"Kita urus pemakaman Bu Anis dulu," timpal Safitri.Kemudian semua bubar dan kembali ke mobil masing-masing. Suara sirene ambulance pun terdengar. Itu pertanda jenazah sudah jalan menuju pemakaman.Safitri masuk ke dalam mobilnya, dia diantar oleh anak dari suaminya yang baru. Safitri baru saja menikah dengan seorang duda kaya yang memiliki satu anak bujang seusia Jingga. Suaminya Safitri seorang pengusaha yang tidak diragukan lagi oleh kalangannya. Namun, dia merupakan pesaing bisnis dari perusahaan yang dikelola oleh Jingga saat ini."Nanti aku nggak turun, kamu aja ya," kata Dion Prakasa, suaminya Safitri yang dikenalnya beberapa tahun yang lalu, mereka menikah di Malaysia, tapi Dion mencoba memulai bisnisnya di Jakarta beberapa waktu yang lalu, sekitar hampir satu tahun.Safitri baru menginjakkan kakinya di kota Jakarta seminggu, dia lama mengurus identitasnya dan kepindahan sekolah anaknya dari pernikahan dia dengan Dimas dulu. Ronald, nama anak Safitri dan Dimas yang kini usian
"Kamu tadi lama?" tanya Inggit dan Pram kompak. "Tadi biasa lah kejebak lampu merah," jawab Safitri bohong.Kemudian mereka minggir dan menjauh dari tempat pemakaman. Akhirnya Safitri berhasil mengajak Inggit untuk pulang dari peristirahatan terakhir ibunya.Rangkulan Safitri membuat Inggit kuat, sepanjang jalan menuju parkiran Inggit pun berusaha tegar dengan mengalihkan pertanyaan-pertanyaan untuk Safitri."Jadi kamu udah menikah lagi?" tanya Inggit.Pram yang ada di belakang mereka pun tersenyum sambil menatap Jingga. Sebab akhirnya ada yang menyembuhkan luka yaitu Safitri. Dia bisa mengalihkan kesedihan Inggit."Ya, aku menemukan sosok laki-laki yang tepat untukku, selama kami menikah sih belum ada cekcok, perjalanan kami masih lurus aja, anakku dan anaknya juga sangat dekat," ungkap Safitri sambil menoleh ke belakang mencari keberadaan putra tirinya. "Sini, Sayang, dekat Mama," tambah Safitri saat melihat Tirta berada di paling belakang. Pria yang bergelar dokter itu sangat sant
"Papa baru ingat namanya Dion," ucap Pram seketika membuat anaknya menoleh ke arah Pram duduk.Jingga memicingkan matanya, lalu seperti berpikir sesuatu."Dion Prakasa?" Tiba-tiba Jingga menyebutkan nama lengkapnya."Sepertinya iya," timpal Pram. "Kamu kenal?" tambah Pram.Jingga berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala."Dia itu pesaing bisnis kita, jangan-jangan Pak Dion sengaja nggak turun, dan sengaja nggak mau nemuin kita, karena memang tidak suka," tukas Jingga seolah-olah berburuk sangka.Seperti biasa, Pram menoleh ke belakang, Dia meminta pendapat istrinya dengan bahasa isyarat."Jangan buruk sangka, kita harus bisa profesional, kerja ya kerja, saat di luaran sana ya sebagai saudara, mungkin suaminya Safitri juga bersikap seperti itu, kalau dia pebisnis, seharusnya bisa profesional," kata Inggit saat suaminya meminta pendapat dengan kedipan mata."Nah, mamamu benar, kita harus berbaik sangka, supaya hasil yang kembali ke diri kita akan baik," tambah Pram."Ya, ya, ya, aku
Setelah Pram dan Inggit keluar menemui orang tersebut, ternyata ada sosok laki-laki memakai topi dengan dagu berjenggot."Maaf, Anda siapa ya?" Pram bertanya pada pria yang duduk dengan wajah menunduk.Kemudian pria tersebut membuka topinya, sambil bangkit dari duduknya."Hai, Pram, Inggit, apa kabar?" Pria tersebut memperkenalkan diri dengan menyapa. "Masih ingat saya? Dimas," tuturnya seketika membuat wajah Inggit dan Pram saling bertumbuk pandang.Ternyata pria itu Dimas. Wajahnya telah banyak perubahan, sudut matanya sudah keriput, dagunya berjenggot, rambutnya agak gondrong makanya dia mengenakan topi supaya terlihat rapi. Namun tetap saja Inggit dan Pram hampir tidak mengenalinya.Dua belas tahun Dimas di penjara. Selama tiga tahun dia menghilang jauh dari Jakarta, hingga akhirnya kembali dengan tujuan mencari jati dirinya lagi."Kamu mau apa ke sini?" Dada Inggit bergetar hebat saat bertanya seperti itu pada mantan suaminya."Jangan ketakutan dulu, jangan cemas begitu, aku tida
Setelah itu Dimas pun naik ojek kembali, dia menuju rumah kontrakan tempatnya berteduh. Sepanjang perjalanan, Dimas masih membayangkan rumah besar itu, hingga ojek bertanya pun dia tidak mendengar."Pak, ini belok mana?" Berkali-kali ojek menanyakan di mana harus menurunkan penumpangnya, akan tetapi Dimas melamun begitu serius. Hingga akhirnya ojek pun terpaksa berhenti. "Nanti udah muter-muter tahu-tahu nggak punya duit," celetuk ojek yang ditumpangi Dimas."Kok berhenti, Pak? Loh ini di mana?" Dimas kebingungan sambil mengedarkan pandangannya."Nggak tahu ini di mana, bayar sini seratus ribu!" Ojek jadi galak karena kelelahan.Dimas pun memeriksa kantongnya tapi ternyata hanya sisa dua puluh ribu. Dia tidak punya uang lagi."Tuh kan, udah saya duga!" Dimas dibentak hingga nyalinya menciut, sebab dia merasa salah."Maaf, Pak, saya hanya punya segitu," kata Dimas sambil menautkan kedua telapak tangannya.Setelah itu, ojeknya bergegas meninggalkan Dimas.Dimas sendirian berdiri sambil
"Iya, aku tahu papaku Papa Dion, tapi tetap beda, Ma. Papa agak pilih kasih, kalau ke aku agak sensitif," gerutu Ronald."Kamu harus ngerti kalau dibilangin, jangan ngeyel, jangan membantah," pesan Safitri dengan bijaksana.Ronald memicingkan matanya, dia bahkan mendengus kesal mendengar penuturan mamanya, baginya Safitri itu membela Dion."Dah lah, aku mau ke kamar, Mama selalu gitu, belainnya Papa terus, cuma Mas Tirta yang ngertiin aku," timpal Ronald.Kemudian dia pergi ke kamarnya. Sementara Safitri, dia hanya menggelengkan kepala sambil mengelus pelipis. Safitri menghela napas berat saat mendengar anaknya merasa dibeda-bedakan."Kenapa anakmu itu persis dengan kamu, Mas? Aku nggak tahu harus bagaimana cara membuang sifat kamu dari dalam diri Ronald, sepertinya memang buah jatuh tidak jauh dari pohonnya," tutur Safitri bermonolog saat duduk menyandar.Sementara Ronald, jika dia menelan kekecewaan, selalu mengutarakan pada Tirta, yang memang sangat baik terhadapnya. Dia mengambil
"Oke, terima kasih infonya," jawab Jingga. Kemudian sambungan telepon pun terputus.Pram dan Inggit pun menanyakan kendala yang dipikirkan oleh Jingga. Sebab setelah mengangkat telepon dari Asti, dia bergeming sebentar."Kalau ada masalah ngomong, jangan seperti itu," ucap Inggit membuyarkan lamunan Jingga."Nggak, Ma. Semoga aja pikiran negatifku ini salah, masa iya suaminya Tante Safitri sampai segitunya," tutur Jingga.Inggit menautkan kedua alis. Dia memicingkan matanya ketika Jingga menyebutkan nama Safitri dan suaminya yang baru. "Maksud kamu yang namanya Dion itu? Yang kamu bilang pesaing bisnis?" tanya Inggit.Jingga pun menganggukan kepala. "Kata Asti sih begitu," jawabnya."Yah namanya bisnis ya seperti itu, kita saling bersaing dan sikut-menyikut tanpa kenal teman ataupun saudara, yang terpenting caranya dia itu benar, dalam arti lain tidak menyimpang," ungkap Pram."Sampai detik ini sih belum ada berita tentang negatifnya, hanya saja klien pindah ke dia, semoga benar-benar
"Lima belas tahun itu bukan waktu yang sebentar Bu, saya baru sembuh tiga tahun yang lalu. Waktu itu saya depresi berat karena kebetulan Mama saya meninggal dunia juga setelah tahu anaknya bangkrut," tambah Dimas meyakinkan. Lian dan Tari pun merasa tidak enak karena telah membuat Dimas bersedih atas pertanyaannya. Laki-laki yang pintar bersilat lidah itu akhirnya berhasil menaklukkan keduanya."Kalau pernah punya perusahaan, artinya kamu berpengalaman dalam bidang perkantoran, wah ini sih patut diuji coba, dulu kamu menguasai semuanya?" tanya Lian."Sebelum saya memiliki perusahaan, awalnya saya ini hanya kepala marketing, sampai akhirnya keberuntungan berpihak pada saya, walaupun hanya sebentar," kata Dimas membual. Sedari dulu dia pandai mencari muka, sampai saat ini menjadi kepiawaiannya."Nanti saya tes deh, syukur-syukur kamu bawa ijazah," sahut Lian.Dimas menoleh dari kaca spion. Dia bingung dengan syarat tersebut yang tidak mungkin dia miliki, sebab setelah masuk penjara, se