"Kita masuk aja dulu," ucapku meskipun percaya dengan Lili. "Bu, Pak, saya serius, bahkan Pak Satria yang bilang," terang Lili kembali membuat kami berdua heran, kenapa Papa Satria seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi dan dirahasiakannya?Aku menelan ludah kemudian menghela napas panjang. Setelah itu, lengan Mas Pram aku gandeng supaya cepat membuka pintu.Kini, tangannya mulai mengayun dan bergerak membuka handle pintu. Lalu membukanya lebar-lebar dan kami spontan menyoroti ke dalam. Aku berusaha tenang dengan menghela napas panjang. Namun, tidak dengan Mas Pram, dia beranjak dengan langkah cepat."Apa-apaan ini? Kenapa kamu duduk di kursiku? Perusahaan ini milikku, tolong jangan buatku emosi pagi-pagi buta!" sentak Mas Pram. Dia sudah tersulut emosi duluan lihat Chika duduk di kursinya. Padahal, Mas Pram sebelumnya memang telah menyetujuinya meskipun waktu itu papa mertuaku hanya minta sementara waktu saja."Kan sudah izin, kamu juga mengizinkan, ya kan, Pa?" Chika menghadap k
Ya, itu Dimas, rasanya aku sudah enggan menyematkan kata 'Mas' di depan namanya.Aku melihat Dimas yang tiba-tiba maju ke depan setelah Chika mempersilakannya untuk maju. Tidak dipungkiri jika Dimas menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan, matanya menyipit saat melewati tempat aku dan Mas Pram berada, namun apa yang aku lakukan? Di dalam ruangan yang sekarang sudah bukan tempat suamiku berwenang, aku sama sekali tidak mempedulikannya meskipun Chika seperti ingin memperlihatkan semuanya padaku."Kamu nggak apa-apa, kan?" Bisikian pertanyaan dari Pram sontak membuatku menoleh, aku tersenyum tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya karena kedatangan Dimas ke kantor mereka. "Aku nggak apa-apa, kamu nggak perlu khawatir, hanya saja tidak menyangka bahwa orang yang minta dimaafkan kini ada di depan mata, kalau tahu begini, tidak perlu membebaskan dia dulunya, ternyata hanya pura-pura." Aku bukan lagi berbisik, tapi bicara dengan lantang supaya mereka dengar, tak terkecuali, Dimas."B
'Sial, aku nggak bawa handphone,' batinku setelah meraba saku celana. Aku lupa kalau ponsel tadi kuletakkan di atas meja kerja.Aku tempelkan lagi telinga ini. Indera pendengaranku harus benar-benar aku pasang. Tidak boleh lengah ataupun lainnya, aku juga berusaha melihat sekeliling dan beruntungnya semua karyawan lagi sibuk bekerja."Kamu anak haram ya," ledek Mas Dimas benar-benar kedengaran nyeleneh. Pria yang mengaku sudah insyaf itu malah membuatku geram sendiri."Sialan kamu, Dimas, untungnya kamu tuh orang kepercayaanku sekarang," celetuk Chika lagi. "Eh Mama kamu tuh cocok bercadar tahu nggak!" Akhirnya yang aku tuduhkan terdengar juga keluar dari mulut Chika. Namun, sayangnya aku tidak membawa ponsel.Aku tidak pernah bosan-bosannya untuk terus mendengarkan apa yang mereka katakan, memang sepertinya menyenangkan jika tahu semua yang Chika sembunyikan, jelas wanita itu akan blak-blakan di depan Mas Dimas dan tidak ada satupun yang membuatnya mau menyembunyikan semua yang suda
Sudah lama aku berdiri dari tadi di sini. Ternyata alasan jika hanya satu, karena Mas Pram membatalkan pernikahannya. Padahal kondisi saat itu memang sangat tidak memungkinkan untuk Papa datang ke acara pernikahannya. Lagi pula seharusnya Chika dan mamanya memakai wali hakim saja, di luar negeri bukanlah hal yang sulit untuk melakukan itu, aku mereka malah memilih untuk datang ke Indonesia. Apa tidak egois kalau ujungnya Chika hanya menyalahkan Mas Pram atas semuanya."Memang terdengar sepele, tapi gara-gara Pram. Mamaku jadi dicaci maki oleh keluarga Dimas, kebetulan sekali calon suamiku dulu bernama sama denganmu, hal ini juga bisa dijadikan alasan ke Papa Satria."Semua pernyataan Chika nyaris membuatku menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata dugaan kami selama ini tidak ada yang meleset. Dari mencurigainya ingin menggagalkan bulan maduku, lalu mencurigai Chika yang meracuni Mas Pram, sampai akhirnya curiga kerja sama dengan Mas Dimas. Namun yang tidak pernah terpikirkan olehku, dia
Tapi aku baru sadar ternyata Papa Satria sudah tidak ada di ruangan. Pantas saja mereka berani bicara yang sensitif. Tapi sayangnya mereka bodoh, bercerita dengan nada tinggi di ruangan yang pernah menjadi tempat suamiku bekerja."Kamu ngapain ke sini?" tanya Chika saat Inggit menatapnya penuh. "Jangan-jangan kamu nguping ya?" cecarnya lagi.Aku berusaha tenang meskipun kesal. Ya, kalau kesal aku memang sulit bicara, sudah biasa diam saat kesal, tapi entah kenapa ketika melihat wajah mantan suamiku dengan selipan senyuman sombongnya agak membuatku ingin bicara.Mungkin itulah sebabnya kenapa mantan suamiku tidak ditakdirkan kaya, sebab baru masuk ke perusahaan milik suamiku saja sudah sombongnya luar biasa."Yeh, kenapa bengong di situ? Mau ngapain ke ruangan saya?" tanya Chika mulai merendahkan suaranya, padahal tadi sempat mengumpatku sebagai perempuan bodoh.Aku berusaha bicara dan menahan amarah dengan mengembuskan napas panjang satu kali lagi dan mengedarkan pandangan ke lain tem
"Apa itu, Inggit? Katakan semua yang kamu dengar," suruh Mas Pram."Papamu itu diancam karena Chika memiliki foto syur, katanya saat Papa tidur dengan wanita lain," paparku agak malu mengatakannya pada Mas Pram."Masa sih seperti itu? Aku rasa Papa nggak akan begitu," jawab Mas Pram."Jangan dipotong dulu, dengarkan kelanjutannya," pintaku dengan mengerucutkan bibir."Oh jadi ada terusannya," timpal Mas Pram mengangguk."Hm, jadi Chika hanya menjebak Papa, cobalah kamu katakan ini pada Papa, biar tidak merasa terancam lagi. Kasihan tahu, Mas," tuturku padanya.Mas Pram terdiam sambil menunduk. Sesekali dia menghela napas kasar."Aku udah emosi duluan pada Papa, tidak mencoba cari tahu semuanya." Mas Pram seperti mengutuk dirinya sendiri, dia menyalahkan diri sendiri karena tidak memahami kondisi papanya. "Itulah manusia, emosi saja yang diledakkan, harusnya kepintaran yang dipelihara," umpat Mas Pram kesal. Dia mengutuk dirinya sendiri seolah-olah merutuki apa yang telah terjadi.Mas
"Sepertinya ada kecelakaan, Pak, soalnya macet," ucap sopir.Aku dan Mas Pram pun menoleh sebentar. Kemudian melihat ke arah jarum jam."Macetnya lama nggak ya? Anakku pasti nunggu deh, kasihan Jingga sudah ditinggal seharian harus nunggu pula," ungkapku."Kecelakaan apa sih, Pak, coba tanya deh," suruh Mas Pram.Akhirnya pak sopir pun turun. Dia menyeruak keramaian di depan kami. Setelah beberapa saat kemudian, sopir pun kembali."Ibu-ibu yang kecelakaan, katanya sih ketabrak saat nyebrang." Aku pun mengangguk begitu juga dengan Mas Pram."Tapi udah bisa lewat, Pak?" tanyaku padanya."Udah, Bu." Akhirnya kami berjalan kembali melewati lokasi tempat kejadian. Aku menoleh ke arah tempat korban di evakuasi. Mataku mengerut saat melihat wanita yang dikatakan oleh Pak sopir adalah ibu-ibu."Loh ibu-ibunya Mama Dewi, ternyata mantan mertuaku Mas yang kecelakaan," ucapku sambil menepuk lengan Mas Pram."Terus, apa kita tolong dia? Itu kelihatannya nggak ada yang nolong," timpal Mas Pram.
"Heh, ngapain kalian ada di sini?" Tiba-tiba saja suara Dimas terdengar. Kami berdua sangat terkejut melihat kedatangannya.Mama Dewi sudah semakin pucat, tiba-tiba saja napasnya terengah-engah."Sus, tolong pasien sesak napas," ucap Mas Pram.Kemudian suster pun memeriksa kondisi Mama Dewi. Sementara aku dan Mas Pram dipersilakan keluar, begitu juga dengan Dimas. Ya, mantan suamiku itu juga disuruh keluar.Di luar ruangan tindakan. Dimas menyoroti kami berdua. Dia menatap kami tajam, seolah-olah ingin menerkam kami berdua."Pasti kalian ya, yang membuat mamaku seperti ini? Ngaku kalian!" Tiba-tiba saja dia menuduh kami seperti itu."Atas dasar apa kamu seenak jidat menuduh kami berdua, sudah ada bukti untuk melayangkan tuduhan tersebut? Kalau tidak ada bukti jangan seenaknya, kamu bisa terjerat hukum mencemarkan nama baik," timpal Mas Pram agak sewot. Aku yakin dia kesal karena sudah menahan untuk membongkar semuanya, tapi Dimas malah menuduh kami seenaknya. Ya, Dimas, mantan suamiku