"Lima belas tahun itu bukan waktu yang sebentar Bu, saya baru sembuh tiga tahun yang lalu. Waktu itu saya depresi berat karena kebetulan Mama saya meninggal dunia juga setelah tahu anaknya bangkrut," tambah Dimas meyakinkan. Lian dan Tari pun merasa tidak enak karena telah membuat Dimas bersedih atas pertanyaannya. Laki-laki yang pintar bersilat lidah itu akhirnya berhasil menaklukkan keduanya."Kalau pernah punya perusahaan, artinya kamu berpengalaman dalam bidang perkantoran, wah ini sih patut diuji coba, dulu kamu menguasai semuanya?" tanya Lian."Sebelum saya memiliki perusahaan, awalnya saya ini hanya kepala marketing, sampai akhirnya keberuntungan berpihak pada saya, walaupun hanya sebentar," kata Dimas membual. Sedari dulu dia pandai mencari muka, sampai saat ini menjadi kepiawaiannya."Nanti saya tes deh, syukur-syukur kamu bawa ijazah," sahut Lian.Dimas menoleh dari kaca spion. Dia bingung dengan syarat tersebut yang tidak mungkin dia miliki, sebab setelah masuk penjara, se
"Fotoin ah, mumpung mau ketemu Kak Jingga, biar dia tahu kalau pangerannya ke rumah," celetuk Ameer sambil mengeluarkan ponselnya kemudian mengambil foto.Inggit memelototi anaknya, tapi Ameer hanya mengangkat kedua alisnya sambil pura-pura tidak melihat sang Mama.Kemudian, Pram turun menemui Tirta yang tiba-tiba datang ke rumah."Tumben nih, ada apa ya?" Pram bertanya saat menghampiri Tirta yang juga turun dari mobilnya."Mau kasih ini, titipan dari Mama untuk Tante Inggit," ucap Tirta saat mengecup punggung tangan Pram, dia sangat sopan, seharusnya ini poin untuk dia yang memang belum menikah, padahal usianya tidak muda lagi, sudah kepala dua bahkan tiga tahun lagi dia akan menginjak kepala tiga."Hm, apa ini? Tapi terima kasih, salam untuk Safitri ya," jawab Pram."Kalau gitu, Tirta pamit dulu, Om, bentar lagi ada praktek," ucap Tirta sambil mengulurkan tangannya. Tirta kembali ke mobilnya tanpa tanya Pram hendak ke mana. Dia tak lupa menundukkan kepalanya disertai senyuman saat m
Inggit memicingkan matanya kemudian menyuruh seorang office boy yang mengacungkan tangan itu berdiri."Ada yang suruh kamu?" tanya Inggit.Namun, tangan Pram menghentikan Inggit bicara. "Baiklah, kalau begitu, meeting saya bubarkan kecuali Hendy," perintah Pram. Seseorang yang bijaksana takkan mempermalukan orang lain di hadapan umum, Pram melakukan hal tersebut demi anak buahnya, terlebih dia sangat mengenal Hendy yang sudah lama bekerja di perusahaan miliknya, bahkan sebelum Jingga memegang wewenang.Hendy mengangguk dan menundukkan kepalanya. Pram dan Jingga menunggu karyawan meninggalkan ruangan, bahkan sampai benar-benar sudah tertutup kembali pintunya.Sekitar lima menit ruangan meeting sudah sepi kembali, tersisa Inggit, Pram, Jingga dan Hendy saja yang ada di ruangan.Setelah benar-benar sepi, Hendy disuruh duduk di hadapan mereka. Ya, satu lawan tiga orang. Namun, hanya Pram yang bicara padanya.Pram duduk dengan posisi tangan dilipat memandangi Hendy yang duduk tegak menund
"Bukan, Bu. Orangnya tidak seperti itu, dia pernah ke perusahaan ini, makanya saya tahu namanya, karena pernah disuruh beli makanan," terang Hendy tambah membuat Jingga penasaran."Siapa ya? Apa sudah lama dia ke sini? Kamu ingat nggak kapan dia ke perusahaan ini?" tanya Jingga penasaran."Ingat, Bu, sewaktu peresmian pertama kali Bu Jingga menjabat," jawab Hendy.Jingga menurunkan bahunya, dia sangat menyayangkan karena kejadian sudah lama sekali. "Rekaman CCTV sudah hilang, baru ganti setahun ke belakang," tutur Jingga sangat menyesal. "Ya udah, kamu boleh pulang, selama kamu belum bisa menunjukkan siapa itu Nico, kamu belum boleh masuk bekerja!" kecam Jingga. Dia menegaskan ini pada karyawan.Hendy pun memejamkan matanya sambil menghela napas panjang. "Baiklah, Bu, Pak, sekali lagi saya minta maaf," timpal Hendy.Lalu dia putar badan, kemudian langsung membuka pintu lebar-lebar. Namun Inggit memanggilnya kembali, dia menghampiri office boy itu."Tunggu, Hendy, saya ingin bicara,"
"Mah, please jangan buat aku tambah naik dara, jangan bicarakan Tirta lagi ya," ucap Jingga."Sepertinya iya, anak sulungnya Papa lagi jatuh cinta," serobot Pram. Dia menambahkan candaannya.Jingga merengut, tapi akhirnya Inggit bangkit dan mengajak Pram untuk pulang.**Sementara Dimas, setelah berhasil memikat hati Lian dan Tari untuk menjadi sopir, dalam sekejap mata saja dia pun meluluhkan hati keduanya dengan tes interview yang dilakukan team HRD untuk memastikan pengalaman yang dia sebutkan tadi saat perjalanan."Ternyata kamu memang pandai di bidang marketing, dulu kamu kerja di bagian marketing?" tanya Lian."Seperti yang saya sebutkan tadi, Pak, saya pernah menjabat sebagai kepala marketing, juga manager, sempat diberikan kepercayaan untuk mengelola perusahaan juga, tapi bangkrut seperti yang saya ceritakan di awal tadi," terang Dimas."Hm, tapi jabatan kepala marketing sudah ada, memang saya membutuhkan seorang manager tapi bagian produksi, apa kamu mau?" tanya Lian."Mau,
"Oh Hendy, ya udah, kamu hati-hati, semoga ibumu lekas sembuh," ucap Safitri dengan memasang wajah penuh haru.Safitri naik kembali ke mobilnya, dia berencana untuk langsung ke rumah Inggit dan Pram. Dia ingin mencurahkan isi hatinya karena telah dituduh macam-macam oleh suaminya sendiri.Sepanjang perjalanan dia terus menggerutu, sesekali Safitri memukul gagang setirnya. Mendadak telepon genggam miliknya yang diletakkan di sebelahnya pun berdering."Halo, kebetulan sekali kamu telepon," ucap Safitri."Kenapa emang, Mah? Ada masalah lagi dengan Ronald?" tanya Tirta."Hm, papamu itu bikin Mama kesal, masa menghubungkan perjodohan kamu dan Jingga, dengan persahabatan Mama dengan Pram," ungkap Safitri mengadu pada anaknya."Paling Papa begitu karena banyak masalah di kantor, Ma," jawab Tirta. "Pasti Mama gangguin Papa sampai ke kantor ya?" tebak Tirta. Memang anaknya sudah kenal persis orang tua yang membesarkannya dari kecil."Hm, iya, kamu betul, Mama sampai lupa kalau papamu begitu ji
"Pram, Inggit, kita ketemu lagi," jawab Dimas berusaha ramah."Siapa?" Kepala Tari pun nongol dari balik kaca yang diturunkan. "Oh papa dan mamanya Ameer yang waktu itu kita tabrak, Mas," lanjut Tari sambil menarik pergelangan tangan suaminya.Pram dan Inggit pun tersenyum, mereka tidak bicara banyak pada Dimas karena majikannya menyapa. "Mau ke mana, Mbak?" tanya Tari pada Inggit yang terlihat melambaikan tangannya. "Eh, Ameer apa kabar?" Tari langsung melambaikan tangannya ke arah Ameer yang sangat dikaguminya. Ameer pun hanya membalas lambaian tangan juga padanya."Kami mau pulang, kalian?" tanya Inggit balik."Pulang juga, kalian mampir yuk!" Seketika Pram dan Inggit saling beradu pandang saat mereka mengajak mampir ke rumah."Next time, nanti saya hubungi kalau ada waktu, minta kartu nama kalian aja," jawab Pram menyusul.Tidak butuh waktu lama, Lian langsung memberikan kartu namanya untuk Pram. Saat itu juga lampu hijau memisahkan mereka.Dimas sedikit melirik dari kaca spion.
Inggit menautkan kedua alisnya, kemudian memberikan isyarat pada Pram."Hm, kenapa kamu nanya seperti itu?" tanya Pram sekali lagi."Waktu aku kecelakaan, dia pernah nyebut kalau Mama___" Ameer tidak melanjutkan ucapannya, dia melirik ke arah Inggit yang tengah menatapnya. 'Masa aku tanya terang-terangan kalau orang itu ngaku mantan suami Mama?' batin Ameer.Sementara Pram baru sadar saat Inggit terus mengedipkan matanya."Oh, iya, Mama dan Papa belum cerita ya," ucap Pram. "Kita cerita di rumah ya, kalau ada Kak Jingga, sepertinya memang kamu harus tahu," jawab Inggit.Ameer pun mengangguk. Dia tipe anak penurut.**Sedangkan Ronald pun menghubungi mamanya. Dia meminta ketemu di salah satu Mall. Safitri yang kebetulan belum pulang ke rumah pun menuruti ajakan Ronald.Setibanya di sebuah pusat perbelanjaan, Safitri dan Ronald jalan menuju cafe minuman, mereka duduk hanya sekadar minum kopi dingin."Tahu nggak, Mah. Aku tuh ketemu orang miskin itu lagi, tapi kali ini dia naik mobil, k
"Iya, nanti dibicarakan dulu pada Pram dan Inggit ya," ucap Dion supaya anaknya berhenti merengek."Tirta, pernikahan itu bukan buat mainan, kamu harus mantapkan diri dulu, jangan karena cinta yang menggebu, kamu langsung minta lamaran," tutur Safitri menasihati."Iya, aku udah yakin. Ini pertama kali aku jatuh cinta, tolong, Mah," lirih Tirta lagi.Mereka diam sejenak."Mama sarankan kamu salat istikharah, oke," ucap Safitri sambil beranjak pergi, dia tidak meladeni anaknya lagi.Safitri masuk ke kamar. Dia mengetik pesan pada sahabatnya. Safitri mengajak Inggit berjumpa di satu cafe.Inggit kebetulan ada waktu luang besok, dia menyetujui dan menentukan waktu yang dikirimkan ke Safitri. Ya, mereka berencana akan bertemu di cafe besok. Kenapa tidak bicara melalui chat atau telepon? Urusan pernikahan adalah hal yang sakral, lagi pula Safitri ingin memastikan dulu apakah Inggit menerima jika anaknya menyukai Jingga.Mereka sudah saling kenal dan sangat dekat, jadi tidak ingin persahabat
"Tari, saya minta maaf atas kesalahan adik saya, Lian begitu berarti untuknya," ucap Haris. "Dan satu lagi yang ingin saya katakan padamu, I love you so much," terang Haris membuat Tari seketika terkejut. Kan bukan hanya Tari, tapi Dimas yang mendengarnya pun mencari sumber suara tersebut.'Haris dengan berani mengatakan hal itu di hadapan umum?' batin Dimas.Kemudian Haris berlalu pergi darinya. Dia diboyong ke sel tahanan oleh pihak yang berwajib.Semua telah selesai, keadilan telah ditegakkan. Yang jelas-jelas bersalah akan menjalani hukumannya. Lalu orang yang hanya menjadi boneka terbebaskan.Dion diminta menemui wartawan untuk sekadar bicara di depan khalayak ramai. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa keputusan hakim tadi mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, sesuai pertimbangan dan saksi, jadi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para saksi dan keluarga yang telah mendampingi saya. Semoga para vendor dan rekan kerja lainnya, tetap akan menjalani kerjasama dengan
Safitri tiba di lapas tempat Chika ditahan. Dia langsung meminta izin untuk menemui Chika."Chika sedang proses pemeriksaan dokter ahli kejiwaan, kemarin dia sempat bunuh diri, lengannya sudah disayat-sayat," ucap salah seorang petugas.Safitri terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia bahkan tidak mengetahui berita ini.Kemudian, Safitri mencari kebenarannya. Dia bahkan rela mencari tahu ke rumah sakit tempat saat ini Chika ditangani oleh dokter spesialis. Safitri yang ditemani oleh Tirta dengan mudah menemui Chika yang memang tengah diberikan penangan.Tirta menemui beberapa dokter, dan ternyata selain mengalami gangguan jiwa, ada hal yang dialami oleh Chika."Chika memiliki penyakit serius, ternyata dia menderita sakit kanker," terang Tirta pada mamanya."Ya Allah, ternyata dia sakit, pantas Haris pun terlihat frustasi tadi," timpal Safitri."Semoga keputusan hakim besok benar-benar bisa membebaskan Papa dari hukuman," jawab Tirta.Kemudian mereka pun pulang untuk memberikan informasi pa
Jadi semuanya diperintahkan untuk diam oleh Tari, mereka tidak boleh bicara supaya Dimas tidak menghindar lagi. Jingga dan yang lainnya disuruh keluar diam-diam boleh Pram. Mereka sekarang berada di luar karena Tari ingin bicara empat mata dengan Dimas."Dimas," ucap Tari akhirnya mengeluarkan suara.Saat itu juga Dimas melangkahkan kakinya. Dia terburu-buru ingin meninggalkan Tari yang tiba-tiba datang di dekatnya.Namun tangan Tari mencekal pergelangan tangan Dimas yang hendak melangkah."Mau ke mana? Aku ingin bicara empat mata, tolong jangan pergi," tutur Tari agak merendahkan nada bicaranya.Dimas hanya bisa terdiam, kemudian dia mundur kembali, Tari menuntunnya untuk duduk."Ada apa? Aku tidak mau membicarakan masalah mata, biarkan itu menjadi ladang pahala untukku," pinta Dimas."Iya, aku paham, maaf kalau tadi sudah menyecar kamu." Tari merendahkan bicaranya lagi."Terus mau ngomong apa? Aku rasa tidak ada yang bisa diobrolkan, hubungan kerja pun tidak ada," timpal Dimas."Ak
Tiba-tiba Pram dan yang lainnya berkumpul. Mereka sama-sama datang dengan pura-pura tidak mengetahui pertemuan yang sebenarnya disengaja."Loh Dimas ke sini?" tanya Pram dan yang lainnya."Kalian juga di sini?" tanya Dimas balik."Iya, aku dan Inggit ajak Tari ke sini," jawab Pram.Tari masih belum mendapatkan jawaban dari apa yang ditanyakan olehnya."Dimas, kamu belum menjawab," tegas Tari. Kemudian dia melirik ke arah semua yang tiba-tiba muncul. "Apa kalian sudah tahu kalau Dimas buta?" Tari bertanya pada Pram, Inggit dan yang lainnya.Yang ditanya oleh Tari tidak ada yang jawab. Mereka menunggu aba-aba dari Pram yang memberikan usul untuk membongkar ini semua.Tiba-tiba Tari teringat saat dia bertemu dengan Dimas di rumah Pram. Dia memicingkan matanya ke arah Ronald."Apa kamu sudah tahu kondisi papamu seperti ini?" tanya Tari.Ronald mengangguk. Kemudian dia menunduk."Jadi jawabannya kalian itu membohongiku?" tanya Tari.Ini yang ditakutkan oleh Dimas. Dia takut dituduh memanfa
Tari sempat berhenti, dia membuka kaca mobilnya, pandangannya tertuju pada Dimas."Dimas, kamu udah akur dengan Ronald?" tanya Tari tidak berprasangka apa-apa."Iya, alhamdulilah, aku pamit dulu," jawab Dimas datar yang kemudian disusul oleh Ronald melambaikan tangannya. Kemudian mereka bergegas pergi.Pram dan Inggit benar-benar terkejut melihatnya. Safitri juga yang tadinya hendak berangkat ke kantor polisi ikut tercenung sebentar.Kemudian, Tari turun dari mobilnya. Dia masih belum engeh dengan penglihatan Dimas."Kok kalian nggak bilang kalau Dimas di sini?" tanya Tari."Nggak enak, kamu sangat membenci dia," jawab Tari ngasal.Tari mengerutkan keningnya."Sejak kapan aku membenci orang? Nggak ah, kamu ngada-ngada," jawab Tari.Jantung mereka itu berdetak tak beraturan. Saat pertanyaan mengenai Dimas dilontarkan oleh Tari."Katanya mau ke sini sore, tiba-tiba datang pagi, kamu sengaja ngerjain kami?" tanya Safitri."Nggak kok, tadi abis dari makam, langsung aja deh ke sini," timpa
Perlahan mata Tari dibuka, awalnya dia agak samar-samar melihat ruangan yang ditempati. Namun perlahan, matanya melihat jelas dokter yang ada di dekatnya."Masyaallah," ucap Tari merasa terharu dengan kondisinya saat ini."Kamu udah benar-benar melihat?" tanya Safitri.Tanpa basa-basi lagi Tari langsung menyergap tubuh Safitri."Ya Allah. Alhamdulillah aku bisa melihat lagi, ini suatu keajaiban, terima kasih Tuhan, terima kasih Dokter, Safitri, aku juga mengucapkan terima kasih pada kamu dari keluarga," ungkap Tari membuat suasana menjadi haru. Air matanya pun mulai menetes membasahi pipi."Selamat ya, Bu Tari." Ucapan dokter mengingatkan Tari untuk menanyakan siapa yang telah mendonorkan matanya."Dok, maaf, saya harus tahu siapa yang mendonorkan mata untuk saya," ucap Tari.Dokter diam seketika. Safitri juga seperti itu, dia menatap dokter yang tengah terkejut dengan pertanyaan dari Tari."Hm, Tari, tim dokter rumah sakit hanya menjalankan tugasnya, kalau kamu ingin tahu siapa orang
Pram datang, dia tercengang ketika melihat sang istri tengah berada di hadapan Dimas.Inggit pun langsung menghampiri Pram yang baru saja datang."Aku akan jelaskan," ucap Inggit.Dengan sabar Pram pun mendengar penjelasan sang istri dari awal hingga akhir. Pram yang tadinya marah, kini dia mulai terharu dibuatnya. Mereka ikut menghampiri Dimas. Sekarang Pram sudah ada di hadapannya."Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Tapi aku sangat salut dengan pengorbanan kamu untuk Tari," tutur Pram.Semua orang memuji kebaikan Dimas yang luar biasa. "Aku sendiri belum tentu bisa seperti kamu, Dimas," tambah Pram."Demi semuanya, aku ingin menebus semua kesalahanku yang telah banyak merugikan orang lain," ucap Dimas."Padahal kamu nggak melakukan kejahatan yang merugikan Tari dalam kecelakaan itu," timpal Pram."Tapi anakku masih menginginkan Dion bisa bebas dari hukuman, minimal dikurangi," jawab Dion lagi-lagi berhasil membuat air mata Ronald meleleh.Semua sudah dipikirkan secara matang-m
Bersyukur operasi berjalan dengan lancar. Suster pun keluar dan bilang pada Inggit dan Safitri bahwa dokter mengusulkan tetap di ruangan observasi tapi dihalangi dengan tirai.Kenapa mereka khawatir Tari tahu? Karena biasanya pasca bius sudah hilang, rasa nyeri akan terasa, di situlah suara Dimas akan terdengar di telinga Tari, ini yang dikhawatirkan oleh Inggit dan Safitri.Safitri dan Inggit masih menunggu mereka yang ada di ruangan observasi selama satu jam."Sus, usahakan jangan dibarengi mengeluarkan keduanya," pesan Inggit."Baik, Ibu," jawab suster.Kemudian mereka bersabar menunggu Tari keluar dari ruangan observasi. Keduanya menunggu dengan sukarela. Setelah satu jam berlalu, yang lebih dulu sadar itu Tari. Suster buru-buru memindahkan dirinya ke ruangan rawat inap atas izin dokter.Safitri dan Tari mengekor dari belakang ke arah ruangan rawat inap tempat Tari menjalani perawatan."Akhirnya kamu akan bisa melihat dunia, kapan kata dokter buka perban?" tanya Safitri ketika su