Sekitar beberapa menit saja Mas Pram bicara dengan Pak Rudi. Aku menunggu suamiku bicara dan menceritakannya padaku.Namun setelah itu Mas Pram menutup sambungan telepon. Dia hanya mengangkat bahunya."Kenapa Mas? Apa nggak ada perkembangan?" tanyaku penasaran. Sebab lihat raut wajahnya tidak seceria mengangkat telepon tadi."Ada perkembangan, tapi, pita suara Bu Achi rusak akibat racun tersebut," ungkap Mas Pram.Aku menghela napas kasar. Bukan karena tidak memiliki rasa empati. Namun, aku sangat putus asa untuk menjebloskan Dimas dan Chika ke penjara. Awalnya Ada harapan baru karena pengakuan mantan mertuaku. Tapi ternyata Tuhan mengambil nyawanya lebih cepat.Kini kami berputus asa, perasaanku sangat rapuh. Sepertinya memang kebenaran tidak akan terungkap."Mau tidak mau kita serahkan aja ke pihak yang berwajib, walaupun bukti-bukti tidak ada yang menyudutkan mereka, tapi aku yakin polisi sudah cukup pintar untuk mengungkap ini semua." Aku bicara pada Mas Pram dengan serius dan pas
Chika tidak melanjutkan percakapan. Aku dan Mas Pram sudah yakin percakapan telah selesai saat suara pintu terdengar.Kemudian, aku dan Mas Pram berembuk untuk segera ke kantor polisi. Ya, kami akan menyerahkan bukti-bukti yang ada pada kami. Namun sebelumnya, aku dan Mas Pram menghubungi Pak Rudi dulu.Kali ini aku yang menghubungi Pak Rudi, sebab Mas Pram sibuk dengan pekerjaannya."Halo, Pak," ucapku lebih dulu."Iya, Bu. Ada apa ya? Untuk informasi mengenai Bu Achi, tadi sudah saya informasikan pada Pak Pram, Bu Achi tidak bisa baca tulis makanya hanya berharap pita suaranya kembali normal," jawab Pak Rudi."Aamiin, Pak. Semoga saja pita suara Bu Achi akan segera pulih, tapi saya telepon Pak Rudi ingin mengatakan sesuatu," ungkapku. "Jadi kami memutuskan untuk meminta pihak kepolisian Jogjakarta melanjutkan penyelidikan soal dalang yang meracuni suami saya," tambahku."Oh begitu, baiklah kalau itu sudah menjadi keputusan Pak Pram dan Bu Inggit, itu artinya tersangka akan diperiksa
Aku dan Safitri beserta Mas Pram membaca isi dua surat perjanjian. Kalau yang pertama aku telah membacanya. Bahwa Dimas dan Chika telah membuat perjanjian hitam di atas putih tentang kerjasama mereka untuk memasukkan Dimas ke dalam kantor Mas Pram lagi.Aku menggelengkan kepala dan mengusap pangkal paha Safitri setelah membaca surat perjanjian di lembar pertama."Kamu pasti kesal karena telah dibohongi, dan kamu sudah mulai mencintai dia, ya kan?" tanyaku sambil tersenyum."Iya, aku merasa pasti Mas Dimas benar-benar telah menghilangkan kepercayaan terhadap Papa, awalnya aku yakin dia telah berubah, tapi kenyataannya Mas Dimas malah semakin tambah parah. Dia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya," ungkap Safitri.Aku paham betul apa yang diinginkan mantan suamiku itu. Dia mengharapkan lebih baik dariku, tapi dengan cara yang instan dan tidak berusaha gigih untuk mendapatkan yang halal."Kalau begitu kamu yang sabar ya, aku baca lagi ya, surat yang kedua," t
Disaat aku dan Safitri tertawa lepas. Mas Pram sudah keluar dari ruangan, dia telah selesai membuat laporan. Di tangannya pun menggenggam kertas yang berisi laporan."Kalian kok happy benar, habis ketawa-tawa ya?" tanya Mas Pram."Istrimu ini pintar, aku acungkan jempol," jawab Safitri."Udah yuk, sebelum ke kantor kita isi perut dulu," ajak Mas Pram.Kami pun bergegas untuk ke mobil. Aku menggandeng tangan wanita hamil yang membawa mobil juga. "Kamu ikut aku aja naik mobil bareng, biar bisa sharing, biarkan suamimu naik mobil sendiri," tutur Safitri.Aku pun meminta pendapat dengan menanyakan pada suamiku melalui bahasa isyarat.Seketika Mas Pram menganggukkan kepalanya disertai kedipan mata. Itu artinya suamiku mengizinkan aku untuk pergi satu mobil dengan Safitri."Asik, bisa sharing dengan mantan istri suamiku," celetuk Safitri seakan mengajakku becanda."Hust, kamu tuh suka benar kalau becanda, kayak judul novel aja," timpalku terhadap istri baru mantan suamiku itu.Sepertinya ka
"Aku angkat atau enggak ya?" tanya Safitri padaku."Itu hak kamu mau angkat atau enggak, tapi kalau kamu angkat telepon, dia pasti tahu keberadaanmu di mana," cintaku dengan tenang."Ya udah. Aku biarin aja deh, untuk sementara aku silent dulu nada deringnya, terus sekarang aku mesti ke mana? Ke HRD atau mana?" tanya Safitri."Nanti tanya Mas Pram, oh ya, ponsel kamu jangan disilent, ingat ya polisi pasti menghubungi kamu kalau sudah sampai di kantor ini," pesanku. Safitri pun mengubah setelannya lagi. Yang tadinya sudah dia silent kini berganti dering.Lalu Mas Pram memanggil Safitri, aku pun ikut menemaninya. Ternyata Safitri akan disembunyikan di ruangan kerja di ruangan kerja Lili. Di tempat itu Safitri akan aman, dia akan keluar dari tempat persembunyiannya setelah polisi datang.Kami berdua kembali ke ruangan. Sebab sudah pukul 02.00 siang, kami harus kembali bekerja sebagai penutup sandiwara kami.Setibanya di ruangan, Mas Pram duduk di tempatnya. Sedangkan aku juga berada di t
Chika pun menghubungi Papa Satria. Dia bicara cukup lama, aku perhatikan seperti orang berdebat. Setelah beberapa menit Chika bicara dengan Papa mertuaku. Akhirnya dia menutup telepon itu dan bicara lagi pada kami."Kamu akan menyesal telah bicara seperti tadi," kecam Chika terhadap suamiku."Kamu yang akan menyesal, kamu akan meringis menangis di hadapanku, Chika. Untuk saat ini aku biarkan kamu melayang tinggi, kamu gapai semua yang kamu inginkan, setelah itu aku akan menjatuhkanmu dengan keras," timpal Mas Pram pada Chika."Sial kamu, bisa diam nggak?" perintah Chika."Dasar suami istri pembangkang," celetuk Dimas membuat suamiku marah."Kamu bisa diam nggak? Jangan ikut-ikutan!" tekan Mas Pram.Kemudian, Chika menghubungi seseorang. Aku dengar dia nyeletuk nama Lili. "Kumpulkan karyawan di ruang meeting, sekarang juga!" perintah Chika membuatku menautkan kedua alis.Mau apa dia mengumpulkan karyawan? Sampai segitunya menyombongkan diri.Aku menggelengkan kepala ketika melihat ke
Chika terus berteriak, sementara Dimas hanya tercenung saat polisi menyiduknya.Saat ingin dibawa, Dimas berhenti tepat di hadapan Safitri."Ada apa dengan kamu, Sayang? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku? Padahal aku melakukan ini demi kamu," ucap Dimas.Safitri terdiam, sesekali tangannya menyukai air mata yang jatuh ke pipi. Aku pun segera mendampinginya. Ya, aku berdiri tepat di sebelah Safitri."Kamu ini pasti dihasilkan oleh Inggit, ya kan?" tukas Dimas.Ternyata dia masih belum berubah, aku pikir ucapannya barusan karena merasa bersalah, nyatanya dia tetap menuduhku menghasut Safitri."Mas, sebaiknya kamu sadar. Aku kasihan sama almarhumah mama, dia sudah berusaha ingin mengatakan semuanya, tapi ternyata sudah terlambat," timpal Safitri."Sayang, aku ini sayang pada kamu, tapi tidak mau kamu dirusak oleh Inggit," celetuk Dimas."Pak, cepat bawa dia pergi dari hadapan saya!" suruh Safitri.Kemudian, polisi tidak ragu lagi menyeret mereka ke kantor polisi. Manusia berbeda ru
"Papa mengecek tes DNA yang dulu pernah Papa lakukan, ternyata itu semua palsu, beruntung ya Papa punya teman yang ahli dalam hal ini, kenapa nggak dari dulu Papa melakukan ini ya? Andai saja dulu teman teman papa itu menyarankan untuk tes ulang, mungkin kita tidak akan pernah kehilangan Mama," ungkap papa mertuaku membuat kami semua serempak menatapnya."Pa, nggak usah ngomong seperti itu ya, semua sudah takdir, Papa jangan merasa bersalah seperti itu," ucap Mas Pram."Iya, Pa. Berhenti menyalahkan diri sendiri ya," sambungku."Saat takdir itu datang, tak ada yang bisa menolaknya. Meski, seseorang tersebut sudah berhati-hati dalam bertindak dan melangkah, seperti waktu suami saya kecelakaan. Itu semua sama, jika ajal yang sudah menjemput, yang akan ada yang bisa menolaknya," ucap ibu turut bicara dalam hal ini.Entah kenapa jika ibuku bicara, itu sangat menenangkan dan sejuk di hati. Aku hanya tersenyum ketika ibu melontarkan kata-kata itu untuk papa mertuaku."Betul, Pah, sudah seka