"Titip Jingga ya, saya mau beli kado buat dia." Aku langsung menurunkan bahu, sebab gaya bicaranya seperti orang berada dalam kondisi terhimpit. Namun ternyata tidak terjadi sesuatu.Aku keluar sebentar supaya Jingga tidak dengar lagi obrolan kami. Aku menutup pintu kamarnya rapat-rapat, sebab pasti Pak Pram juga ingin beri kejutan untuk anaknya besok."Emang Pak Pram mau ngadoin apa? Terus tadi kenapa suaranya tersengal-sengal, bikin cemas aja," celetukku.Pak Pram terdengar menertawakanku. "Kamu mencemaskan saya ya?" tanyanya."Pak, kalau ditanya jangan balik tanya, tadi suara Pak Pram itu kan kayak orang panik, itu kenapa bisa gitu?" cecarku."Saya sengaja melakukan itu, pengen tahu aja respon kamu seperti apa," jawab Pak Pram."Hm, gitu ya, Pak. Tapi bercandanya nggak lucu, bikin orang lain jantungan tahu nggak?" Aku sengaja sedikit berani padanya."Kan kamu bukan orang lain, kamu itu calon istri saya. Jangan bilang kemarin lagi ya," pesan Pak Pram. "Orang tua saya nggak bisa ke J
Akhirnya aku mematikan sambungan teleponnya. Kemudian, aku kantongi lagi handphone milikku.Berselang kemudian, Pak Pram datang. Dia bicara denganku mengenai ulang tahun anaknya."Sebenarnya tadi aku pesan tempat untuk kita merayakan ulang tahun Jingga, tapi nggak tahu kamu suka atau tidak," ucap Pak Pram."Aku ikut aja Pak, yang terbaik untuk Jingga," jawabku agak sedikit murung, sebab mood ku hancur karena Mas Dimas."Kamu aneh hari ini, sepertinya ada yang kamu simpan, mau cerita nggak?" Pak Pram menebaknya, dan aku langsung menoleh ke arah laki-laki mapan yang sebenarnya tidak pantas denganku yang miskin."Nggak apa-apa Pak, hanya masalah harta gono gini aja, biasalah Mas Dimas serakah," jawabku."Sudah kuduga seperti itu ujungnya, karena orang seperti Dimas memang tujuannya hanya harta belaka," timpal Pak Pram."Ya udah saya Pak. Kasihan Ibu nungguin, mumpung malam ini nggak ada kelas, jadi bisa ketemu ibu sebelum dia tidur," tuturku pamit."Kalau kamu capek untuk kuliah berhenti
"Baik, terima kasih informasinya, Pak," jawab Mas Pram. Ya, aku harus mulai membiasakan diri memanggil dengan sebutan Mas.Aku langsung mengejar Mas Pram untuk bercerita siapa yang menghubunginya barusan. Ternyata pihak kepolisian, katanya sekretaris Mas Pram kecelakaan. Polisi menghubunginya karena di ponselnya ada kontak Mas Pram, keluarganya tidak ada yang bisa dihubungi."Kamu mau ke rumah sakit Mas?" tanyaku. "Maksudku sekretaris itu kan wanita, sepertinya tidak bagus kalau kamu yang datang ke sana sendirian, aku ikut ya," tambahku. Bukan aku cemburu tapi lebih takut calon suamiku terkena fitnah."Aku nggak ke rumah sakit kok, justru mau menugaskan sopir untuk ke rumahnya Dinda, aku mau memerintahkan sopir memberitahukan informasi ini, sebab pihak yang berwajib sudah memberi pesan tersebut," jawab Mas Pram.Aku bernapas lega, karena dua hal, satu bukan berita buruk yang berasal dari keluarganya, dan kedua karena Mas Pram tidak ke rumah sakit untuk menjadi penolong Dinda."Kalau b
Aku beritahukan pada Safitri bahwa Mas Dimas yang kini menjadi suaminya itu hanya ingin menguras hartanya saja. Aku berikan bukti yang pernah aku rekam tempo dulu saat Pak Adam mengalami sakit hingga koma."Ternyata benar apa kata papaku, Mas Dimas punya misi tersendiri," ucap Safitri. "Tapi aku sudah terlanjur menikah dengannya, bahkan aku Tengah mengandung anak Mas Dimas," tambah Safitri.Aku terkejut mendengarnya. Ternyata Safitri saat ini tengah berbadan dua. Itu artinya Mas Dimas tidak mandul, dan apakah itu berarti aku yang mandi? Sungguh pernyataan Safitri membuatku minder terhadap calon suamiku. "Inggit, saya sangat berterima kasih pada kamu, maafkan saya yang pernah menghina kamu. Sekarang lebih baik kamu kembali ke tempat Pram, nanti Mas Dimas dan Mama Dewi curiga." Sekarang Safitri berpihak padaku. Justru dia meminta maaf atas perbuatannya yang pernah ikut mencaci-makiku saat itu."Sama-sama. Aku hanya prihatin sebagai seorang wanita, aku hanya memposisikan diri kalau bera
Aku terkesiap mendengarnya. Begitu juga dengan Mas Pram, namun tidak dengan Mas Dimas, dia langsung membantah ucapan Safitri."Hei, kamu nggak lagi mimpi kan? Tadi sudah meminta bukti hingga aku harus membersihkan aula sebesar ini. Jangan buatku naik pitam, kesabaran laki-laki itu ada batasnya," cetus Mas Dimas.Mas Pram menarik pergelangan tanganku. Dia tidak menyukai aku jadi sorotan para tamu yang hadir di acara resepsi pernikahan Mas Dimas dan Safitri."Kita pulang, malu disorot seperti ini," ajak Mas Pram."Iya, Mas." Tanpa membantah aku ikuti perintah calon suamiku itu. Namun, ketika kaki ini melangkah, mantan mertuaku berteriak keras."Ini pasti hasutan Inggit, dia selalu aja iri dengan kebahagiaan Dimas, Inggit masih menginginkan Dimas jatuh ke pelukannya, makanya membuat hubungan kalian jadi retak!" Aku menoleh sambil menelan ludah. Ada lagi ulahnya, aku yang menjadi sasaran empuk di hadapan umum lagi."Mama nggak usah bawa-bawa Inggit, Mas Dimas yang harus minta maaf, terse
"Pak, cepat ya. Kita harus buru-buru bawa Jingga ke rumah sakit." Mas Pram begitu panik ketika mendengar anak semata wayangnya ternyata kembali menurun kondisinya.Aku berusaha menenangkannya, di mana saat aku emosi pun Mas Pram yang berusaha membuatku tenang.Aku berinisiatif menghubungi Ibu, supaya membantu bibi untuk menemani Jingga. Khawatir terjadi sesuatu bibi panik dan akhirnya tidak bisa menjaga Jingga dengan baik.Setelah menghubungi Ibu, dan ibuku setuju untuk ke rumah Mas Pram dengan menggunakan ojek. "Aku sudah menyuruh ibu untuk ke rumah, jadi nggak perlu panik, kita doakan Jingga yang terbaik aja," ucapku."Terima kasih, Inggit, kamu sudah menganggap anakku seperti anak kandungmu sendiri." Mas Pram menumpuk jari jemarinya di atas telapak tangan.Sepanjang perjalanan aku lihat kekalutan yang terpancar di mata Mas Pram, dia lebih banyak diam sambil menggigit jari. Beberapa kali calon Suamiku itu terlihat gusar dan sangat cemas pada Jingga."Yakin kalau penyakit itu dari A
Jingga semakin banyak muntahnya, nyaris semua makanan yang masuk ke perut ia keluarkan. Aku dan Mas Pram sudah sangat panik. Namun, ibuku mengatakan hal yang tak terduga."Tadi kata Bibi, Jingga kondisinya ngedrop karena buang airnya mencret. Lalu disusul muntah, Ibu tanyain Jingga abis makan apa? Ternyata dia habis makan roti yang ada di meja itu," ungkap Ibu."Roti? Siapa yang beli?" tanya Mas Pram."Kata satpam, tadi ada ojek online bilang itu roti dari Bu Inggit," jawab Bibi.Aku terkejut mendengarnya, sebab aku tidak mengirimkan apa-apa."Makanya Ibu langsung beliin air kelapa, sudah diminum oleh Jingga, dan akhirnya dikeluarkan semua isinya, kemungkinan di roti itu ada racunnya," tutur Ibu.Deg!Dadaku bergetar hebat, Ibu bilang racun? Sementara roti yang tadi disebutkan katanya roti dariku. Ini jelas fitnah, aku harus menjelaskannya pada Mas Pram."Jadi Jingga keluarkan semua isi makanan karena sudah minum air kelapa? Ya udah sekarang saya bawa ke rumah sakit dulu. Terima kasih
Kemudian, dengan cepat aku membalas pesannya.[Anda siapa? Ini intimidasi atau hanya nakutin?]Lama aku menunggu balasan darinya, namun tak kunjung juga ia membalasnya.Aku coba menghubunginya, tapi orang yang mengirim pesan tersebut tidak mengangkat panggilan dariku. Hingga akhirnya Mas Pram muncul dari arah kasir.Aku segera menghampirinya sambil mengantongi ponsel, sebab aku harus terus menjelaskan bahwa aku tidak tahu menahu masalah roti tersebut."Mas, udah diurus?" tanyaku."Udah, kamu pulang aja gih, biar aku aja yang nungguin Jingga, kamu sama Bu Anis pulang aja ke rumah," ketusnya.Astaga, Mas Pram benar-benar marah padaku. Dia tidak percaya dengan ucapanku. Penjelasan yang tadi aku jabarkan rasanya percuma, sebab aku tidak memiliki bukti untuk membantah tuduhan itu.Aku menggigit bibir sambil menatapnya nanar, jari jemariku mulai meraih pergelangan tangannya. Namun Mas Pram menolak bahkan menepis genggaman tanganku."Lebih baik kamu pulang, aku ingin fokus pada Jingga. Perni