Mereka balik badan. Namun, tiba-tiba saja Mas Dimas kembali menghampiri kami."Terima kasih atas bantuannya. Aku akan bayar jika saldo sudah terisi kembali," ucap Mas Dimas. "Dan kamu Inggit, pasti sekarang kamu sedang menertawakanku ya? Nasibku yang dulu kini berbanding terbalik, begitu juga dengan kamu yang kini hidup serba enak," tambahnya.Aku menoleh ke arah Mas Pram. Kemudian, kembali menyoroti Mas Dimas lagi."Dimas, tolong jangan prasangka buruk pada istriku," celetuk Mas Pram mengingatkannya.Safitri pun ikut kembali menghampiri kami. Dia memegang bahu Mas Dimas."Nggak usah bicara seperti itu, bukankah semua perbuatan akan kembali ke diri masing-masing? Kamu tahu itu kan, Mas?" tanya Safitri."Hm, iya, kata kamu sekarang aku lagi menuai apa yang aku lakukan dulu pada Inggit, begitu bukan?" Mas Dimas seperti orang menyindir. "Aku juga paham, tapi rasanya tidak adil, jika aku harus mendapatkan perlakuan ini dari wanita, aku ini laki-laki, Safitri!" kecam Mas Dimas.Mas Pram l
Mas Pram diam sejenak. Dia tersenyum seketika. Lalu menyuruhku duduk di atas ranjang. Mas Pram pun duduk dengan kondisi setengah telanjang karena dia berencana mandi."Jadi, Safitri itu memang sudah menghubungi aku lama untuk memblokir semua yang dulu aku berikan untuk Dimas," terang Mas Pram."Masa Safitri gitu, Mas?" tanyaku heran. Terus terang aku malah tidak setuju dengan ide dari Safitri ini. "Mas, kasihan loh tadi Mas Dimas malu," sambungku lagi."Terlepas dari itu, Safitri hanya ingin suaminya belajar dari kesalahannya, tapi nyatanya tadi sih aku lihat Dimas jadi menaruh kebencian padaku," pungkas Mas Pram.Aku menurunkan bahu karena kesal. Sebab, dia melakukan hal ini tanpa persetujuan aku lebih dulu. Akhirnya aku menunjukkan sikap ketidaksukaan atas tindakan Mas Pram dan Safitri. Ya, aku memalingkan wajah dari hadapan Mas Pram.Helaan napas pun terdengar dari sebelah. Mas Pram berdecak sambil meraih pergelangan tangan ini."Tuh kan, aku udah ngomong ke Safitri, pasti imbasnya
"Hm, ngapain Papa ke sini? Pasti sama Chika dan istrinya," bisik Mas Pram tidak suka.Aku hanya menoleh, kemudian menghampiri papa mertuaku yang sudah memarkirkan mobilnya.Dia turun bersama anaknya, Chika. Aku pun mengulurkan tangan ke arahnya. Lalu mencium tangan papa."Kalian mau berangkat ya? Papa ke rumah mau memastikan kalau kalian menggunakan hadiah yang diberikan oleh putriku," tutur papa. Chika menyunggingkan senyuman. Dia melirik ke arah Mas Pram dengan wajah yang tidak biasa. "Itu ada polisi juga, dikawal?" tanya Chika."Ya, benar, kamu keberatan?" Mas Pram seakan-akan menantang adik tirinya itu.Chika diam, dia menatap sang papa. Sementara aku hanya meneliti sikap dan perilaku Chika saja, memang sangat mencurigakan dari gelagatnya."Eyang, aku pergi dulu ya, mau liburan," celetuk Jingga mencairkan suasana yang tadi sempat sedikit beku."Jingga jangan nakal ya, selamat senang-senang," pesan papa. Chika terus menerus menyoroti kami. Sampai akhirnya kami naik kendaraan soro
"Mas, kita dalam bahaya ya?" tanyaku penasaran.Jingga pun mendengar, dia langsung memelukku, bahkan minta pangku."Nggak kok, udah kalian tenang ya," jawab Mas Pram sambil memantau mobil di belakang polisi, juga di samping kami.Mata Mas Pram tampak memantau sambil terus menerus menenangkan kami. Hingga akhirnya setelah cukup jauh, suamiku baru tenang dengan helaan napas yang terdengar panjang."Alhamdulillah," ucapnya mensyukuri. Dia bicara sambil memegang dadanya.Aku yang tengah memangku Jingga pun langsung menciumi keningnya."Tidur yuk, Nak!" Aku memerintahkan anak tiriku itu untuk memejamkan matanya. Jingga pun menuruti perintahku. Dia anak baik meskipun sempat ada kesalahpahaman.***Jalan tol di luar hari libur nasional sangat lancar. Sehingga kami tiba di Jogjakarta sebelum waktu Maghrib tiba. Padahal prediksi Mas Pram tadi kami akan singgah ke satu masjid di jam salat Maghrib. Namun, dikarenakan lihainya sopir dan lancarnya perjalanan, kami tiba sebelum waktu estimasi.Jin
Bab 97Kami terus mencari kira-kira apa yang mencurigakan. Sampai akhirnya Pak Rudi menggenggam sesuatu dan sengaja merahasiakannya dari kami."Saya pindah ke tempat semula, Pak," ucapnya sambil berlalu pergi, polisi tersebut juga memberikan satu isyarat pada Mas Pram. Aku kurang paham dengan kode yang diberikannya."Besok kita ke tempat pariwisata di Jogjakarta, aku lagi cari rekomendasi dari orang sekitar, semoga aja cocok untuk kalian," ungkap Mas Pram."Iya, Pa, kita rekreasi ya, aku seneng banget," jawab Jingga.Kemudian, kami menyantap makanan yang sudah tersedia, tapi aku masih penasaran dengan gelagat orang tadi. Ingin rasanya bertanya pada Mas Pram, tapi sepertinya dia sengaja bungkam. Bubur untuk bibi pun sudah dibungkus, saatnya kami kembali ke kamar hotel. Di jalan aku pun bertanya pada Mas Pram tentang barang yang ditemukan oleh Pak Rudi.Mas Pram pun membisikkan aku sesuatu, "Itu penyadap suara ada di balik meja, pinter sekali mereka, tapi diambil oleh Pak Rudi untuk me
Aku mengernyitkan dahi. Namun tidak dengan Mas Pram, ia langsung meraih dua ponsel tersebut, lalu menyerahkannya padaku salah satunya."Kamu Ibu yang nelepon, sedangkan aku Papa," jawab Mas Pram.Akhirnya kami sama-sama terima panggilan telepon."Halo," ucapku padanya."Iya, Inggit, bagaimana, kamu udah sampai?" tanya Ibu."Udah dari tadi, aku lupa kasih tahu," jawabku sambil menoleh ke arah Mas Pram. Ya, aku juga menyimak obrolannya yang aku rasa sama."Oh, berati Ibu ganggu ya? Tadi Pak Satria yang minta hubungi kamu dan dia hubungi Pram," terang ibu.Aku menoleh lagi, ternyata papa mertuaku masih berada di rumah kami, aku jadi kepikiran ibuku. Tapi, Pak Satria tidak mungkin jahat, aku tidak boleh berpikiran buruk terhadapnya."Berati sekarang Ibu masih sama Papa?" tanyaku."Justru Pak Satria baru datang, ini sama istri dan anaknya," jawab ibu. Berati Mas Pram ditelepon papanya karena ingin izin tidur di rumah. Aku pun berhenti menyoroti Mas Pram yang tengah bicara dengan sang papa
"Kenapa nggak suka aku liburan, Pa?" Dengan cepat Jingga bertanya seperti itu."Nah, loh, aku nggak ikut-ikutan ah," timpal aku sambil berlalu pergi dengan langkah setengah berlari."Jangan lari kamu, bantuin aku jelasin dong!" Mas Pram pun ikut berlari mengejarku. Hingga akhirnya Jingga juga turut mengekor sambil meneriaki papanya. Aku tertawa saat menoleh ke belakang, sebab wajah Jingga ternyata terkekeh atas sikap papanya. Mas Pram pandai sekali mencari celah untuk bercanda dengan anaknya. Aku pun berhenti sejenak sambil melihat sosok anak tiriku mengejar ayahnya.Mata ini terus menyoroti mereka, tanganku berada di atas dada sambil tersenyum ke arah mereka berdua. Lalu ketika mereka memperhatikanku, tangan ini melambai-lambai seraya menyuruhnya untuk menghampiriku."Seseru ini ya bercanda bareng!?" Mas Pram turut merangkulku."Iya ya Pa, aku sangat bahagia," timpal Jingga."Nanti seterusnya Jingga bisa bercanda sama Mama di rumah," ungkapku supaya Jingga bahagia."Emang mama nanti
Bab 100Aku perhatikan dengan baik-baik. Lalu wajahnya kelihatan dari samping. Aku terkejut setelah tahu bahwa orang yang kami lihat adalah mantan mertuaku, Mama Dewi."Kok mamanya Mas Dimas ada di sini ya?" Aku malah bertanya padam Mas Pram.Namun, ketika aku hendak menghampiri. Ternyata dia sudah menutup pintu."Besok aja lah, takutnya mau istirahat," tutur Mas Pram.Kemudian, kami masuk ke dalam untuk menyantap makanan yang kami pesan. Aku ambil piring dan sendok lalu meletakkan di meja makan. Kami pun makan berdua, saling bersuap-suapan.Namun, tiba-tiba saja di tengah suapan, Mas Pram tampak memegang pelipisnya. Aku pun langsung memberikan dia minum."Kamu kenapa?" tanyaku penasaran. Namun Mas Pram mendadak memegang lehernya. Aku yang melihat suamiku dalam kondisi seperti itu langsung memanggil petugas melalui sambungan telepon.Petugas gerak cepat memanggil ambulance, sebab Mas Pram sudah tak sadarkan diri. Aku merinding ketika melihat wajah suamiku yang terlihat sangat pucat.