Mas Pram memakai baju dan celana, karena khawatir Jingga yang mengetuk pintu. Namun, betapa terkejutnya dia ketika buka pintu tidak ada siapa-siapa."Nggak ada orang? Kenapa tadi terdengar ada yang ketuk?" Mas Pram mengeluh di balik pintu."Coba teriakin Bibi," suruhku.Dia pun keluar, dan menanyakan hal ini pada Bibi. Lalu Mas Pram kembali lagi dengan wajah aneh."Nggak ada orang, satpam bilang Bibi dan Jingga lagi ke taman," ucap Mas Pram. "Tapi satpam bilang Bibi pergi dengan seorang wanita, siapa ya? Dia nggak kenal," tambah Mas Pram.Aku menggeser tubuh seperti orang ketakutan. Lalu mendekat dengan Mas Pram."Jangan nakutin aku, Mas," celetukku. Dagu ini berada di bahunya seakan-akan tengah bersembunyi. "Padahal satpam bilang dengan seorang wanita ya, tapi aku malah jadi takut," lanjutku."Apa dia saudaranya Bibi?" tanyaku lagi. Rasa penasaran membuatku benar-benar banyak tanya."Hm, mungkin perasaan kita aja," jawab Mas Pram. "Lanjut dulu yuk, nanti aku cek cctv setelah melanjut
"Sudahlah, untuk sementara kita nggak usah pikirkan itu dulu, lagian barang di rumah nggak ada yang hilang, kan?" Aku mencoba menenangkan Mas Pram."Iya juga sih, kamu benar," timpalnya. Kemudian dia menutup laptop dan merangkulku untuk keluar dari ruangan kerja.Terdengar suara ramai dari teras rumah. Jingga kalau lagi becanda dengan bibi sangat kedengaran celotehannya. Dia benar-benar anak periang, memang menggemaskan."Kita samperin ke teras, sepertinya Jingga pulang," ajak Mas Pram.Belum sempat kami membuka pintu, tiba-tiba bibi yang tengah menggendong Jingga pun masuk. Tidak ada Chika yang katanya tadi bersama mereka di taman. Aku sudah lihat ke depan teras pun tidak ada orang."Ke mana Chika, Bi?" tanyaku padanya."Nggak ada, tadi dia langsung pulang," jawab bibi."Kenapa nggak mampir dulu?" tanya bibi.Tiba-tiba Jingga turun dari gendongan bibi, dia lari dan aku lihat masuk ke dalam kamar. Hal aneh terjadi, biasanya Jingga selalu menyapaku, tapi tidak untuk sore ini, sejak mas
Jingga diam saja, dia tidak menyahuti apa-apa. Sungguh aku benar-benar berada di satu posisi yang sangat sulit.Mas Pram gantian mengedipkan matanya kepadaku. Namun, aku hanya mengangguk dan berusaha mengerti isyarat yang suamiku berikan. Ya, aku paham bahwa dia akan urus semuanya.Di sela-sela sikap Jingga yang aneh, ponselku berdering. Ada telepon masuk dari ibuku. Aku pun manfaatkan hal ini. Panggilan masuk langsung aku jawab di depan mereka yang tengah menyantap makanan."Halo, Bu. Ada apa?" tanyaku padanya."Kamu udah makan? Perdana makan malam ibu sendirian nih," ucapnya padaku."Hm, Ibu mau aku temani, aku ke sana sekarang ya," jawabku."Nggak usah, kamu udah berumah tangga, harus berada di tengah-tengah keluarga kamu yang baru," jawab ibu."Iya, tapi aku nggak tega sama Ibu sendirian," timpalku."Ibu mau izin sama Pram, kalau Bu Dewi tinggal di sini boleh nggak ya? Soalnya dia cerita ke Ibu, katanya malu tinggal satu atap dengan menantunya," ungkap ibu.Aku terdiam, Mama Dewi
"Hm ... itu, Ma, hm ...." Terlihat sekali bahwa Jingga tengah berada dalam pengaruh orang lain. Dia gugup mengatakan siapa orangnya, aku pun tidak mungkin bisa memaksa."Hm, kamu lagi bohong ya sama Papa dan Mama?" Mas Pram mengejeknya sambil mensejajarkan dengan cara duduk setengah jongkok. Lalu kedua bahu Jingga dipegang oleh Mas Pram. Mereka kini saling beradu pandang. Namun, hal yang sangat menyentuh terjadi. Tiba-tiba Jingga memeluk papanya. Tangannya yang mungil melingkar di leher sang papa."Pa, tetap sayang Jingga ya, jangan tinggalin Jingga," ucapnya membuat Mas Pram yang menghadap ke arahku pun menatapku dengan sempurna."Ini ada apa? Dari tadi ngomongnya jangan tinggalkan aku terus, tadi ngomong sama Mama juga gitu, takut ditinggal, padahal Papa tidak pernah bicara seperti itu," tutur Mas Pram.Aku tersenyum dan memberikan satu jempol untuknya."Pa, Tante Chika yang bilang," terang Jingga. Sudah kuduga ada provokator di balik ini semua. Ternyata Jingga jujur bahwa Chika ya
"Pram, tolong jangan ngajak Papa ribut, hanya dua malam aja kami di sini, kebetulan Papa lagi renovasi dikit di bagian kamar," ucap papa mertuaku. "Pram, dewasa dikit lah, rumah di sini kan hanya sementara, Papa dan Mama sambungmu ini akan tinggal di Kalimantan, kalau tidak, siapa yang urus usaha Papa di sana?" tambahnya berusaha membujuk.Mau heran, tapi itulah yang kudengar barusan. Seharusnya memang mertuaku tidak serta-merta mengajak mereka ke sini. Apalagi kondisinya aku dan Mas Pram ini pengantin baru. Namun, di sini aku hanya menantu. Aku terdiam beberapa saat, begitu juga dengan Mas Pram. Dia masih belum bisa berikan jawaban pada papanya."Pram, kok diam?" tanya sang papa."Pa, tolong hargai keputusanku, ajak istri dan anak Papa bermalam di hotel aja ya," ucap Mas Pram.Wanita yang kini menjadi pendamping papa mertuaku seutuhnya pun merangkul bahunya. "Pa, kita ke hotel aja ya, benar yang dikatakan oleh Pram, kan tadi aku juga udah saranin gitu," ungkapnya."Nggak bisa, tujua
[Enak ya jadi kamu, pernikahan lancar, jangan mentang-mentang cowok seenaknya padaku. Dengar ya, Pram! Aku tidak akan melupakan satu hal yang pernah kau lakukan padaku!] Aku terkejut membaca pesan dari seseorang yang dipastikan seorang wanita."Dia mantan kamu?" tanyaku heran."Nggak tahu, aku nggak punya mantan," jawab Mas Pram."Masa?" Aku menatap penuh curiga. Jiwa kewanitaanku mulai meronta, rasa cemburu seakan membabi buta."Setelah istriku meninggal, tidak ada wanita yang singgah di hatiku selain kamu, Inggit," ungkap Mas Pram.Aku terdiam, sedikit jual mahal dengan melengos.Lalu, Mas Pram meraih dagu ini sambil menatapku."Aku nggak tahu maksud dari isi pesannya orang itu, kalau kamu mau hubungi silakan," suruh Mas Pram. Dia menyerahkan ponselnya.Aku pun menolak, kalau aku hubungi wanita itu, tandanya aku tidak percaya pada Mas Pram. Sedangkan tidak ada masalah dengan isi pesan dari wanita itu, hanya berisi ancaman untuk Mas Pram."Baiklah, kita lupakan, Mas," ucapku.Akhirn
"Sebentar, aku baca ulang pesan semalam dan barusan," kata Mas Pram.Dia membuka lagi, bahkan membacakan dengan lantang."Tunggu, Mas. Di awal dia ngirim kan ada kata-kata sindiran, jangan mentang-mentang kamu cowok, itu artinya dia wanita, Mas, si pengirim itu seorang wanita," imbuhku.Mas Pram terdiam, "Benar juga sih, lalu siapa yang merasa tersakiti?" tanya Mas Pram balik."Hanya pesan kan? Kita nggak perlu tanggapi juga, kecuali terornya sampai mengarah keselamatan," timpalku.Akhirnya Mas Pram beranjak dari kursi duduknya. Dia mengajakku untuk segera ke meja makan.Di meja makan sudah ada Safitri dan Mas Dimas. Mereka langsung menyapa kami dan meminta maaf karena sudah menjadi tamu pagi ini."Keinginan untuk makan di sini nggak bisa aku tepis, Pram, maaf ya," ucap Safitri."Oh nggak apa-apa, kebetulan kita juga belum sarapan," jawab Mas Pram.Aku lihat Mas Dimas tersenyum murung ketika menatapku yang kini bergandengan tangan dengan Mas Pram. "Ternyata rumah Pak Pram sangat luas
"Sesuai keinginan kamu, dia beri tiket ke Jogjakarta," ucap Mas Pram.Aku tersenyum mengembang. Akhirnya keinginan untuk ke kota Jogjakarta tersampaikan. Meskipun sebenarnya orang yang bulan madu jarang pilih tujuan ke sana, tapi aku lebih suka ke kota tersebut.Ibu mendengar kami bicara. Kemudian, mendekatiku dan Mas Pram. Pelukan hangat menyentuh bahu kamu berdua seraya merangkul."Kalau menurut Ibu, nggak ada salahnya terima pemberian Chika, tapi__" Ibu menggantungkan ucapannya.Aku dan Mas Pram saling menatap. Dua alis kami kompak saling bertautan."Tapi?" Aku mengangkat alis seolah-olah penasaran dengan apa yang ingin ibu sampaikan."Tapi kalian harus hati-hati dan waspada pada pemberiannya," jawab ibu.Aku masih belum bisa mencerna ucapan ibu. Namun, sosok wanita yang telah melahirkanku itu mengajak kami berdua duduk di ruang keluarga. Dia ingin bicara pada kami berdua.Ibu duduk di sofa lebih dulu, Mas Pram menyusul duduk di sebelah kanannya. Sementara aku kini disuruh duduk di
"Iya, nanti dibicarakan dulu pada Pram dan Inggit ya," ucap Dion supaya anaknya berhenti merengek."Tirta, pernikahan itu bukan buat mainan, kamu harus mantapkan diri dulu, jangan karena cinta yang menggebu, kamu langsung minta lamaran," tutur Safitri menasihati."Iya, aku udah yakin. Ini pertama kali aku jatuh cinta, tolong, Mah," lirih Tirta lagi.Mereka diam sejenak."Mama sarankan kamu salat istikharah, oke," ucap Safitri sambil beranjak pergi, dia tidak meladeni anaknya lagi.Safitri masuk ke kamar. Dia mengetik pesan pada sahabatnya. Safitri mengajak Inggit berjumpa di satu cafe.Inggit kebetulan ada waktu luang besok, dia menyetujui dan menentukan waktu yang dikirimkan ke Safitri. Ya, mereka berencana akan bertemu di cafe besok. Kenapa tidak bicara melalui chat atau telepon? Urusan pernikahan adalah hal yang sakral, lagi pula Safitri ingin memastikan dulu apakah Inggit menerima jika anaknya menyukai Jingga.Mereka sudah saling kenal dan sangat dekat, jadi tidak ingin persahabat
"Tari, saya minta maaf atas kesalahan adik saya, Lian begitu berarti untuknya," ucap Haris. "Dan satu lagi yang ingin saya katakan padamu, I love you so much," terang Haris membuat Tari seketika terkejut. Kan bukan hanya Tari, tapi Dimas yang mendengarnya pun mencari sumber suara tersebut.'Haris dengan berani mengatakan hal itu di hadapan umum?' batin Dimas.Kemudian Haris berlalu pergi darinya. Dia diboyong ke sel tahanan oleh pihak yang berwajib.Semua telah selesai, keadilan telah ditegakkan. Yang jelas-jelas bersalah akan menjalani hukumannya. Lalu orang yang hanya menjadi boneka terbebaskan.Dion diminta menemui wartawan untuk sekadar bicara di depan khalayak ramai. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa keputusan hakim tadi mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, sesuai pertimbangan dan saksi, jadi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para saksi dan keluarga yang telah mendampingi saya. Semoga para vendor dan rekan kerja lainnya, tetap akan menjalani kerjasama dengan
Safitri tiba di lapas tempat Chika ditahan. Dia langsung meminta izin untuk menemui Chika."Chika sedang proses pemeriksaan dokter ahli kejiwaan, kemarin dia sempat bunuh diri, lengannya sudah disayat-sayat," ucap salah seorang petugas.Safitri terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia bahkan tidak mengetahui berita ini.Kemudian, Safitri mencari kebenarannya. Dia bahkan rela mencari tahu ke rumah sakit tempat saat ini Chika ditangani oleh dokter spesialis. Safitri yang ditemani oleh Tirta dengan mudah menemui Chika yang memang tengah diberikan penangan.Tirta menemui beberapa dokter, dan ternyata selain mengalami gangguan jiwa, ada hal yang dialami oleh Chika."Chika memiliki penyakit serius, ternyata dia menderita sakit kanker," terang Tirta pada mamanya."Ya Allah, ternyata dia sakit, pantas Haris pun terlihat frustasi tadi," timpal Safitri."Semoga keputusan hakim besok benar-benar bisa membebaskan Papa dari hukuman," jawab Tirta.Kemudian mereka pun pulang untuk memberikan informasi pa
Jadi semuanya diperintahkan untuk diam oleh Tari, mereka tidak boleh bicara supaya Dimas tidak menghindar lagi. Jingga dan yang lainnya disuruh keluar diam-diam boleh Pram. Mereka sekarang berada di luar karena Tari ingin bicara empat mata dengan Dimas."Dimas," ucap Tari akhirnya mengeluarkan suara.Saat itu juga Dimas melangkahkan kakinya. Dia terburu-buru ingin meninggalkan Tari yang tiba-tiba datang di dekatnya.Namun tangan Tari mencekal pergelangan tangan Dimas yang hendak melangkah."Mau ke mana? Aku ingin bicara empat mata, tolong jangan pergi," tutur Tari agak merendahkan nada bicaranya.Dimas hanya bisa terdiam, kemudian dia mundur kembali, Tari menuntunnya untuk duduk."Ada apa? Aku tidak mau membicarakan masalah mata, biarkan itu menjadi ladang pahala untukku," pinta Dimas."Iya, aku paham, maaf kalau tadi sudah menyecar kamu." Tari merendahkan bicaranya lagi."Terus mau ngomong apa? Aku rasa tidak ada yang bisa diobrolkan, hubungan kerja pun tidak ada," timpal Dimas."Ak
Tiba-tiba Pram dan yang lainnya berkumpul. Mereka sama-sama datang dengan pura-pura tidak mengetahui pertemuan yang sebenarnya disengaja."Loh Dimas ke sini?" tanya Pram dan yang lainnya."Kalian juga di sini?" tanya Dimas balik."Iya, aku dan Inggit ajak Tari ke sini," jawab Pram.Tari masih belum mendapatkan jawaban dari apa yang ditanyakan olehnya."Dimas, kamu belum menjawab," tegas Tari. Kemudian dia melirik ke arah semua yang tiba-tiba muncul. "Apa kalian sudah tahu kalau Dimas buta?" Tari bertanya pada Pram, Inggit dan yang lainnya.Yang ditanya oleh Tari tidak ada yang jawab. Mereka menunggu aba-aba dari Pram yang memberikan usul untuk membongkar ini semua.Tiba-tiba Tari teringat saat dia bertemu dengan Dimas di rumah Pram. Dia memicingkan matanya ke arah Ronald."Apa kamu sudah tahu kondisi papamu seperti ini?" tanya Tari.Ronald mengangguk. Kemudian dia menunduk."Jadi jawabannya kalian itu membohongiku?" tanya Tari.Ini yang ditakutkan oleh Dimas. Dia takut dituduh memanfa
Tari sempat berhenti, dia membuka kaca mobilnya, pandangannya tertuju pada Dimas."Dimas, kamu udah akur dengan Ronald?" tanya Tari tidak berprasangka apa-apa."Iya, alhamdulilah, aku pamit dulu," jawab Dimas datar yang kemudian disusul oleh Ronald melambaikan tangannya. Kemudian mereka bergegas pergi.Pram dan Inggit benar-benar terkejut melihatnya. Safitri juga yang tadinya hendak berangkat ke kantor polisi ikut tercenung sebentar.Kemudian, Tari turun dari mobilnya. Dia masih belum engeh dengan penglihatan Dimas."Kok kalian nggak bilang kalau Dimas di sini?" tanya Tari."Nggak enak, kamu sangat membenci dia," jawab Tari ngasal.Tari mengerutkan keningnya."Sejak kapan aku membenci orang? Nggak ah, kamu ngada-ngada," jawab Tari.Jantung mereka itu berdetak tak beraturan. Saat pertanyaan mengenai Dimas dilontarkan oleh Tari."Katanya mau ke sini sore, tiba-tiba datang pagi, kamu sengaja ngerjain kami?" tanya Safitri."Nggak kok, tadi abis dari makam, langsung aja deh ke sini," timpa
Perlahan mata Tari dibuka, awalnya dia agak samar-samar melihat ruangan yang ditempati. Namun perlahan, matanya melihat jelas dokter yang ada di dekatnya."Masyaallah," ucap Tari merasa terharu dengan kondisinya saat ini."Kamu udah benar-benar melihat?" tanya Safitri.Tanpa basa-basi lagi Tari langsung menyergap tubuh Safitri."Ya Allah. Alhamdulillah aku bisa melihat lagi, ini suatu keajaiban, terima kasih Tuhan, terima kasih Dokter, Safitri, aku juga mengucapkan terima kasih pada kamu dari keluarga," ungkap Tari membuat suasana menjadi haru. Air matanya pun mulai menetes membasahi pipi."Selamat ya, Bu Tari." Ucapan dokter mengingatkan Tari untuk menanyakan siapa yang telah mendonorkan matanya."Dok, maaf, saya harus tahu siapa yang mendonorkan mata untuk saya," ucap Tari.Dokter diam seketika. Safitri juga seperti itu, dia menatap dokter yang tengah terkejut dengan pertanyaan dari Tari."Hm, Tari, tim dokter rumah sakit hanya menjalankan tugasnya, kalau kamu ingin tahu siapa orang
Pram datang, dia tercengang ketika melihat sang istri tengah berada di hadapan Dimas.Inggit pun langsung menghampiri Pram yang baru saja datang."Aku akan jelaskan," ucap Inggit.Dengan sabar Pram pun mendengar penjelasan sang istri dari awal hingga akhir. Pram yang tadinya marah, kini dia mulai terharu dibuatnya. Mereka ikut menghampiri Dimas. Sekarang Pram sudah ada di hadapannya."Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Tapi aku sangat salut dengan pengorbanan kamu untuk Tari," tutur Pram.Semua orang memuji kebaikan Dimas yang luar biasa. "Aku sendiri belum tentu bisa seperti kamu, Dimas," tambah Pram."Demi semuanya, aku ingin menebus semua kesalahanku yang telah banyak merugikan orang lain," ucap Dimas."Padahal kamu nggak melakukan kejahatan yang merugikan Tari dalam kecelakaan itu," timpal Pram."Tapi anakku masih menginginkan Dion bisa bebas dari hukuman, minimal dikurangi," jawab Dion lagi-lagi berhasil membuat air mata Ronald meleleh.Semua sudah dipikirkan secara matang-m
Bersyukur operasi berjalan dengan lancar. Suster pun keluar dan bilang pada Inggit dan Safitri bahwa dokter mengusulkan tetap di ruangan observasi tapi dihalangi dengan tirai.Kenapa mereka khawatir Tari tahu? Karena biasanya pasca bius sudah hilang, rasa nyeri akan terasa, di situlah suara Dimas akan terdengar di telinga Tari, ini yang dikhawatirkan oleh Inggit dan Safitri.Safitri dan Inggit masih menunggu mereka yang ada di ruangan observasi selama satu jam."Sus, usahakan jangan dibarengi mengeluarkan keduanya," pesan Inggit."Baik, Ibu," jawab suster.Kemudian mereka bersabar menunggu Tari keluar dari ruangan observasi. Keduanya menunggu dengan sukarela. Setelah satu jam berlalu, yang lebih dulu sadar itu Tari. Suster buru-buru memindahkan dirinya ke ruangan rawat inap atas izin dokter.Safitri dan Tari mengekor dari belakang ke arah ruangan rawat inap tempat Tari menjalani perawatan."Akhirnya kamu akan bisa melihat dunia, kapan kata dokter buka perban?" tanya Safitri ketika su