"Tunggu, tunggu, terima kasih untuk apa?" tanya Mas Pram. Matanya tak luput dari melirik ke arahku."Ah iya, yang masukin lagi Chika, tapi kan perusahaan itu masih milik kamu, makanya aku ngucapin terima kasih," timpal Safitri.Aku mengedipkan mata, supaya dia tetap bicara terus dengan Safitri. Mas Pram pun kelihatan mengerti."Oh ya kamu masih di Jogja?" tanya Mas Pram pada Safitri."Iya, rencananya hari ini akan terbang ke Jakarta, karena di sini juga cuma jemput Mama Dewi," jawab Safitri.Satu persatu terjawab sudah, pengakuan Safitri barusan telah membuktikan bahwa Mama Dewi lebih dulu ke Jogjakarta ketimbang mereka. Itu artinya memang wanita bercadar itu adalah Mama Dewi."Oh jadi kalian ke sana jemput Mama Dewi?" tanya Mas Pram."Bukan hanya itu, aku ke sini kan karena Mas Dimas menang tender. Awalnya ingin bertemu jika di Jogja, tapi ternyata dia sudah terbang ke Jakarta duluan, kamu paham kan Pram?" tanya Safitri.Mas Pram menganggukan kepalanya. Aku pun begitu, kami sama-sama
Satpam datang dengan mengetuk pintu, lalu aku mempersilakannya masuk. Satpam tersebut menunduk saat menghampiri kami berdua."Maaf, Pak. Ada apa ya?" tanyanya. Aku pikir dia tahu maksud dan tujuan kami memanggilnya, ternyata masih bertanya-tanya."Kenapa ruangan saya berantakan?" tanya Mas Pram.Dia langsung menggigit bibirnya. Dengan posisi tangan berada di depan perutnya."Oh, kemarin Pak Satria dan Non Chika datang ke sini, Pak. Katanya sudah izin dengan bapak," terangnya. Ternyata benar dugaan Mas Pram, papanya sendiri yang masuk ke dalam."Kenapa kamu nggak telepon saya?" tanya Mas Pram dengan membentak."Kata Pak Satria, Pak Pram masih sakit," jawabnya jujur. Aku yakin dia bicara apa adanya tanpa dilebihkan dan dikurangi.Mas Pram berdecak kesal, dia bahkan menggebrak mejanya."Oke, terima kasih, Pak, silakan berjaga lagi!" Akhirnya aku menyuruhnya pergi dari sini, karena dalam hal ini dia tidak salah.Setelah satpam keluar, aku pun meminta Mas Pram tenang. "Jangan emosi dulu, n
"Kita masuk aja dulu," ucapku meskipun percaya dengan Lili. "Bu, Pak, saya serius, bahkan Pak Satria yang bilang," terang Lili kembali membuat kami berdua heran, kenapa Papa Satria seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi dan dirahasiakannya?Aku menelan ludah kemudian menghela napas panjang. Setelah itu, lengan Mas Pram aku gandeng supaya cepat membuka pintu.Kini, tangannya mulai mengayun dan bergerak membuka handle pintu. Lalu membukanya lebar-lebar dan kami spontan menyoroti ke dalam. Aku berusaha tenang dengan menghela napas panjang. Namun, tidak dengan Mas Pram, dia beranjak dengan langkah cepat."Apa-apaan ini? Kenapa kamu duduk di kursiku? Perusahaan ini milikku, tolong jangan buatku emosi pagi-pagi buta!" sentak Mas Pram. Dia sudah tersulut emosi duluan lihat Chika duduk di kursinya. Padahal, Mas Pram sebelumnya memang telah menyetujuinya meskipun waktu itu papa mertuaku hanya minta sementara waktu saja."Kan sudah izin, kamu juga mengizinkan, ya kan, Pa?" Chika menghadap k
Ya, itu Dimas, rasanya aku sudah enggan menyematkan kata 'Mas' di depan namanya.Aku melihat Dimas yang tiba-tiba maju ke depan setelah Chika mempersilakannya untuk maju. Tidak dipungkiri jika Dimas menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan, matanya menyipit saat melewati tempat aku dan Mas Pram berada, namun apa yang aku lakukan? Di dalam ruangan yang sekarang sudah bukan tempat suamiku berwenang, aku sama sekali tidak mempedulikannya meskipun Chika seperti ingin memperlihatkan semuanya padaku."Kamu nggak apa-apa, kan?" Bisikian pertanyaan dari Pram sontak membuatku menoleh, aku tersenyum tidak ada yang perlu dikhawatirkan hanya karena kedatangan Dimas ke kantor mereka. "Aku nggak apa-apa, kamu nggak perlu khawatir, hanya saja tidak menyangka bahwa orang yang minta dimaafkan kini ada di depan mata, kalau tahu begini, tidak perlu membebaskan dia dulunya, ternyata hanya pura-pura." Aku bukan lagi berbisik, tapi bicara dengan lantang supaya mereka dengar, tak terkecuali, Dimas."B
'Sial, aku nggak bawa handphone,' batinku setelah meraba saku celana. Aku lupa kalau ponsel tadi kuletakkan di atas meja kerja.Aku tempelkan lagi telinga ini. Indera pendengaranku harus benar-benar aku pasang. Tidak boleh lengah ataupun lainnya, aku juga berusaha melihat sekeliling dan beruntungnya semua karyawan lagi sibuk bekerja."Kamu anak haram ya," ledek Mas Dimas benar-benar kedengaran nyeleneh. Pria yang mengaku sudah insyaf itu malah membuatku geram sendiri."Sialan kamu, Dimas, untungnya kamu tuh orang kepercayaanku sekarang," celetuk Chika lagi. "Eh Mama kamu tuh cocok bercadar tahu nggak!" Akhirnya yang aku tuduhkan terdengar juga keluar dari mulut Chika. Namun, sayangnya aku tidak membawa ponsel.Aku tidak pernah bosan-bosannya untuk terus mendengarkan apa yang mereka katakan, memang sepertinya menyenangkan jika tahu semua yang Chika sembunyikan, jelas wanita itu akan blak-blakan di depan Mas Dimas dan tidak ada satupun yang membuatnya mau menyembunyikan semua yang suda
Sudah lama aku berdiri dari tadi di sini. Ternyata alasan jika hanya satu, karena Mas Pram membatalkan pernikahannya. Padahal kondisi saat itu memang sangat tidak memungkinkan untuk Papa datang ke acara pernikahannya. Lagi pula seharusnya Chika dan mamanya memakai wali hakim saja, di luar negeri bukanlah hal yang sulit untuk melakukan itu, aku mereka malah memilih untuk datang ke Indonesia. Apa tidak egois kalau ujungnya Chika hanya menyalahkan Mas Pram atas semuanya."Memang terdengar sepele, tapi gara-gara Pram. Mamaku jadi dicaci maki oleh keluarga Dimas, kebetulan sekali calon suamiku dulu bernama sama denganmu, hal ini juga bisa dijadikan alasan ke Papa Satria."Semua pernyataan Chika nyaris membuatku menggeleng-gelengkan kepala. Ternyata dugaan kami selama ini tidak ada yang meleset. Dari mencurigainya ingin menggagalkan bulan maduku, lalu mencurigai Chika yang meracuni Mas Pram, sampai akhirnya curiga kerja sama dengan Mas Dimas. Namun yang tidak pernah terpikirkan olehku, dia
Tapi aku baru sadar ternyata Papa Satria sudah tidak ada di ruangan. Pantas saja mereka berani bicara yang sensitif. Tapi sayangnya mereka bodoh, bercerita dengan nada tinggi di ruangan yang pernah menjadi tempat suamiku bekerja."Kamu ngapain ke sini?" tanya Chika saat Inggit menatapnya penuh. "Jangan-jangan kamu nguping ya?" cecarnya lagi.Aku berusaha tenang meskipun kesal. Ya, kalau kesal aku memang sulit bicara, sudah biasa diam saat kesal, tapi entah kenapa ketika melihat wajah mantan suamiku dengan selipan senyuman sombongnya agak membuatku ingin bicara.Mungkin itulah sebabnya kenapa mantan suamiku tidak ditakdirkan kaya, sebab baru masuk ke perusahaan milik suamiku saja sudah sombongnya luar biasa."Yeh, kenapa bengong di situ? Mau ngapain ke ruangan saya?" tanya Chika mulai merendahkan suaranya, padahal tadi sempat mengumpatku sebagai perempuan bodoh.Aku berusaha bicara dan menahan amarah dengan mengembuskan napas panjang satu kali lagi dan mengedarkan pandangan ke lain tem
"Apa itu, Inggit? Katakan semua yang kamu dengar," suruh Mas Pram."Papamu itu diancam karena Chika memiliki foto syur, katanya saat Papa tidur dengan wanita lain," paparku agak malu mengatakannya pada Mas Pram."Masa sih seperti itu? Aku rasa Papa nggak akan begitu," jawab Mas Pram."Jangan dipotong dulu, dengarkan kelanjutannya," pintaku dengan mengerucutkan bibir."Oh jadi ada terusannya," timpal Mas Pram mengangguk."Hm, jadi Chika hanya menjebak Papa, cobalah kamu katakan ini pada Papa, biar tidak merasa terancam lagi. Kasihan tahu, Mas," tuturku padanya.Mas Pram terdiam sambil menunduk. Sesekali dia menghela napas kasar."Aku udah emosi duluan pada Papa, tidak mencoba cari tahu semuanya." Mas Pram seperti mengutuk dirinya sendiri, dia menyalahkan diri sendiri karena tidak memahami kondisi papanya. "Itulah manusia, emosi saja yang diledakkan, harusnya kepintaran yang dipelihara," umpat Mas Pram kesal. Dia mengutuk dirinya sendiri seolah-olah merutuki apa yang telah terjadi.Mas