"Mama nggak apa-apa aku perlakukan Mama layaknya pembantu?" tanyaku padanya sambil mengedarkan pandangan ke arah cctv. "Itu cctv, di sana juga ada, semua dipantau oleh Safitri, Ma," tambah Inggit."Nggak apa-apa, Nggit, Mama udah ikhlas, mungkin ini caranya mengembalikan kepercayaan Safitri terhadap Dimas, dia juga tidak mengeluhkan soal ini," jawab Mama Dewi.Aku tersenyum sambil menyorot ke arah ibu yang tengah berdiri di ujung dapur, ibuku mengedipkan mata seolah-olah memberikan satu isyarat."Ini bukan karma, tapi hanya satu timbal balik perbuatan," susul ibuku yang kini ikut nimbrung. "Dimas di mana? Ibu boleh ya nyuruh dia melakukan aktivitas seorang istri," tambah ibu lagi.Aku sedikit menautkan kedua alis. Entah kenapa malah ibu menginginkan Mas Dimas yang menggantikan tugas itu, bukan ke Mama Dewi."Saya aja, Bu. Jangan Dimas," jawab Mama Dewi."Sudah kuduga, seorang Ibu pasti akan melakukan hal itu, sama seperti saya dulu, ingin sekali menggantikan posisi Inggit jika itu bis
Kenyataan harus tetap dijalani. Mas Dimas harus menerima konsekuensi perbuatannya dulu terhadapku. Meskipun ini demi Safitri, bukan demi aku, tapi aku percaya bahwa ini adalah buah dari perbuatan yang telah dia lakukan terhadapku. Mungkin melalui istri barunya lah Tuhan menyadarkan Mas Dimas.Mama pamit dari tempat duduk, dia ingin istirahat di kamar. Sementara aku pun memutuskan untuk menghubungi Mas Pram. Ya, aku ingin tahu kabarnya dengan sang papa setelah mamanya meninggal dunia. "Sebelum mamanya Mas Pram meninggal, kan papanya pamit ke luar negeri untuk menghadiri pernikahan anaknya, kira-kira Pak Satria jadi nggak, ya?" Aku bertanya sendiri sambil mengusap layar ponsel dan mencari kontak Mas Pram. Setelah itu aku tempelkan benda pipih yang aku pegang tadi ke telinga ini."Halo, Inggit, bagaimana?" tanya Mas Pram.Mungkin dia pikir aku ingin melaporkan tentang Mas Dimas padanya."Oh Mas Dimas baik-baik aja, dia masih menyelesaikan tugasnya bersama mamanya. Aku telepon kamu bukan
Aku melanjutkan buka pintu, ternyata Mas Pram yang datang, aku segera menyambutnya dan menyuruhnya masuk. Aku ceritakan padanya juga bahwa barusan aku jatuh karena lantai licin."Tapi kamu baik-baik aja, kan?" tanya Mas Pram."Aku baik, yang tidak baik itu Safitri, dia cemburu," timpalku sedikit menyunggingkan senyuman ke arah Mas Pram diiringi dengan lirikan ke mata Mas Dimas.Kulihat Mas Dimas perlahan jauhi tempat aku berdiri. Dia menyoroti ke arah cctv lagi."Safitri, kamu salah paham," ucap Mas Dimas sambil menautkan kedua telapak tangannya menjadi satu, dia memohon pada Safitri untuk tidak berprasangka buruk. "Iya, aku terpeleset, Fit," susulku."Aku paham, ini bagian resiko aku juga yang memberikan kalian peluang untuk berduaan, untuk itu aku hentikan hukuman Mas Dimas dan sudah boleh balik ke rumahku, tapi ingat, selama aku mengandung, kamu tidak boleh menjamakku, kita libur berhubungan intim untuk sementara waktu, sampai aku melahirkan," tutur Safitri membuatku mengernyitkan
"Itu putriku. Namanya Chika Aulia, dan itu___" Papa mertuaku menggantungkan ucapannya karena Mas Pram yang melarang untuk bicara."Kita mulai lagi, Pak," suruh Mas Pram.Kemudian, penghulu pun memulai ijab qobul.Proses pernikahan berlangsung khidmat. Mas Pram melafalkan ijab qabul dengan lancar. Hingga akhirnya semua bersorak dan menyatakan pernikahan kami sah.Mas Pram menandatangani buku kecil. Begitu juga denganku. Kemudian kami sungkeman pada orang tua masing-masing. Saat ini Mas Pram hanya tersisa sang papa. Sementara aku hanya tersisa seorang ibu. Namun tiba-tiba saja Pak Satria meminta Mas Pram untuk sungkeman juga pada wanita yang kini duduk di sebelahnya.Aku lihat Mas Pram tidak langsung mengindahkan ucapan papanya. Justru dia mematung seketika. "Kami turut berbahagia atas pernikahan kalian," ucap wanita itu tersenyum simpul."Pram," suruh laki-laki yang kini sudah resmi menjadi mertuaku. "Inggit, kamu mulai duluan ya," tambahnya.Aku pun tidak bisa menolak perintah papa m
Sejujurnya aku tidak ingin kalau acara ini jadi kacau hanya karena sikap Mas Pram yang tidak bisa menerima keadaan ini. Namun, di sisi lain aku sangat memakluminya karena apa yang diperbuat oleh Pak Satria juga sangat menyakitkan. Sang Mama saja sampai meninggal dunia karena kepikiran. "Aku ini sangat menghargai kamu sebagai suami, Mas. Tapi itu tamu undangan sangat ramai berdatangan, bukankah dari kalangan rekan kerjamu?" bisikku dengan sangat hati-hati. Sebab, aku tidak ingin memperkeruh suasana.Mas Pram terlihat mematung, tapi dengan cepat dia menarik pergelangan tangan ini ke pelaminan kembali. Ibuku yang berdiri di ujung pun bernapas lega dan tersenyum ketika Mas Pram mampu menaklukkan egonya.Terlihat Jingga datang dari lantai atas, dia baru saja selesai diganti bajunya. Sekarang lebih resmi ketimbang tadi. Jingga duduk di tengah kami berdua.Aku rasa sudah ada penyejuk di hati Mas Pram. Dia tak lagi kepanasan jika melihat ibu tirinya. Sebab ada Jingga yang menemani kami.***
Mas Pram memakai baju dan celana, karena khawatir Jingga yang mengetuk pintu. Namun, betapa terkejutnya dia ketika buka pintu tidak ada siapa-siapa."Nggak ada orang? Kenapa tadi terdengar ada yang ketuk?" Mas Pram mengeluh di balik pintu."Coba teriakin Bibi," suruhku.Dia pun keluar, dan menanyakan hal ini pada Bibi. Lalu Mas Pram kembali lagi dengan wajah aneh."Nggak ada orang, satpam bilang Bibi dan Jingga lagi ke taman," ucap Mas Pram. "Tapi satpam bilang Bibi pergi dengan seorang wanita, siapa ya? Dia nggak kenal," tambah Mas Pram.Aku menggeser tubuh seperti orang ketakutan. Lalu mendekat dengan Mas Pram."Jangan nakutin aku, Mas," celetukku. Dagu ini berada di bahunya seakan-akan tengah bersembunyi. "Padahal satpam bilang dengan seorang wanita ya, tapi aku malah jadi takut," lanjutku."Apa dia saudaranya Bibi?" tanyaku lagi. Rasa penasaran membuatku benar-benar banyak tanya."Hm, mungkin perasaan kita aja," jawab Mas Pram. "Lanjut dulu yuk, nanti aku cek cctv setelah melanjut
"Sudahlah, untuk sementara kita nggak usah pikirkan itu dulu, lagian barang di rumah nggak ada yang hilang, kan?" Aku mencoba menenangkan Mas Pram."Iya juga sih, kamu benar," timpalnya. Kemudian dia menutup laptop dan merangkulku untuk keluar dari ruangan kerja.Terdengar suara ramai dari teras rumah. Jingga kalau lagi becanda dengan bibi sangat kedengaran celotehannya. Dia benar-benar anak periang, memang menggemaskan."Kita samperin ke teras, sepertinya Jingga pulang," ajak Mas Pram.Belum sempat kami membuka pintu, tiba-tiba bibi yang tengah menggendong Jingga pun masuk. Tidak ada Chika yang katanya tadi bersama mereka di taman. Aku sudah lihat ke depan teras pun tidak ada orang."Ke mana Chika, Bi?" tanyaku padanya."Nggak ada, tadi dia langsung pulang," jawab bibi."Kenapa nggak mampir dulu?" tanya bibi.Tiba-tiba Jingga turun dari gendongan bibi, dia lari dan aku lihat masuk ke dalam kamar. Hal aneh terjadi, biasanya Jingga selalu menyapaku, tapi tidak untuk sore ini, sejak mas
Jingga diam saja, dia tidak menyahuti apa-apa. Sungguh aku benar-benar berada di satu posisi yang sangat sulit.Mas Pram gantian mengedipkan matanya kepadaku. Namun, aku hanya mengangguk dan berusaha mengerti isyarat yang suamiku berikan. Ya, aku paham bahwa dia akan urus semuanya.Di sela-sela sikap Jingga yang aneh, ponselku berdering. Ada telepon masuk dari ibuku. Aku pun manfaatkan hal ini. Panggilan masuk langsung aku jawab di depan mereka yang tengah menyantap makanan."Halo, Bu. Ada apa?" tanyaku padanya."Kamu udah makan? Perdana makan malam ibu sendirian nih," ucapnya padaku."Hm, Ibu mau aku temani, aku ke sana sekarang ya," jawabku."Nggak usah, kamu udah berumah tangga, harus berada di tengah-tengah keluarga kamu yang baru," jawab ibu."Iya, tapi aku nggak tega sama Ibu sendirian," timpalku."Ibu mau izin sama Pram, kalau Bu Dewi tinggal di sini boleh nggak ya? Soalnya dia cerita ke Ibu, katanya malu tinggal satu atap dengan menantunya," ungkap ibu.Aku terdiam, Mama Dewi
"Iya, nanti dibicarakan dulu pada Pram dan Inggit ya," ucap Dion supaya anaknya berhenti merengek."Tirta, pernikahan itu bukan buat mainan, kamu harus mantapkan diri dulu, jangan karena cinta yang menggebu, kamu langsung minta lamaran," tutur Safitri menasihati."Iya, aku udah yakin. Ini pertama kali aku jatuh cinta, tolong, Mah," lirih Tirta lagi.Mereka diam sejenak."Mama sarankan kamu salat istikharah, oke," ucap Safitri sambil beranjak pergi, dia tidak meladeni anaknya lagi.Safitri masuk ke kamar. Dia mengetik pesan pada sahabatnya. Safitri mengajak Inggit berjumpa di satu cafe.Inggit kebetulan ada waktu luang besok, dia menyetujui dan menentukan waktu yang dikirimkan ke Safitri. Ya, mereka berencana akan bertemu di cafe besok. Kenapa tidak bicara melalui chat atau telepon? Urusan pernikahan adalah hal yang sakral, lagi pula Safitri ingin memastikan dulu apakah Inggit menerima jika anaknya menyukai Jingga.Mereka sudah saling kenal dan sangat dekat, jadi tidak ingin persahabat
"Tari, saya minta maaf atas kesalahan adik saya, Lian begitu berarti untuknya," ucap Haris. "Dan satu lagi yang ingin saya katakan padamu, I love you so much," terang Haris membuat Tari seketika terkejut. Kan bukan hanya Tari, tapi Dimas yang mendengarnya pun mencari sumber suara tersebut.'Haris dengan berani mengatakan hal itu di hadapan umum?' batin Dimas.Kemudian Haris berlalu pergi darinya. Dia diboyong ke sel tahanan oleh pihak yang berwajib.Semua telah selesai, keadilan telah ditegakkan. Yang jelas-jelas bersalah akan menjalani hukumannya. Lalu orang yang hanya menjadi boneka terbebaskan.Dion diminta menemui wartawan untuk sekadar bicara di depan khalayak ramai. "Saya hanya ingin mengatakan bahwa keputusan hakim tadi mutlak dan tidak bisa diganggu gugat, sesuai pertimbangan dan saksi, jadi saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya untuk para saksi dan keluarga yang telah mendampingi saya. Semoga para vendor dan rekan kerja lainnya, tetap akan menjalani kerjasama dengan
Safitri tiba di lapas tempat Chika ditahan. Dia langsung meminta izin untuk menemui Chika."Chika sedang proses pemeriksaan dokter ahli kejiwaan, kemarin dia sempat bunuh diri, lengannya sudah disayat-sayat," ucap salah seorang petugas.Safitri terdiam, matanya berkaca-kaca. Dia bahkan tidak mengetahui berita ini.Kemudian, Safitri mencari kebenarannya. Dia bahkan rela mencari tahu ke rumah sakit tempat saat ini Chika ditangani oleh dokter spesialis. Safitri yang ditemani oleh Tirta dengan mudah menemui Chika yang memang tengah diberikan penangan.Tirta menemui beberapa dokter, dan ternyata selain mengalami gangguan jiwa, ada hal yang dialami oleh Chika."Chika memiliki penyakit serius, ternyata dia menderita sakit kanker," terang Tirta pada mamanya."Ya Allah, ternyata dia sakit, pantas Haris pun terlihat frustasi tadi," timpal Safitri."Semoga keputusan hakim besok benar-benar bisa membebaskan Papa dari hukuman," jawab Tirta.Kemudian mereka pun pulang untuk memberikan informasi pa
Jadi semuanya diperintahkan untuk diam oleh Tari, mereka tidak boleh bicara supaya Dimas tidak menghindar lagi. Jingga dan yang lainnya disuruh keluar diam-diam boleh Pram. Mereka sekarang berada di luar karena Tari ingin bicara empat mata dengan Dimas."Dimas," ucap Tari akhirnya mengeluarkan suara.Saat itu juga Dimas melangkahkan kakinya. Dia terburu-buru ingin meninggalkan Tari yang tiba-tiba datang di dekatnya.Namun tangan Tari mencekal pergelangan tangan Dimas yang hendak melangkah."Mau ke mana? Aku ingin bicara empat mata, tolong jangan pergi," tutur Tari agak merendahkan nada bicaranya.Dimas hanya bisa terdiam, kemudian dia mundur kembali, Tari menuntunnya untuk duduk."Ada apa? Aku tidak mau membicarakan masalah mata, biarkan itu menjadi ladang pahala untukku," pinta Dimas."Iya, aku paham, maaf kalau tadi sudah menyecar kamu." Tari merendahkan bicaranya lagi."Terus mau ngomong apa? Aku rasa tidak ada yang bisa diobrolkan, hubungan kerja pun tidak ada," timpal Dimas."Ak
Tiba-tiba Pram dan yang lainnya berkumpul. Mereka sama-sama datang dengan pura-pura tidak mengetahui pertemuan yang sebenarnya disengaja."Loh Dimas ke sini?" tanya Pram dan yang lainnya."Kalian juga di sini?" tanya Dimas balik."Iya, aku dan Inggit ajak Tari ke sini," jawab Pram.Tari masih belum mendapatkan jawaban dari apa yang ditanyakan olehnya."Dimas, kamu belum menjawab," tegas Tari. Kemudian dia melirik ke arah semua yang tiba-tiba muncul. "Apa kalian sudah tahu kalau Dimas buta?" Tari bertanya pada Pram, Inggit dan yang lainnya.Yang ditanya oleh Tari tidak ada yang jawab. Mereka menunggu aba-aba dari Pram yang memberikan usul untuk membongkar ini semua.Tiba-tiba Tari teringat saat dia bertemu dengan Dimas di rumah Pram. Dia memicingkan matanya ke arah Ronald."Apa kamu sudah tahu kondisi papamu seperti ini?" tanya Tari.Ronald mengangguk. Kemudian dia menunduk."Jadi jawabannya kalian itu membohongiku?" tanya Tari.Ini yang ditakutkan oleh Dimas. Dia takut dituduh memanfa
Tari sempat berhenti, dia membuka kaca mobilnya, pandangannya tertuju pada Dimas."Dimas, kamu udah akur dengan Ronald?" tanya Tari tidak berprasangka apa-apa."Iya, alhamdulilah, aku pamit dulu," jawab Dimas datar yang kemudian disusul oleh Ronald melambaikan tangannya. Kemudian mereka bergegas pergi.Pram dan Inggit benar-benar terkejut melihatnya. Safitri juga yang tadinya hendak berangkat ke kantor polisi ikut tercenung sebentar.Kemudian, Tari turun dari mobilnya. Dia masih belum engeh dengan penglihatan Dimas."Kok kalian nggak bilang kalau Dimas di sini?" tanya Tari."Nggak enak, kamu sangat membenci dia," jawab Tari ngasal.Tari mengerutkan keningnya."Sejak kapan aku membenci orang? Nggak ah, kamu ngada-ngada," jawab Tari.Jantung mereka itu berdetak tak beraturan. Saat pertanyaan mengenai Dimas dilontarkan oleh Tari."Katanya mau ke sini sore, tiba-tiba datang pagi, kamu sengaja ngerjain kami?" tanya Safitri."Nggak kok, tadi abis dari makam, langsung aja deh ke sini," timpa
Perlahan mata Tari dibuka, awalnya dia agak samar-samar melihat ruangan yang ditempati. Namun perlahan, matanya melihat jelas dokter yang ada di dekatnya."Masyaallah," ucap Tari merasa terharu dengan kondisinya saat ini."Kamu udah benar-benar melihat?" tanya Safitri.Tanpa basa-basi lagi Tari langsung menyergap tubuh Safitri."Ya Allah. Alhamdulillah aku bisa melihat lagi, ini suatu keajaiban, terima kasih Tuhan, terima kasih Dokter, Safitri, aku juga mengucapkan terima kasih pada kamu dari keluarga," ungkap Tari membuat suasana menjadi haru. Air matanya pun mulai menetes membasahi pipi."Selamat ya, Bu Tari." Ucapan dokter mengingatkan Tari untuk menanyakan siapa yang telah mendonorkan matanya."Dok, maaf, saya harus tahu siapa yang mendonorkan mata untuk saya," ucap Tari.Dokter diam seketika. Safitri juga seperti itu, dia menatap dokter yang tengah terkejut dengan pertanyaan dari Tari."Hm, Tari, tim dokter rumah sakit hanya menjalankan tugasnya, kalau kamu ingin tahu siapa orang
Pram datang, dia tercengang ketika melihat sang istri tengah berada di hadapan Dimas.Inggit pun langsung menghampiri Pram yang baru saja datang."Aku akan jelaskan," ucap Inggit.Dengan sabar Pram pun mendengar penjelasan sang istri dari awal hingga akhir. Pram yang tadinya marah, kini dia mulai terharu dibuatnya. Mereka ikut menghampiri Dimas. Sekarang Pram sudah ada di hadapannya."Selalu ada hikmah di setiap kejadian. Tapi aku sangat salut dengan pengorbanan kamu untuk Tari," tutur Pram.Semua orang memuji kebaikan Dimas yang luar biasa. "Aku sendiri belum tentu bisa seperti kamu, Dimas," tambah Pram."Demi semuanya, aku ingin menebus semua kesalahanku yang telah banyak merugikan orang lain," ucap Dimas."Padahal kamu nggak melakukan kejahatan yang merugikan Tari dalam kecelakaan itu," timpal Pram."Tapi anakku masih menginginkan Dion bisa bebas dari hukuman, minimal dikurangi," jawab Dion lagi-lagi berhasil membuat air mata Ronald meleleh.Semua sudah dipikirkan secara matang-m
Bersyukur operasi berjalan dengan lancar. Suster pun keluar dan bilang pada Inggit dan Safitri bahwa dokter mengusulkan tetap di ruangan observasi tapi dihalangi dengan tirai.Kenapa mereka khawatir Tari tahu? Karena biasanya pasca bius sudah hilang, rasa nyeri akan terasa, di situlah suara Dimas akan terdengar di telinga Tari, ini yang dikhawatirkan oleh Inggit dan Safitri.Safitri dan Inggit masih menunggu mereka yang ada di ruangan observasi selama satu jam."Sus, usahakan jangan dibarengi mengeluarkan keduanya," pesan Inggit."Baik, Ibu," jawab suster.Kemudian mereka bersabar menunggu Tari keluar dari ruangan observasi. Keduanya menunggu dengan sukarela. Setelah satu jam berlalu, yang lebih dulu sadar itu Tari. Suster buru-buru memindahkan dirinya ke ruangan rawat inap atas izin dokter.Safitri dan Tari mengekor dari belakang ke arah ruangan rawat inap tempat Tari menjalani perawatan."Akhirnya kamu akan bisa melihat dunia, kapan kata dokter buka perban?" tanya Safitri ketika su