"Apa itu, Inggit? Katakan semua yang kamu dengar," suruh Mas Pram."Papamu itu diancam karena Chika memiliki foto syur, katanya saat Papa tidur dengan wanita lain," paparku agak malu mengatakannya pada Mas Pram."Masa sih seperti itu? Aku rasa Papa nggak akan begitu," jawab Mas Pram."Jangan dipotong dulu, dengarkan kelanjutannya," pintaku dengan mengerucutkan bibir."Oh jadi ada terusannya," timpal Mas Pram mengangguk."Hm, jadi Chika hanya menjebak Papa, cobalah kamu katakan ini pada Papa, biar tidak merasa terancam lagi. Kasihan tahu, Mas," tuturku padanya.Mas Pram terdiam sambil menunduk. Sesekali dia menghela napas kasar."Aku udah emosi duluan pada Papa, tidak mencoba cari tahu semuanya." Mas Pram seperti mengutuk dirinya sendiri, dia menyalahkan diri sendiri karena tidak memahami kondisi papanya. "Itulah manusia, emosi saja yang diledakkan, harusnya kepintaran yang dipelihara," umpat Mas Pram kesal. Dia mengutuk dirinya sendiri seolah-olah merutuki apa yang telah terjadi.Mas
"Sepertinya ada kecelakaan, Pak, soalnya macet," ucap sopir.Aku dan Mas Pram pun menoleh sebentar. Kemudian melihat ke arah jarum jam."Macetnya lama nggak ya? Anakku pasti nunggu deh, kasihan Jingga sudah ditinggal seharian harus nunggu pula," ungkapku."Kecelakaan apa sih, Pak, coba tanya deh," suruh Mas Pram.Akhirnya pak sopir pun turun. Dia menyeruak keramaian di depan kami. Setelah beberapa saat kemudian, sopir pun kembali."Ibu-ibu yang kecelakaan, katanya sih ketabrak saat nyebrang." Aku pun mengangguk begitu juga dengan Mas Pram."Tapi udah bisa lewat, Pak?" tanyaku padanya."Udah, Bu." Akhirnya kami berjalan kembali melewati lokasi tempat kejadian. Aku menoleh ke arah tempat korban di evakuasi. Mataku mengerut saat melihat wanita yang dikatakan oleh Pak sopir adalah ibu-ibu."Loh ibu-ibunya Mama Dewi, ternyata mantan mertuaku Mas yang kecelakaan," ucapku sambil menepuk lengan Mas Pram."Terus, apa kita tolong dia? Itu kelihatannya nggak ada yang nolong," timpal Mas Pram.
"Heh, ngapain kalian ada di sini?" Tiba-tiba saja suara Dimas terdengar. Kami berdua sangat terkejut melihat kedatangannya.Mama Dewi sudah semakin pucat, tiba-tiba saja napasnya terengah-engah."Sus, tolong pasien sesak napas," ucap Mas Pram.Kemudian suster pun memeriksa kondisi Mama Dewi. Sementara aku dan Mas Pram dipersilakan keluar, begitu juga dengan Dimas. Ya, mantan suamiku itu juga disuruh keluar.Di luar ruangan tindakan. Dimas menyoroti kami berdua. Dia menatap kami tajam, seolah-olah ingin menerkam kami berdua."Pasti kalian ya, yang membuat mamaku seperti ini? Ngaku kalian!" Tiba-tiba saja dia menuduh kami seperti itu."Atas dasar apa kamu seenak jidat menuduh kami berdua, sudah ada bukti untuk melayangkan tuduhan tersebut? Kalau tidak ada bukti jangan seenaknya, kamu bisa terjerat hukum mencemarkan nama baik," timpal Mas Pram agak sewot. Aku yakin dia kesal karena sudah menahan untuk membongkar semuanya, tapi Dimas malah menuduh kami seenaknya. Ya, Dimas, mantan suamiku
Sekitar beberapa menit saja Mas Pram bicara dengan Pak Rudi. Aku menunggu suamiku bicara dan menceritakannya padaku.Namun setelah itu Mas Pram menutup sambungan telepon. Dia hanya mengangkat bahunya."Kenapa Mas? Apa nggak ada perkembangan?" tanyaku penasaran. Sebab lihat raut wajahnya tidak seceria mengangkat telepon tadi."Ada perkembangan, tapi, pita suara Bu Achi rusak akibat racun tersebut," ungkap Mas Pram.Aku menghela napas kasar. Bukan karena tidak memiliki rasa empati. Namun, aku sangat putus asa untuk menjebloskan Dimas dan Chika ke penjara. Awalnya Ada harapan baru karena pengakuan mantan mertuaku. Tapi ternyata Tuhan mengambil nyawanya lebih cepat.Kini kami berputus asa, perasaanku sangat rapuh. Sepertinya memang kebenaran tidak akan terungkap."Mau tidak mau kita serahkan aja ke pihak yang berwajib, walaupun bukti-bukti tidak ada yang menyudutkan mereka, tapi aku yakin polisi sudah cukup pintar untuk mengungkap ini semua." Aku bicara pada Mas Pram dengan serius dan pas
Chika tidak melanjutkan percakapan. Aku dan Mas Pram sudah yakin percakapan telah selesai saat suara pintu terdengar.Kemudian, aku dan Mas Pram berembuk untuk segera ke kantor polisi. Ya, kami akan menyerahkan bukti-bukti yang ada pada kami. Namun sebelumnya, aku dan Mas Pram menghubungi Pak Rudi dulu.Kali ini aku yang menghubungi Pak Rudi, sebab Mas Pram sibuk dengan pekerjaannya."Halo, Pak," ucapku lebih dulu."Iya, Bu. Ada apa ya? Untuk informasi mengenai Bu Achi, tadi sudah saya informasikan pada Pak Pram, Bu Achi tidak bisa baca tulis makanya hanya berharap pita suaranya kembali normal," jawab Pak Rudi."Aamiin, Pak. Semoga saja pita suara Bu Achi akan segera pulih, tapi saya telepon Pak Rudi ingin mengatakan sesuatu," ungkapku. "Jadi kami memutuskan untuk meminta pihak kepolisian Jogjakarta melanjutkan penyelidikan soal dalang yang meracuni suami saya," tambahku."Oh begitu, baiklah kalau itu sudah menjadi keputusan Pak Pram dan Bu Inggit, itu artinya tersangka akan diperiksa
Aku dan Safitri beserta Mas Pram membaca isi dua surat perjanjian. Kalau yang pertama aku telah membacanya. Bahwa Dimas dan Chika telah membuat perjanjian hitam di atas putih tentang kerjasama mereka untuk memasukkan Dimas ke dalam kantor Mas Pram lagi.Aku menggelengkan kepala dan mengusap pangkal paha Safitri setelah membaca surat perjanjian di lembar pertama."Kamu pasti kesal karena telah dibohongi, dan kamu sudah mulai mencintai dia, ya kan?" tanyaku sambil tersenyum."Iya, aku merasa pasti Mas Dimas benar-benar telah menghilangkan kepercayaan terhadap Papa, awalnya aku yakin dia telah berubah, tapi kenyataannya Mas Dimas malah semakin tambah parah. Dia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya," ungkap Safitri.Aku paham betul apa yang diinginkan mantan suamiku itu. Dia mengharapkan lebih baik dariku, tapi dengan cara yang instan dan tidak berusaha gigih untuk mendapatkan yang halal."Kalau begitu kamu yang sabar ya, aku baca lagi ya, surat yang kedua," t
Disaat aku dan Safitri tertawa lepas. Mas Pram sudah keluar dari ruangan, dia telah selesai membuat laporan. Di tangannya pun menggenggam kertas yang berisi laporan."Kalian kok happy benar, habis ketawa-tawa ya?" tanya Mas Pram."Istrimu ini pintar, aku acungkan jempol," jawab Safitri."Udah yuk, sebelum ke kantor kita isi perut dulu," ajak Mas Pram.Kami pun bergegas untuk ke mobil. Aku menggandeng tangan wanita hamil yang membawa mobil juga. "Kamu ikut aku aja naik mobil bareng, biar bisa sharing, biarkan suamimu naik mobil sendiri," tutur Safitri.Aku pun meminta pendapat dengan menanyakan pada suamiku melalui bahasa isyarat.Seketika Mas Pram menganggukkan kepalanya disertai kedipan mata. Itu artinya suamiku mengizinkan aku untuk pergi satu mobil dengan Safitri."Asik, bisa sharing dengan mantan istri suamiku," celetuk Safitri seakan mengajakku becanda."Hust, kamu tuh suka benar kalau becanda, kayak judul novel aja," timpalku terhadap istri baru mantan suamiku itu.Sepertinya ka
"Aku angkat atau enggak ya?" tanya Safitri padaku."Itu hak kamu mau angkat atau enggak, tapi kalau kamu angkat telepon, dia pasti tahu keberadaanmu di mana," cintaku dengan tenang."Ya udah. Aku biarin aja deh, untuk sementara aku silent dulu nada deringnya, terus sekarang aku mesti ke mana? Ke HRD atau mana?" tanya Safitri."Nanti tanya Mas Pram, oh ya, ponsel kamu jangan disilent, ingat ya polisi pasti menghubungi kamu kalau sudah sampai di kantor ini," pesanku. Safitri pun mengubah setelannya lagi. Yang tadinya sudah dia silent kini berganti dering.Lalu Mas Pram memanggil Safitri, aku pun ikut menemaninya. Ternyata Safitri akan disembunyikan di ruangan kerja di ruangan kerja Lili. Di tempat itu Safitri akan aman, dia akan keluar dari tempat persembunyiannya setelah polisi datang.Kami berdua kembali ke ruangan. Sebab sudah pukul 02.00 siang, kami harus kembali bekerja sebagai penutup sandiwara kami.Setibanya di ruangan, Mas Pram duduk di tempatnya. Sedangkan aku juga berada di t
"Iya, nanti dibicarakan dulu pada Pram dan Inggit ya," ucap Dion supaya anaknya berhenti merengek."Tirta, pernikahan itu bukan buat mainan, kamu harus mantapkan diri dulu, jangan karena cinta yang menggebu, kamu langsung minta lamaran," tutur Safitri menasihati."Iya, aku udah yakin. Ini pertama kali aku jatuh cinta, tolong, Mah," lirih Tirta lagi.Mereka diam sejenak."Mama sarankan kamu salat istikharah, oke," ucap Safitri sambil beranjak pergi, dia tidak meladeni anaknya lagi.Safitri masuk ke kamar. Dia mengetik pesan pada sahabatnya. Safitri mengajak Inggit berjumpa di satu cafe.Inggit kebetulan ada waktu luang besok, dia menyetujui dan menentukan waktu yang dikirimkan ke Safitri. Ya, mereka berencana akan bertemu di cafe besok. Kenapa tidak bicara melalui chat atau telepon? Urusan pernikahan adalah hal yang sakral, lagi pula Safitri ingin memastikan dulu apakah Inggit menerima jika anaknya menyukai Jingga.Mereka sudah saling kenal dan sangat dekat, jadi tidak ingin persahabat
"Tari, saya minta maaf atas kesalahan adik saya, Lian begitu berarti untuknya," ucap Haris. "Dan satu lagi yang ingin saya katakan padamu, I love you so much," terang Haris membuat Tari seketika terkejut. Kan bukan hanya Tari, tapi Dimas yang mendengarnya pun mencari sumber suara tersebut.'Haris dengan berani mengatakan hal itu di hadapan umum?' batin Dimas.Kemudian Haris berlalu pergi darinya. Dia diboyong ke sel tahanan oleh pihak yang berwajib.Semua telah selesai, keadilan telah ditegakkan. Yang jelas-jelas bersalah akan menjalani hukumannya. Lalu orang yang hanya menjadi boneka terbebaskan.Dion diminta menemui wartawan untuk sekadar bicara di depan khalayak ramai. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa keputusan hakim tadi mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, sesuai pertimbangan dan saksi, jadi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para saksi dan keluarga yang telah mendampingi saya. Semoga para vendor dan rekan kerja lainnya, tetap akan menjalani kerjasama dengan
Safitri tiba di lapas tempat Chika ditahan. Dia langsung meminta izin untuk menemui Chika."Chika sedang proses pemeriksaan dokter ahli kejiwaan, kemarin dia sempat bunuh diri, lengannya sudah disayat-sayat," ucap salah seorang petugas.Safitri terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia bahkan tidak mengetahui berita ini.Kemudian, Safitri mencari kebenarannya. Dia bahkan rela mencari tahu ke rumah sakit tempat saat ini Chika ditangani oleh dokter spesialis. Safitri yang ditemani oleh Tirta dengan mudah menemui Chika yang memang tengah diberikan penangan.Tirta menemui beberapa dokter, dan ternyata selain mengalami gangguan jiwa, ada hal yang dialami oleh Chika."Chika memiliki penyakit serius, ternyata dia menderita sakit kanker," terang Tirta pada mamanya."Ya Allah, ternyata dia sakit, pantas Haris pun terlihat frustasi tadi," timpal Safitri."Semoga keputusan hakim besok benar-benar bisa membebaskan Papa dari hukuman," jawab Tirta.Kemudian mereka pun pulang untuk memberikan informasi pa
Jadi semuanya diperintahkan untuk diam oleh Tari, mereka tidak boleh bicara supaya Dimas tidak menghindar lagi. Jingga dan yang lainnya disuruh keluar diam-diam boleh Pram. Mereka sekarang berada di luar karena Tari ingin bicara empat mata dengan Dimas."Dimas," ucap Tari akhirnya mengeluarkan suara.Saat itu juga Dimas melangkahkan kakinya. Dia terburu-buru ingin meninggalkan Tari yang tiba-tiba datang di dekatnya.Namun tangan Tari mencekal pergelangan tangan Dimas yang hendak melangkah."Mau ke mana? Aku ingin bicara empat mata, tolong jangan pergi," tutur Tari agak merendahkan nada bicaranya.Dimas hanya bisa terdiam, kemudian dia mundur kembali, Tari menuntunnya untuk duduk."Ada apa? Aku tidak mau membicarakan masalah mata, biarkan itu menjadi ladang pahala untukku," pinta Dimas."Iya, aku paham, maaf kalau tadi sudah menyecar kamu." Tari merendahkan bicaranya lagi."Terus mau ngomong apa? Aku rasa tidak ada yang bisa diobrolkan, hubungan kerja pun tidak ada," timpal Dimas."Ak
Tiba-tiba Pram dan yang lainnya berkumpul. Mereka sama-sama datang dengan pura-pura tidak mengetahui pertemuan yang sebenarnya disengaja."Loh Dimas ke sini?" tanya Pram dan yang lainnya."Kalian juga di sini?" tanya Dimas balik."Iya, aku dan Inggit ajak Tari ke sini," jawab Pram.Tari masih belum mendapatkan jawaban dari apa yang ditanyakan olehnya."Dimas, kamu belum menjawab," tegas Tari. Kemudian dia melirik ke arah semua yang tiba-tiba muncul. "Apa kalian sudah tahu kalau Dimas buta?" Tari bertanya pada Pram, Inggit dan yang lainnya.Yang ditanya oleh Tari tidak ada yang jawab. Mereka menunggu aba-aba dari Pram yang memberikan usul untuk membongkar ini semua.Tiba-tiba Tari teringat saat dia bertemu dengan Dimas di rumah Pram. Dia memicingkan matanya ke arah Ronald."Apa kamu sudah tahu kondisi papamu seperti ini?" tanya Tari.Ronald mengangguk. Kemudian dia menunduk."Jadi jawabannya kalian itu membohongiku?" tanya Tari.Ini yang ditakutkan oleh Dimas. Dia takut dituduh memanfa
Tari sempat berhenti, dia membuka kaca mobilnya, pandangannya tertuju pada Dimas."Dimas, kamu udah akur dengan Ronald?" tanya Tari tidak berprasangka apa-apa."Iya, alhamdulilah, aku pamit dulu," jawab Dimas datar yang kemudian disusul oleh Ronald melambaikan tangannya. Kemudian mereka bergegas pergi.Pram dan Inggit benar-benar terkejut melihatnya. Safitri juga yang tadinya hendak berangkat ke kantor polisi ikut tercenung sebentar.Kemudian, Tari turun dari mobilnya. Dia masih belum engeh dengan penglihatan Dimas."Kok kalian nggak bilang kalau Dimas di sini?" tanya Tari."Nggak enak, kamu sangat membenci dia," jawab Tari ngasal.Tari mengerutkan keningnya."Sejak kapan aku membenci orang? Nggak ah, kamu ngada-ngada," jawab Tari.Jantung mereka itu berdetak tak beraturan. Saat pertanyaan mengenai Dimas dilontarkan oleh Tari."Katanya mau ke sini sore, tiba-tiba datang pagi, kamu sengaja ngerjain kami?" tanya Safitri."Nggak kok, tadi abis dari makam, langsung aja deh ke sini," timpa
Perlahan mata Tari dibuka, awalnya dia agak samar-samar melihat ruangan yang ditempati. Namun perlahan, matanya melihat jelas dokter yang ada di dekatnya."Masyaallah," ucap Tari merasa terharu dengan kondisinya saat ini."Kamu udah benar-benar melihat?" tanya Safitri.Tanpa basa-basi lagi Tari langsung menyergap tubuh Safitri."Ya Allah. Alhamdulillah aku bisa melihat lagi, ini suatu keajaiban, terima kasih Tuhan, terima kasih Dokter, Safitri, aku juga mengucapkan terima kasih pada kamu dari keluarga," ungkap Tari membuat suasana menjadi haru. Air matanya pun mulai menetes membasahi pipi."Selamat ya, Bu Tari." Ucapan dokter mengingatkan Tari untuk menanyakan siapa yang telah mendonorkan matanya."Dok, maaf, saya harus tahu siapa yang mendonorkan mata untuk saya," ucap Tari.Dokter diam seketika. Safitri juga seperti itu, dia menatap dokter yang tengah terkejut dengan pertanyaan dari Tari."Hm, Tari, tim dokter rumah sakit hanya menjalankan tugasnya, kalau kamu ingin tahu siapa orang
Pram datang, dia tercengang ketika melihat sang istri tengah berada di hadapan Dimas.Inggit pun langsung menghampiri Pram yang baru saja datang."Aku akan jelaskan," ucap Inggit.Dengan sabar Pram pun mendengar penjelasan sang istri dari awal hingga akhir. Pram yang tadinya marah, kini dia mulai terharu dibuatnya. Mereka ikut menghampiri Dimas. Sekarang Pram sudah ada di hadapannya."Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Tapi aku sangat salut dengan pengorbanan kamu untuk Tari," tutur Pram.Semua orang memuji kebaikan Dimas yang luar biasa. "Aku sendiri belum tentu bisa seperti kamu, Dimas," tambah Pram."Demi semuanya, aku ingin menebus semua kesalahanku yang telah banyak merugikan orang lain," ucap Dimas."Padahal kamu nggak melakukan kejahatan yang merugikan Tari dalam kecelakaan itu," timpal Pram."Tapi anakku masih menginginkan Dion bisa bebas dari hukuman, minimal dikurangi," jawab Dion lagi-lagi berhasil membuat air mata Ronald meleleh.Semua sudah dipikirkan secara matang-m
Bersyukur operasi berjalan dengan lancar. Suster pun keluar dan bilang pada Inggit dan Safitri bahwa dokter mengusulkan tetap di ruangan observasi tapi dihalangi dengan tirai.Kenapa mereka khawatir Tari tahu? Karena biasanya pasca bius sudah hilang, rasa nyeri akan terasa, di situlah suara Dimas akan terdengar di telinga Tari, ini yang dikhawatirkan oleh Inggit dan Safitri.Safitri dan Inggit masih menunggu mereka yang ada di ruangan observasi selama satu jam."Sus, usahakan jangan dibarengi mengeluarkan keduanya," pesan Inggit."Baik, Ibu," jawab suster.Kemudian mereka bersabar menunggu Tari keluar dari ruangan observasi. Keduanya menunggu dengan sukarela. Setelah satu jam berlalu, yang lebih dulu sadar itu Tari. Suster buru-buru memindahkan dirinya ke ruangan rawat inap atas izin dokter.Safitri dan Tari mengekor dari belakang ke arah ruangan rawat inap tempat Tari menjalani perawatan."Akhirnya kamu akan bisa melihat dunia, kapan kata dokter buka perban?" tanya Safitri ketika su