Aku beritahukan pada Safitri bahwa Mas Dimas yang kini menjadi suaminya itu hanya ingin menguras hartanya saja. Aku berikan bukti yang pernah aku rekam tempo dulu saat Pak Adam mengalami sakit hingga koma."Ternyata benar apa kata papaku, Mas Dimas punya misi tersendiri," ucap Safitri. "Tapi aku sudah terlanjur menikah dengannya, bahkan aku Tengah mengandung anak Mas Dimas," tambah Safitri.Aku terkejut mendengarnya. Ternyata Safitri saat ini tengah berbadan dua. Itu artinya Mas Dimas tidak mandul, dan apakah itu berarti aku yang mandi? Sungguh pernyataan Safitri membuatku minder terhadap calon suamiku. "Inggit, saya sangat berterima kasih pada kamu, maafkan saya yang pernah menghina kamu. Sekarang lebih baik kamu kembali ke tempat Pram, nanti Mas Dimas dan Mama Dewi curiga." Sekarang Safitri berpihak padaku. Justru dia meminta maaf atas perbuatannya yang pernah ikut mencaci-makiku saat itu."Sama-sama. Aku hanya prihatin sebagai seorang wanita, aku hanya memposisikan diri kalau bera
Aku terkesiap mendengarnya. Begitu juga dengan Mas Pram, namun tidak dengan Mas Dimas, dia langsung membantah ucapan Safitri."Hei, kamu nggak lagi mimpi kan? Tadi sudah meminta bukti hingga aku harus membersihkan aula sebesar ini. Jangan buatku naik pitam, kesabaran laki-laki itu ada batasnya," cetus Mas Dimas.Mas Pram menarik pergelangan tanganku. Dia tidak menyukai aku jadi sorotan para tamu yang hadir di acara resepsi pernikahan Mas Dimas dan Safitri."Kita pulang, malu disorot seperti ini," ajak Mas Pram."Iya, Mas." Tanpa membantah aku ikuti perintah calon suamiku itu. Namun, ketika kaki ini melangkah, mantan mertuaku berteriak keras."Ini pasti hasutan Inggit, dia selalu aja iri dengan kebahagiaan Dimas, Inggit masih menginginkan Dimas jatuh ke pelukannya, makanya membuat hubungan kalian jadi retak!" Aku menoleh sambil menelan ludah. Ada lagi ulahnya, aku yang menjadi sasaran empuk di hadapan umum lagi."Mama nggak usah bawa-bawa Inggit, Mas Dimas yang harus minta maaf, terse
"Pak, cepat ya. Kita harus buru-buru bawa Jingga ke rumah sakit." Mas Pram begitu panik ketika mendengar anak semata wayangnya ternyata kembali menurun kondisinya.Aku berusaha menenangkannya, di mana saat aku emosi pun Mas Pram yang berusaha membuatku tenang.Aku berinisiatif menghubungi Ibu, supaya membantu bibi untuk menemani Jingga. Khawatir terjadi sesuatu bibi panik dan akhirnya tidak bisa menjaga Jingga dengan baik.Setelah menghubungi Ibu, dan ibuku setuju untuk ke rumah Mas Pram dengan menggunakan ojek. "Aku sudah menyuruh ibu untuk ke rumah, jadi nggak perlu panik, kita doakan Jingga yang terbaik aja," ucapku."Terima kasih, Inggit, kamu sudah menganggap anakku seperti anak kandungmu sendiri." Mas Pram menumpuk jari jemarinya di atas telapak tangan.Sepanjang perjalanan aku lihat kekalutan yang terpancar di mata Mas Pram, dia lebih banyak diam sambil menggigit jari. Beberapa kali calon Suamiku itu terlihat gusar dan sangat cemas pada Jingga."Yakin kalau penyakit itu dari A
Jingga semakin banyak muntahnya, nyaris semua makanan yang masuk ke perut ia keluarkan. Aku dan Mas Pram sudah sangat panik. Namun, ibuku mengatakan hal yang tak terduga."Tadi kata Bibi, Jingga kondisinya ngedrop karena buang airnya mencret. Lalu disusul muntah, Ibu tanyain Jingga abis makan apa? Ternyata dia habis makan roti yang ada di meja itu," ungkap Ibu."Roti? Siapa yang beli?" tanya Mas Pram."Kata satpam, tadi ada ojek online bilang itu roti dari Bu Inggit," jawab Bibi.Aku terkejut mendengarnya, sebab aku tidak mengirimkan apa-apa."Makanya Ibu langsung beliin air kelapa, sudah diminum oleh Jingga, dan akhirnya dikeluarkan semua isinya, kemungkinan di roti itu ada racunnya," tutur Ibu.Deg!Dadaku bergetar hebat, Ibu bilang racun? Sementara roti yang tadi disebutkan katanya roti dariku. Ini jelas fitnah, aku harus menjelaskannya pada Mas Pram."Jadi Jingga keluarkan semua isi makanan karena sudah minum air kelapa? Ya udah sekarang saya bawa ke rumah sakit dulu. Terima kasih
Kemudian, dengan cepat aku membalas pesannya.[Anda siapa? Ini intimidasi atau hanya nakutin?]Lama aku menunggu balasan darinya, namun tak kunjung juga ia membalasnya.Aku coba menghubunginya, tapi orang yang mengirim pesan tersebut tidak mengangkat panggilan dariku. Hingga akhirnya Mas Pram muncul dari arah kasir.Aku segera menghampirinya sambil mengantongi ponsel, sebab aku harus terus menjelaskan bahwa aku tidak tahu menahu masalah roti tersebut."Mas, udah diurus?" tanyaku."Udah, kamu pulang aja gih, biar aku aja yang nungguin Jingga, kamu sama Bu Anis pulang aja ke rumah," ketusnya.Astaga, Mas Pram benar-benar marah padaku. Dia tidak percaya dengan ucapanku. Penjelasan yang tadi aku jabarkan rasanya percuma, sebab aku tidak memiliki bukti untuk membantah tuduhan itu.Aku menggigit bibir sambil menatapnya nanar, jari jemariku mulai meraih pergelangan tangannya. Namun Mas Pram menolak bahkan menepis genggaman tanganku."Lebih baik kamu pulang, aku ingin fokus pada Jingga. Perni
"Tante di sini aja, bareng aku," rengek Jingga.Namun, belum sempat aku menjawab, Mas Pram menarik paksa pergelangan tangan ini. Aku ditariknya keluar, dan sampai di depan pintu ya langsung melepaskan genggaman itu begitu saja."Jangan muncul lagi, untuk sementara kamu tidak diperkenankan untuk menemui Jingga, aku nggak mau terjadi sesuatu lagi padanya," ungkap Mas Pram.Aku terdiam, dada ini sakit mendengar. Mas Pram tidak percaya denganku, itu artinya memang kami tidak berjodoh. Sebab kalau dia sayang padaku, tidak mungkin memperlakukan calon istrinya seperti ini. Terlebih belum ada bukti akurat bahwa kue itu benar-benar dariku."Aku akan buktikan bahwa kue itu bukan dari aku, itu roti atau kue, aku aja nggak tahu namanya, Mas.""Inggit, aku cuma minta waktu untuk berdua dengan Jingga, entah kenapa hatiku lagi tidak ingin diganggu denganmu," jawab Mas Pram.Jadi aku ini pengganggu hidupnya, Mas Pram merasa terganggu dengan kehadiranku."Hanya karena obat pencuci perut yang bukan aku
Kemudian sambungan telepon pun terputus. Sementara aku hanya bisa menghela napas sambil mengantongi ponselku kembali.Kesal sudah pasti, sebab tiba-tiba ada yang mencaci, terlebih orang yang mencaci makiku tidak dikenal sama sekali. Dia melontarkan kata-kata kasar di balik telepon, sungguh wanita itu sangat pengecut sekali.Aku coba untuk tidak memikirkan wanita itu. Gagahnya aku melangkahkan kaki ke arah toko kue yang akan membuka kedok siapa wanita yang telah memfitnahku.Langkah kaki ini tak gentar, aku harus memperjuangkan Mas Pram, terutama harus membuka dalang siapa orang yang beraninya memberikan obat pencuci perut pada Jingga.Setelah beberapa waktu kemudian. Aku pun tiba di lokasi. Suasana toko ramai, jadi aku harus menunggu sepi pembeli dulu.Beberapa menit aku menunggu toko agak lebih sepi, akhirnya berkesempatan untuk bertanya pada kasirnya juga.Aku coba memberanikan diri menanyakan hal yang sebenarnya menjadi rahasia toko."Mbak, maaf ganggu. Kalau boleh tahu, beberapa j
"Astaga, ponselku___" Aku menggantungkan kalimat karena orang yang menabrakku tadi kini malah menginjak ponsel genggamku.Dia tersenyum bahagia ketika melihat wajah terkejut terpancar di mataku ini. Helaan napas pun aku hembuskan ketika lelaki yang menginjak ponselku itu membuka topinya. Ternyata Mas Dimas, dia di rumah sakit ini juga? "Mas, kenapa injak handphone ku?" tanyaku padanya."Aku kesal, karena ulahmu saat di resepsi pernikahanku, kini Mama terkena stroke," jawab Mas Dimas.Aku menautkan kedua alis ini. Lalu menatapnya sambil memiringkan kepala."Mama Dewi stroke kenapa aku yang kamu salahkan?" tanyaku balik."Ya, gara-gara kamu, Safitri tahu semua rencanaku, dia jadi seenaknya memperlakukan mamaku seperti seorang pembantu, ditambah aku juga jadi ketahuan telah berusaha membunuh Pak Adam, itu semua ulahmu, Inggit!" Mas Dimas berteriak, dia bahkan menggoyangkan tubuhku ini.Aku benar-benar tidak tahu maksudnya Mas Dimas itu apa? Kenapa dia menyalahkan aku? Kenapa pria yang p