Akhirnya polisi menyimpan bukti tersebut, foto yang diberikan oleh anak dari Bu Achi, dengan foto yang Pak Rudi miliki."Saya akan memeriksa orang yang berada di dalam foto ini, semoga ada titik terang dari permasalahan ini," ungkap Pak Rudi."Iya, Pak." Mas Pram menjawab singkat.Keluarga dari orang yang meracuni Mas Pram pun sudah mengakui tindakan ibunya. Mereka hanya korban kesulitan ekonomi saja, jadi mengambil jalan singkat untuk memperbaiki ekonominya.Bisa diambil pelajaran untukku dan Mas Pram. Bahwasanya di luaran sana masih banyak orang-orang yang membutuhkan pekerjaan."Memang kamu tidak bekerja? Hingga ibumu melakukan hal seperti ini?" Mas Pram bertanya pada kedua wanita tersebut."Kami baru saja lulus, dan ijazah kami masih tertahan, makanya belum bisa mencari kerja, Ibu melakukan hal ini untuk menebus ijazah kami," ungkap kedua wanita yang tampaknya tidak jauh berbeda usianya."Bu Achi itu orang tua asuh kami, dia begitu baik dan bertanggung jawab, maafkan segala kesalah
"Aku setuju, cara halus dan elegan," sahut Mas Pram.Kami pun tersenyum bersama. Tanda kesepakatan pun terlihat saat Mas Pram bersalaman dengan Pak Rudi. Satu persatu terbuka, keyakinan kami bertambah pada tiga tersangka. Mereka bisa terjerat hukum atas dugaan pembunuhan berencana terhadap Mas Pram. Ya, Chika, Mas Dimas, dan Mama Dewi sudah bersekongkol untuk melakukan aksi ini.Awal kami curiga memang hanya pada Chika, kemudian disusul gelagat Mas Dimas yang menurut keterangan istrinya, Safitri, telah mendapatkan transferan. Lalu kecurigaan kami ditambahkan dengan penemuan bukti bahwa wanita bercadar yang sempat aku curigai adalah Mama Dewi.Semua terbuka dengan sendirinya. Begitulah bangkai, meskipun disimpan sangat rapat, akan tercium baunya. "Kalau begitu, saya akan menunggu sampai Bu Achi siuman, dan segera mengabarkan kalian, untuk pemeriksaan terhadap Bu Dewi kita batalkan dulu sesuai rencana kalian, saya rasa ini usulan yang bagus untuk memancing dalangnya keluar dari tempat
Kami lihat di dalam ada keramaian. Mas Pram menyeruak dari kerumunan itu, aku pun ikut mengekor dan penasaran dengan apa yang terlihat."Copet kok bisa ada di dalam hotel? Aneh banget," celetuk ibu yang ternyata ada di dalam kerumunan tersebut. Dia tengah duduk memangku Jingga. Mas Pram sontak meminta Jingga dan menggendongnya."Ada apa ini, Bu?" tanya Mas Pram.Aku ikut menghampiri, setelah itu berdiri di sebelah Mas Pram yang tengah menggendong Jingga."Ya Allah, Nak. Kami dicopet, masa copetnya tadi di lobi dan satpam hotel nggak berhasil menangkapnya. Kesal Ibu, Nggit!" jawab ibu dengan wajah kesalnya."Kenapa bisa ada copet di wilayah hotel? Itu merugikan pihak hotel juga loh, jadi pengunjung semakin takut untuk memilih hotel ini untuk bermalam!" cetus Mas Pram menanggapi aduan ibuku ke management."Kami minta maaf atas ketidak nyamanan, kami bersedia menggantikan semua kerugian yang ada di tas tersebut," papar manager hotel yang terlihat rapi bajunya.Aku terdiam ketika dia men
"Tante Chika nanya apa aja, Jingga?" tanya Mas Pram. Aku rasa dia penasaran makanya akhirnya mengakhiri rasa penasarannya dengan mengajukan pertanyaan pada anaknya."Nggak nanyain apa-apa sih, Pa, cuma telepon aja," jawab Jingga.Mas Pram terlihat lega, kelihatan dari cara duduknya yang sudah kembali menghadap ke arah jalan.Aku pun sama, semoga saja apa yang dikatakan Jingga tidak ada yang disembunyikan. Semuanya dia ungkapkan dengan jujur.Pak sopir mengendalikan mobilnya dengan cepat. Supaya bisa tepat waktu ke bandara. Sebab sudah tersisa setengah jam lagi. Tapi kami masih berada di jalan dan cukup jauh lokasinya.***Setibanya di bandara, kami tergesa-gesa dari parkiran. Namun, memang takdir sudah menentukan, ternyata pesawat ditunda keberangkatannya.Mas Pram tersenyum. Lagi-lagi semua yang terjadi sudah diatur oleh Tuhan."Tadi sempat cemas berlebihan, lalu cuma bisa pasrah kalau ketinggalan pesawat," tuturku pada Mas Pram."Iya, aku juga mikirnya bakal ketinggalan," jawab Mas
"Tunggu, tunggu, terima kasih untuk apa?" tanya Mas Pram. Matanya tak luput dari melirik ke arahku."Ah iya, yang masukin lagi Chika, tapi kan perusahaan itu masih milik kamu, makanya aku ngucapin terima kasih," timpal Safitri.Aku mengedipkan mata, supaya dia tetap bicara terus dengan Safitri. Mas Pram pun kelihatan mengerti."Oh ya kamu masih di Jogja?" tanya Mas Pram pada Safitri."Iya, rencananya hari ini akan terbang ke Jakarta, karena di sini juga cuma jemput Mama Dewi," jawab Safitri.Satu persatu terjawab sudah, pengakuan Safitri barusan telah membuktikan bahwa Mama Dewi lebih dulu ke Jogjakarta ketimbang mereka. Itu artinya memang wanita bercadar itu adalah Mama Dewi."Oh jadi kalian ke sana jemput Mama Dewi?" tanya Mas Pram."Bukan hanya itu, aku ke sini kan karena Mas Dimas menang tender. Awalnya ingin bertemu jika di Jogja, tapi ternyata dia sudah terbang ke Jakarta duluan, kamu paham kan Pram?" tanya Safitri.Mas Pram menganggukan kepalanya. Aku pun begitu, kami sama-sama
Satpam datang dengan mengetuk pintu, lalu aku mempersilakannya masuk. Satpam tersebut menunduk saat menghampiri kami berdua."Maaf, Pak. Ada apa ya?" tanyanya. Aku pikir dia tahu maksud dan tujuan kami memanggilnya, ternyata masih bertanya-tanya."Kenapa ruangan saya berantakan?" tanya Mas Pram.Dia langsung menggigit bibirnya. Dengan posisi tangan berada di depan perutnya."Oh, kemarin Pak Satria dan Non Chika datang ke sini, Pak. Katanya sudah izin dengan bapak," terangnya. Ternyata benar dugaan Mas Pram, papanya sendiri yang masuk ke dalam."Kenapa kamu nggak telepon saya?" tanya Mas Pram dengan membentak."Kata Pak Satria, Pak Pram masih sakit," jawabnya jujur. Aku yakin dia bicara apa adanya tanpa dilebihkan dan dikurangi.Mas Pram berdecak kesal, dia bahkan menggebrak mejanya."Oke, terima kasih, Pak, silakan berjaga lagi!" Akhirnya aku menyuruhnya pergi dari sini, karena dalam hal ini dia tidak salah.Setelah satpam keluar, aku pun meminta Mas Pram tenang. "Jangan emosi dulu, n
"Kita masuk aja dulu," ucapku meskipun percaya dengan Lili. "Bu, Pak, saya serius, bahkan Pak Satria yang bilang," terang Lili kembali membuat kami berdua heran, kenapa Papa Satria seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi dan dirahasiakannya?Aku menelan ludah kemudian menghela napas panjang. Setelah itu, lengan Mas Pram aku gandeng supaya cepat membuka pintu.Kini, tangannya mulai mengayun dan bergerak membuka handle pintu. Lalu membukanya lebar-lebar dan kami spontan menyoroti ke dalam. Aku berusaha tenang dengan menghela napas panjang. Namun, tidak dengan Mas Pram, dia beranjak dengan langkah cepat."Apa-apaan ini? Kenapa kamu duduk di kursiku? Perusahaan ini milikku, tolong jangan buatku emosi pagi-pagi buta!" sentak Mas Pram. Dia sudah tersulut emosi duluan lihat Chika duduk di kursinya. Padahal, Mas Pram sebelumnya memang telah menyetujuinya meskipun waktu itu papa mertuaku hanya minta sementara waktu saja."Kan sudah izin, kamu juga mengizinkan, ya kan, Pa?" Chika menghadap k
Ya, itu Dimas, rasanya aku sudah enggan menyematkan kata 'Mas' di depan namanya.Aku melihat Dimas yang tiba-tiba maju ke depan setelah Chika mempersilakannya untuk maju. Tidak dipungkiri jika Dimas menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan, matanya menyipit saat melewati tempat aku dan Mas Pram berada, namun apa yang aku lakukan? Di dalam ruangan yang sekarang sudah bukan tempat suamiku berwenang, aku sama sekali tidak mempedulikannya meskipun Chika seperti ingin memperlihatkan semuanya padaku."Kamu nggak apa-apa, kan?" Bisikian pertanyaan dari Pram sontak membuatku menoleh, aku tersenyum tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya karena kedatangan Dimas ke kantor mereka. "Aku nggak apa-apa, kamu nggak perlu khawatir, hanya saja tidak menyangka bahwa orang yang minta dimaafkan kini ada di depan mata, kalau tahu begini, tidak perlu membebaskan dia dulunya, ternyata hanya pura-pura." Aku bukan lagi berbisik, tapi bicara dengan lantang supaya mereka dengar, tak terkecuali, Dimas."B
"Iya, nanti dibicarakan dulu pada Pram dan Inggit ya," ucap Dion supaya anaknya berhenti merengek."Tirta, pernikahan itu bukan buat mainan, kamu harus mantapkan diri dulu, jangan karena cinta yang menggebu, kamu langsung minta lamaran," tutur Safitri menasihati."Iya, aku udah yakin. Ini pertama kali aku jatuh cinta, tolong, Mah," lirih Tirta lagi.Mereka diam sejenak."Mama sarankan kamu salat istikharah, oke," ucap Safitri sambil beranjak pergi, dia tidak meladeni anaknya lagi.Safitri masuk ke kamar. Dia mengetik pesan pada sahabatnya. Safitri mengajak Inggit berjumpa di satu cafe.Inggit kebetulan ada waktu luang besok, dia menyetujui dan menentukan waktu yang dikirimkan ke Safitri. Ya, mereka berencana akan bertemu di cafe besok. Kenapa tidak bicara melalui chat atau telepon? Urusan pernikahan adalah hal yang sakral, lagi pula Safitri ingin memastikan dulu apakah Inggit menerima jika anaknya menyukai Jingga.Mereka sudah saling kenal dan sangat dekat, jadi tidak ingin persahabat
"Tari, saya minta maaf atas kesalahan adik saya, Lian begitu berarti untuknya," ucap Haris. "Dan satu lagi yang ingin saya katakan padamu, I love you so much," terang Haris membuat Tari seketika terkejut. Kan bukan hanya Tari, tapi Dimas yang mendengarnya pun mencari sumber suara tersebut.'Haris dengan berani mengatakan hal itu di hadapan umum?' batin Dimas.Kemudian Haris berlalu pergi darinya. Dia diboyong ke sel tahanan oleh pihak yang berwajib.Semua telah selesai, keadilan telah ditegakkan. Yang jelas-jelas bersalah akan menjalani hukumannya. Lalu orang yang hanya menjadi boneka terbebaskan.Dion diminta menemui wartawan untuk sekadar bicara di depan khalayak ramai. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa keputusan hakim tadi mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, sesuai pertimbangan dan saksi, jadi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para saksi dan keluarga yang telah mendampingi saya. Semoga para vendor dan rekan kerja lainnya, tetap akan menjalani kerjasama dengan
Safitri tiba di lapas tempat Chika ditahan. Dia langsung meminta izin untuk menemui Chika."Chika sedang proses pemeriksaan dokter ahli kejiwaan, kemarin dia sempat bunuh diri, lengannya sudah disayat-sayat," ucap salah seorang petugas.Safitri terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia bahkan tidak mengetahui berita ini.Kemudian, Safitri mencari kebenarannya. Dia bahkan rela mencari tahu ke rumah sakit tempat saat ini Chika ditangani oleh dokter spesialis. Safitri yang ditemani oleh Tirta dengan mudah menemui Chika yang memang tengah diberikan penangan.Tirta menemui beberapa dokter, dan ternyata selain mengalami gangguan jiwa, ada hal yang dialami oleh Chika."Chika memiliki penyakit serius, ternyata dia menderita sakit kanker," terang Tirta pada mamanya."Ya Allah, ternyata dia sakit, pantas Haris pun terlihat frustasi tadi," timpal Safitri."Semoga keputusan hakim besok benar-benar bisa membebaskan Papa dari hukuman," jawab Tirta.Kemudian mereka pun pulang untuk memberikan informasi pa
Jadi semuanya diperintahkan untuk diam oleh Tari, mereka tidak boleh bicara supaya Dimas tidak menghindar lagi. Jingga dan yang lainnya disuruh keluar diam-diam boleh Pram. Mereka sekarang berada di luar karena Tari ingin bicara empat mata dengan Dimas."Dimas," ucap Tari akhirnya mengeluarkan suara.Saat itu juga Dimas melangkahkan kakinya. Dia terburu-buru ingin meninggalkan Tari yang tiba-tiba datang di dekatnya.Namun tangan Tari mencekal pergelangan tangan Dimas yang hendak melangkah."Mau ke mana? Aku ingin bicara empat mata, tolong jangan pergi," tutur Tari agak merendahkan nada bicaranya.Dimas hanya bisa terdiam, kemudian dia mundur kembali, Tari menuntunnya untuk duduk."Ada apa? Aku tidak mau membicarakan masalah mata, biarkan itu menjadi ladang pahala untukku," pinta Dimas."Iya, aku paham, maaf kalau tadi sudah menyecar kamu." Tari merendahkan bicaranya lagi."Terus mau ngomong apa? Aku rasa tidak ada yang bisa diobrolkan, hubungan kerja pun tidak ada," timpal Dimas."Ak
Tiba-tiba Pram dan yang lainnya berkumpul. Mereka sama-sama datang dengan pura-pura tidak mengetahui pertemuan yang sebenarnya disengaja."Loh Dimas ke sini?" tanya Pram dan yang lainnya."Kalian juga di sini?" tanya Dimas balik."Iya, aku dan Inggit ajak Tari ke sini," jawab Pram.Tari masih belum mendapatkan jawaban dari apa yang ditanyakan olehnya."Dimas, kamu belum menjawab," tegas Tari. Kemudian dia melirik ke arah semua yang tiba-tiba muncul. "Apa kalian sudah tahu kalau Dimas buta?" Tari bertanya pada Pram, Inggit dan yang lainnya.Yang ditanya oleh Tari tidak ada yang jawab. Mereka menunggu aba-aba dari Pram yang memberikan usul untuk membongkar ini semua.Tiba-tiba Tari teringat saat dia bertemu dengan Dimas di rumah Pram. Dia memicingkan matanya ke arah Ronald."Apa kamu sudah tahu kondisi papamu seperti ini?" tanya Tari.Ronald mengangguk. Kemudian dia menunduk."Jadi jawabannya kalian itu membohongiku?" tanya Tari.Ini yang ditakutkan oleh Dimas. Dia takut dituduh memanfa
Tari sempat berhenti, dia membuka kaca mobilnya, pandangannya tertuju pada Dimas."Dimas, kamu udah akur dengan Ronald?" tanya Tari tidak berprasangka apa-apa."Iya, alhamdulilah, aku pamit dulu," jawab Dimas datar yang kemudian disusul oleh Ronald melambaikan tangannya. Kemudian mereka bergegas pergi.Pram dan Inggit benar-benar terkejut melihatnya. Safitri juga yang tadinya hendak berangkat ke kantor polisi ikut tercenung sebentar.Kemudian, Tari turun dari mobilnya. Dia masih belum engeh dengan penglihatan Dimas."Kok kalian nggak bilang kalau Dimas di sini?" tanya Tari."Nggak enak, kamu sangat membenci dia," jawab Tari ngasal.Tari mengerutkan keningnya."Sejak kapan aku membenci orang? Nggak ah, kamu ngada-ngada," jawab Tari.Jantung mereka itu berdetak tak beraturan. Saat pertanyaan mengenai Dimas dilontarkan oleh Tari."Katanya mau ke sini sore, tiba-tiba datang pagi, kamu sengaja ngerjain kami?" tanya Safitri."Nggak kok, tadi abis dari makam, langsung aja deh ke sini," timpa
Perlahan mata Tari dibuka, awalnya dia agak samar-samar melihat ruangan yang ditempati. Namun perlahan, matanya melihat jelas dokter yang ada di dekatnya."Masyaallah," ucap Tari merasa terharu dengan kondisinya saat ini."Kamu udah benar-benar melihat?" tanya Safitri.Tanpa basa-basi lagi Tari langsung menyergap tubuh Safitri."Ya Allah. Alhamdulillah aku bisa melihat lagi, ini suatu keajaiban, terima kasih Tuhan, terima kasih Dokter, Safitri, aku juga mengucapkan terima kasih pada kamu dari keluarga," ungkap Tari membuat suasana menjadi haru. Air matanya pun mulai menetes membasahi pipi."Selamat ya, Bu Tari." Ucapan dokter mengingatkan Tari untuk menanyakan siapa yang telah mendonorkan matanya."Dok, maaf, saya harus tahu siapa yang mendonorkan mata untuk saya," ucap Tari.Dokter diam seketika. Safitri juga seperti itu, dia menatap dokter yang tengah terkejut dengan pertanyaan dari Tari."Hm, Tari, tim dokter rumah sakit hanya menjalankan tugasnya, kalau kamu ingin tahu siapa orang
Pram datang, dia tercengang ketika melihat sang istri tengah berada di hadapan Dimas.Inggit pun langsung menghampiri Pram yang baru saja datang."Aku akan jelaskan," ucap Inggit.Dengan sabar Pram pun mendengar penjelasan sang istri dari awal hingga akhir. Pram yang tadinya marah, kini dia mulai terharu dibuatnya. Mereka ikut menghampiri Dimas. Sekarang Pram sudah ada di hadapannya."Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Tapi aku sangat salut dengan pengorbanan kamu untuk Tari," tutur Pram.Semua orang memuji kebaikan Dimas yang luar biasa. "Aku sendiri belum tentu bisa seperti kamu, Dimas," tambah Pram."Demi semuanya, aku ingin menebus semua kesalahanku yang telah banyak merugikan orang lain," ucap Dimas."Padahal kamu nggak melakukan kejahatan yang merugikan Tari dalam kecelakaan itu," timpal Pram."Tapi anakku masih menginginkan Dion bisa bebas dari hukuman, minimal dikurangi," jawab Dion lagi-lagi berhasil membuat air mata Ronald meleleh.Semua sudah dipikirkan secara matang-m
Bersyukur operasi berjalan dengan lancar. Suster pun keluar dan bilang pada Inggit dan Safitri bahwa dokter mengusulkan tetap di ruangan observasi tapi dihalangi dengan tirai.Kenapa mereka khawatir Tari tahu? Karena biasanya pasca bius sudah hilang, rasa nyeri akan terasa, di situlah suara Dimas akan terdengar di telinga Tari, ini yang dikhawatirkan oleh Inggit dan Safitri.Safitri dan Inggit masih menunggu mereka yang ada di ruangan observasi selama satu jam."Sus, usahakan jangan dibarengi mengeluarkan keduanya," pesan Inggit."Baik, Ibu," jawab suster.Kemudian mereka bersabar menunggu Tari keluar dari ruangan observasi. Keduanya menunggu dengan sukarela. Setelah satu jam berlalu, yang lebih dulu sadar itu Tari. Suster buru-buru memindahkan dirinya ke ruangan rawat inap atas izin dokter.Safitri dan Tari mengekor dari belakang ke arah ruangan rawat inap tempat Tari menjalani perawatan."Akhirnya kamu akan bisa melihat dunia, kapan kata dokter buka perban?" tanya Safitri ketika su