"Kamu bisa berhenti menyalahkan istriku nggak?" Cara Mas Pram membelaku tidak basa-basi lagi. Dia langsung menghardik di depan matanya."Kalian itu sama aja, duanya jadi biang keladi," sungut Dimas."Benar, mereka itu yang keladi, sialan kalian!" Chika menyusul teriak.Dikarenakan suasana sudah ricuh. Mereka berdua dibawa dan akan dipindahkan ke tahanan pusat.Aku menghela napas lega ketika mereka pergi dari hadapanku. Mas Pram pun mengusap bahu ini dengan membawaku ke parkiran mobil. Safitri pun turut mendampingiku sampai ke parkiran."Maafkan Mas Dimas ya, kamu kan udah paham betul dia orangnya seperti apa," ucap Safitri."Nggak apa-apa kok, aku sudah biasa diperlakukan seperti ini olehnya. Untung sekarang memiliki suami yang memperlakukanku selayaknya bidadari," timpalku. "Eh iya, kamu kapan berangkat ke luar negeri?" tanyaku mendadak mengalihkan pembicaraan."Rencananya sepulang dari persidangan, aku udah bawa papa di parkiran, itu dia bersama baby sitter, doakan Papa sehat setela
Dokter duduk di sebelahku, lalu menumpuk tangannya di atas tangan ini."Kalau boleh tahu, terakhir kamu haid itu kapan?" tanya dokter sambil memiringkan kepalanya. Aku menautkan kedua alis seraya tengah mengingat sesuatu. Ya, saking sibuknya mengurus masalah Chika dan mantan suamiku, akhirnya aku melupakan jatah bulanan yang biasanya aku dapat di tengah bulan, sementara sekarang sudah lewat seminggu."Tapi, Dok, kok bisa-bisanya Dokter langsung menebak saya hamil?" tanyaku penasaran."Hm." Dia menunjuk ke arah banner besar yang bertuliskan klinik bersalin. Ternyata Mas Pram membawaku ke klinik bersalin, pantas saja dokternya langsung menyarankan untuk tes kehamilan. Aku melirik ke arah Mas Pram yang tengah memutar badannya seperti orang yang tengah mengalihkan pandangan. Aku yakin dia tidak ingin disalahkan karena telah membawaku ke klinik bersalin."Aku nggak nyalahin kamu, Mas. Namanya juga orang panik, pasti langsung ingin bawa ke klinik terdekat, meskipun klinik bersalin, suster
Ada garis dua di tespack tersebut. Aku dan Mas Pram sempat bertumbuk pandang. Kami berdua membeku seketika.Rona wajah Mas Pram tiba-tiba berubah jadi berbinar-binar, tapi tidak denganku, rasa tidak percaya masih saja menyelimuti.Aku menggelengkan kepalaku, kemudian menghadap ke arah dokter yang kini sudah menyunggingkan senyuman."Ada apa? Kenapa mukanya kaku gitu? Bahagia dong," ledek dokter dengan disertai melipat kedua tangannya."A-aku ...." Saat itu juga lidah ini sulit berkata-kata. Rasanya sulit dipercaya, keajaiban itu terjadi padaku. Garis dua adalah garis yang ditunggu untuk para wanita bersuami, aku yang sudah lima tahun lebih menanti kehadiran seorang buah hati pun nyaris tak mempercayai itu."Are you oke, Inggit?" Mas Pram melambaikan tangannya di depan mukaku."Mau USG?" tanya dokter. "Kebetulan klinik lagi sepi, karena masih terlalu pagi, jadi belum ada pasien Ibu hamil yang mengantri, marilah kita USG aja ya untuk meyakinkan," sambung dokter."Boleh, Dok!" ajak Mas P
POV Author Lima Belas Tahun Berlalu Tahun telah berganti. Kini hidup yang dirasakan Inggit sangat berwarna. Dia dikelilingi oleh orang-orang yang menyayanginya.Setelah dinyatakan hamil, sembilan bulan kemudian, Inggit melahirkan seorang anak laki-laki, diberi nama Ameer Restu Permana. Cucu laki-laki pertama dari keluarga Satria."Ma, Pa, kapan kita ke pemakaman Eyang Uti dan Eyang Kakung?" tanya Jingga ketika mereka makan malam bersama. Satria meninggal dunia lima tahun yang lalu, ketika Jingga lulus sekolah menengah atas."Aku ingat betul, waktu itu Eyang bilang aku harus sukses jadi seorang pebisnis," kata Ameer menyusul sang kakak bicara."Kamu masih jauh, Dek, Kakak duluan yang jadi pebisnis," ejek Jingga."Nanti ajarin aku ya, Kak, sekarang aku fokus kejar sarjana dulu," timpal Ameer."Iya, dong, biar Mama dan Papa di rumah aja, ya 'kan, Mah, Pah?" tanya Jingga dengan disertai senyuman. Wajahnya yang memberikan ciri khas lesung pipi di pipi kanannya membuat Jingga terlihat san
Tiba-tiba Pram menyuruh Ameer melajukan mobilnya dengan cepat."Nenek denyut nadinya sudah nggak ada denyutnya," kata Pram membuat semua kompak membulatkan matanya."Ya Allah semoga nenek masih bisa diselamatkan," tutur Jingga penuh harap. "Dek, cepat nyetirnya!" tambah Jingga."Kak, aku belum punya SIM nanti gara-gara ngebut aku ditahan polisi gimana?" Ameer jadi berdebat."Kakak lupa, kamu tuh mau ngejar sarjana padahal SIM aja belum punya," celoteh Jingga."Aduh kok jadi debat sarjana, itu mungkin hanya cita-cita adikmu, Jingga," celetuk Pram."Udah, jangan debat lagi, Mas, ini Ibu nggak ada napasnya, apa Ibu udah meninggal, Mas?" Inggit sangat khawatir, dia bahkan gemetar ketika memegang bawah hidung ibunya."Ma, aku kebut nih!" Ameer menambah kecepatannya. Dia menarik gas tanpa memikirkan lagi belum punya surat izin mengemudi.Dengan kecepatan tinggi, akhirnya mereka tiba juga di rumah sakit. Sang nenek yang disayangi oleh Jingga dan Ameer dibopong ke ruangan UGD. Namun, baru mas
"Kita urus pemakaman Bu Anis dulu," timpal Safitri.Kemudian semua bubar dan kembali ke mobil masing-masing. Suara sirene ambulance pun terdengar. Itu pertanda jenazah sudah jalan menuju pemakaman.Safitri masuk ke dalam mobilnya, dia diantar oleh anak dari suaminya yang baru. Safitri baru saja menikah dengan seorang duda kaya yang memiliki satu anak bujang seusia Jingga. Suaminya Safitri seorang pengusaha yang tidak diragukan lagi oleh kalangannya. Namun, dia merupakan pesaing bisnis dari perusahaan yang dikelola oleh Jingga saat ini."Nanti aku nggak turun, kamu aja ya," kata Dion Prakasa, suaminya Safitri yang dikenalnya beberapa tahun yang lalu, mereka menikah di Malaysia, tapi Dion mencoba memulai bisnisnya di Jakarta beberapa waktu yang lalu, sekitar hampir satu tahun.Safitri baru menginjakkan kakinya di kota Jakarta seminggu, dia lama mengurus identitasnya dan kepindahan sekolah anaknya dari pernikahan dia dengan Dimas dulu. Ronald, nama anak Safitri dan Dimas yang kini usian
"Kamu tadi lama?" tanya Inggit dan Pram kompak. "Tadi biasa lah kejebak lampu merah," jawab Safitri bohong.Kemudian mereka minggir dan menjauh dari tempat pemakaman. Akhirnya Safitri berhasil mengajak Inggit untuk pulang dari peristirahatan terakhir ibunya.Rangkulan Safitri membuat Inggit kuat, sepanjang jalan menuju parkiran Inggit pun berusaha tegar dengan mengalihkan pertanyaan-pertanyaan untuk Safitri."Jadi kamu udah menikah lagi?" tanya Inggit.Pram yang ada di belakang mereka pun tersenyum sambil menatap Jingga. Sebab akhirnya ada yang menyembuhkan luka yaitu Safitri. Dia bisa mengalihkan kesedihan Inggit."Ya, aku menemukan sosok laki-laki yang tepat untukku, selama kami menikah sih belum ada cekcok, perjalanan kami masih lurus aja, anakku dan anaknya juga sangat dekat," ungkap Safitri sambil menoleh ke belakang mencari keberadaan putra tirinya. "Sini, Sayang, dekat Mama," tambah Safitri saat melihat Tirta berada di paling belakang. Pria yang bergelar dokter itu sangat sant
"Papa baru ingat namanya Dion," ucap Pram seketika membuat anaknya menoleh ke arah Pram duduk.Jingga memicingkan matanya, lalu seperti berpikir sesuatu."Dion Prakasa?" Tiba-tiba Jingga menyebutkan nama lengkapnya."Sepertinya iya," timpal Pram. "Kamu kenal?" tambah Pram.Jingga berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala."Dia itu pesaing bisnis kita, jangan-jangan Pak Dion sengaja nggak turun, dan sengaja nggak mau nemuin kita, karena memang tidak suka," tukas Jingga seolah-olah berburuk sangka.Seperti biasa, Pram menoleh ke belakang, Dia meminta pendapat istrinya dengan bahasa isyarat."Jangan buruk sangka, kita harus bisa profesional, kerja ya kerja, saat di luaran sana ya sebagai saudara, mungkin suaminya Safitri juga bersikap seperti itu, kalau dia pebisnis, seharusnya bisa profesional," kata Inggit saat suaminya meminta pendapat dengan kedipan mata."Nah, mamamu benar, kita harus berbaik sangka, supaya hasil yang kembali ke diri kita akan baik," tambah Pram."Ya, ya, ya, aku