"Bu, maaf, pasien harus dibawa ke ruangan ICU, suami ibu koma," papar dokter membuatku tercengang. Lututku seakan lemas saat mendengar Mas Pram dinyatakan koma oleh pihak medis.Aku menggelengkan kepala. Rasanya ingin tidak percaya, tapi apa yang kulihat benar adanya. "Bu, saya izin bawa pasien ke ruangan ICU, kebetulan ada yang kosong, Ibu silakan urus administrasi," jelas dokter. Aku pun mengangguk dan mengindahkan ucapannya. Gerak kaki langsung menuju kasir dan menyelesaikan semua administrasi. Meskipun aku tidak memiliki uang, tapi aku ingat kata-kata Mas Pram, jika terjadi sesuatu dengan diriku, segera telepon kantor, maka orang kantor akan memberikan petunjuk untuk menggunakan asuransi.Setelah mengingat kata-kata Mas Pram. Di depan kasir aku menghubungi orang perusahaan. Beruntungnya langsung diangkat dan didampingi meskipun melalui sambungan telepon. Pihak kantor yang mengurus semuanya melalui sambungan telepon setelah aku menceritakan kejadiannya.Usai melakukan pembayaran.
"Halo, Inggit," ucapnya disertai gelak tawa. Aku sontak menjauhkan benda pipih itu dari telingaku. Sebab ingin melihat nomor kontak yang barusan menghubungi."Siapa kamu?" tanyaku. Sebab, suaranya memang tidak asing. Apalagi mendengar dia tertawa, sungguh aku merasa wanita itu pernah menertawakanku juga. "Kamu tahu nomor Mas Pram dari mana? Kamu ini siapa?" Aku berusaha menyecarnya. "Aku hanya ingin menertawakan kalian, ingatlah Inggit, tidak semua orang menyukai kalian, jangan merasa orang paling baik," tuturnya kemudian sambungan telepon pun terputus.Aku sedikit mengerutkan kening. Mataku tertuju pada nomor itu. Lalu aku coba mengecek kontak tersebut di salah satu aplikasi."Ternyata nomor baru, belum ada yang melaporkan kontak tersebut dan belum ada yang menyimpannya," ungkapku sambil berdecak kesal.Aku duduk, kemudian memandangi nomor itu lagi. Sesekali aku mengingat kata-kata yang dia lontarkan. Dari ucapannya tadi, memang terdengar dia sangat membenciku. Tapi tahu dari mana k
"Bu, Non Jingga demam," terang bibi membuat jantungku seakan berhenti. Aku sontak membayangkan wajah Mas Pram dan Jingga pergi untuk selama-lamanya, bukan menyumpahi mereka, tapi mendadak rasa cemas berlebihan mengiringi pikiran ini.Aku terdiam seketika. Celotehan Jingga terngiang di telinga ini. "Bi, apa ini yang dinamakan sebuah ikatan batin antara ayah dan anak perempuannya? Ya Allah, semoga Jingga dan Mas Pram cepat kembali pulih," tuturku."Bu, saya bawa Jingga ke rumah sakit atau gimana?" tanya bibi."Bi, tolong kasih obat penurun panas dulu, aku akan segera ke sana, nunggu Ibu dan Papanya Mas Pram ke sini untuk gantiin jagain Mas Pram," timpalku."Baik, Bu." Kemudian sambungan telepon pun terputus setelah bibi berpamitan.Aku pun bangkit untuk meminta izin pada suster. Ya, aku berniat masuk menemui Mas Pram. Barangkali dia sadar ketika mendengar anaknya tengah demam karena memikirkan kondisi sang papa.Suster pun mengizinkan. Aku dengan cepat melangkahkan kaki ke arah Mas Pram
Ibu aku suruh masuk duluan, aku putar badan untuk keluar dan bicara fokus pada polisi."Halo, Pak, iya ada apa?" tanyaku padanya saat sudah sangat yakin itu Pak Rudi."Bu, kami sudah menemukan siapa yang telah meletakkan penyadap suara di kantin itu, tapi dia masih tutup mulut siapa yang telah membayarnya," ungkap Pak Rudi."Oh jadi mereka dibayar oleh seseorang?" tanyaku penasaran."Iya, Bu, mereka masih bungkam, mau nyecar tapi mereka wanita, tidak bisa dengan kekerasan atau lainnya, kita tunggu ya Bu," jawab Pak Rudi."Apa orang yang nyadap suara dengan yang menukar nasi sama, Pak?" tanyaku lagi."Beda, Bu. Kami juga tengah menyelidiki nenek tersebut. Tadi ke rumahnya, menurut warga setempat dia belum pulang bekerja, sayangnya tetangganya tidak tahu lokasi kerjanya, jadi team masih nunggu," jawabnya lagi.Setelah itu panggilan telepon pun terputus ketika polisi sudah memaparkan semuanya. Aku langsung menutup telepon dan menuju tempat tidur di mana ada Jingga yang tengah berbaring.
Aku jadi semakin penasaran, telinga ini aku pasang supaya bisa mendengar percakapan Chika dengan orang yang berada di seberang telepon."Udah dulu ya, awas jangan sampai ketahuan!" Chika seakan mengancam orang tersebut. "Ingat! Jangan bawa-bawa saya," tambahnya lagi.Aku pun bersembunyi saat Chika sudah selesai bicara dengan orang yang ditelepon olehnya. Aku pura-pura mengusap layar ponsel dan menggulirnya.Dia duduk kembali di dekatku, perempuan itu sangat asing bagiku, dia tidak pernah menyapa atau sekedar basa-basi."Kamu nanti malam tidur di sini?" Akhirnya akulah yang memulai duluan."Iya, kenapa?" tanya Chika."Nggak apa-apa, terima kasih sudah peduli dengan suamiku," jawabku pura-pura, padahal hati ini tengah menaruh curiga padanya."Sama-sama, dia kan saudaraku meski tiri," jawab Chika.Aku hanya terdiam sambil menelan ludah. Entah kenapa perasaanku sungguh tidak respect dengannya.Tiap Chika melakukan sesuatu, aku selalu memperhatikannya, sebab aku benar-benar curiga terhadap
Aku segera menghampiri dokter yang menangani Mas Pram. Padahal mereka masih berada di ujung pintu. Namun, rasa tak sabaran menyelimuti diri ini."Gimana, Dok?" tanyaku dengan penuh antusias. Chika juga menyusulku dan berdiri tepat di sebelahku."Alhamdulillah, pasien sudah melewati masa kritisnya, kalian boleh menemuinya," ucap dokter membuatku spontan menoleh ke arah Chika. Yang aku heran, responnya tidak seperti yang aku harapkan, dia begitu datar dan seperti orang tidak menyukai."Sungguhan, Dok?" Aku meyakinkan."Iya, suami Ibu selamat dari racun yang mematikan itu, lalu gimana polisi sudah menemukan pelaku belum?" tanya dokter."Lagi dicari, Pak, insyaallah hukum akan ditegakkan," jawabku sambil melirik ke arah Chika. Dia tampak membuang mukanya ke lain arah. Chika semakin mencurigakan saja."Oke, kalau gitu saya permisi, satu jam lagi pasien bisa dipindahkan ke ruangan rawat inap," tutur dokter sambil menepuk bahuku.Kemudian, setelah dokter pergi, aku pun menemui Mas Pram di da
"Ini kenapa bisa lepas ya? Ada yang sengaja melepaskan?" Aku bertanya pada suster jaga."Saya minta maaf, Bu, karena tidak menjaga pasien, tapi beruntungnya Ibu sudah datang, coba tanyakan pada saudara Ibu yang tadi," tutur suster.Aku pun keluar untuk menemui Chika. Kemudian dengan cepat aku menghampirinya yang tengah duduk santai di depan. Kaki kanannya berada di atas kaki kiri. Kemudian kedua tangannya sibuk mengusap layar ponsel."Aku mau bicara," cetusku dengan memperlihatkan wajah tidak menyukainya.Chika pun berdiri. Posisinya berubah menjadi sepadan denganku yang tengah berdiri tegak menghadap dirinya sambil berkacak pinggang."Tangannya jangan ada di pinggang," usulnya sambil menyingkirkan tanganku kemudian dia menyilangkan tangannya di atas dada."Kamu juga tangannya nggak usah disilangkan gitu," timpalku gantian melarang posisi tangannya yang terlihat menantang itu.Chika pun membanting tangannya sendiri. "Aku heran dengan kamu, maunya apa sih? Padahal aku ke sini niat neme
"Dia pasti disuruh orang ya, Pak? Wanita atau laki-laki?" cecarku.Saat itu juga Papa mertuaku dan Chika menyorotku dengan tatapan tajam. Dia seakan-akan menyimak obrolanku meskipun dengan sambungan telepon."Kami tidak tahu laki-laki atau perempuan, wanita tua ini tidak mengaku sama sekali, ponsel yang kami temukan sebagai bukti pun dia sudah hilangkan, dalam artian semua panggilan maupun pesan sudah dihapus olehnya, jadi dia memang benar-benar menghilangkan jejak yang memerintahkan," terang Pak Rudi.Aku terdiam sejenak. Sebab ada yang memperhatikanku bicara."Tolong diselidiki lagi ya, Pak. Kasus ini harus diusut tuntas," timpalku. "Lalu orang yang mencoba merekam percakapan kami, apa dia sudah mengakuinya?" tanyaku lagi."Oh, sudah juga, Bu. Tapi mereka sudah menghilangkan bukti," jawab polisi. "Sepertinya bayaran kedua orang itu sangat banyak, hingga mereka berusaha bungkam," tambahnya lagi.Tiba-tiba mataku melirik ke arah Chika. Dia pun mengedarkan pandangannya ketika aku melak