Tiba-tiba Pram menyuruh Ameer melajukan mobilnya dengan cepat."Nenek denyut nadinya sudah nggak ada denyutnya," kata Pram membuat semua kompak membulatkan matanya."Ya Allah semoga nenek masih bisa diselamatkan," tutur Jingga penuh harap. "Dek, cepat nyetirnya!" tambah Jingga."Kak, aku belum punya SIM nanti gara-gara ngebut aku ditahan polisi gimana?" Ameer jadi berdebat."Kakak lupa, kamu tuh mau ngejar sarjana padahal SIM aja belum punya," celoteh Jingga."Aduh kok jadi debat sarjana, itu mungkin hanya cita-cita adikmu, Jingga," celetuk Pram."Udah, jangan debat lagi, Mas, ini Ibu nggak ada napasnya, apa Ibu udah meninggal, Mas?" Inggit sangat khawatir, dia bahkan gemetar ketika memegang bawah hidung ibunya."Ma, aku kebut nih!" Ameer menambah kecepatannya. Dia menarik gas tanpa memikirkan lagi belum punya surat izin mengemudi.Dengan kecepatan tinggi, akhirnya mereka tiba juga di rumah sakit. Sang nenek yang disayangi oleh Jingga dan Ameer dibopong ke ruangan UGD. Namun, baru mas
"Kita urus pemakaman Bu Anis dulu," timpal Safitri.Kemudian semua bubar dan kembali ke mobil masing-masing. Suara sirene ambulance pun terdengar. Itu pertanda jenazah sudah jalan menuju pemakaman.Safitri masuk ke dalam mobilnya, dia diantar oleh anak dari suaminya yang baru. Safitri baru saja menikah dengan seorang duda kaya yang memiliki satu anak bujang seusia Jingga. Suaminya Safitri seorang pengusaha yang tidak diragukan lagi oleh kalangannya. Namun, dia merupakan pesaing bisnis dari perusahaan yang dikelola oleh Jingga saat ini."Nanti aku nggak turun, kamu aja ya," kata Dion Prakasa, suaminya Safitri yang dikenalnya beberapa tahun yang lalu, mereka menikah di Malaysia, tapi Dion mencoba memulai bisnisnya di Jakarta beberapa waktu yang lalu, sekitar hampir satu tahun.Safitri baru menginjakkan kakinya di kota Jakarta seminggu, dia lama mengurus identitasnya dan kepindahan sekolah anaknya dari pernikahan dia dengan Dimas dulu. Ronald, nama anak Safitri dan Dimas yang kini usian
"Kamu tadi lama?" tanya Inggit dan Pram kompak. "Tadi biasa lah kejebak lampu merah," jawab Safitri bohong.Kemudian mereka minggir dan menjauh dari tempat pemakaman. Akhirnya Safitri berhasil mengajak Inggit untuk pulang dari peristirahatan terakhir ibunya.Rangkulan Safitri membuat Inggit kuat, sepanjang jalan menuju parkiran Inggit pun berusaha tegar dengan mengalihkan pertanyaan-pertanyaan untuk Safitri."Jadi kamu udah menikah lagi?" tanya Inggit.Pram yang ada di belakang mereka pun tersenyum sambil menatap Jingga. Sebab akhirnya ada yang menyembuhkan luka yaitu Safitri. Dia bisa mengalihkan kesedihan Inggit."Ya, aku menemukan sosok laki-laki yang tepat untukku, selama kami menikah sih belum ada cekcok, perjalanan kami masih lurus aja, anakku dan anaknya juga sangat dekat," ungkap Safitri sambil menoleh ke belakang mencari keberadaan putra tirinya. "Sini, Sayang, dekat Mama," tambah Safitri saat melihat Tirta berada di paling belakang. Pria yang bergelar dokter itu sangat sant
"Papa baru ingat namanya Dion," ucap Pram seketika membuat anaknya menoleh ke arah Pram duduk.Jingga memicingkan matanya, lalu seperti berpikir sesuatu."Dion Prakasa?" Tiba-tiba Jingga menyebutkan nama lengkapnya."Sepertinya iya," timpal Pram. "Kamu kenal?" tambah Pram.Jingga berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala."Dia itu pesaing bisnis kita, jangan-jangan Pak Dion sengaja nggak turun, dan sengaja nggak mau nemuin kita, karena memang tidak suka," tukas Jingga seolah-olah berburuk sangka.Seperti biasa, Pram menoleh ke belakang, Dia meminta pendapat istrinya dengan bahasa isyarat."Jangan buruk sangka, kita harus bisa profesional, kerja ya kerja, saat di luaran sana ya sebagai saudara, mungkin suaminya Safitri juga bersikap seperti itu, kalau dia pebisnis, seharusnya bisa profesional," kata Inggit saat suaminya meminta pendapat dengan kedipan mata."Nah, mamamu benar, kita harus berbaik sangka, supaya hasil yang kembali ke diri kita akan baik," tambah Pram."Ya, ya, ya, aku
Setelah Pram dan Inggit keluar menemui orang tersebut, ternyata ada sosok laki-laki memakai topi dengan dagu berjenggot."Maaf, Anda siapa ya?" Pram bertanya pada pria yang duduk dengan wajah menunduk.Kemudian pria tersebut membuka topinya, sambil bangkit dari duduknya."Hai, Pram, Inggit, apa kabar?" Pria tersebut memperkenalkan diri dengan menyapa. "Masih ingat saya? Dimas," tuturnya seketika membuat wajah Inggit dan Pram saling bertumbuk pandang.Ternyata pria itu Dimas. Wajahnya telah banyak perubahan, sudut matanya sudah keriput, dagunya berjenggot, rambutnya agak gondrong makanya dia mengenakan topi supaya terlihat rapi. Namun tetap saja Inggit dan Pram hampir tidak mengenalinya.Dua belas tahun Dimas di penjara. Selama tiga tahun dia menghilang jauh dari Jakarta, hingga akhirnya kembali dengan tujuan mencari jati dirinya lagi."Kamu mau apa ke sini?" Dada Inggit bergetar hebat saat bertanya seperti itu pada mantan suaminya."Jangan ketakutan dulu, jangan cemas begitu, aku tida
Setelah itu Dimas pun naik ojek kembali, dia menuju rumah kontrakan tempatnya berteduh. Sepanjang perjalanan, Dimas masih membayangkan rumah besar itu, hingga ojek bertanya pun dia tidak mendengar."Pak, ini belok mana?" Berkali-kali ojek menanyakan di mana harus menurunkan penumpangnya, akan tetapi Dimas melamun begitu serius. Hingga akhirnya ojek pun terpaksa berhenti. "Nanti udah muter-muter tahu-tahu nggak punya duit," celetuk ojek yang ditumpangi Dimas."Kok berhenti, Pak? Loh ini di mana?" Dimas kebingungan sambil mengedarkan pandangannya."Nggak tahu ini di mana, bayar sini seratus ribu!" Ojek jadi galak karena kelelahan.Dimas pun memeriksa kantongnya tapi ternyata hanya sisa dua puluh ribu. Dia tidak punya uang lagi."Tuh kan, udah saya duga!" Dimas dibentak hingga nyalinya menciut, sebab dia merasa salah."Maaf, Pak, saya hanya punya segitu," kata Dimas sambil menautkan kedua telapak tangannya.Setelah itu, ojeknya bergegas meninggalkan Dimas.Dimas sendirian berdiri sambil
"Iya, aku tahu papaku Papa Dion, tapi tetap beda, Ma. Papa agak pilih kasih, kalau ke aku agak sensitif," gerutu Ronald."Kamu harus ngerti kalau dibilangin, jangan ngeyel, jangan membantah," pesan Safitri dengan bijaksana.Ronald memicingkan matanya, dia bahkan mendengus kesal mendengar penuturan mamanya, baginya Safitri itu membela Dion."Dah lah, aku mau ke kamar, Mama selalu gitu, belainnya Papa terus, cuma Mas Tirta yang ngertiin aku," timpal Ronald.Kemudian dia pergi ke kamarnya. Sementara Safitri, dia hanya menggelengkan kepala sambil mengelus pelipis. Safitri menghela napas berat saat mendengar anaknya merasa dibeda-bedakan."Kenapa anakmu itu persis dengan kamu, Mas? Aku nggak tahu harus bagaimana cara membuang sifat kamu dari dalam diri Ronald, sepertinya memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," tutur Safitri bermonolog saat duduk menyandar.Sementara Ronald, jika dia menelan kekecewaan, selalu mengutarakan pada Tirta, yang memang sangat baik terhadapnya. Dia mengambil
"Oke, terima kasih infonya," jawab Jingga. Kemudian sambungan telepon pun terputus.Pram dan Inggit pun menanyakan kendala yang dipikirkan oleh Jingga. Sebab setelah mengangkat telepon dari Asti, dia bergeming sebentar."Kalau ada masalah ngomong, jangan seperti itu," ucap Inggit membuyarkan lamunan Jingga."Nggak, Ma. Semoga aja pikiran negatifku ini salah, masa iya suaminya Tante Safitri sampai segitunya," tutur Jingga.Inggit menautkan kedua alis. Dia memicingkan matanya ketika Jingga menyebutkan nama Safitri dan suaminya yang baru. "Maksud kamu yang namanya Dion itu? Yang kamu bilang pesaing bisnis?" tanya Inggit.Jingga pun menganggukan kepala. "Kata Asti sih begitu," jawabnya."Yah namanya bisnis ya seperti itu, kita saling bersaing dan sikut-menyikut tanpa kenal teman ataupun saudara, yang terpenting caranya dia itu benar, dalam arti lain tidak menyimpang," ungkap Pram."Sampai detik ini sih belum ada berita tentang negatifnya, hanya saja klien pindah ke dia, semoga benar-benar
"Iya, nanti dibicarakan dulu pada Pram dan Inggit ya," ucap Dion supaya anaknya berhenti merengek."Tirta, pernikahan itu bukan buat mainan, kamu harus mantapkan diri dulu, jangan karena cinta yang menggebu, kamu langsung minta lamaran," tutur Safitri menasihati."Iya, aku udah yakin. Ini pertama kali aku jatuh cinta, tolong, Mah," lirih Tirta lagi.Mereka diam sejenak."Mama sarankan kamu salat istikharah, oke," ucap Safitri sambil beranjak pergi, dia tidak meladeni anaknya lagi.Safitri masuk ke kamar. Dia mengetik pesan pada sahabatnya. Safitri mengajak Inggit berjumpa di satu cafe.Inggit kebetulan ada waktu luang besok, dia menyetujui dan menentukan waktu yang dikirimkan ke Safitri. Ya, mereka berencana akan bertemu di cafe besok. Kenapa tidak bicara melalui chat atau telepon? Urusan pernikahan adalah hal yang sakral, lagi pula Safitri ingin memastikan dulu apakah Inggit menerima jika anaknya menyukai Jingga.Mereka sudah saling kenal dan sangat dekat, jadi tidak ingin persahabat
"Tari, saya minta maaf atas kesalahan adik saya, Lian begitu berarti untuknya," ucap Haris. "Dan satu lagi yang ingin saya katakan padamu, I love you so much," terang Haris membuat Tari seketika terkejut. Kan bukan hanya Tari, tapi Dimas yang mendengarnya pun mencari sumber suara tersebut.'Haris dengan berani mengatakan hal itu di hadapan umum?' batin Dimas.Kemudian Haris berlalu pergi darinya. Dia diboyong ke sel tahanan oleh pihak yang berwajib.Semua telah selesai, keadilan telah ditegakkan. Yang jelas-jelas bersalah akan menjalani hukumannya. Lalu orang yang hanya menjadi boneka terbebaskan.Dion diminta menemui wartawan untuk sekadar bicara di depan khalayak ramai. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa keputusan hakim tadi mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, sesuai pertimbangan dan saksi, jadi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para saksi dan keluarga yang telah mendampingi saya. Semoga para vendor dan rekan kerja lainnya, tetap akan menjalani kerjasama dengan
Safitri tiba di lapas tempat Chika ditahan. Dia langsung meminta izin untuk menemui Chika."Chika sedang proses pemeriksaan dokter ahli kejiwaan, kemarin dia sempat bunuh diri, lengannya sudah disayat-sayat," ucap salah seorang petugas.Safitri terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia bahkan tidak mengetahui berita ini.Kemudian, Safitri mencari kebenarannya. Dia bahkan rela mencari tahu ke rumah sakit tempat saat ini Chika ditangani oleh dokter spesialis. Safitri yang ditemani oleh Tirta dengan mudah menemui Chika yang memang tengah diberikan penangan.Tirta menemui beberapa dokter, dan ternyata selain mengalami gangguan jiwa, ada hal yang dialami oleh Chika."Chika memiliki penyakit serius, ternyata dia menderita sakit kanker," terang Tirta pada mamanya."Ya Allah, ternyata dia sakit, pantas Haris pun terlihat frustasi tadi," timpal Safitri."Semoga keputusan hakim besok benar-benar bisa membebaskan Papa dari hukuman," jawab Tirta.Kemudian mereka pun pulang untuk memberikan informasi pa
Jadi semuanya diperintahkan untuk diam oleh Tari, mereka tidak boleh bicara supaya Dimas tidak menghindar lagi. Jingga dan yang lainnya disuruh keluar diam-diam boleh Pram. Mereka sekarang berada di luar karena Tari ingin bicara empat mata dengan Dimas."Dimas," ucap Tari akhirnya mengeluarkan suara.Saat itu juga Dimas melangkahkan kakinya. Dia terburu-buru ingin meninggalkan Tari yang tiba-tiba datang di dekatnya.Namun tangan Tari mencekal pergelangan tangan Dimas yang hendak melangkah."Mau ke mana? Aku ingin bicara empat mata, tolong jangan pergi," tutur Tari agak merendahkan nada bicaranya.Dimas hanya bisa terdiam, kemudian dia mundur kembali, Tari menuntunnya untuk duduk."Ada apa? Aku tidak mau membicarakan masalah mata, biarkan itu menjadi ladang pahala untukku," pinta Dimas."Iya, aku paham, maaf kalau tadi sudah menyecar kamu." Tari merendahkan bicaranya lagi."Terus mau ngomong apa? Aku rasa tidak ada yang bisa diobrolkan, hubungan kerja pun tidak ada," timpal Dimas."Ak
Tiba-tiba Pram dan yang lainnya berkumpul. Mereka sama-sama datang dengan pura-pura tidak mengetahui pertemuan yang sebenarnya disengaja."Loh Dimas ke sini?" tanya Pram dan yang lainnya."Kalian juga di sini?" tanya Dimas balik."Iya, aku dan Inggit ajak Tari ke sini," jawab Pram.Tari masih belum mendapatkan jawaban dari apa yang ditanyakan olehnya."Dimas, kamu belum menjawab," tegas Tari. Kemudian dia melirik ke arah semua yang tiba-tiba muncul. "Apa kalian sudah tahu kalau Dimas buta?" Tari bertanya pada Pram, Inggit dan yang lainnya.Yang ditanya oleh Tari tidak ada yang jawab. Mereka menunggu aba-aba dari Pram yang memberikan usul untuk membongkar ini semua.Tiba-tiba Tari teringat saat dia bertemu dengan Dimas di rumah Pram. Dia memicingkan matanya ke arah Ronald."Apa kamu sudah tahu kondisi papamu seperti ini?" tanya Tari.Ronald mengangguk. Kemudian dia menunduk."Jadi jawabannya kalian itu membohongiku?" tanya Tari.Ini yang ditakutkan oleh Dimas. Dia takut dituduh memanfa
Tari sempat berhenti, dia membuka kaca mobilnya, pandangannya tertuju pada Dimas."Dimas, kamu udah akur dengan Ronald?" tanya Tari tidak berprasangka apa-apa."Iya, alhamdulilah, aku pamit dulu," jawab Dimas datar yang kemudian disusul oleh Ronald melambaikan tangannya. Kemudian mereka bergegas pergi.Pram dan Inggit benar-benar terkejut melihatnya. Safitri juga yang tadinya hendak berangkat ke kantor polisi ikut tercenung sebentar.Kemudian, Tari turun dari mobilnya. Dia masih belum engeh dengan penglihatan Dimas."Kok kalian nggak bilang kalau Dimas di sini?" tanya Tari."Nggak enak, kamu sangat membenci dia," jawab Tari ngasal.Tari mengerutkan keningnya."Sejak kapan aku membenci orang? Nggak ah, kamu ngada-ngada," jawab Tari.Jantung mereka itu berdetak tak beraturan. Saat pertanyaan mengenai Dimas dilontarkan oleh Tari."Katanya mau ke sini sore, tiba-tiba datang pagi, kamu sengaja ngerjain kami?" tanya Safitri."Nggak kok, tadi abis dari makam, langsung aja deh ke sini," timpa
Perlahan mata Tari dibuka, awalnya dia agak samar-samar melihat ruangan yang ditempati. Namun perlahan, matanya melihat jelas dokter yang ada di dekatnya."Masyaallah," ucap Tari merasa terharu dengan kondisinya saat ini."Kamu udah benar-benar melihat?" tanya Safitri.Tanpa basa-basi lagi Tari langsung menyergap tubuh Safitri."Ya Allah. Alhamdulillah aku bisa melihat lagi, ini suatu keajaiban, terima kasih Tuhan, terima kasih Dokter, Safitri, aku juga mengucapkan terima kasih pada kamu dari keluarga," ungkap Tari membuat suasana menjadi haru. Air matanya pun mulai menetes membasahi pipi."Selamat ya, Bu Tari." Ucapan dokter mengingatkan Tari untuk menanyakan siapa yang telah mendonorkan matanya."Dok, maaf, saya harus tahu siapa yang mendonorkan mata untuk saya," ucap Tari.Dokter diam seketika. Safitri juga seperti itu, dia menatap dokter yang tengah terkejut dengan pertanyaan dari Tari."Hm, Tari, tim dokter rumah sakit hanya menjalankan tugasnya, kalau kamu ingin tahu siapa orang
Pram datang, dia tercengang ketika melihat sang istri tengah berada di hadapan Dimas.Inggit pun langsung menghampiri Pram yang baru saja datang."Aku akan jelaskan," ucap Inggit.Dengan sabar Pram pun mendengar penjelasan sang istri dari awal hingga akhir. Pram yang tadinya marah, kini dia mulai terharu dibuatnya. Mereka ikut menghampiri Dimas. Sekarang Pram sudah ada di hadapannya."Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Tapi aku sangat salut dengan pengorbanan kamu untuk Tari," tutur Pram.Semua orang memuji kebaikan Dimas yang luar biasa. "Aku sendiri belum tentu bisa seperti kamu, Dimas," tambah Pram."Demi semuanya, aku ingin menebus semua kesalahanku yang telah banyak merugikan orang lain," ucap Dimas."Padahal kamu nggak melakukan kejahatan yang merugikan Tari dalam kecelakaan itu," timpal Pram."Tapi anakku masih menginginkan Dion bisa bebas dari hukuman, minimal dikurangi," jawab Dion lagi-lagi berhasil membuat air mata Ronald meleleh.Semua sudah dipikirkan secara matang-m
Bersyukur operasi berjalan dengan lancar. Suster pun keluar dan bilang pada Inggit dan Safitri bahwa dokter mengusulkan tetap di ruangan observasi tapi dihalangi dengan tirai.Kenapa mereka khawatir Tari tahu? Karena biasanya pasca bius sudah hilang, rasa nyeri akan terasa, di situlah suara Dimas akan terdengar di telinga Tari, ini yang dikhawatirkan oleh Inggit dan Safitri.Safitri dan Inggit masih menunggu mereka yang ada di ruangan observasi selama satu jam."Sus, usahakan jangan dibarengi mengeluarkan keduanya," pesan Inggit."Baik, Ibu," jawab suster.Kemudian mereka bersabar menunggu Tari keluar dari ruangan observasi. Keduanya menunggu dengan sukarela. Setelah satu jam berlalu, yang lebih dulu sadar itu Tari. Suster buru-buru memindahkan dirinya ke ruangan rawat inap atas izin dokter.Safitri dan Tari mengekor dari belakang ke arah ruangan rawat inap tempat Tari menjalani perawatan."Akhirnya kamu akan bisa melihat dunia, kapan kata dokter buka perban?" tanya Safitri ketika su