali ini Rindu yang menjawab dengan tegas. "Apa? ini
Zain langsung memboyong Aurel kerumahnya. Setelah selesai membersihkan diri, Aurel duduk di tepi ranjang dan melihat kamar milik Zain yang luas. Dari sekian pemandangan yang ia lihat, fokusnya tertuju pada sebuah foto yang menghiasi dinding kamar Zain. Di sana terlihat wanita cantik yang tengah tersenyum dengan lebar menatap kamera. Aurel bertanya-tanya siapa wanita itu? Apa dia adik atau salah satu keluarga Zain? Aurel masih berusaha berpikiran positif saat melihat foto yang terpampang di dinding kamar suaminya ini. "Dia adalah Zalora, mantan tunangan ku! untuk saat ini aku belum bisa menurunkan foto itu! akun harap kau bisa memakluminya!" suara Zain berhasil mengalihkan perhatian nya. Ia menatap Zain tak percaya, "Jika Tuan belum bisa melupakan nya, kenapa kamu menikahi ku?" tanya Aurel yang sedikit kecewa. Belum satu hari saja ia sudah mendapatkan kenyataan dan ucapan yang bisa membuatnya kecewa dari mulut Zain. Lagi pula, bagaimana mungkin lelaki itu menikahinya disaat Zain
Aurel membuka matanya secara perlahan, ia menatap langit-langit kamar yang terasa asing baginya. "Aku dimana?" gumamnya dalam hati. Aurel nampak asing dengan kamar yang sekarang ia tempati. Ia ingin bergerak untuk mendudukan tubuhnya, namun tidak bisa. Ia melihat ada sepasang lengan kekar tengah memeluknya dengan erat. Ia melihat siapa pemilik sepasang lengan yang sudah memeluknya dengan sangat erat. Aurel membekap mulutnya yang ingin berteriak saat mendapati wajah Zain begitu dekat dengan nya. "Ah, bukankah Tuan Zain sudah menjadi suamiku!" gumamnya saat mengingat dirinya sudah menjadi istri dari seorang Zain. "Bagaimana aku bisa lupa?" gumamnya lagi dan menghembuskan nafas kasar. "Ada apa? kenapa kau membuang nafas seperti itu?" tanya Zain yang masih setia memejamkan matanya. "T-tidak! bisakah Tuan lepaskan aku? aku ingin ke kamar mandi!" ucap Aurel. "Kau memanggilku apa?" tanya Zain yang langsung membuka matanya. Ia tak terima Aurel yang masih memanggilnya Tuan. "M-mas Za
Aurel memandangi pemandangan di luar jendela. Jalanan ini begitu asing baginya, jika ia menanyakan kemana Zain akan membawanya, Zain hanya menjawab "Nanti kau akan tau!" Hanya itu, membuat Aurel penasaran saja. Tetapi suaminya ini enggan untuk memberitahunya. "Jika mengantuk maka tidurlah, perjalanan masih jauh!" Aurel menoleh dan menatap Zain yang tengah tersenyum dan kembali fokus pada jalanan. "Baiklah," jawab Aurel yang memang sudah merasa sangat mengantuk. Zain tersenyum dan mengulurkan tangan nya untuk mengelus puncak kepala sang istri. Tak berselang lama terdengar dengkuran halus dari sang istri. Zain hanya tersenyum dan kembali fokus untuk menyetir. Rasanya Zain sudah tidak sabar melihat reaksi Aurel saat melihat apa yang akan dia tunjukan nanti. Zain yakin Aurel pasti suka. Ya, Zain berencana akan memberikan kejutan untuk sang istri sekaligus bulan madu. Selain itu, dia hanya ingin bisa menjadi lebih dekat dengan Aurel. Zain hanya ingin memulai kehidupan barunya bersam