Aku mengernyitkan dahi. Namun tidak dengan Mas Pram, ia langsung meraih dua ponsel tersebut, lalu menyerahkannya padaku salah satunya."Kamu Ibu yang nelepon, sedangkan aku Papa," jawab Mas Pram.Akhirnya kami sama-sama terima panggilan telepon."Halo," ucapku padanya."Iya, Inggit, bagaimana, kamu udah sampai?" tanya Ibu."Udah dari tadi, aku lupa kasih tahu," jawabku sambil menoleh ke arah Mas Pram. Ya, aku juga menyimak obrolannya yang aku rasa sama."Oh, berati Ibu ganggu ya? Tadi Pak Satria yang minta hubungi kamu dan dia hubungi Pram," terang ibu.Aku menoleh lagi, ternyata papa mertuaku masih berada di rumah kami, aku jadi kepikiran ibuku. Tapi, Pak Satria tidak mungkin jahat, aku tidak boleh berpikiran buruk terhadapnya."Berati sekarang Ibu masih sama Papa?" tanyaku."Justru Pak Satria baru datang, ini sama istri dan anaknya," jawab ibu. Berati Mas Pram ditelepon papanya karena ingin izin tidur di rumah. Aku pun berhenti menyoroti Mas Pram yang tengah bicara dengan sang papa
"Kenapa nggak suka aku liburan, Pa?" Dengan cepat Jingga bertanya seperti itu."Nah, loh, aku nggak ikut-ikutan ah," timpal aku sambil berlalu pergi dengan langkah setengah berlari."Jangan lari kamu, bantuin aku jelasin dong!" Mas Pram pun ikut berlari mengejarku. Hingga akhirnya Jingga juga turut mengekor sambil meneriaki papanya. Aku tertawa saat menoleh ke belakang, sebab wajah Jingga ternyata terkekeh atas sikap papanya. Mas Pram pandai sekali mencari celah untuk bercanda dengan anaknya. Aku pun berhenti sejenak sambil melihat sosok anak tiriku mengejar ayahnya.Mata ini terus menyoroti mereka, tanganku berada di atas dada sambil tersenyum ke arah mereka berdua. Lalu ketika mereka memperhatikanku, tangan ini melambai-lambai seraya menyuruhnya untuk menghampiriku."Seseru ini ya bercanda bareng!?" Mas Pram turut merangkulku."Iya ya Pa, aku sangat bahagia," timpal Jingga."Nanti seterusnya Jingga bisa bercanda sama Mama di rumah," ungkapku supaya Jingga bahagia."Emang mama nanti
Bab 100Aku perhatikan dengan baik-baik. Lalu wajahnya kelihatan dari samping. Aku terkejut setelah tahu bahwa orang yang kami lihat adalah mantan mertuaku, Mama Dewi."Kok mamanya Mas Dimas ada di sini ya?" Aku malah bertanya padam Mas Pram.Namun, ketika aku hendak menghampiri. Ternyata dia sudah menutup pintu."Besok aja lah, takutnya mau istirahat," tutur Mas Pram.Kemudian, kami masuk ke dalam untuk menyantap makanan yang kami pesan. Aku ambil piring dan sendok lalu meletakkan di meja makan. Kami pun makan berdua, saling bersuap-suapan.Namun, tiba-tiba saja di tengah suapan, Mas Pram tampak memegang pelipisnya. Aku pun langsung memberikan dia minum."Kamu kenapa?" tanyaku penasaran. Namun Mas Pram mendadak memegang lehernya. Aku yang melihat suamiku dalam kondisi seperti itu langsung memanggil petugas melalui sambungan telepon.Petugas gerak cepat memanggil ambulance, sebab Mas Pram sudah tak sadarkan diri. Aku merinding ketika melihat wajah suamiku yang terlihat sangat pucat.
"Bu, maaf, pasien harus dibawa ke ruangan ICU, suami ibu koma," papar dokter membuatku tercengang. Lututku seakan lemas saat mendengar Mas Pram dinyatakan koma oleh pihak medis.Aku menggelengkan kepala. Rasanya ingin tidak percaya, tapi apa yang kulihat benar adanya. "Bu, saya izin bawa pasien ke ruangan ICU, kebetulan ada yang kosong, Ibu silakan urus administrasi," jelas dokter. Aku pun mengangguk dan mengindahkan ucapannya. Gerak kaki langsung menuju kasir dan menyelesaikan semua administrasi. Meskipun aku tidak memiliki uang, tapi aku ingat kata-kata Mas Pram, jika terjadi sesuatu dengan diriku, segera telepon kantor, maka orang kantor akan memberikan petunjuk untuk menggunakan asuransi.Setelah mengingat kata-kata Mas Pram. Di depan kasir aku menghubungi orang perusahaan. Beruntungnya langsung diangkat dan didampingi meskipun melalui sambungan telepon. Pihak kantor yang mengurus semuanya melalui sambungan telepon setelah aku menceritakan kejadiannya.Usai melakukan pembayaran.
"Halo, Inggit," ucapnya disertai gelak tawa. Aku sontak menjauhkan benda pipih itu dari telingaku. Sebab ingin melihat nomor kontak yang barusan menghubungi."Siapa kamu?" tanyaku. Sebab, suaranya memang tidak asing. Apalagi mendengar dia tertawa, sungguh aku merasa wanita itu pernah menertawakanku juga. "Kamu tahu nomor Mas Pram dari mana? Kamu ini siapa?" Aku berusaha menyecarnya. "Aku hanya ingin menertawakan kalian, ingatlah Inggit, tidak semua orang menyukai kalian, jangan merasa orang paling baik," tuturnya kemudian sambungan telepon pun terputus.Aku sedikit mengerutkan kening. Mataku tertuju pada nomor itu. Lalu aku coba mengecek kontak tersebut di salah satu aplikasi."Ternyata nomor baru, belum ada yang melaporkan kontak tersebut dan belum ada yang menyimpannya," ungkapku sambil berdecak kesal.Aku duduk, kemudian memandangi nomor itu lagi. Sesekali aku mengingat kata-kata yang dia lontarkan. Dari ucapannya tadi, memang terdengar dia sangat membenciku. Tapi tahu dari mana k
"Bu, Non Jingga demam," terang bibi membuat jantungku seakan berhenti. Aku sontak membayangkan wajah Mas Pram dan Jingga pergi untuk selama-lamanya, bukan menyumpahi mereka, tapi mendadak rasa cemas berlebihan mengiringi pikiran ini.Aku terdiam seketika. Celotehan Jingga terngiang di telinga ini. "Bi, apa ini yang dinamakan sebuah ikatan batin antara ayah dan anak perempuannya? Ya Allah, semoga Jingga dan Mas Pram cepat kembali pulih," tuturku."Bu, saya bawa Jingga ke rumah sakit atau gimana?" tanya bibi."Bi, tolong kasih obat penurun panas dulu, aku akan segera ke sana, nunggu Ibu dan Papanya Mas Pram ke sini untuk gantiin jagain Mas Pram," timpalku."Baik, Bu." Kemudian sambungan telepon pun terputus setelah bibi berpamitan.Aku pun bangkit untuk meminta izin pada suster. Ya, aku berniat masuk menemui Mas Pram. Barangkali dia sadar ketika mendengar anaknya tengah demam karena memikirkan kondisi sang papa.Suster pun mengizinkan. Aku dengan cepat melangkahkan kaki ke arah Mas Pram
Ibu aku suruh masuk duluan, aku putar badan untuk keluar dan bicara fokus pada polisi."Halo, Pak, iya ada apa?" tanyaku padanya saat sudah sangat yakin itu Pak Rudi."Bu, kami sudah menemukan siapa yang telah meletakkan penyadap suara di kantin itu, tapi dia masih tutup mulut siapa yang telah membayarnya," ungkap Pak Rudi."Oh jadi mereka dibayar oleh seseorang?" tanyaku penasaran."Iya, Bu, mereka masih bungkam, mau nyecar tapi mereka wanita, tidak bisa dengan kekerasan atau lainnya, kita tunggu ya Bu," jawab Pak Rudi."Apa orang yang nyadap suara dengan yang menukar nasi sama, Pak?" tanyaku lagi."Beda, Bu. Kami juga tengah menyelidiki nenek tersebut. Tadi ke rumahnya, menurut warga setempat dia belum pulang bekerja, sayangnya tetangganya tidak tahu lokasi kerjanya, jadi team masih nunggu," jawabnya lagi.Setelah itu panggilan telepon pun terputus ketika polisi sudah memaparkan semuanya. Aku langsung menutup telepon dan menuju tempat tidur di mana ada Jingga yang tengah berbaring.
Aku jadi semakin penasaran, telinga ini aku pasang supaya bisa mendengar percakapan Chika dengan orang yang berada di seberang telepon."Udah dulu ya, awas jangan sampai ketahuan!" Chika seakan mengancam orang tersebut. "Ingat! Jangan bawa-bawa saya," tambahnya lagi.Aku pun bersembunyi saat Chika sudah selesai bicara dengan orang yang ditelepon olehnya. Aku pura-pura mengusap layar ponsel dan menggulirnya.Dia duduk kembali di dekatku, perempuan itu sangat asing bagiku, dia tidak pernah menyapa atau sekedar basa-basi."Kamu nanti malam tidur di sini?" Akhirnya akulah yang memulai duluan."Iya, kenapa?" tanya Chika."Nggak apa-apa, terima kasih sudah peduli dengan suamiku," jawabku pura-pura, padahal hati ini tengah menaruh curiga padanya."Sama-sama, dia kan saudaraku meski tiri," jawab Chika.Aku hanya terdiam sambil menelan ludah. Entah kenapa perasaanku sungguh tidak respect dengannya.Tiap Chika melakukan sesuatu, aku selalu memperhatikannya, sebab aku benar-benar curiga terhadap