Tapi aku baru sadar ternyata Papa Satria sudah tidak ada di ruangan. Pantas saja mereka berani bicara yang sensitif. Tapi sayangnya mereka bodoh, bercerita dengan nada tinggi di ruangan yang pernah menjadi tempat suamiku bekerja."Kamu ngapain ke sini?" tanya Chika saat Inggit menatapnya penuh. "Jangan-jangan kamu nguping ya?" cecarnya lagi.Aku berusaha tenang meskipun kesal. Ya, kalau kesal aku memang sulit bicara, sudah biasa diam saat kesal, tapi entah kenapa ketika melihat wajah mantan suamiku dengan selipan senyuman sombongnya agak membuatku ingin bicara.Mungkin itulah sebabnya kenapa mantan suamiku tidak ditakdirkan kaya, sebab baru masuk ke perusahaan milik suamiku saja sudah sombongnya luar biasa."Yeh, kenapa bengong di situ? Mau ngapain ke ruangan saya?" tanya Chika mulai merendahkan suaranya, padahal tadi sempat mengumpatku sebagai perempuan bodoh.Aku berusaha bicara dan menahan amarah dengan mengembuskan napas panjang satu kali lagi dan mengedarkan pandangan ke lain tem
"Apa itu, Inggit? Katakan semua yang kamu dengar," suruh Mas Pram."Papamu itu diancam karena Chika memiliki foto syur, katanya saat Papa tidur dengan wanita lain," paparku agak malu mengatakannya pada Mas Pram."Masa sih seperti itu? Aku rasa Papa nggak akan begitu," jawab Mas Pram."Jangan dipotong dulu, dengarkan kelanjutannya," pintaku dengan mengerucutkan bibir."Oh jadi ada terusannya," timpal Mas Pram mengangguk."Hm, jadi Chika hanya menjebak Papa, cobalah kamu katakan ini pada Papa, biar tidak merasa terancam lagi. Kasihan tahu, Mas," tuturku padanya.Mas Pram terdiam sambil menunduk. Sesekali dia menghela napas kasar."Aku udah emosi duluan pada Papa, tidak mencoba cari tahu semuanya." Mas Pram seperti mengutuk dirinya sendiri, dia menyalahkan diri sendiri karena tidak memahami kondisi papanya. "Itulah manusia, emosi saja yang diledakkan, harusnya kepintaran yang dipelihara," umpat Mas Pram kesal. Dia mengutuk dirinya sendiri seolah-olah merutuki apa yang telah terjadi.Mas
"Sepertinya ada kecelakaan, Pak, soalnya macet," ucap sopir.Aku dan Mas Pram pun menoleh sebentar. Kemudian melihat ke arah jarum jam."Macetnya lama nggak ya? Anakku pasti nunggu deh, kasihan Jingga sudah ditinggal seharian harus nunggu pula," ungkapku."Kecelakaan apa sih, Pak, coba tanya deh," suruh Mas Pram.Akhirnya pak sopir pun turun. Dia menyeruak keramaian di depan kami. Setelah beberapa saat kemudian, sopir pun kembali."Ibu-ibu yang kecelakaan, katanya sih ketabrak saat nyebrang." Aku pun mengangguk begitu juga dengan Mas Pram."Tapi udah bisa lewat, Pak?" tanyaku padanya."Udah, Bu." Akhirnya kami berjalan kembali melewati lokasi tempat kejadian. Aku menoleh ke arah tempat korban di evakuasi. Mataku mengerut saat melihat wanita yang dikatakan oleh Pak sopir adalah ibu-ibu."Loh ibu-ibunya Mama Dewi, ternyata mantan mertuaku Mas yang kecelakaan," ucapku sambil menepuk lengan Mas Pram."Terus, apa kita tolong dia? Itu kelihatannya nggak ada yang nolong," timpal Mas Pram.
"Heh, ngapain kalian ada di sini?" Tiba-tiba saja suara Dimas terdengar. Kami berdua sangat terkejut melihat kedatangannya.Mama Dewi sudah semakin pucat, tiba-tiba saja napasnya terengah-engah."Sus, tolong pasien sesak napas," ucap Mas Pram.Kemudian suster pun memeriksa kondisi Mama Dewi. Sementara aku dan Mas Pram dipersilakan keluar, begitu juga dengan Dimas. Ya, mantan suamiku itu juga disuruh keluar.Di luar ruangan tindakan. Dimas menyoroti kami berdua. Dia menatap kami tajam, seolah-olah ingin menerkam kami berdua."Pasti kalian ya, yang membuat mamaku seperti ini? Ngaku kalian!" Tiba-tiba saja dia menuduh kami seperti itu."Atas dasar apa kamu seenak jidat menuduh kami berdua, sudah ada bukti untuk melayangkan tuduhan tersebut? Kalau tidak ada bukti jangan seenaknya, kamu bisa terjerat hukum mencemarkan nama baik," timpal Mas Pram agak sewot. Aku yakin dia kesal karena sudah menahan untuk membongkar semuanya, tapi Dimas malah menuduh kami seenaknya. Ya, Dimas, mantan suamiku
Sekitar beberapa menit saja Mas Pram bicara dengan Pak Rudi. Aku menunggu suamiku bicara dan menceritakannya padaku.Namun setelah itu Mas Pram menutup sambungan telepon. Dia hanya mengangkat bahunya."Kenapa Mas? Apa nggak ada perkembangan?" tanyaku penasaran. Sebab lihat raut wajahnya tidak seceria mengangkat telepon tadi."Ada perkembangan, tapi, pita suara Bu Achi rusak akibat racun tersebut," ungkap Mas Pram.Aku menghela napas kasar. Bukan karena tidak memiliki rasa empati. Namun, aku sangat putus asa untuk menjebloskan Dimas dan Chika ke penjara. Awalnya Ada harapan baru karena pengakuan mantan mertuaku. Tapi ternyata Tuhan mengambil nyawanya lebih cepat.Kini kami berputus asa, perasaanku sangat rapuh. Sepertinya memang kebenaran tidak akan terungkap."Mau tidak mau kita serahkan aja ke pihak yang berwajib, walaupun bukti-bukti tidak ada yang menyudutkan mereka, tapi aku yakin polisi sudah cukup pintar untuk mengungkap ini semua." Aku bicara pada Mas Pram dengan serius dan pas
Chika tidak melanjutkan percakapan. Aku dan Mas Pram sudah yakin percakapan telah selesai saat suara pintu terdengar.Kemudian, aku dan Mas Pram berembuk untuk segera ke kantor polisi. Ya, kami akan menyerahkan bukti-bukti yang ada pada kami. Namun sebelumnya, aku dan Mas Pram menghubungi Pak Rudi dulu.Kali ini aku yang menghubungi Pak Rudi, sebab Mas Pram sibuk dengan pekerjaannya."Halo, Pak," ucapku lebih dulu."Iya, Bu. Ada apa ya? Untuk informasi mengenai Bu Achi, tadi sudah saya informasikan pada Pak Pram, Bu Achi tidak bisa baca tulis makanya hanya berharap pita suaranya kembali normal," jawab Pak Rudi."Aamiin, Pak. Semoga saja pita suara Bu Achi akan segera pulih, tapi saya telepon Pak Rudi ingin mengatakan sesuatu," ungkapku. "Jadi kami memutuskan untuk meminta pihak kepolisian Jogjakarta melanjutkan penyelidikan soal dalang yang meracuni suami saya," tambahku."Oh begitu, baiklah kalau itu sudah menjadi keputusan Pak Pram dan Bu Inggit, itu artinya tersangka akan diperiksa
Aku dan Safitri beserta Mas Pram membaca isi dua surat perjanjian. Kalau yang pertama aku telah membacanya. Bahwa Dimas dan Chika telah membuat perjanjian hitam di atas putih tentang kerjasama mereka untuk memasukkan Dimas ke dalam kantor Mas Pram lagi.Aku menggelengkan kepala dan mengusap pangkal paha Safitri setelah membaca surat perjanjian di lembar pertama."Kamu pasti kesal karena telah dibohongi, dan kamu sudah mulai mencintai dia, ya kan?" tanyaku sambil tersenyum."Iya, aku merasa pasti Mas Dimas benar-benar telah menghilangkan kepercayaan terhadap Papa, awalnya aku yakin dia telah berubah, tapi kenyataannya Mas Dimas malah semakin tambah parah. Dia menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya," ungkap Safitri.Aku paham betul apa yang diinginkan mantan suamiku itu. Dia mengharapkan lebih baik dariku, tapi dengan cara yang instan dan tidak berusaha gigih untuk mendapatkan yang halal."Kalau begitu kamu yang sabar ya, aku baca lagi ya, surat yang kedua," t
Disaat aku dan Safitri tertawa lepas. Mas Pram sudah keluar dari ruangan, dia telah selesai membuat laporan. Di tangannya pun menggenggam kertas yang berisi laporan."Kalian kok happy benar, habis ketawa-tawa ya?" tanya Mas Pram."Istrimu ini pintar, aku acungkan jempol," jawab Safitri."Udah yuk, sebelum ke kantor kita isi perut dulu," ajak Mas Pram.Kami pun bergegas untuk ke mobil. Aku menggandeng tangan wanita hamil yang membawa mobil juga. "Kamu ikut aku aja naik mobil bareng, biar bisa sharing, biarkan suamimu naik mobil sendiri," tutur Safitri.Aku pun meminta pendapat dengan menanyakan pada suamiku melalui bahasa isyarat.Seketika Mas Pram menganggukkan kepalanya disertai kedipan mata. Itu artinya suamiku mengizinkan aku untuk pergi satu mobil dengan Safitri."Asik, bisa sharing dengan mantan istri suamiku," celetuk Safitri seakan mengajakku becanda."Hust, kamu tuh suka benar kalau becanda, kayak judul novel aja," timpalku terhadap istri baru mantan suamiku itu.Sepertinya ka