Ada yang terlupakan saat mereka ngobrol berdua, ponsel belum aku atur ke mode sunyi. Ditambah lagi aku belum menekan tombol rekam suara. Aku coba mengusap layar ponsel untuk merekam percakapan mereka. Namun sebelumnya, aku mengambil foto mereka terlebih dahulu. Supaya bisa antisipasi semuanya jika dibutuhkan.'Biarkan yang tadi tidak terekam, siapa tahu ada pembicaraan yang lebih meyakinkan lagi.Aku terus mendengarkan mereka bicara. Sesekali mata ini berkeliling melihat ke sekitar. Aku takut juga ketahuan oleh Chika, bukan karena takut padanya, tapi khawatir dia sadar dan aku tidak bisa mengambil bukti."Banyak banget, uang yang kemarin sudah cukup banyak nominalnya, kenapa kamu jadi memeras saya?" tanya Chika. Dia bicara dengan nada menekan.Aku masih menunggu wanita itu menimpalinya, sambil sesekali otak ini mengingat suara tersebut."Terserah kamu sih, kalau mau aman ya udah keluarkan duit itu sekarang," jawabnya.Kuperhatikan Chika menghela napas panjang. Dia kesal terhadap wanit
Aku bukti tersebut. Di dalam ponsel ada rekaman video saat aku memeriksa ponsel Chika, dan menyamakan kontak tersebut.Mata Papa tertuju ke arah layar ponsel tersebut. Dia menghela napas kasar. Sekitar tiga kali papa membaca ulang dan memperhatikan nomor baru anaknya itu. Kemudian diakhiri dengan berdecak kesal."Kenapa Chika ngancam kamu seperti itu? Rasanya Papa tidak percaya, tapi apa yang Inggit perlihatkan sangat jelas." Aku menurunkan bahu ketika Papa mengatakan itu. Aku merasa amat lega mendengar ucapannya. Ternyata dia percaya dengan bukti yang aku berikan. Aku meraih ponsel itu kembali. Kemudian, mengantonginya ke dalam tas."Sekarang Papa percaya kan?" tanya Mas Pram."Sejujurnya nggak percaya, tapi bukti mengatakan semuanya, entah Papa harus bersikap apa terhadap Chika," jawab Papa Satria."Tegas dong, Pa. Tanyain kenapa dia melakukan hal seperti itu?" Mas Pram berusaha meminta keadilan. Sebab dia tadi sudah membela Chika, sekarang ada bukti yang dilihatnya.Aku menghela n
"Perempuan bercadar? Apaan sih, Pah? Aneh banget pertanyaannya," timpal Chika."Nggak usah ngelak, ada kok foto sekaligus rekaman suara obrolan kalian," jawab Papa Satria.Tiba-tiba suasana menjadi hening, Papa mertuaku menatap anaknya dengan tajam, bahkan tanpa kedip sedikit pun. Aku melirik ke arah Mas Pram yang juga menatapku diam-diam. Kedipan mata suamiku itu seakan-akan memberikan isyarat untuk diam. Ya, aku diam menyaksikan perdebatan antara keduanya."Pa, kok aneh sih? Aku kayak orang asing di sini, padahal Inggit loh yang bukan siapa-siapa," tukas Chika seperti biasa memutar balikkan fakta, dia seperti mengalihkan pembicaraan.Papa menggelengkan kepalanya. Aku berharap dia mempercayaiku dan mulai meragukan segala ucapan Chika. "Chika, Papa bertanya siapa wanita bercadar yang tadi kamu temui, lalu kamu ajak ke bank dengan memberikan sejumlah uang!" tekan Papa mertuaku seraya menyecarnya.Chika mengedarkan pandangannya ke arahku, alisnya tertautkan, kemudian menghampiriku sam
"Halo, Pak Rudi." Aku menyapa lebih dulu."Iya, Bu. Maaf saya mau kasih kabar buruk," timpal Pak Rudi.Aku sedikit menoleh ke arah Mas Pram. Suamiku juga menautkan kedua alisnya ketika melihat reaksi wajahku yang tampak terkejut."Kabar buruk apa, Pak? Padahal saya berharap bapak membawa kabar baik," jawabku sambil menghela napas."Orang yang meracuni Pak Pram sakit, dia tak sadarkan diri, sekarang masih dalam pengawasan polisi," ungkap Pak Rudi.Aku terkejut mendengarnya, bagaimana tidak, aku rasa orang yang menjadi dalang dari peristiwa ini sangat memantau gerakan kami, jadi dia lebih cepat bertindak."Kalau boleh tahu, kenapa dia bisa tak sadarkan diri?" tanyaku padanya. Sebab setiap penyakit pasti ada penyebabnya."Polisi masih menyelidiki, selepas bertemu dengan salah satu pengunjung, dia pingsan dan tak sadarkan diri," tutur Pak Rudi.Aku berdecak sambil mengusap kening. Rasanya sangat disayangkan ini semua terjadi begitu cepat. Kami belum menyecar wanita itu, tapi ternyata dia
Aku segera menghubungi Pak Rudi, kami bicara cukup lama, ternyata menurut keterangan Pak Rudi, wanita itu sudah diinterogasi dan telah mengakui bahwa mereka adalah orang suruhan wanita tua yang sekarang masuk ICU.Ketika Pak Rudi mengatakan hal tersebut aku agak lemas. Sebab ternyata kunci dari masalah ini adalah wanita yang menukar makanan kami.Setelah selesai bicara dengan Pak Rudi, aku dan Mas Pram memutuskan untuk mencari jalan lain. Aku yakin di setiap permasalahan pasti ada jalan keluar."Kita coba pasrahkan saja pada Allah, semua ini sudah di luar kendali kita, biarkan Tuhan yang menentukan jalannya, yang terpenting kami sudah berusaha," ungkap Mas Pram berusaha sabar dan pasrah. Semua kami kembalikan lagi pada Yang Maha Kuasa.Aku tersenyum sambil menatap suamiku. Yang dikatakan Mas Pram itu benar, biasanya disaat kita pasrah dan menyerahkan semua persoalan dunia akan ada keajaiban dari Tuhan."Sekarang kita fokus kesembuhan kamu dulu, kasihan Jingga nungguin di hotel, mau ber
"Kenapa kalian kayak terkejut? Heran ya Mas Dimas berubah jadi banyak uang? Tidak salah lagi, kalian nggak mau lihat suamiku sukses ya kan?" Apa yang dikatakan Safitri sungguh bukan yang ada di pikiranku dan Mas Pram. "Hm, bukan gitu, Fit, tapi__" Ucapanku dihentikan oleh Mas Pram dengan telapak tangannya. Hal ini membuat bahu Safitri menghadap ke arahku."Tapi apa?" Safitri penasaran.Kalau tidak diizinkan untuk menceritakan, aku bisa apa? Mas Pram melarang untuk bicarakan ini pada Safitri jadi aku tak perlu melanjutkan ucapanku tadi."Nggak, Fit, aku dan Inggit heran aja, berarti Dimas udah bikin rekening baru? Kan rekening yang dia dapat dari perusahaan udah diblokir sesuai dengan permintaan kamu," jelas Mas Pram. Ternyata suamiku bisa mengalihkan pembicaraan dan membuat Safitri percaya."Oh, iya sudah bikin rekening baru lagi dia. Benar terbukti cara aku kemarin kan? Artinya sukses setelah kita ngerjain Mas Dimas, kalau nggak gitu, mungkin dia masih berpangku tangan dengan kekaya
Chika, Mas Dimas, dan wanita bercadar yang masih belum diketahui namanya. Namun, jika dipikir-pikir, wanita itu sebagai perantara untuk meminta transferan. Dari sini aku masih abu-abu dalam menduga, tidak bisa gegabah dan harus disertai bukti. Ditambah lagi perkenalan antara Mas Dimas dengan Chika, sesempit itu dunia tempat berpijak manusia ini? Sampai-sampai harus mengenal dengan orang yang dekat dengan kita."Nggak usah melamun," celetuk Mas Pram sambil menepuk tangan ini."Nggak kok, cuma pengen cepat ketemu aja pelakunya," timpalku.Sambil menunggu kabar dari Pak Rudi, aku dan Mas Pram menghubungi ibu untuk bicara kembali dengan Jingga. Seharian ini aku jadi sering menelpon Jingga, putri kecil Mas Pram satu-satunya.Setelah beberapa menit kemudian, sekitar empat puluh menit lamanya, Pak Rudi akhirnya menghubungi Mas Pram. Aku ikut menyimak segala obrolan mereka."Belum ada yang terlihat aneh, mereka berdua tinggal di satu rumah, dan sudah ada seorang wanita di situ, kelihatannya o
Polisi mengizinkan kami untuk menemui wanita tersebut. Sebab, aku dan Mas Pram sangat membutuhkan informasi dari dia. Aku dan Mas Pram memakai baju khusus di ruangan tersebut. Setelah rapi, kami berdua digiring oleh suster dan diawasi oleh salah seorang suster.Wanita itu terpejam, bagai mayat hidup yang dikelilingi oleh alat-alat medis. Aku menggandeng Mas Pram karena merasa kasihan pada wanita itu."Bu, apa kabar? Semoga walau dalam kondisi koma, Ibu bisa mendengar suara saya," ucap Mas Pram membuatku menoleh ke arahnya. Sungguh rasa haru dan tersentuh mendengar penuturannya barusan."Bu, saya adalah orang yang sengaja Ibu tukar makanannya, saya juga nyaris mati kalau istri saya tidak buru-buru membawa ke rumah sakit." Lagi-lagi spontan aku menoleh ke arahnya. Sungguh dada ini bergetar kala dia mengatakan hal tersebut.Kemudian, Mas Pram melepaskan gandengan tanganku. Dia meraih punggung tangan wanita tersebut dengan amat lembut."Bu, saya sudah memaafkan Ibu, coba Ibu jelaskan pad