Aku jadi semakin penasaran, telinga ini aku pasang supaya bisa mendengar percakapan Chika dengan orang yang berada di seberang telepon."Udah dulu ya, awas jangan sampai ketahuan!" Chika seakan mengancam orang tersebut. "Ingat! Jangan bawa-bawa saya," tambahnya lagi.Aku pun bersembunyi saat Chika sudah selesai bicara dengan orang yang ditelepon olehnya. Aku pura-pura mengusap layar ponsel dan menggulirnya.Dia duduk kembali di dekatku, perempuan itu sangat asing bagiku, dia tidak pernah menyapa atau sekedar basa-basi."Kamu nanti malam tidur di sini?" Akhirnya akulah yang memulai duluan."Iya, kenapa?" tanya Chika."Nggak apa-apa, terima kasih sudah peduli dengan suamiku," jawabku pura-pura, padahal hati ini tengah menaruh curiga padanya."Sama-sama, dia kan saudaraku meski tiri," jawab Chika.Aku hanya terdiam sambil menelan ludah. Entah kenapa perasaanku sungguh tidak respect dengannya.Tiap Chika melakukan sesuatu, aku selalu memperhatikannya, sebab aku benar-benar curiga terhadap
Aku segera menghampiri dokter yang menangani Mas Pram. Padahal mereka masih berada di ujung pintu. Namun, rasa tak sabaran menyelimuti diri ini."Gimana, Dok?" tanyaku dengan penuh antusias. Chika juga menyusulku dan berdiri tepat di sebelahku."Alhamdulillah, pasien sudah melewati masa kritisnya, kalian boleh menemuinya," ucap dokter membuatku spontan menoleh ke arah Chika. Yang aku heran, responnya tidak seperti yang aku harapkan, dia begitu datar dan seperti orang tidak menyukai."Sungguhan, Dok?" Aku meyakinkan."Iya, suami Ibu selamat dari racun yang mematikan itu, lalu gimana polisi sudah menemukan pelaku belum?" tanya dokter."Lagi dicari, Pak, insyaallah hukum akan ditegakkan," jawabku sambil melirik ke arah Chika. Dia tampak membuang mukanya ke lain arah. Chika semakin mencurigakan saja."Oke, kalau gitu saya permisi, satu jam lagi pasien bisa dipindahkan ke ruangan rawat inap," tutur dokter sambil menepuk bahuku.Kemudian, setelah dokter pergi, aku pun menemui Mas Pram di da
"Ini kenapa bisa lepas ya? Ada yang sengaja melepaskan?" Aku bertanya pada suster jaga."Saya minta maaf, Bu, karena tidak menjaga pasien, tapi beruntungnya Ibu sudah datang, coba tanyakan pada saudara Ibu yang tadi," tutur suster.Aku pun keluar untuk menemui Chika. Kemudian dengan cepat aku menghampirinya yang tengah duduk santai di depan. Kaki kanannya berada di atas kaki kiri. Kemudian kedua tangannya sibuk mengusap layar ponsel."Aku mau bicara," cetusku dengan memperlihatkan wajah tidak menyukainya.Chika pun berdiri. Posisinya berubah menjadi sepadan denganku yang tengah berdiri tegak menghadap dirinya sambil berkacak pinggang."Tangannya jangan ada di pinggang," usulnya sambil menyingkirkan tanganku kemudian dia menyilangkan tangannya di atas dada."Kamu juga tangannya nggak usah disilangkan gitu," timpalku gantian melarang posisi tangannya yang terlihat menantang itu.Chika pun membanting tangannya sendiri. "Aku heran dengan kamu, maunya apa sih? Padahal aku ke sini niat neme
"Dia pasti disuruh orang ya, Pak? Wanita atau laki-laki?" cecarku.Saat itu juga Papa mertuaku dan Chika menyorotku dengan tatapan tajam. Dia seakan-akan menyimak obrolanku meskipun dengan sambungan telepon."Kami tidak tahu laki-laki atau perempuan, wanita tua ini tidak mengaku sama sekali, ponsel yang kami temukan sebagai bukti pun dia sudah hilangkan, dalam artian semua panggilan maupun pesan sudah dihapus olehnya, jadi dia memang benar-benar menghilangkan jejak yang memerintahkan," terang Pak Rudi.Aku terdiam sejenak. Sebab ada yang memperhatikanku bicara."Tolong diselidiki lagi ya, Pak. Kasus ini harus diusut tuntas," timpalku. "Lalu orang yang mencoba merekam percakapan kami, apa dia sudah mengakuinya?" tanyaku lagi."Oh, sudah juga, Bu. Tapi mereka sudah menghilangkan bukti," jawab polisi. "Sepertinya bayaran kedua orang itu sangat banyak, hingga mereka berusaha bungkam," tambahnya lagi.Tiba-tiba mataku melirik ke arah Chika. Dia pun mengedarkan pandangannya ketika aku melak
Ada yang terlupakan saat mereka ngobrol berdua, ponsel belum aku atur ke mode sunyi. Ditambah lagi aku belum menekan tombol rekam suara. Aku coba mengusap layar ponsel untuk merekam percakapan mereka. Namun sebelumnya, aku mengambil foto mereka terlebih dahulu. Supaya bisa antisipasi semuanya jika dibutuhkan.'Biarkan yang tadi tidak terekam, siapa tahu ada pembicaraan yang lebih meyakinkan lagi.Aku terus mendengarkan mereka bicara. Sesekali mata ini berkeliling melihat ke sekitar. Aku takut juga ketahuan oleh Chika, bukan karena takut padanya, tapi khawatir dia sadar dan aku tidak bisa mengambil bukti."Banyak banget, uang yang kemarin sudah cukup banyak nominalnya, kenapa kamu jadi memeras saya?" tanya Chika. Dia bicara dengan nada menekan.Aku masih menunggu wanita itu menimpalinya, sambil sesekali otak ini mengingat suara tersebut."Terserah kamu sih, kalau mau aman ya udah keluarkan duit itu sekarang," jawabnya.Kuperhatikan Chika menghela napas panjang. Dia kesal terhadap wanit
Aku bukti tersebut. Di dalam ponsel ada rekaman video saat aku memeriksa ponsel Chika, dan menyamakan kontak tersebut.Mata Papa tertuju ke arah layar ponsel tersebut. Dia menghela napas kasar. Sekitar tiga kali papa membaca ulang dan memperhatikan nomor baru anaknya itu. Kemudian diakhiri dengan berdecak kesal."Kenapa Chika ngancam kamu seperti itu? Rasanya Papa tidak percaya, tapi apa yang Inggit perlihatkan sangat jelas." Aku menurunkan bahu ketika Papa mengatakan itu. Aku merasa amat lega mendengar ucapannya. Ternyata dia percaya dengan bukti yang aku berikan. Aku meraih ponsel itu kembali. Kemudian, mengantonginya ke dalam tas."Sekarang Papa percaya kan?" tanya Mas Pram."Sejujurnya nggak percaya, tapi bukti mengatakan semuanya, entah Papa harus bersikap apa terhadap Chika," jawab Papa Satria."Tegas dong, Pa. Tanyain kenapa dia melakukan hal seperti itu?" Mas Pram berusaha meminta keadilan. Sebab dia tadi sudah membela Chika, sekarang ada bukti yang dilihatnya.Aku menghela n
"Perempuan bercadar? Apaan sih, Pah? Aneh banget pertanyaannya," timpal Chika."Nggak usah ngelak, ada kok foto sekaligus rekaman suara obrolan kalian," jawab Papa Satria.Tiba-tiba suasana menjadi hening, Papa mertuaku menatap anaknya dengan tajam, bahkan tanpa kedip sedikit pun. Aku melirik ke arah Mas Pram yang juga menatapku diam-diam. Kedipan mata suamiku itu seakan-akan memberikan isyarat untuk diam. Ya, aku diam menyaksikan perdebatan antara keduanya."Pa, kok aneh sih? Aku kayak orang asing di sini, padahal Inggit loh yang bukan siapa-siapa," tukas Chika seperti biasa memutar balikkan fakta, dia seperti mengalihkan pembicaraan.Papa menggelengkan kepalanya. Aku berharap dia mempercayaiku dan mulai meragukan segala ucapan Chika. "Chika, Papa bertanya siapa wanita bercadar yang tadi kamu temui, lalu kamu ajak ke bank dengan memberikan sejumlah uang!" tekan Papa mertuaku seraya menyecarnya.Chika mengedarkan pandangannya ke arahku, alisnya tertautkan, kemudian menghampiriku sam
"Halo, Pak Rudi." Aku menyapa lebih dulu."Iya, Bu. Maaf saya mau kasih kabar buruk," timpal Pak Rudi.Aku sedikit menoleh ke arah Mas Pram. Suamiku juga menautkan kedua alisnya ketika melihat reaksi wajahku yang tampak terkejut."Kabar buruk apa, Pak? Padahal saya berharap bapak membawa kabar baik," jawabku sambil menghela napas."Orang yang meracuni Pak Pram sakit, dia tak sadarkan diri, sekarang masih dalam pengawasan polisi," ungkap Pak Rudi.Aku terkejut mendengarnya, bagaimana tidak, aku rasa orang yang menjadi dalang dari peristiwa ini sangat memantau gerakan kami, jadi dia lebih cepat bertindak."Kalau boleh tahu, kenapa dia bisa tak sadarkan diri?" tanyaku padanya. Sebab setiap penyakit pasti ada penyebabnya."Polisi masih menyelidiki, selepas bertemu dengan salah satu pengunjung, dia pingsan dan tak sadarkan diri," tutur Pak Rudi.Aku berdecak sambil mengusap kening. Rasanya sangat disayangkan ini semua terjadi begitu cepat. Kami belum menyecar wanita itu, tapi ternyata dia