"Oh Hendy, ya udah, kamu hati-hati, semoga ibumu lekas sembuh," ucap Safitri dengan memasang wajah penuh haru.Safitri naik kembali ke mobilnya, dia berencana untuk langsung ke rumah Inggit dan Pram. Dia ingin mencurahkan isi hatinya karena telah dituduh macam-macam oleh suaminya sendiri.Sepanjang perjalanan dia terus menggerutu, sesekali Safitri memukul gagang setirnya. Mendadak telepon genggam miliknya yang diletakkan di sebelahnya pun berdering."Halo, kebetulan sekali kamu telepon," ucap Safitri."Kenapa emang, Mah? Ada masalah lagi dengan Ronald?" tanya Tirta."Hm, papamu itu bikin Mama kesal, masa menghubungkan perjodohan kamu dan Jingga, dengan persahabatan Mama dengan Pram," ungkap Safitri mengadu pada anaknya."Paling Papa begitu karena banyak masalah di kantor, Ma," jawab Tirta. "Pasti Mama gangguin Papa sampai ke kantor ya?" tebak Tirta. Memang anaknya sudah kenal persis orang tua yang membesarkannya dari kecil."Hm, iya, kamu betul, Mama sampai lupa kalau papamu begitu ji
"Pram, Inggit, kita ketemu lagi," jawab Dimas berusaha ramah."Siapa?" Kepala Tari pun nongol dari balik kaca yang diturunkan. "Oh papa dan mamanya Ameer yang waktu itu kita tabrak, Mas," lanjut Tari sambil menarik pergelangan tangan suaminya.Pram dan Inggit pun tersenyum, mereka tidak bicara banyak pada Dimas karena majikannya menyapa. "Mau ke mana, Mbak?" tanya Tari pada Inggit yang terlihat melambaikan tangannya. "Eh, Ameer apa kabar?" Tari langsung melambaikan tangannya ke arah Ameer yang sangat dikaguminya. Ameer pun hanya membalas lambaian tangan juga padanya."Kami mau pulang, kalian?" tanya Inggit balik."Pulang juga, kalian mampir yuk!" Seketika Pram dan Inggit saling beradu pandang saat mereka mengajak mampir ke rumah."Next time, nanti saya hubungi kalau ada waktu, minta kartu nama kalian aja," jawab Pram menyusul.Tidak butuh waktu lama, Lian langsung memberikan kartu namanya untuk Pram. Saat itu juga lampu hijau memisahkan mereka.Dimas sedikit melirik dari kaca spion.
Inggit menautkan kedua alisnya, kemudian memberikan isyarat pada Pram."Hm, kenapa kamu nanya seperti itu?" tanya Pram sekali lagi."Waktu aku kecelakaan, dia pernah nyebut kalau Mama___" Ameer tidak melanjutkan ucapannya, dia melirik ke arah Inggit yang tengah menatapnya. 'Masa aku tanya terang-terangan kalau orang itu ngaku mantan suami Mama?' batin Ameer.Sementara Pram baru sadar saat Inggit terus mengedipkan matanya."Oh, iya, Mama dan Papa belum cerita ya," ucap Pram. "Kita cerita di rumah ya, kalau ada Kak Jingga, sepertinya memang kamu harus tahu," jawab Inggit.Ameer pun mengangguk. Dia tipe anak penurut.**Sedangkan Ronald pun menghubungi mamanya. Dia meminta ketemu di salah satu Mall. Safitri yang kebetulan belum pulang ke rumah pun menuruti ajakan Ronald.Setibanya di sebuah pusat perbelanjaan, Safitri dan Ronald jalan menuju cafe minuman, mereka duduk hanya sekadar minum kopi dingin."Tahu nggak, Mah. Aku tuh ketemu orang miskin itu lagi, tapi kali ini dia naik mobil, k
"Loh kamu lihat Nico di kantor? Mukanya seperti apa?" tanya Jingga.Namun, telepon terputus begitu saja saat Jingga menanyakan wajah asli Nico yang sebenarnya.Jingga tidak sabaran, dia mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja. "Apa aku keluar ya?" tanya Jingga pada dirinya sendiri.Jingga menelan ludah, dia berdiri, lalu duduk lagi."Ah kemarin kan udah sepakat untuk tidak bahas ini lagi, persaingan yang memang sangat wajar, meskipun tidak sehat, toh aku dan team kerja di kantor masih mendapatkan klien lain," ungkap Jingga akhirnya mengurungkan niatnya. Dia duduk kembali menunggu Hendy mengantar minuman untuknya.Jingga yang tidak ingin keluar kantor pun memesan makanan melalui online, kali ini dia menginginkan kentang dan spaghetti saja sebagai pengisi perutnya. Minuman sudah memerintahkan Hendy untuk segera membuatkan.Setelah beberapa menit kemudian, Hendy lebih dulu tiba di ruangan Jingga, karena makanan yang dipesannya cukup jauh jaraknya."Terima kasih, Hen," ucap Jingga berusaha t
Inggit membuka pesan yang diberikan kepala sekolah. Betapa terkejutnya dia ketika melihat kontak orang tua yang dikirimkan kepala sekolah."Safitri," ucap Inggit dengan mulut menganga. "Hah! Safitri?" tanya Pram terkejut."Siapa, Mah?"tanya Jingga kemudian. Semuanya terkejut mendengar namanya."Ternyata yang mukulin Ameer itu anaknya Safitri, Sayang," jawab Inggit.Jingga pun memutar badannya ke arah tempat sang mama duduk."Adiknya Tirta? Yang anaknya Om Dimas kan, Mah?" tanya Jingga balik.Inggit hanya mengangguk, dia shock dan tidak bisa berkata-kata lagi dengan informasi ini."Ameer nggak tahu masalah ini, dia cuma marah tadi ke Mama karena udah bikin malu," ungkap Inggit."Ah dia mah emang gede malunya, Mah, nggak tahu bagaimana orang tuanya mengkhawatirkan," timpal Jingga. "Kamu mandi, terus bujuk Ameer," suruh Pram.Jingga pun bangkit dari duduknya. Kemudian mereka menutup pembicaraan. Sebab, Inggit masih shock dengan apa yang didengarnya.**"Pasti papamu ngomel, Ronald kala
"Tidak seperti itu, Ronald, kamu juga anak baik," susul Tirta menyejukkan."Udah ya, Mama nggak mau debat," sahut Safitri. "Intinya kalau salah minta maaf," tambahnya lagi.Setibanya di rumah Pram, mereka langsung dipersilakan masuk karena satpam sudah mengenalnya. Raut wajah Ronald agak berbeda ketika melihat rumah Ameer yang megah, matanya berkeliling dari parkiran hingga ke dalam ruangan tamu."Pantesan Anisa lebih suka Ameer daripada aku, ternyata dia tajir," celetuk Ronald ketika dipersilakan duduk, mereka masih menunggu pemilik rumah turun dari kamarnya."Nggak usah banyak bicara, Ronald, kita ini tamu," pesan Tirta pada adiknya dengan berbisik. Baru kali ini dia agak tegas pada adiknya, biasanya Tirta pun sama seperti Safitri, sangat menyayangi Ronald."Kalian ini kenapa sih dengan keluarga ini? Apa spesialnya?" tanya Ronald.Tirta dan Safitri menutup mulutnya dengan jari telunjuk seraya menyuruhnya diam. Sebab, suara hentakan kaki terdengar dari lantai atas.Pram dan Inggit d
Jingga menatap mama dan papanya yang ikut mengantarkan Safitri dan anaknya ke parkiran."Nama Haris bukan cuma satu, di dunia ini banyak," bisik Inggit yang tahu gelagat Jingga, dia paham betul jika anaknya itu mencurigai seseorang.Safitri pun mengantongi ponselnya kembali, lalu dia pamit dengan orang yang sudah dianggap sebagai saudaranya sendiri.Setelah mereka pamitan, Jingga pun dirangkul oleh Ameer dari depan."Ciye, diapelin nih," ejek Ameer senang sekali becanda."Ah, kamu, benar-benar ingin diomelin terus ya," timpal Jingga kesal, dia geregetan bahkan mencubit sang adik."Lagian bengong aja dari tadi," celetuk Ameer."Mah, Pah, tahu kan kalau aku lagi kepikiran Haris yang dimaksud oleh Tante Safitri?" tanya Jingga.Pram dan Inggit pun mengangguk sambil terus berjalan, mereka tidak menanggapi prasangka buruk Jingga.Di jalan menuju kamar, Jingga masih saja terlintas Haris, biasanya jika dia memiliki feeling seperti ini, sebuah firasat yang benar."Nanti juga terbuka kalau mema
Tapi Dimas tidak memiliki kontak Safitri sama sekali. Dia hanya ketemu di jalan."Pak, balik lagi deh," pinta Dimas.Ojek pun memutar kembali ke arah yang Dimas tentukan. Mereka menuju rumah Lian dan Tari. Dimas tidak memiliki cara lain selain meminta maaf. Ya, karena dia benar-benar tidak mengetahui tempat tinggal Safitri.Setibanya di rumah Lian, terlihat pria tersebut tengah membuka pintu mobilnya, Dimas yang melihat buru-buru menghampiri Lian."Pak, belum pergi ke luar kota? Maafin saya, Pak, Bu," ucap Dimas memohon pada mereka."Bukankah tadi kamu pasrah saat saya memecat kamu," timpal Lian."Iya, Pak. Saya berpikir ulang karena ini kesalahan saya, jadi saya harus minta maaf sebesar-besarnya," kata Dimas, dia menurunkan egonya sementara.Saat itu juga wajah Tari menyorot suaminya. Dia mengedipkan mata seolah-olah menjadi isyarat untuknya.Helaan napas pun terdengar dari mulut Lian, dia membuang muka sebentar, lalu mengambil napas kembali."Baiklah, kebetulan saya belum dapat sopi