Aku ingin tidak meladeninya, tapi jariku gatal untuk mengetik pesan untuk orang yang mengajakku perang.[Kamu siapa sih? Mas Dimas ya? Belum cukup dan puas dengan perceraian kita?]Aku kirimkan pesan tersebut untuknya, berharap orang itu benar Mas Dimas supaya aku tidak salah menduga.[Penasaran ya? Tunggu tanggal mainnya, kalau kamu meninggalkan Pram, aku akan tunjukkan wujud asliku.]Aku menelan ludah, rasanya enggan menimpali dia lagi. Aku hanya membuang waktu saja untuk mengurusi hal seperti ini. Orang itu tetap tidak akan berani membuka jati dirinya, dia hanya pengecut.Tiba-tiba saja aku teringat, tadi ponselku mati ketika ingin menyerahkan bukti rekaman pada Mas Pram, sekarang tiba-tiba saja di rumah baik-baik saja. Ponselku hidup kembali tanpa aku perbaiki sama sekali."Apa mungkin memang aku tidak jodoh ya? Sampai-sampai bukti saja Allah tidak izinkan untuk diberikan pada Mas Pram? Tadi handphoneku tuh mati Bu, kenapa sekarang hidup ya?" Aku bertanya sendiri tapi menghadap ke
Bab 53Aku melangkah buru-buru, bahkan nyaris tersandung kaki ibu karena saking penasarannya dengan siapa yang bertamu pagi-pagi.Setelah aku berada di belakang pintu. Dengan cepat aku membukanya lebar-lebar. Handle pintu masih dalam genggamanku. Saat itu juga mataku terbelalak melihat kedatangan Mas Pram.Aku yang berdiri di hadapannya kini melongo bahkan nyaris tak berkedip.."Assalamualaikum."Keterkejutanku bertambah ketika dia melontarkan kata-kata duluan."Waalaikumsalam," jawabku sedikit gugup."Boleh aku masuk?" tanyanya. Aku terkesiap mendengarnya. Dia memintaku untuk mempersilakan masuk. Dengan cepat aku langsung menyingkir dari ambang pintu. Lalu mempersilakannya masuk ke dalam dan duduk.Aku hampir tidak percaya dengan kedatangannya. Tiba-tiba saja dia hadir di rumah ini tanpa konfirmasi lagi padaku."Handphonenya udah bisa lagi?" tanyanya langsung to the point."U-udah, Mas. Sebentar aku ambil handphonenya ya," jawabku.Namun ketika aku berdiri, tangannya mencekal pergel
Aku bimbang sekarang apa harus menghubunginya balik. Nomornya memang nomor baru, bukan seperti yang mengancamku untuk meninggalkan Mas Pram."Nggak usah telepon balik, kalau dia butuh pasti telepon ulang sampai kamu yang angkat," ucap Mas Pram kelihatannya tahu keraguanku.Aku menyunggingkan senyuman. Kemudian mengusap layar ponsel tersebut. Bukan untuk menghubungi dia, tapi hendak memberikan informasi pada Mas Pram bagaimana cara orang itu mengancamku."Lihatlah, Mas. Baca pesan ini, ada yang menyuruhku untuk meninggalkan kamu," ucapku sambil menunjuk ke arah layar ponsel.Mas Pram tampak tengah membaca dan menelitinya. Dia meraih ponsel yang aku genggam, lalu menyorot dengan pandangan penuh.Kemudian, tangannya menekan tombol telepon di handphonenya, lalu menyamakan nomor tadi pada kontak semua yang ada pada buku telepon."Nggak ada di sini, bukan orang yang aku kenal, atau orang itu sengaja menyamar?" Aku membasahi bibir kemudian fokus menatapnya."Kalau dia pakai nomor yang kamu s
"Safitri memintaku untuk memberikan suaminya pilihan, dia tidak ingin Dimas di penjara karena tidak mau anaknya kelak dijadikan bahan bullying orang, kamu paham, kan?" tanya Mas Pram.Aku menganggukan kepala, sebab paham betul posisi Safitri saat ini, dia serba salah, aku yakin dia tidak akan mempertahankan rumah tangganya lama-lama, firasat ku mengatakan Safitri hanya butuh Mas Dimas saat hamil saja."Safitri nggak beneran cinta sama Mas Dimas kan? Aku kasihan aja kalau sampai bucin pada laki-laki seperti itu, jangan sampai ada Inggit kedua," balasku."Sepertinya dia hanya menunggu anaknya lahir," jawab Mas Pram.Aku tahu Safitri itu anak orang kaya, jadi tidak mungkin sebodoh aku dulu, aku akui selama 5 tahun lalu aku ini wanita bodoh. Ketidaktahuan dan kepasrahanku terhadap takdir membuat Mas Dimas seenaknya menginjak-nginjak harga diriku.Namun, tidak dengan saat ini, aku sudah membuka mata dan mencoba menjadi pribadi yang kuat dan berani dalam mempertahankan hak. Intinya aku suda
Setelah kami masuk, kami berdua dipersilakan duduk dan disuguhkan minuman beserta cemilan. Safitri memperlakukan kami dengan spesial, seperti yang disebutkan Mama Dewi tadi, perlakuan Safitri membuatku terkagum-kagum. Ternyata manusia itu bisa berubah dengan cepat, tentu atas izin Allah yang telah membolak-balikkan hati manusia.Mas Dimas ditinggalkan oleh Safitri begitu saja, justru kami yang diistimewakan olehnya. Bahkan Mas Dimas dan mamanya tidak dipersilakan duduk oleh Safitri. Dia masih berdiri tegak di hadapan kami yang sudah terduduk."Kamu nggak nyuruh aku duduk?" Mas Dimas mengeluhkan sikap Safitri."Nggak perlu, bukankah kamu merasa ini adalah rumahmu juga," jawab Safitri dengan ketusnya."Oh Mama paham sekarang, mungkin bawaan bayi Safitri seperti ini, ada sebagian ibu hamil agak sensitif pada orang tertentu, sepertinya Safitri ini lagi sebel sama mama dan Dimas, ya Mama memakluminya kok," ungkap Mama Dewi.Dia begitu menutupi malunya di hadapanku. Mama Dewi duduk di sebel
"Aku tidak akan mengatakan siapa orang itu pada kalian," jawab Mas Dimas. Ternyata dia tetap pada pendiriannya, Mas Dimas tidak mau mengatakan siapa yang telah menjadi dalang permasalahan.Kami semua saling beradu pandang. Alis Mas Pram dan Safitri saling terangkat."Ya udah berarti saya akan laporkan dan bawa kasus ini ke jalur hukum," ancam Mas Pram.Mas Dimas terlihat membelalakkan matanya. Dia berdiri tegak sambil merangkul sang istri. Namun Safitri melepaskan dan menepisnya."Sayang, jangan begitu dong, aku ini ayah dari bayi yang kamu kandung. Bagaimana nasib bayimu jika tahu kalau ayahnya mantan narapidana," tutur Mas Dimas.Mama Dewi maju satu langkah dia berdiri di depanku persis."Inggit. Kenapa kamu masih saja seperti ini? Kamu tidak menyukai mantan suamimu itu bahagia bersama Safitri?" Aku terkejut mendengar pertanyaan dan sindiran dari mantan mertuaku. Dia bilang aku iri dan tidak menyukai Mas Dimas berbahagia dengan Safitri? Apa ini tidak terbalik? Aku tersenyum tipis s
Kira-kira apakah Mas Dimas akan mengelak lagi? Atau dia sudah menyerah dan berkata jujur pada kami. Namun ternyata Mama Dewi yang maju."Nggak, kalian nggak boleh tahu!" Mama Dewi mencegah Mas Dimas mengatakannya pada kami.Bola mata Mas Dimas diedarkan pindah-pindah ke arah kami. Sepertinya dia memilih untuk mendekam di penjara daripada harus mengatakan pada kami.Safitri menghampiri Mas Pram. Kemudian menepuk pundaknya. Lalu dia bicara sambil menyorotku."Maaf Inggit, Pram, sepertinya kesehatan papaku lebih penting dari menyecar orang seperti Mas Dimas, jadi aku rasa cukup sampai di sini aja," ujar Safitri membuat Mas Dimas langsung ikut mendekat."Baiklah, saya akan katakan biang keladinya. Dia adalah Mira!" Ucapan Mas Dimas barusan membuat kami semua membelalakkan mata. Mira dia bilang, wanita yang baru beberapa kali kami temui di rumah sakit. Kenapa bisa dia pelakunya? Bukankah wanita itu baik di hadapanku dan Mas Pram?"Nggak mungkin Mira yang melakukannya, aku rasa kamu berboho
Mas Dimas kesakitan ketika kemaluannya ditendang oleh Mas Pram yang sudah babak belur dipukuli. Lalu calon suamiku itu bukan memukuli balik, dia malah mengajakku masuk ke dalam mobil. Kemudian, kami pergi meninggalkan Mas Dimas bersama Mama Dewi.Setelah berada di dalam mobil dan sopir sudah melajukan mobilnya. Aku segera mengambil kotak obat yang selalu tersimpan di dashboard mobil. Aku memerintahkan sopir yang mengambilnya.Kemudian, pelan-pelan aku pun mengobati luka Mas Pram. Dia sempat meringis kesakitan, karena ada beberapa luka yang sampai mengeluarkan darah segar."Nekat banget sih tuh orang, main tangan dan kasar gitu," cetusku kesal."Emosi mungkin karena akhirnya semua hancur, rumah tangga bersama kamu sudah pupus, kini harapannya menjadi suami orang kaya pun sudah tak lagi dia gapai," ucap Mas Pram."Tujuan awalnya jelek, jadi endingnya pun akan berakhir sesak, dia terlalu percaya diri bahwa hidup manusia itu dia yang atur, padahal sudah ada Tuhan yang menentukan semuanya,