Kemudian sambungan telepon pun terputus. Sementara aku hanya bisa menghela napas sambil mengantongi ponselku kembali.Kesal sudah pasti, sebab tiba-tiba ada yang mencaci, terlebih orang yang mencaci makiku tidak dikenal sama sekali. Dia melontarkan kata-kata kasar di balik telepon, sungguh wanita itu sangat pengecut sekali.Aku coba untuk tidak memikirkan wanita itu. Gagahnya aku melangkahkan kaki ke arah toko kue yang akan membuka kedok siapa wanita yang telah memfitnahku.Langkah kaki ini tak gentar, aku harus memperjuangkan Mas Pram, terutama harus membuka dalang siapa orang yang beraninya memberikan obat pencuci perut pada Jingga.Setelah beberapa waktu kemudian. Aku pun tiba di lokasi. Suasana toko ramai, jadi aku harus menunggu sepi pembeli dulu.Beberapa menit aku menunggu toko agak lebih sepi, akhirnya berkesempatan untuk bertanya pada kasirnya juga.Aku coba memberanikan diri menanyakan hal yang sebenarnya menjadi rahasia toko."Mbak, maaf ganggu. Kalau boleh tahu, beberapa j
"Astaga, ponselku___" Aku menggantungkan kalimat karena orang yang menabrakku tadi kini malah menginjak ponsel genggamku.Dia tersenyum bahagia ketika melihat wajah terkejut terpancar di mataku ini. Helaan napas pun aku hembuskan ketika lelaki yang menginjak ponselku itu membuka topinya. Ternyata Mas Dimas, dia di rumah sakit ini juga? "Mas, kenapa injak handphone ku?" tanyaku padanya."Aku kesal, karena ulahmu saat di resepsi pernikahanku, kini Mama terkena stroke," jawab Mas Dimas.Aku menautkan kedua alis ini. Lalu menatapnya sambil memiringkan kepala."Mama Dewi stroke kenapa aku yang kamu salahkan?" tanyaku balik."Ya, gara-gara kamu, Safitri tahu semua rencanaku, dia jadi seenaknya memperlakukan mamaku seperti seorang pembantu, ditambah aku juga jadi ketahuan telah berusaha membunuh Pak Adam, itu semua ulahmu, Inggit!" Mas Dimas berteriak, dia bahkan menggoyangkan tubuhku ini.Aku benar-benar tidak tahu maksudnya Mas Dimas itu apa? Kenapa dia menyalahkan aku? Kenapa pria yang p
"Maksudnya kamu dan ibumu pamit gimana?" tanya Mas Pram."Aku putuskan untuk kembali hidup di kampung halaman, aku ingin ajak Ibu untuk pulang ke Karawang, sepertinya aku memang harus bangun dari mimpi," jawabku.Rengekan Jingga terus aku dengar, bahkan dia menarik bajuku seakan memaksa untuk tetap berada di ruangan tempat ia istirahat."Nggak seperti itu juga, Inggit, aku hanya perlu waktu," jawab Mas Pram."Ya, untuk sementara waktu, aku kembali ke kampung halaman," timpalku.Lalu tangan ini membelai pipi Jingga, kemudian pamit pada anak kecil yang berhasil menyatukan aku dan papanya. Namun, masuknya Jingga ke rumah sakit pun telah membuat hubungan kami pecah seketika. Bukan salah siapa-siapa, dia hanya korban dari orang yang tidak bertanggung jawab memfitnah lalu pergi begitu saja, entah siapa orangnya, tapi aku sudah mulai curiga pada Mas Dimas."Kamu ini anak pintar, Tante pamit dulu ya, Jingga makan yang banyak biar cepat sembuh," pesanku sambil mengecup kening bocah pemersatu a
Aku ingin tidak meladeninya, tapi jariku gatal untuk mengetik pesan untuk orang yang mengajakku perang.[Kamu siapa sih? Mas Dimas ya? Belum cukup dan puas dengan perceraian kita?]Aku kirimkan pesan tersebut untuknya, berharap orang itu benar Mas Dimas supaya aku tidak salah menduga.[Penasaran ya? Tunggu tanggal mainnya, kalau kamu meninggalkan Pram, aku akan tunjukkan wujud asliku.]Aku menelan ludah, rasanya enggan menimpali dia lagi. Aku hanya membuang waktu saja untuk mengurusi hal seperti ini. Orang itu tetap tidak akan berani membuka jati dirinya, dia hanya pengecut.Tiba-tiba saja aku teringat, tadi ponselku mati ketika ingin menyerahkan bukti rekaman pada Mas Pram, sekarang tiba-tiba saja di rumah baik-baik saja. Ponselku hidup kembali tanpa aku perbaiki sama sekali."Apa mungkin memang aku tidak jodoh ya? Sampai-sampai bukti saja Allah tidak izinkan untuk diberikan pada Mas Pram? Tadi handphoneku tuh mati Bu, kenapa sekarang hidup ya?" Aku bertanya sendiri tapi menghadap ke
Bab 53Aku melangkah buru-buru, bahkan nyaris tersandung kaki ibu karena saking penasarannya dengan siapa yang bertamu pagi-pagi.Setelah aku berada di belakang pintu. Dengan cepat aku membukanya lebar-lebar. Handle pintu masih dalam genggamanku. Saat itu juga mataku terbelalak melihat kedatangan Mas Pram.Aku yang berdiri di hadapannya kini melongo bahkan nyaris tak berkedip.."Assalamualaikum."Keterkejutanku bertambah ketika dia melontarkan kata-kata duluan."Waalaikumsalam," jawabku sedikit gugup."Boleh aku masuk?" tanyanya. Aku terkesiap mendengarnya. Dia memintaku untuk mempersilakan masuk. Dengan cepat aku langsung menyingkir dari ambang pintu. Lalu mempersilakannya masuk ke dalam dan duduk.Aku hampir tidak percaya dengan kedatangannya. Tiba-tiba saja dia hadir di rumah ini tanpa konfirmasi lagi padaku."Handphonenya udah bisa lagi?" tanyanya langsung to the point."U-udah, Mas. Sebentar aku ambil handphonenya ya," jawabku.Namun ketika aku berdiri, tangannya mencekal pergel
Aku bimbang sekarang apa harus menghubunginya balik. Nomornya memang nomor baru, bukan seperti yang mengancamku untuk meninggalkan Mas Pram."Nggak usah telepon balik, kalau dia butuh pasti telepon ulang sampai kamu yang angkat," ucap Mas Pram kelihatannya tahu keraguanku.Aku menyunggingkan senyuman. Kemudian mengusap layar ponsel tersebut. Bukan untuk menghubungi dia, tapi hendak memberikan informasi pada Mas Pram bagaimana cara orang itu mengancamku."Lihatlah, Mas. Baca pesan ini, ada yang menyuruhku untuk meninggalkan kamu," ucapku sambil menunjuk ke arah layar ponsel.Mas Pram tampak tengah membaca dan menelitinya. Dia meraih ponsel yang aku genggam, lalu menyorot dengan pandangan penuh.Kemudian, tangannya menekan tombol telepon di handphonenya, lalu menyamakan nomor tadi pada kontak semua yang ada pada buku telepon."Nggak ada di sini, bukan orang yang aku kenal, atau orang itu sengaja menyamar?" Aku membasahi bibir kemudian fokus menatapnya."Kalau dia pakai nomor yang kamu s
"Safitri memintaku untuk memberikan suaminya pilihan, dia tidak ingin Dimas di penjara karena tidak mau anaknya kelak dijadikan bahan bullying orang, kamu paham, kan?" tanya Mas Pram.Aku menganggukan kepala, sebab paham betul posisi Safitri saat ini, dia serba salah, aku yakin dia tidak akan mempertahankan rumah tangganya lama-lama, firasat ku mengatakan Safitri hanya butuh Mas Dimas saat hamil saja."Safitri nggak beneran cinta sama Mas Dimas kan? Aku kasihan aja kalau sampai bucin pada laki-laki seperti itu, jangan sampai ada Inggit kedua," balasku."Sepertinya dia hanya menunggu anaknya lahir," jawab Mas Pram.Aku tahu Safitri itu anak orang kaya, jadi tidak mungkin sebodoh aku dulu, aku akui selama 5 tahun lalu aku ini wanita bodoh. Ketidaktahuan dan kepasrahanku terhadap takdir membuat Mas Dimas seenaknya menginjak-nginjak harga diriku.Namun, tidak dengan saat ini, aku sudah membuka mata dan mencoba menjadi pribadi yang kuat dan berani dalam mempertahankan hak. Intinya aku suda
Setelah kami masuk, kami berdua dipersilakan duduk dan disuguhkan minuman beserta cemilan. Safitri memperlakukan kami dengan spesial, seperti yang disebutkan Mama Dewi tadi, perlakuan Safitri membuatku terkagum-kagum. Ternyata manusia itu bisa berubah dengan cepat, tentu atas izin Allah yang telah membolak-balikkan hati manusia.Mas Dimas ditinggalkan oleh Safitri begitu saja, justru kami yang diistimewakan olehnya. Bahkan Mas Dimas dan mamanya tidak dipersilakan duduk oleh Safitri. Dia masih berdiri tegak di hadapan kami yang sudah terduduk."Kamu nggak nyuruh aku duduk?" Mas Dimas mengeluhkan sikap Safitri."Nggak perlu, bukankah kamu merasa ini adalah rumahmu juga," jawab Safitri dengan ketusnya."Oh Mama paham sekarang, mungkin bawaan bayi Safitri seperti ini, ada sebagian ibu hamil agak sensitif pada orang tertentu, sepertinya Safitri ini lagi sebel sama mama dan Dimas, ya Mama memakluminya kok," ungkap Mama Dewi.Dia begitu menutupi malunya di hadapanku. Mama Dewi duduk di sebel