Ibu menyorot kami berdua dengan manik mata berpindah-pindah. Aku pun baru sadar bahwa ucapan Mas Pram sudah menyakiti hati Jingga. Dulu sewaktu aku masih belum menikah dengan Mas Pram, Jingga lah yang mempersatukan kami. Namun, kini dia malah aku abaikan dan aku lebih memprioritaskan Mas Pram. Aku menghela napas panjang setelah sadar bahwa apa yang aku lakukan salah. Tangan ini berusaha mengepal jari jemari Mas Pram yang tengah menggandengku erat. Aku memberikan satu isyarat untuk duduk sepadan dengan Jingga. Mas Pram pun paham dengan apa yang aku lakukan."Hm, Jingga mau main ya? Boleh deh, Mama juga masih belum puas main dengan kamu," ucapku.Seketika itu juga Jingga tersenyum. Mas Pram pun melakukan hal yang sama. Dia duduk menghadap Jingga dan membelai dagunya."Papa juga, jadi pengen main bareng kalian, kita mainan bareng ya," susul Mas Pram."Asik!" Sebegitu bahagianya Jingga ketika kami bersedia main bersama dengannya.Kami bermain bersama. Ibu pun tersenyum ketika aku berusa
"Jadi kami akan memeriksa semuanya, hingga tiap aktivitas, bahkan perjalanan kalian akan kami iringi," ucap Rudi. Rasanya canggung sekali memanggil pria yang sama persis namanya dengan bapakku."Oh kami pikir akan menggantikan seseorang," timpal Mas Pram."Oh nggak begitu, kalau kita melakukan seperti yang Pram utarakan, itu akan mencelakakan orang lain, jadi lebih mawas atau istilahnya waspada aja, saya akan bawa tim. Pokoknya kalian tenang aja," ungkapnya lagi.Sekarang aku tenang. Meskipun kami semua tidak boleh berprasangka buruk terhadap Chika, tapi aku dan Mas Pram sepakat untuk lebih waspada saja.Akhirnya kami menyudahi pertemuan. Aku dan Mas Pram berencana untuk membeli sesuatu untuk Jingga. Ya, anakku harus bahagia, dia tidak boleh merasa kasih sayangku padanya berkurang setelah memiliki Mas Pram.Kami berangkat ke sebuah swalayan kecil tapi lengkap mainan di sana. Semua ada, bahkan perlengkapan bayi sekalipun tersedia di tiptop, sebuah swalayan di Jakarta Timur yang sering
Mereka balik badan. Namun, tiba-tiba saja Mas Dimas kembali menghampiri kami."Terima kasih atas bantuannya. Aku akan bayar jika saldo sudah terisi kembali," ucap Mas Dimas. "Dan kamu Inggit, pasti sekarang kamu sedang menertawakanku ya? Nasibku yang dulu kini berbanding terbalik, begitu juga dengan kamu yang kini hidup serba enak," tambahnya.Aku menoleh ke arah Mas Pram. Kemudian, kembali menyoroti Mas Dimas lagi."Dimas, tolong jangan prasangka buruk pada istriku," celetuk Mas Pram mengingatkannya.Safitri pun ikut kembali menghampiri kami. Dia memegang bahu Mas Dimas."Nggak usah bicara seperti itu, bukankah semua perbuatan akan kembali ke diri masing-masing? Kamu tahu itu kan, Mas?" tanya Safitri."Hm, iya, kata kamu sekarang aku lagi menuai apa yang aku lakukan dulu pada Inggit, begitu bukan?" Mas Dimas seperti orang menyindir. "Aku juga paham, tapi rasanya tidak adil, jika aku harus mendapatkan perlakuan ini dari wanita, aku ini laki-laki, Safitri!" kecam Mas Dimas.Mas Pram l
Mas Pram diam sejenak. Dia tersenyum seketika. Lalu menyuruhku duduk di atas ranjang. Mas Pram pun duduk dengan kondisi setengah telanjang karena dia berencana mandi."Jadi, Safitri itu memang sudah menghubungi aku lama untuk memblokir semua yang dulu aku berikan untuk Dimas," terang Mas Pram."Masa Safitri gitu, Mas?" tanyaku heran. Terus terang aku malah tidak setuju dengan ide dari Safitri ini. "Mas, kasihan loh tadi Mas Dimas malu," sambungku lagi."Terlepas dari itu, Safitri hanya ingin suaminya belajar dari kesalahannya, tapi nyatanya tadi sih aku lihat Dimas jadi menaruh kebencian padaku," pungkas Mas Pram.Aku menurunkan bahu karena kesal. Sebab, dia melakukan hal ini tanpa persetujuan aku lebih dulu. Akhirnya aku menunjukkan sikap ketidaksukaan atas tindakan Mas Pram dan Safitri. Ya, aku memalingkan wajah dari hadapan Mas Pram.Helaan napas pun terdengar dari sebelah. Mas Pram berdecak sambil meraih pergelangan tangan ini."Tuh kan, aku udah ngomong ke Safitri, pasti imbasnya
"Hm, ngapain Papa ke sini? Pasti sama Chika dan istrinya," bisik Mas Pram tidak suka.Aku hanya menoleh, kemudian menghampiri papa mertuaku yang sudah memarkirkan mobilnya.Dia turun bersama anaknya, Chika. Aku pun mengulurkan tangan ke arahnya. Lalu mencium tangan papa."Kalian mau berangkat ya? Papa ke rumah mau memastikan kalau kalian menggunakan hadiah yang diberikan oleh putriku," tutur papa. Chika menyunggingkan senyuman. Dia melirik ke arah Mas Pram dengan wajah yang tidak biasa. "Itu ada polisi juga, dikawal?" tanya Chika."Ya, benar, kamu keberatan?" Mas Pram seakan-akan menantang adik tirinya itu.Chika diam, dia menatap sang papa. Sementara aku hanya meneliti sikap dan perilaku Chika saja, memang sangat mencurigakan dari gelagatnya."Eyang, aku pergi dulu ya, mau liburan," celetuk Jingga mencairkan suasana yang tadi sempat sedikit beku."Jingga jangan nakal ya, selamat senang-senang," pesan papa. Chika terus menerus menyoroti kami. Sampai akhirnya kami naik kendaraan soro
"Mas, kita dalam bahaya ya?" tanyaku penasaran.Jingga pun mendengar, dia langsung memelukku, bahkan minta pangku."Nggak kok, udah kalian tenang ya," jawab Mas Pram sambil memantau mobil di belakang polisi, juga di samping kami.Mata Mas Pram tampak memantau sambil terus menerus menenangkan kami. Hingga akhirnya setelah cukup jauh, suamiku baru tenang dengan helaan napas yang terdengar panjang."Alhamdulillah," ucapnya mensyukuri. Dia bicara sambil memegang dadanya.Aku yang tengah memangku Jingga pun langsung menciumi keningnya."Tidur yuk, Nak!" Aku memerintahkan anak tiriku itu untuk memejamkan matanya. Jingga pun menuruti perintahku. Dia anak baik meskipun sempat ada kesalahpahaman.***Jalan tol di luar hari libur nasional sangat lancar. Sehingga kami tiba di Jogjakarta sebelum waktu Maghrib tiba. Padahal prediksi Mas Pram tadi kami akan singgah ke satu masjid di jam salat Maghrib. Namun, dikarenakan lihainya sopir dan lancarnya perjalanan, kami tiba sebelum waktu estimasi.Jin
Bab 97Kami terus mencari kira-kira apa yang mencurigakan. Sampai akhirnya Pak Rudi menggenggam sesuatu dan sengaja merahasiakannya dari kami."Saya pindah ke tempat semula, Pak," ucapnya sambil berlalu pergi, polisi tersebut juga memberikan satu isyarat pada Mas Pram. Aku kurang paham dengan kode yang diberikannya."Besok kita ke tempat pariwisata di Jogjakarta, aku lagi cari rekomendasi dari orang sekitar, semoga aja cocok untuk kalian," ungkap Mas Pram."Iya, Pa, kita rekreasi ya, aku seneng banget," jawab Jingga.Kemudian, kami menyantap makanan yang sudah tersedia, tapi aku masih penasaran dengan gelagat orang tadi. Ingin rasanya bertanya pada Mas Pram, tapi sepertinya dia sengaja bungkam. Bubur untuk bibi pun sudah dibungkus, saatnya kami kembali ke kamar hotel. Di jalan aku pun bertanya pada Mas Pram tentang barang yang ditemukan oleh Pak Rudi.Mas Pram pun membisikkan aku sesuatu, "Itu penyadap suara ada di balik meja, pinter sekali mereka, tapi diambil oleh Pak Rudi untuk me
Aku mengernyitkan dahi. Namun tidak dengan Mas Pram, ia langsung meraih dua ponsel tersebut, lalu menyerahkannya padaku salah satunya."Kamu Ibu yang nelepon, sedangkan aku Papa," jawab Mas Pram.Akhirnya kami sama-sama terima panggilan telepon."Halo," ucapku padanya."Iya, Inggit, bagaimana, kamu udah sampai?" tanya Ibu."Udah dari tadi, aku lupa kasih tahu," jawabku sambil menoleh ke arah Mas Pram. Ya, aku juga menyimak obrolannya yang aku rasa sama."Oh, berati Ibu ganggu ya? Tadi Pak Satria yang minta hubungi kamu dan dia hubungi Pram," terang ibu.Aku menoleh lagi, ternyata papa mertuaku masih berada di rumah kami, aku jadi kepikiran ibuku. Tapi, Pak Satria tidak mungkin jahat, aku tidak boleh berpikiran buruk terhadapnya."Berati sekarang Ibu masih sama Papa?" tanyaku."Justru Pak Satria baru datang, ini sama istri dan anaknya," jawab ibu. Berati Mas Pram ditelepon papanya karena ingin izin tidur di rumah. Aku pun berhenti menyoroti Mas Pram yang tengah bicara dengan sang papa