Kenyataan harus tetap dijalani. Mas Dimas harus menerima konsekuensi perbuatannya dulu terhadapku. Meskipun ini demi Safitri, bukan demi aku, tapi aku percaya bahwa ini adalah buah dari perbuatan yang telah dia lakukan terhadapku. Mungkin melalui istri barunya lah Tuhan menyadarkan Mas Dimas.Mama pamit dari tempat duduk, dia ingin istirahat di kamar. Sementara aku pun memutuskan untuk menghubungi Mas Pram. Ya, aku ingin tahu kabarnya dengan sang papa setelah mamanya meninggal dunia. "Sebelum mamanya Mas Pram meninggal, kan papanya pamit ke luar negeri untuk menghadiri pernikahan anaknya, kira-kira Pak Satria jadi nggak, ya?" Aku bertanya sendiri sambil mengusap layar ponsel dan mencari kontak Mas Pram. Setelah itu aku tempelkan benda pipih yang aku pegang tadi ke telinga ini."Halo, Inggit, bagaimana?" tanya Mas Pram.Mungkin dia pikir aku ingin melaporkan tentang Mas Dimas padanya."Oh Mas Dimas baik-baik aja, dia masih menyelesaikan tugasnya bersama mamanya. Aku telepon kamu bukan
Aku melanjutkan buka pintu, ternyata Mas Pram yang datang, aku segera menyambutnya dan menyuruhnya masuk. Aku ceritakan padanya juga bahwa barusan aku jatuh karena lantai licin."Tapi kamu baik-baik aja, kan?" tanya Mas Pram."Aku baik, yang tidak baik itu Safitri, dia cemburu," timpalku sedikit menyunggingkan senyuman ke arah Mas Pram diiringi dengan lirikan ke mata Mas Dimas.Kulihat Mas Dimas perlahan jauhi tempat aku berdiri. Dia menyoroti ke arah cctv lagi."Safitri, kamu salah paham," ucap Mas Dimas sambil menautkan kedua telapak tangannya menjadi satu, dia memohon pada Safitri untuk tidak berprasangka buruk. "Iya, aku terpeleset, Fit," susulku."Aku paham, ini bagian resiko aku juga yang memberikan kalian peluang untuk berduaan, untuk itu aku hentikan hukuman Mas Dimas dan sudah boleh balik ke rumahku, tapi ingat, selama aku mengandung, kamu tidak boleh menjamakku, kita libur berhubungan intim untuk sementara waktu, sampai aku melahirkan," tutur Safitri membuatku mengernyitkan
"Itu putriku. Namanya Chika Aulia, dan itu___" Papa mertuaku menggantungkan ucapannya karena Mas Pram yang melarang untuk bicara."Kita mulai lagi, Pak," suruh Mas Pram.Kemudian, penghulu pun memulai ijab qobul.Proses pernikahan berlangsung khidmat. Mas Pram melafalkan ijab qabul dengan lancar. Hingga akhirnya semua bersorak dan menyatakan pernikahan kami sah.Mas Pram menandatangani buku kecil. Begitu juga denganku. Kemudian kami sungkeman pada orang tua masing-masing. Saat ini Mas Pram hanya tersisa sang papa. Sementara aku hanya tersisa seorang ibu. Namun tiba-tiba saja Pak Satria meminta Mas Pram untuk sungkeman juga pada wanita yang kini duduk di sebelahnya.Aku lihat Mas Pram tidak langsung mengindahkan ucapan papanya. Justru dia mematung seketika. "Kami turut berbahagia atas pernikahan kalian," ucap wanita itu tersenyum simpul."Pram," suruh laki-laki yang kini sudah resmi menjadi mertuaku. "Inggit, kamu mulai duluan ya," tambahnya.Aku pun tidak bisa menolak perintah papa m
Sejujurnya aku tidak ingin kalau acara ini jadi kacau hanya karena sikap Mas Pram yang tidak bisa menerima keadaan ini. Namun, di sisi lain aku sangat memakluminya karena apa yang diperbuat oleh Pak Satria juga sangat menyakitkan. Sang Mama saja sampai meninggal dunia karena kepikiran. "Aku ini sangat menghargai kamu sebagai suami, Mas. Tapi itu tamu undangan sangat ramai berdatangan, bukankah dari kalangan rekan kerjamu?" bisikku dengan sangat hati-hati. Sebab, aku tidak ingin memperkeruh suasana.Mas Pram terlihat mematung, tapi dengan cepat dia menarik pergelangan tangan ini ke pelaminan kembali. Ibuku yang berdiri di ujung pun bernapas lega dan tersenyum ketika Mas Pram mampu menaklukkan egonya.Terlihat Jingga datang dari lantai atas, dia baru saja selesai diganti bajunya. Sekarang lebih resmi ketimbang tadi. Jingga duduk di tengah kami berdua.Aku rasa sudah ada penyejuk di hati Mas Pram. Dia tak lagi kepanasan jika melihat ibu tirinya. Sebab ada Jingga yang menemani kami.***
Mas Pram memakai baju dan celana, karena khawatir Jingga yang mengetuk pintu. Namun, betapa terkejutnya dia ketika buka pintu tidak ada siapa-siapa."Nggak ada orang? Kenapa tadi terdengar ada yang ketuk?" Mas Pram mengeluh di balik pintu."Coba teriakin Bibi," suruhku.Dia pun keluar, dan menanyakan hal ini pada Bibi. Lalu Mas Pram kembali lagi dengan wajah aneh."Nggak ada orang, satpam bilang Bibi dan Jingga lagi ke taman," ucap Mas Pram. "Tapi satpam bilang Bibi pergi dengan seorang wanita, siapa ya? Dia nggak kenal," tambah Mas Pram.Aku menggeser tubuh seperti orang ketakutan. Lalu mendekat dengan Mas Pram."Jangan nakutin aku, Mas," celetukku. Dagu ini berada di bahunya seakan-akan tengah bersembunyi. "Padahal satpam bilang dengan seorang wanita ya, tapi aku malah jadi takut," lanjutku."Apa dia saudaranya Bibi?" tanyaku lagi. Rasa penasaran membuatku benar-benar banyak tanya."Hm, mungkin perasaan kita aja," jawab Mas Pram. "Lanjut dulu yuk, nanti aku cek cctv setelah melanjut
"Sudahlah, untuk sementara kita nggak usah pikirkan itu dulu, lagian barang di rumah nggak ada yang hilang, kan?" Aku mencoba menenangkan Mas Pram."Iya juga sih, kamu benar," timpalnya. Kemudian dia menutup laptop dan merangkulku untuk keluar dari ruangan kerja.Terdengar suara ramai dari teras rumah. Jingga kalau lagi becanda dengan bibi sangat kedengaran celotehannya. Dia benar-benar anak periang, memang menggemaskan."Kita samperin ke teras, sepertinya Jingga pulang," ajak Mas Pram.Belum sempat kami membuka pintu, tiba-tiba bibi yang tengah menggendong Jingga pun masuk. Tidak ada Chika yang katanya tadi bersama mereka di taman. Aku sudah lihat ke depan teras pun tidak ada orang."Ke mana Chika, Bi?" tanyaku padanya."Nggak ada, tadi dia langsung pulang," jawab bibi."Kenapa nggak mampir dulu?" tanya bibi.Tiba-tiba Jingga turun dari gendongan bibi, dia lari dan aku lihat masuk ke dalam kamar. Hal aneh terjadi, biasanya Jingga selalu menyapaku, tapi tidak untuk sore ini, sejak mas
Jingga diam saja, dia tidak menyahuti apa-apa. Sungguh aku benar-benar berada di satu posisi yang sangat sulit.Mas Pram gantian mengedipkan matanya kepadaku. Namun, aku hanya mengangguk dan berusaha mengerti isyarat yang suamiku berikan. Ya, aku paham bahwa dia akan urus semuanya.Di sela-sela sikap Jingga yang aneh, ponselku berdering. Ada telepon masuk dari ibuku. Aku pun manfaatkan hal ini. Panggilan masuk langsung aku jawab di depan mereka yang tengah menyantap makanan."Halo, Bu. Ada apa?" tanyaku padanya."Kamu udah makan? Perdana makan malam ibu sendirian nih," ucapnya padaku."Hm, Ibu mau aku temani, aku ke sana sekarang ya," jawabku."Nggak usah, kamu udah berumah tangga, harus berada di tengah-tengah keluarga kamu yang baru," jawab ibu."Iya, tapi aku nggak tega sama Ibu sendirian," timpalku."Ibu mau izin sama Pram, kalau Bu Dewi tinggal di sini boleh nggak ya? Soalnya dia cerita ke Ibu, katanya malu tinggal satu atap dengan menantunya," ungkap ibu.Aku terdiam, Mama Dewi
"Hm ... itu, Ma, hm ...." Terlihat sekali bahwa Jingga tengah berada dalam pengaruh orang lain. Dia gugup mengatakan siapa orangnya, aku pun tidak mungkin bisa memaksa."Hm, kamu lagi bohong ya sama Papa dan Mama?" Mas Pram mengejeknya sambil mensejajarkan dengan cara duduk setengah jongkok. Lalu kedua bahu Jingga dipegang oleh Mas Pram. Mereka kini saling beradu pandang. Namun, hal yang sangat menyentuh terjadi. Tiba-tiba Jingga memeluk papanya. Tangannya yang mungil melingkar di leher sang papa."Pa, tetap sayang Jingga ya, jangan tinggalin Jingga," ucapnya membuat Mas Pram yang menghadap ke arahku pun menatapku dengan sempurna."Ini ada apa? Dari tadi ngomongnya jangan tinggalkan aku terus, tadi ngomong sama Mama juga gitu, takut ditinggal, padahal Papa tidak pernah bicara seperti itu," tutur Mas Pram.Aku tersenyum dan memberikan satu jempol untuknya."Pa, Tante Chika yang bilang," terang Jingga. Sudah kuduga ada provokator di balik ini semua. Ternyata Jingga jujur bahwa Chika ya