Setelah itu Dimas pun naik ojek kembali, dia menuju rumah kontrakan tempatnya berteduh. Sepanjang perjalanan, Dimas masih membayangkan rumah besar itu, hingga ojek bertanya pun dia tidak mendengar."Pak, ini belok mana?" Berkali-kali ojek menanyakan di mana harus menurunkan penumpangnya, akan tetapi Dimas melamun begitu serius. Hingga akhirnya ojek pun terpaksa berhenti. "Nanti udah muter-muter tahu-tahu nggak punya duit," celetuk ojek yang ditumpangi Dimas."Kok berhenti, Pak? Loh ini di mana?" Dimas kebingungan sambil mengedarkan pandangannya."Nggak tahu ini di mana, bayar sini seratus ribu!" Ojek jadi galak karena kelelahan.Dimas pun memeriksa kantongnya tapi ternyata hanya sisa dua puluh ribu. Dia tidak punya uang lagi."Tuh kan, udah saya duga!" Dimas dibentak hingga nyalinya menciut, sebab dia merasa salah."Maaf, Pak, saya hanya punya segitu," kata Dimas sambil menautkan kedua telapak tangannya.Setelah itu, ojeknya bergegas meninggalkan Dimas.Dimas sendirian berdiri sambil
"Iya, aku tahu papaku Papa Dion, tapi tetap beda, Ma. Papa agak pilih kasih, kalau ke aku agak sensitif," gerutu Ronald."Kamu harus ngerti kalau dibilangin, jangan ngeyel, jangan membantah," pesan Safitri dengan bijaksana.Ronald memicingkan matanya, dia bahkan mendengus kesal mendengar penuturan mamanya, baginya Safitri itu membela Dion."Dah lah, aku mau ke kamar, Mama selalu gitu, belainnya Papa terus, cuma Mas Tirta yang ngertiin aku," timpal Ronald.Kemudian dia pergi ke kamarnya. Sementara Safitri, dia hanya menggelengkan kepala sambil mengelus pelipis. Safitri menghela napas berat saat mendengar anaknya merasa dibeda-bedakan."Kenapa anakmu itu persis dengan kamu, Mas? Aku nggak tahu harus bagaimana cara membuang sifat kamu dari dalam diri Ronald, sepertinya memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," tutur Safitri bermonolog saat duduk menyandar.Sementara Ronald, jika dia menelan kekecewaan, selalu mengutarakan pada Tirta, yang memang sangat baik terhadapnya. Dia mengambil
"Oke, terima kasih infonya," jawab Jingga. Kemudian sambungan telepon pun terputus.Pram dan Inggit pun menanyakan kendala yang dipikirkan oleh Jingga. Sebab setelah mengangkat telepon dari Asti, dia bergeming sebentar."Kalau ada masalah ngomong, jangan seperti itu," ucap Inggit membuyarkan lamunan Jingga."Nggak, Ma. Semoga aja pikiran negatifku ini salah, masa iya suaminya Tante Safitri sampai segitunya," tutur Jingga.Inggit menautkan kedua alis. Dia memicingkan matanya ketika Jingga menyebutkan nama Safitri dan suaminya yang baru. "Maksud kamu yang namanya Dion itu? Yang kamu bilang pesaing bisnis?" tanya Inggit.Jingga pun menganggukan kepala. "Kata Asti sih begitu," jawabnya."Yah namanya bisnis ya seperti itu, kita saling bersaing dan sikut-menyikut tanpa kenal teman ataupun saudara, yang terpenting caranya dia itu benar, dalam arti lain tidak menyimpang," ungkap Pram."Sampai detik ini sih belum ada berita tentang negatifnya, hanya saja klien pindah ke dia, semoga benar-benar
"Lima belas tahun itu bukan waktu yang sebentar Bu, saya baru sembuh tiga tahun yang lalu. Waktu itu saya depresi berat karena kebetulan Mama saya meninggal dunia juga setelah tahu anaknya bangkrut," tambah Dimas meyakinkan. Lian dan Tari pun merasa tidak enak karena telah membuat Dimas bersedih atas pertanyaannya. Laki-laki yang pintar bersilat lidah itu akhirnya berhasil menaklukkan keduanya."Kalau pernah punya perusahaan, artinya kamu berpengalaman dalam bidang perkantoran, wah ini sih patut diuji coba, dulu kamu menguasai semuanya?" tanya Lian."Sebelum saya memiliki perusahaan, awalnya saya ini hanya kepala marketing, sampai akhirnya keberuntungan berpihak pada saya, walaupun hanya sebentar," kata Dimas membual. Sedari dulu dia pandai mencari muka, sampai saat ini menjadi kepiawaiannya."Nanti saya tes deh, syukur-syukur kamu bawa ijazah," sahut Lian.Dimas menoleh dari kaca spion. Dia bingung dengan syarat tersebut yang tidak mungkin dia miliki, sebab setelah masuk penjara, se
"Fotoin ah, mumpung mau ketemu Kak Jingga, biar dia tahu kalau pangerannya ke rumah," celetuk Ameer sambil mengeluarkan ponselnya kemudian mengambil foto.Inggit memelototi anaknya, tapi Ameer hanya mengangkat kedua alisnya sambil pura-pura tidak melihat sang Mama.Kemudian, Pram turun menemui Tirta yang tiba-tiba datang ke rumah."Tumben nih, ada apa ya?" Pram bertanya saat menghampiri Tirta yang juga turun dari mobilnya."Mau kasih ini, titipan dari Mama untuk Tante Inggit," ucap Tirta saat mengecup punggung tangan Pram, dia sangat sopan, seharusnya ini poin untuk dia yang memang belum menikah, padahal usianya tidak muda lagi, sudah kepala dua bahkan tiga tahun lagi dia akan menginjak kepala tiga."Hm, apa ini? Tapi terima kasih, salam untuk Safitri ya," jawab Pram."Kalau gitu, Tirta pamit dulu, Om, bentar lagi ada praktek," ucap Tirta sambil mengulurkan tangannya. Tirta kembali ke mobilnya tanpa tanya Pram hendak ke mana. Dia tak lupa menundukkan kepalanya disertai senyuman saat m
Inggit memicingkan matanya kemudian menyuruh seorang office boy yang mengacungkan tangan itu berdiri."Ada yang suruh kamu?" tanya Inggit.Namun, tangan Pram menghentikan Inggit bicara. "Baiklah, kalau begitu, meeting saya bubarkan kecuali Hendy," perintah Pram. Seseorang yang bijaksana takkan mempermalukan orang lain di hadapan umum, Pram melakukan hal tersebut demi anak buahnya, terlebih dia sangat mengenal Hendy yang sudah lama bekerja di perusahaan miliknya, bahkan sebelum Jingga memegang wewenang.Hendy mengangguk dan menundukkan kepalanya. Pram dan Jingga menunggu karyawan meninggalkan ruangan, bahkan sampai benar-benar sudah tertutup kembali pintunya.Sekitar lima menit ruangan meeting sudah sepi kembali, tersisa Inggit, Pram, Jingga dan Hendy saja yang ada di ruangan.Setelah benar-benar sepi, Hendy disuruh duduk di hadapan mereka. Ya, satu lawan tiga orang. Namun, hanya Pram yang bicara padanya.Pram duduk dengan posisi tangan dilipat memandangi Hendy yang duduk tegak menund
"Bukan, Bu. Orangnya tidak seperti itu, dia pernah ke perusahaan ini, makanya saya tahu namanya, karena pernah disuruh beli makanan," terang Hendy tambah membuat Jingga penasaran."Siapa ya? Apa sudah lama dia ke sini? Kamu ingat nggak kapan dia ke perusahaan ini?" tanya Jingga penasaran."Ingat, Bu, sewaktu peresmian pertama kali Bu Jingga menjabat," jawab Hendy.Jingga menurunkan bahunya, dia sangat menyayangkan karena kejadian sudah lama sekali. "Rekaman CCTV sudah hilang, baru ganti setahun ke belakang," tutur Jingga sangat menyesal. "Ya udah, kamu boleh pulang, selama kamu belum bisa menunjukkan siapa itu Nico, kamu belum boleh masuk bekerja!" kecam Jingga. Dia menegaskan ini pada karyawan.Hendy pun memejamkan matanya sambil menghela napas panjang. "Baiklah, Bu, Pak, sekali lagi saya minta maaf," timpal Hendy.Lalu dia putar badan, kemudian langsung membuka pintu lebar-lebar. Namun Inggit memanggilnya kembali, dia menghampiri office boy itu."Tunggu, Hendy, saya ingin bicara,"
"Mah, please jangan buat aku tambah naik dara, jangan bicarakan Tirta lagi ya," ucap Jingga."Sepertinya iya, anak sulungnya Papa lagi jatuh cinta," serobot Pram. Dia menambahkan candaannya.Jingga merengut, tapi akhirnya Inggit bangkit dan mengajak Pram untuk pulang.**Sementara Dimas, setelah berhasil memikat hati Lian dan Tari untuk menjadi sopir, dalam sekejap mata saja dia pun meluluhkan hati keduanya dengan tes interview yang dilakukan team HRD untuk memastikan pengalaman yang dia sebutkan tadi saat perjalanan."Ternyata kamu memang pandai di bidang marketing, dulu kamu kerja di bagian marketing?" tanya Lian."Seperti yang saya sebutkan tadi, Pak, saya pernah menjabat sebagai kepala marketing, juga manager, sempat diberikan kepercayaan untuk mengelola perusahaan juga, tapi bangkrut seperti yang saya ceritakan di awal tadi," terang Dimas."Hm, tapi jabatan kepala marketing sudah ada, memang saya membutuhkan seorang manager tapi bagian produksi, apa kamu mau?" tanya Lian."Mau,