'Sial, aku nggak bawa handphone,' batinku setelah meraba saku celana. Aku lupa kalau ponsel tadi kuletakkan di atas meja kerja.Aku tempelkan lagi telinga ini. Indera pendengaranku harus benar-benar aku pasang. Tidak boleh lengah ataupun lainnya, aku juga berusaha melihat sekeliling dan beruntungnya semua karyawan lagi sibuk bekerja."Kamu anak haram ya," ledek Mas Dimas benar-benar kedengaran nyeleneh. Pria yang mengaku sudah insyaf itu malah membuatku geram sendiri."Sialan kamu, Dimas, untungnya kamu tuh orang kepercayaanku sekarang," celetuk Chika lagi. "Eh Mama kamu tuh cocok bercadar tahu nggak!" Akhirnya yang aku tuduhkan terdengar juga keluar dari mulut Chika. Namun, sayangnya aku tidak membawa ponsel.Aku tidak pernah bosan-bosannya untuk terus mendengarkan apa yang mereka katakan, memang sepertinya menyenangkan jika tahu semua yang Chika sembunyikan, jelas wanita itu akan blak-blakan di depan Mas Dimas dan tidak ada satupun yang membuatnya mau menyembunyikan semua yang suda
Sudah lama aku berdiri dari tadi di sini. Ternyata alasan jika hanya satu, karena Mas Pram membatalkan pernikahannya. Padahal kondisi saat itu memang sangat tidak memungkinkan untuk Papa datang ke acara pernikahannya. Lagi pula seharusnya Chika dan mamanya memakai wali hakim saja, di luar negeri bukanlah hal yang sulit untuk melakukan itu, aku mereka malah memilih untuk datang ke Indonesia. Apa tidak egois kalau ujungnya Chika hanya menyalahkan Mas Pram atas semuanya."Memang terdengar sepele, tapi gara-gara Pram. Mamaku jadi dicaci maki oleh keluarga Dimas, kebetulan sekali calon suamiku dulu bernama sama denganmu, hal ini juga bisa dijadikan alasan ke Papa Satria."Semua pernyataan Chika nyaris membuatku menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata dugaan kami selama ini tidak ada yang meleset. Dari mencurigainya ingin menggagalkan bulan maduku, lalu mencurigai Chika yang meracuni Mas Pram, sampai akhirnya curiga kerja sama dengan Mas Dimas. Namun yang tidak pernah terpikirkan olehku, dia
Tapi aku baru sadar ternyata Papa Satria sudah tidak ada di ruangan. Pantas saja mereka berani bicara yang sensitif. Tapi sayangnya mereka bodoh, bercerita dengan nada tinggi di ruangan yang pernah menjadi tempat suamiku bekerja."Kamu ngapain ke sini?" tanya Chika saat Inggit menatapnya penuh. "Jangan-jangan kamu nguping ya?" cecarnya lagi.Aku berusaha tenang meskipun kesal. Ya, kalau kesal aku memang sulit bicara, sudah biasa diam saat kesal, tapi entah kenapa ketika melihat wajah mantan suamiku dengan selipan senyuman sombongnya agak membuatku ingin bicara.Mungkin itulah sebabnya kenapa mantan suamiku tidak ditakdirkan kaya, sebab baru masuk ke perusahaan milik suamiku saja sudah sombongnya luar biasa."Yeh, kenapa bengong di situ? Mau ngapain ke ruangan saya?" tanya Chika mulai merendahkan suaranya, padahal tadi sempat mengumpatku sebagai perempuan bodoh.Aku berusaha bicara dan menahan amarah dengan mengembuskan napas panjang satu kali lagi dan mengedarkan pandangan ke lain tem
"Apa itu, Inggit? Katakan semua yang kamu dengar," suruh Mas Pram."Papamu itu diancam karena Chika memiliki foto syur, katanya saat Papa tidur dengan wanita lain," paparku agak malu mengatakannya pada Mas Pram."Masa sih seperti itu? Aku rasa Papa nggak akan begitu," jawab Mas Pram."Jangan dipotong dulu, dengarkan kelanjutannya," pintaku dengan mengerucutkan bibir."Oh jadi ada terusannya," timpal Mas Pram mengangguk."Hm, jadi Chika hanya menjebak Papa, cobalah kamu katakan ini pada Papa, biar tidak merasa terancam lagi. Kasihan tahu, Mas," tuturku padanya.Mas Pram terdiam sambil menunduk. Sesekali dia menghela napas kasar."Aku udah emosi duluan pada Papa, tidak mencoba cari tahu semuanya." Mas Pram seperti mengutuk dirinya sendiri, dia menyalahkan diri sendiri karena tidak memahami kondisi papanya. "Itulah manusia, emosi saja yang diledakkan, harusnya kepintaran yang dipelihara," umpat Mas Pram kesal. Dia mengutuk dirinya sendiri seolah-olah merutuki apa yang telah terjadi.Mas
"Sepertinya ada kecelakaan, Pak, soalnya macet," ucap sopir.Aku dan Mas Pram pun menoleh sebentar. Kemudian melihat ke arah jarum jam."Macetnya lama nggak ya? Anakku pasti nunggu deh, kasihan Jingga sudah ditinggal seharian harus nunggu pula," ungkapku."Kecelakaan apa sih, Pak, coba tanya deh," suruh Mas Pram.Akhirnya pak sopir pun turun. Dia menyeruak keramaian di depan kami. Setelah beberapa saat kemudian, sopir pun kembali."Ibu-ibu yang kecelakaan, katanya sih ketabrak saat nyebrang." Aku pun mengangguk begitu juga dengan Mas Pram."Tapi udah bisa lewat, Pak?" tanyaku padanya."Udah, Bu." Akhirnya kami berjalan kembali melewati lokasi tempat kejadian. Aku menoleh ke arah tempat korban di evakuasi. Mataku mengerut saat melihat wanita yang dikatakan oleh Pak sopir adalah ibu-ibu."Loh ibu-ibunya Mama Dewi, ternyata mantan mertuaku Mas yang kecelakaan," ucapku sambil menepuk lengan Mas Pram."Terus, apa kita tolong dia? Itu kelihatannya nggak ada yang nolong," timpal Mas Pram.
"Heh, ngapain kalian ada di sini?" Tiba-tiba saja suara Dimas terdengar. Kami berdua sangat terkejut melihat kedatangannya.Mama Dewi sudah semakin pucat, tiba-tiba saja napasnya terengah-engah."Sus, tolong pasien sesak napas," ucap Mas Pram.Kemudian suster pun memeriksa kondisi Mama Dewi. Sementara aku dan Mas Pram dipersilakan keluar, begitu juga dengan Dimas. Ya, mantan suamiku itu juga disuruh keluar.Di luar ruangan tindakan. Dimas menyoroti kami berdua. Dia menatap kami tajam, seolah-olah ingin menerkam kami berdua."Pasti kalian ya, yang membuat mamaku seperti ini? Ngaku kalian!" Tiba-tiba saja dia menuduh kami seperti itu."Atas dasar apa kamu seenak jidat menuduh kami berdua, sudah ada bukti untuk melayangkan tuduhan tersebut? Kalau tidak ada bukti jangan seenaknya, kamu bisa terjerat hukum mencemarkan nama baik," timpal Mas Pram agak sewot. Aku yakin dia kesal karena sudah menahan untuk membongkar semuanya, tapi Dimas malah menuduh kami seenaknya. Ya, Dimas, mantan suamiku
Sekitar beberapa menit saja Mas Pram bicara dengan Pak Rudi. Aku menunggu suamiku bicara dan menceritakannya padaku.Namun setelah itu Mas Pram menutup sambungan telepon. Dia hanya mengangkat bahunya."Kenapa Mas? Apa nggak ada perkembangan?" tanyaku penasaran. Sebab lihat raut wajahnya tidak seceria mengangkat telepon tadi."Ada perkembangan, tapi, pita suara Bu Achi rusak akibat racun tersebut," ungkap Mas Pram.Aku menghela napas kasar. Bukan karena tidak memiliki rasa empati. Namun, aku sangat putus asa untuk menjebloskan Dimas dan Chika ke penjara. Awalnya Ada harapan baru karena pengakuan mantan mertuaku. Tapi ternyata Tuhan mengambil nyawanya lebih cepat.Kini kami berputus asa, perasaanku sangat rapuh. Sepertinya memang kebenaran tidak akan terungkap."Mau tidak mau kita serahkan aja ke pihak yang berwajib, walaupun bukti-bukti tidak ada yang menyudutkan mereka, tapi aku yakin polisi sudah cukup pintar untuk mengungkap ini semua." Aku bicara pada Mas Pram dengan serius dan pas
Chika tidak melanjutkan percakapan. Aku dan Mas Pram sudah yakin percakapan telah selesai saat suara pintu terdengar.Kemudian, aku dan Mas Pram berembuk untuk segera ke kantor polisi. Ya, kami akan menyerahkan bukti-bukti yang ada pada kami. Namun sebelumnya, aku dan Mas Pram menghubungi Pak Rudi dulu.Kali ini aku yang menghubungi Pak Rudi, sebab Mas Pram sibuk dengan pekerjaannya."Halo, Pak," ucapku lebih dulu."Iya, Bu. Ada apa ya? Untuk informasi mengenai Bu Achi, tadi sudah saya informasikan pada Pak Pram, Bu Achi tidak bisa baca tulis makanya hanya berharap pita suaranya kembali normal," jawab Pak Rudi."Aamiin, Pak. Semoga saja pita suara Bu Achi akan segera pulih, tapi saya telepon Pak Rudi ingin mengatakan sesuatu," ungkapku. "Jadi kami memutuskan untuk meminta pihak kepolisian Jogjakarta melanjutkan penyelidikan soal dalang yang meracuni suami saya," tambahku."Oh begitu, baiklah kalau itu sudah menjadi keputusan Pak Pram dan Bu Inggit, itu artinya tersangka akan diperiksa