Chika terus berteriak, sementara Dimas hanya tercenung saat polisi menyiduknya.Saat ingin dibawa, Dimas berhenti tepat di hadapan Safitri."Ada apa dengan kamu, Sayang? Kenapa kamu tega melakukan ini padaku? Padahal aku melakukan ini demi kamu," ucap Dimas.Safitri terdiam, sesekali tangannya menyukai air mata yang jatuh ke pipi. Aku pun segera mendampinginya. Ya, aku berdiri tepat di sebelah Safitri."Kamu ini pasti dihasilkan oleh Inggit, ya kan?" tukas Dimas.Ternyata dia masih belum berubah, aku pikir ucapannya barusan karena merasa bersalah, nyatanya dia tetap menuduhku menghasut Safitri."Mas, sebaiknya kamu sadar. Aku kasihan sama almarhumah mama, dia sudah berusaha ingin mengatakan semuanya, tapi ternyata sudah terlambat," timpal Safitri."Sayang, aku ini sayang pada kamu, tapi tidak mau kamu dirusak oleh Inggit," celetuk Dimas."Pak, cepat bawa dia pergi dari hadapan saya!" suruh Safitri.Kemudian, polisi tidak ragu lagi menyeret mereka ke kantor polisi. Manusia berbeda ru
"Papa mengecek tes DNA yang dulu pernah Papa lakukan, ternyata itu semua palsu, beruntung ya Papa punya teman yang ahli dalam hal ini, kenapa nggak dari dulu Papa melakukan ini ya? Andai saja dulu teman teman papa itu menyarankan untuk tes ulang, mungkin kita tidak akan pernah kehilangan Mama," ungkap papa mertuaku membuat kami semua serempak menatapnya."Pa, nggak usah ngomong seperti itu ya, semua sudah takdir, Papa jangan merasa bersalah seperti itu," ucap Mas Pram."Iya, Pa. Berhenti menyalahkan diri sendiri ya," sambungku."Saat takdir itu datang, tak ada yang bisa menolaknya. Meski, seseorang tersebut sudah berhati-hati dalam bertindak dan melangkah, seperti waktu suami saya kecelakaan. Itu semua sama, jika ajal yang sudah menjemput, yang akan ada yang bisa menolaknya," ucap ibu turut bicara dalam hal ini.Entah kenapa jika ibuku bicara, itu sangat menenangkan dan sejuk di hati. Aku hanya tersenyum ketika ibu melontarkan kata-kata itu untuk papa mertuaku."Betul, Pah, sudah seka
"Kamu bisa berhenti menyalahkan istriku nggak?" Cara Mas Pram membelaku tidak basa-basi lagi. Dia langsung menghardik di depan matanya."Kalian itu sama aja, duanya jadi biang keladi," sungut Dimas."Benar, mereka itu yang keladi, sialan kalian!" Chika menyusul teriak.Dikarenakan suasana sudah ricuh. Mereka berdua dibawa dan akan dipindahkan ke tahanan pusat.Aku menghela napas lega ketika mereka pergi dari hadapanku. Mas Pram pun mengusap bahu ini dengan membawaku ke parkiran mobil. Safitri pun turut mendampingiku sampai ke parkiran."Maafkan Mas Dimas ya, kamu kan udah paham betul dia orangnya seperti apa," ucap Safitri."Nggak apa-apa kok, aku sudah biasa diperlakukan seperti ini olehnya. Untung sekarang memiliki suami yang memperlakukanku selayaknya bidadari," timpalku. "Eh iya, kamu kapan berangkat ke luar negeri?" tanyaku mendadak mengalihkan pembicaraan."Rencananya sepulang dari persidangan, aku udah bawa papa di parkiran, itu dia bersama baby sitter, doakan Papa sehat setela
Dokter duduk di sebelahku, lalu menumpuk tangannya di atas tangan ini."Kalau boleh tahu, terakhir kamu haid itu kapan?" tanya dokter sambil memiringkan kepalanya. Aku menautkan kedua alis seraya tengah mengingat sesuatu. Ya, saking sibuknya mengurus masalah Chika dan mantan suamiku, akhirnya aku melupakan jatah bulanan yang biasanya aku dapat di tengah bulan, sementara sekarang sudah lewat seminggu."Tapi, Dok, kok bisa-bisanya Dokter langsung menebak saya hamil?" tanyaku penasaran."Hm." Dia menunjuk ke arah banner besar yang bertuliskan klinik bersalin. Ternyata Mas Pram membawaku ke klinik bersalin, pantas saja dokternya langsung menyarankan untuk tes kehamilan. Aku melirik ke arah Mas Pram yang tengah memutar badannya seperti orang yang tengah mengalihkan pandangan. Aku yakin dia tidak ingin disalahkan karena telah membawaku ke klinik bersalin."Aku nggak nyalahin kamu, Mas. Namanya juga orang panik, pasti langsung ingin bawa ke klinik terdekat, meskipun klinik bersalin, suster
Ada garis dua di tespack tersebut. Aku dan Mas Pram sempat bertumbuk pandang. Kami berdua membeku seketika.Rona wajah Mas Pram tiba-tiba berubah jadi berbinar-binar, tapi tidak denganku, rasa tidak percaya masih saja menyelimuti.Aku menggelengkan kepalaku, kemudian menghadap ke arah dokter yang kini sudah menyunggingkan senyuman."Ada apa? Kenapa mukanya kaku gitu? Bahagia dong," ledek dokter dengan disertai melipat kedua tangannya."A-aku ...." Saat itu juga lidah ini sulit berkata-kata. Rasanya sulit dipercaya, keajaiban itu terjadi padaku. Garis dua adalah garis yang ditunggu untuk para wanita bersuami, aku yang sudah lima tahun lebih menanti kehadiran seorang buah hati pun nyaris tak mempercayai itu."Are you oke, Inggit?" Mas Pram melambaikan tangannya di depan mukaku."Mau USG?" tanya dokter. "Kebetulan klinik lagi sepi, karena masih terlalu pagi, jadi belum ada pasien Ibu hamil yang mengantri, marilah kita USG aja ya untuk meyakinkan," sambung dokter."Boleh, Dok!" ajak Mas P
POV Author Lima Belas Tahun Berlalu Tahun telah berganti. Kini hidup yang dirasakan Inggit sangat berwarna. Dia dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya.Setelah dinyatakan hamil, sembilan bulan kemudian, Inggit melahirkan seorang anak laki-laki, diberi nama Ameer Restu Permana. Cucu laki-laki pertama dari keluarga Satria."Ma, Pa, kapan kita ke pemakaman Eyang Uti dan Eyang Kakung?" tanya Jingga ketika mereka makan malam bersama. Satria meninggal dunia lima tahun yang lalu, ketika Jingga lulus sekolah menengah atas."Aku ingat betul, waktu itu Eyang bilang aku harus sukses jadi seorang pebisnis," kata Ameer menyusul sang kakak bicara."Kamu masih jauh, Dek, Kakak duluan yang jadi pebisnis," ejek Jingga."Nanti ajarin aku ya, Kak, sekarang aku fokus kejar sarjana dulu," timpal Ameer."Iya, dong, biar Mama dan Papa di rumah aja, ya 'kan, Mah, Pah?" tanya Jingga dengan disertai senyuman. Wajahnya yang memberikan ciri khas lesung pipi di pipi kanannya membuat Jingga terlihat san
Tiba-tiba Pram menyuruh Ameer melajukan mobilnya dengan cepat."Nenek denyut nadinya sudah nggak ada denyutnya," kata Pram membuat semua kompak membulatkan matanya."Ya Allah semoga nenek masih bisa diselamatkan," tutur Jingga penuh harap. "Dek, cepat nyetirnya!" tambah Jingga."Kak, aku belum punya SIM nanti gara-gara ngebut aku ditahan polisi gimana?" Ameer jadi berdebat."Kakak lupa, kamu tuh mau ngejar sarjana padahal SIM aja belum punya," celoteh Jingga."Aduh kok jadi debat sarjana, itu mungkin hanya cita-cita adikmu, Jingga," celetuk Pram."Udah, jangan debat lagi, Mas, ini Ibu nggak ada napasnya, apa Ibu udah meninggal, Mas?" Inggit sangat khawatir, dia bahkan gemetar ketika memegang bawah hidung ibunya."Ma, aku kebut nih!" Ameer menambah kecepatannya. Dia menarik gas tanpa memikirkan lagi belum punya surat izin mengemudi.Dengan kecepatan tinggi, akhirnya mereka tiba juga di rumah sakit. Sang nenek yang disayangi oleh Jingga dan Ameer dibopong ke ruangan UGD. Namun, baru mas
"Kita urus pemakaman Bu Anis dulu," timpal Safitri.Kemudian semua bubar dan kembali ke mobil masing-masing. Suara sirene ambulance pun terdengar. Itu pertanda jenazah sudah jalan menuju pemakaman.Safitri masuk ke dalam mobilnya, dia diantar oleh anak dari suaminya yang baru. Safitri baru saja menikah dengan seorang duda kaya yang memiliki satu anak bujang seusia Jingga. Suaminya Safitri seorang pengusaha yang tidak diragukan lagi oleh kalangannya. Namun, dia merupakan pesaing bisnis dari perusahaan yang dikelola oleh Jingga saat ini."Nanti aku nggak turun, kamu aja ya," kata Dion Prakasa, suaminya Safitri yang dikenalnya beberapa tahun yang lalu, mereka menikah di Malaysia, tapi Dion mencoba memulai bisnisnya di Jakarta beberapa waktu yang lalu, sekitar hampir satu tahun.Safitri baru menginjakkan kakinya di kota Jakarta seminggu, dia lama mengurus identitasnya dan kepindahan sekolah anaknya dari pernikahan dia dengan Dimas dulu. Ronald, nama anak Safitri dan Dimas yang kini usian
"Iya, nanti dibicarakan dulu pada Pram dan Inggit ya," ucap Dion supaya anaknya berhenti merengek."Tirta, pernikahan itu bukan buat mainan, kamu harus mantapkan diri dulu, jangan karena cinta yang menggebu, kamu langsung minta lamaran," tutur Safitri menasihati."Iya, aku udah yakin. Ini pertama kali aku jatuh cinta, tolong, Mah," lirih Tirta lagi.Mereka diam sejenak."Mama sarankan kamu salat istikharah, oke," ucap Safitri sambil beranjak pergi, dia tidak meladeni anaknya lagi.Safitri masuk ke kamar. Dia mengetik pesan pada sahabatnya. Safitri mengajak Inggit berjumpa di satu cafe.Inggit kebetulan ada waktu luang besok, dia menyetujui dan menentukan waktu yang dikirimkan ke Safitri. Ya, mereka berencana akan bertemu di cafe besok. Kenapa tidak bicara melalui chat atau telepon? Urusan pernikahan adalah hal yang sakral, lagi pula Safitri ingin memastikan dulu apakah Inggit menerima jika anaknya menyukai Jingga.Mereka sudah saling kenal dan sangat dekat, jadi tidak ingin persahabat
"Tari, saya minta maaf atas kesalahan adik saya, Lian begitu berarti untuknya," ucap Haris. "Dan satu lagi yang ingin saya katakan padamu, I love you so much," terang Haris membuat Tari seketika terkejut. Kan bukan hanya Tari, tapi Dimas yang mendengarnya pun mencari sumber suara tersebut.'Haris dengan berani mengatakan hal itu di hadapan umum?' batin Dimas.Kemudian Haris berlalu pergi darinya. Dia diboyong ke sel tahanan oleh pihak yang berwajib.Semua telah selesai, keadilan telah ditegakkan. Yang jelas-jelas bersalah akan menjalani hukumannya. Lalu orang yang hanya menjadi boneka terbebaskan.Dion diminta menemui wartawan untuk sekadar bicara di depan khalayak ramai. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa keputusan hakim tadi mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, sesuai pertimbangan dan saksi, jadi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para saksi dan keluarga yang telah mendampingi saya. Semoga para vendor dan rekan kerja lainnya, tetap akan menjalani kerjasama dengan
Safitri tiba di lapas tempat Chika ditahan. Dia langsung meminta izin untuk menemui Chika."Chika sedang proses pemeriksaan dokter ahli kejiwaan, kemarin dia sempat bunuh diri, lengannya sudah disayat-sayat," ucap salah seorang petugas.Safitri terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia bahkan tidak mengetahui berita ini.Kemudian, Safitri mencari kebenarannya. Dia bahkan rela mencari tahu ke rumah sakit tempat saat ini Chika ditangani oleh dokter spesialis. Safitri yang ditemani oleh Tirta dengan mudah menemui Chika yang memang tengah diberikan penangan.Tirta menemui beberapa dokter, dan ternyata selain mengalami gangguan jiwa, ada hal yang dialami oleh Chika."Chika memiliki penyakit serius, ternyata dia menderita sakit kanker," terang Tirta pada mamanya."Ya Allah, ternyata dia sakit, pantas Haris pun terlihat frustasi tadi," timpal Safitri."Semoga keputusan hakim besok benar-benar bisa membebaskan Papa dari hukuman," jawab Tirta.Kemudian mereka pun pulang untuk memberikan informasi pa
Jadi semuanya diperintahkan untuk diam oleh Tari, mereka tidak boleh bicara supaya Dimas tidak menghindar lagi. Jingga dan yang lainnya disuruh keluar diam-diam boleh Pram. Mereka sekarang berada di luar karena Tari ingin bicara empat mata dengan Dimas."Dimas," ucap Tari akhirnya mengeluarkan suara.Saat itu juga Dimas melangkahkan kakinya. Dia terburu-buru ingin meninggalkan Tari yang tiba-tiba datang di dekatnya.Namun tangan Tari mencekal pergelangan tangan Dimas yang hendak melangkah."Mau ke mana? Aku ingin bicara empat mata, tolong jangan pergi," tutur Tari agak merendahkan nada bicaranya.Dimas hanya bisa terdiam, kemudian dia mundur kembali, Tari menuntunnya untuk duduk."Ada apa? Aku tidak mau membicarakan masalah mata, biarkan itu menjadi ladang pahala untukku," pinta Dimas."Iya, aku paham, maaf kalau tadi sudah menyecar kamu." Tari merendahkan bicaranya lagi."Terus mau ngomong apa? Aku rasa tidak ada yang bisa diobrolkan, hubungan kerja pun tidak ada," timpal Dimas."Ak
Tiba-tiba Pram dan yang lainnya berkumpul. Mereka sama-sama datang dengan pura-pura tidak mengetahui pertemuan yang sebenarnya disengaja."Loh Dimas ke sini?" tanya Pram dan yang lainnya."Kalian juga di sini?" tanya Dimas balik."Iya, aku dan Inggit ajak Tari ke sini," jawab Pram.Tari masih belum mendapatkan jawaban dari apa yang ditanyakan olehnya."Dimas, kamu belum menjawab," tegas Tari. Kemudian dia melirik ke arah semua yang tiba-tiba muncul. "Apa kalian sudah tahu kalau Dimas buta?" Tari bertanya pada Pram, Inggit dan yang lainnya.Yang ditanya oleh Tari tidak ada yang jawab. Mereka menunggu aba-aba dari Pram yang memberikan usul untuk membongkar ini semua.Tiba-tiba Tari teringat saat dia bertemu dengan Dimas di rumah Pram. Dia memicingkan matanya ke arah Ronald."Apa kamu sudah tahu kondisi papamu seperti ini?" tanya Tari.Ronald mengangguk. Kemudian dia menunduk."Jadi jawabannya kalian itu membohongiku?" tanya Tari.Ini yang ditakutkan oleh Dimas. Dia takut dituduh memanfa
Tari sempat berhenti, dia membuka kaca mobilnya, pandangannya tertuju pada Dimas."Dimas, kamu udah akur dengan Ronald?" tanya Tari tidak berprasangka apa-apa."Iya, alhamdulilah, aku pamit dulu," jawab Dimas datar yang kemudian disusul oleh Ronald melambaikan tangannya. Kemudian mereka bergegas pergi.Pram dan Inggit benar-benar terkejut melihatnya. Safitri juga yang tadinya hendak berangkat ke kantor polisi ikut tercenung sebentar.Kemudian, Tari turun dari mobilnya. Dia masih belum engeh dengan penglihatan Dimas."Kok kalian nggak bilang kalau Dimas di sini?" tanya Tari."Nggak enak, kamu sangat membenci dia," jawab Tari ngasal.Tari mengerutkan keningnya."Sejak kapan aku membenci orang? Nggak ah, kamu ngada-ngada," jawab Tari.Jantung mereka itu berdetak tak beraturan. Saat pertanyaan mengenai Dimas dilontarkan oleh Tari."Katanya mau ke sini sore, tiba-tiba datang pagi, kamu sengaja ngerjain kami?" tanya Safitri."Nggak kok, tadi abis dari makam, langsung aja deh ke sini," timpa
Perlahan mata Tari dibuka, awalnya dia agak samar-samar melihat ruangan yang ditempati. Namun perlahan, matanya melihat jelas dokter yang ada di dekatnya."Masyaallah," ucap Tari merasa terharu dengan kondisinya saat ini."Kamu udah benar-benar melihat?" tanya Safitri.Tanpa basa-basi lagi Tari langsung menyergap tubuh Safitri."Ya Allah. Alhamdulillah aku bisa melihat lagi, ini suatu keajaiban, terima kasih Tuhan, terima kasih Dokter, Safitri, aku juga mengucapkan terima kasih pada kamu dari keluarga," ungkap Tari membuat suasana menjadi haru. Air matanya pun mulai menetes membasahi pipi."Selamat ya, Bu Tari." Ucapan dokter mengingatkan Tari untuk menanyakan siapa yang telah mendonorkan matanya."Dok, maaf, saya harus tahu siapa yang mendonorkan mata untuk saya," ucap Tari.Dokter diam seketika. Safitri juga seperti itu, dia menatap dokter yang tengah terkejut dengan pertanyaan dari Tari."Hm, Tari, tim dokter rumah sakit hanya menjalankan tugasnya, kalau kamu ingin tahu siapa orang
Pram datang, dia tercengang ketika melihat sang istri tengah berada di hadapan Dimas.Inggit pun langsung menghampiri Pram yang baru saja datang."Aku akan jelaskan," ucap Inggit.Dengan sabar Pram pun mendengar penjelasan sang istri dari awal hingga akhir. Pram yang tadinya marah, kini dia mulai terharu dibuatnya. Mereka ikut menghampiri Dimas. Sekarang Pram sudah ada di hadapannya."Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Tapi aku sangat salut dengan pengorbanan kamu untuk Tari," tutur Pram.Semua orang memuji kebaikan Dimas yang luar biasa. "Aku sendiri belum tentu bisa seperti kamu, Dimas," tambah Pram."Demi semuanya, aku ingin menebus semua kesalahanku yang telah banyak merugikan orang lain," ucap Dimas."Padahal kamu nggak melakukan kejahatan yang merugikan Tari dalam kecelakaan itu," timpal Pram."Tapi anakku masih menginginkan Dion bisa bebas dari hukuman, minimal dikurangi," jawab Dion lagi-lagi berhasil membuat air mata Ronald meleleh.Semua sudah dipikirkan secara matang-m
Bersyukur operasi berjalan dengan lancar. Suster pun keluar dan bilang pada Inggit dan Safitri bahwa dokter mengusulkan tetap di ruangan observasi tapi dihalangi dengan tirai.Kenapa mereka khawatir Tari tahu? Karena biasanya pasca bius sudah hilang, rasa nyeri akan terasa, di situlah suara Dimas akan terdengar di telinga Tari, ini yang dikhawatirkan oleh Inggit dan Safitri.Safitri dan Inggit masih menunggu mereka yang ada di ruangan observasi selama satu jam."Sus, usahakan jangan dibarengi mengeluarkan keduanya," pesan Inggit."Baik, Ibu," jawab suster.Kemudian mereka bersabar menunggu Tari keluar dari ruangan observasi. Keduanya menunggu dengan sukarela. Setelah satu jam berlalu, yang lebih dulu sadar itu Tari. Suster buru-buru memindahkan dirinya ke ruangan rawat inap atas izin dokter.Safitri dan Tari mengekor dari belakang ke arah ruangan rawat inap tempat Tari menjalani perawatan."Akhirnya kamu akan bisa melihat dunia, kapan kata dokter buka perban?" tanya Safitri ketika su