"Sudahlah, untuk sementara kita nggak usah pikirkan itu dulu, lagian barang di rumah nggak ada yang hilang, kan?" Aku mencoba menenangkan Mas Pram."Iya juga sih, kamu benar," timpalnya. Kemudian dia menutup laptop dan merangkulku untuk keluar dari ruangan kerja.Terdengar suara ramai dari teras rumah. Jingga kalau lagi becanda dengan bibi sangat kedengaran celotehannya. Dia benar-benar anak periang, memang menggemaskan."Kita samperin ke teras, sepertinya Jingga pulang," ajak Mas Pram.Belum sempat kami membuka pintu, tiba-tiba bibi yang tengah menggendong Jingga pun masuk. Tidak ada Chika yang katanya tadi bersama mereka di taman. Aku sudah lihat ke depan teras pun tidak ada orang."Ke mana Chika, Bi?" tanyaku padanya."Nggak ada, tadi dia langsung pulang," jawab bibi."Kenapa nggak mampir dulu?" tanya bibi.Tiba-tiba Jingga turun dari gendongan bibi, dia lari dan aku lihat masuk ke dalam kamar. Hal aneh terjadi, biasanya Jingga selalu menyapaku, tapi tidak untuk sore ini, sejak mas
Jingga diam saja, dia tidak menyahuti apa-apa. Sungguh aku benar-benar berada di satu posisi yang sangat sulit.Mas Pram gantian mengedipkan matanya kepadaku. Namun, aku hanya mengangguk dan berusaha mengerti isyarat yang suamiku berikan. Ya, aku paham bahwa dia akan urus semuanya.Di sela-sela sikap Jingga yang aneh, ponselku berdering. Ada telepon masuk dari ibuku. Aku pun manfaatkan hal ini. Panggilan masuk langsung aku jawab di depan mereka yang tengah menyantap makanan."Halo, Bu. Ada apa?" tanyaku padanya."Kamu udah makan? Perdana makan malam ibu sendirian nih," ucapnya padaku."Hm, Ibu mau aku temani, aku ke sana sekarang ya," jawabku."Nggak usah, kamu udah berumah tangga, harus berada di tengah-tengah keluarga kamu yang baru," jawab ibu."Iya, tapi aku nggak tega sama Ibu sendirian," timpalku."Ibu mau izin sama Pram, kalau Bu Dewi tinggal di sini boleh nggak ya? Soalnya dia cerita ke Ibu, katanya malu tinggal satu atap dengan menantunya," ungkap ibu.Aku terdiam, Mama Dewi
"Hm ... itu, Ma, hm ...." Terlihat sekali bahwa Jingga tengah berada dalam pengaruh orang lain. Dia gugup mengatakan siapa orangnya, aku pun tidak mungkin bisa memaksa."Hm, kamu lagi bohong ya sama Papa dan Mama?" Mas Pram mengejeknya sambil mensejajarkan dengan cara duduk setengah jongkok. Lalu kedua bahu Jingga dipegang oleh Mas Pram. Mereka kini saling beradu pandang. Namun, hal yang sangat menyentuh terjadi. Tiba-tiba Jingga memeluk papanya. Tangannya yang mungil melingkar di leher sang papa."Pa, tetap sayang Jingga ya, jangan tinggalin Jingga," ucapnya membuat Mas Pram yang menghadap ke arahku pun menatapku dengan sempurna."Ini ada apa? Dari tadi ngomongnya jangan tinggalkan aku terus, tadi ngomong sama Mama juga gitu, takut ditinggal, padahal Papa tidak pernah bicara seperti itu," tutur Mas Pram.Aku tersenyum dan memberikan satu jempol untuknya."Pa, Tante Chika yang bilang," terang Jingga. Sudah kuduga ada provokator di balik ini semua. Ternyata Jingga jujur bahwa Chika ya
"Pram, tolong jangan ngajak Papa ribut, hanya dua malam aja kami di sini, kebetulan Papa lagi renovasi dikit di bagian kamar," ucap papa mertuaku. "Pram, dewasa dikit lah, rumah di sini kan hanya sementara, Papa dan Mama sambungmu ini akan tinggal di Kalimantan, kalau tidak, siapa yang urus usaha Papa di sana?" tambahnya berusaha membujuk.Mau heran, tapi itulah yang kudengar barusan. Seharusnya memang mertuaku tidak serta-merta mengajak mereka ke sini. Apalagi kondisinya aku dan Mas Pram ini pengantin baru. Namun, di sini aku hanya menantu. Aku terdiam beberapa saat, begitu juga dengan Mas Pram. Dia masih belum bisa berikan jawaban pada papanya."Pram, kok diam?" tanya sang papa."Pa, tolong hargai keputusanku, ajak istri dan anak Papa bermalam di hotel aja ya," ucap Mas Pram.Wanita yang kini menjadi pendamping papa mertuaku seutuhnya pun merangkul bahunya. "Pa, kita ke hotel aja ya, benar yang dikatakan oleh Pram, kan tadi aku juga udah saranin gitu," ungkapnya."Nggak bisa, tujua
[Enak ya jadi kamu, pernikahan lancar, jangan mentang-mentang cowok seenaknya padaku. Dengar ya, Pram! Aku tidak akan melupakan satu hal yang pernah kau lakukan padaku!] Aku terkejut membaca pesan dari seseorang yang dipastikan seorang wanita."Dia mantan kamu?" tanyaku heran."Nggak tahu, aku nggak punya mantan," jawab Mas Pram."Masa?" Aku menatap penuh curiga. Jiwa kewanitaanku mulai meronta, rasa cemburu seakan membabi buta."Setelah istriku meninggal, tidak ada wanita yang singgah di hatiku selain kamu, Inggit," ungkap Mas Pram.Aku terdiam, sedikit jual mahal dengan melengos.Lalu, Mas Pram meraih dagu ini sambil menatapku."Aku nggak tahu maksud dari isi pesannya orang itu, kalau kamu mau hubungi silakan," suruh Mas Pram. Dia menyerahkan ponselnya.Aku pun menolak, kalau aku hubungi wanita itu, tandanya aku tidak percaya pada Mas Pram. Sedangkan tidak ada masalah dengan isi pesan dari wanita itu, hanya berisi ancaman untuk Mas Pram."Baiklah, kita lupakan, Mas," ucapku.Akhirn
"Sebentar, aku baca ulang pesan semalam dan barusan," kata Mas Pram.Dia membuka lagi, bahkan membacakan dengan lantang."Tunggu, Mas. Di awal dia ngirim kan ada kata-kata sindiran, jangan mentang-mentang kamu cowok, itu artinya dia wanita, Mas, si pengirim itu seorang wanita," imbuhku.Mas Pram terdiam, "Benar juga sih, lalu siapa yang merasa tersakiti?" tanya Mas Pram balik."Hanya pesan kan? Kita nggak perlu tanggapi juga, kecuali terornya sampai mengarah keselamatan," timpalku.Akhirnya Mas Pram beranjak dari kursi duduknya. Dia mengajakku untuk segera ke meja makan.Di meja makan sudah ada Safitri dan Mas Dimas. Mereka langsung menyapa kami dan meminta maaf karena sudah menjadi tamu pagi ini."Keinginan untuk makan di sini nggak bisa aku tepis, Pram, maaf ya," ucap Safitri."Oh nggak apa-apa, kebetulan kita juga belum sarapan," jawab Mas Pram.Aku lihat Mas Dimas tersenyum murung ketika menatapku yang kini bergandengan tangan dengan Mas Pram. "Ternyata rumah Pak Pram sangat luas
"Sesuai keinginan kamu, dia beri tiket ke Jogjakarta," ucap Mas Pram.Aku tersenyum mengembang. Akhirnya keinginan untuk ke kota Jogjakarta tersampaikan. Meskipun sebenarnya orang yang bulan madu jarang pilih tujuan ke sana, tapi aku lebih suka ke kota tersebut.Ibu mendengar kami bicara. Kemudian, mendekatiku dan Mas Pram. Pelukan hangat menyentuh bahu kamu berdua seraya merangkul."Kalau menurut Ibu, nggak ada salahnya terima pemberian Chika, tapi__" Ibu menggantungkan ucapannya.Aku dan Mas Pram saling menatap. Dua alis kami kompak saling bertautan."Tapi?" Aku mengangkat alis seolah-olah penasaran dengan apa yang ingin ibu sampaikan."Tapi kalian harus hati-hati dan waspada pada pemberiannya," jawab ibu.Aku masih belum bisa mencerna ucapan ibu. Namun, sosok wanita yang telah melahirkanku itu mengajak kami berdua duduk di ruang keluarga. Dia ingin bicara pada kami berdua.Ibu duduk di sofa lebih dulu, Mas Pram menyusul duduk di sebelah kanannya. Sementara aku kini disuruh duduk di
Ibu menyorot kami berdua dengan manik mata berpindah-pindah. Aku pun baru sadar bahwa ucapan Mas Pram sudah menyakiti hati Jingga. Dulu sewaktu aku masih belum menikah dengan Mas Pram, Jingga lah yang mempersatukan kami. Namun, kini dia malah aku abaikan dan aku lebih memprioritaskan Mas Pram. Aku menghela napas panjang setelah sadar bahwa apa yang aku lakukan salah. Tangan ini berusaha mengepal jari jemari Mas Pram yang tengah menggandengku erat. Aku memberikan satu isyarat untuk duduk sepadan dengan Jingga. Mas Pram pun paham dengan apa yang aku lakukan."Hm, Jingga mau main ya? Boleh deh, Mama juga masih belum puas main dengan kamu," ucapku.Seketika itu juga Jingga tersenyum. Mas Pram pun melakukan hal yang sama. Dia duduk menghadap Jingga dan membelai dagunya."Papa juga, jadi pengen main bareng kalian, kita mainan bareng ya," susul Mas Pram."Asik!" Sebegitu bahagianya Jingga ketika kami bersedia main bersama dengannya.Kami bermain bersama. Ibu pun tersenyum ketika aku berusa