Kira-kira apakah Mas Dimas akan mengelak lagi? Atau dia sudah menyerah dan berkata jujur pada kami. Namun ternyata Mama Dewi yang maju."Nggak, kalian nggak boleh tahu!" Mama Dewi mencegah Mas Dimas mengatakannya pada kami.Bola mata Mas Dimas diedarkan pindah-pindah ke arah kami. Sepertinya dia memilih untuk mendekam di penjara daripada harus mengatakan pada kami.Safitri menghampiri Mas Pram. Kemudian menepuk pundaknya. Lalu dia bicara sambil menyorotku."Maaf Inggit, Pram, sepertinya kesehatan papaku lebih penting dari menyecar orang seperti Mas Dimas, jadi aku rasa cukup sampai di sini aja," ujar Safitri membuat Mas Dimas langsung ikut mendekat."Baiklah, saya akan katakan biang keladinya. Dia adalah Mira!" Ucapan Mas Dimas barusan membuat kami semua membelalakkan mata. Mira dia bilang, wanita yang baru beberapa kali kami temui di rumah sakit. Kenapa bisa dia pelakunya? Bukankah wanita itu baik di hadapanku dan Mas Pram?"Nggak mungkin Mira yang melakukannya, aku rasa kamu berboho
Mas Dimas kesakitan ketika kemaluannya ditendang oleh Mas Pram yang sudah babak belur dipukuli. Lalu calon suamiku itu bukan memukuli balik, dia malah mengajakku masuk ke dalam mobil. Kemudian, kami pergi meninggalkan Mas Dimas bersama Mama Dewi.Setelah berada di dalam mobil dan sopir sudah melajukan mobilnya. Aku segera mengambil kotak obat yang selalu tersimpan di dashboard mobil. Aku memerintahkan sopir yang mengambilnya.Kemudian, pelan-pelan aku pun mengobati luka Mas Pram. Dia sempat meringis kesakitan, karena ada beberapa luka yang sampai mengeluarkan darah segar."Nekat banget sih tuh orang, main tangan dan kasar gitu," cetusku kesal."Emosi mungkin karena akhirnya semua hancur, rumah tangga bersama kamu sudah pupus, kini harapannya menjadi suami orang kaya pun sudah tak lagi dia gapai," ucap Mas Pram."Tujuan awalnya jelek, jadi endingnya pun akan berakhir sesak, dia terlalu percaya diri bahwa hidup manusia itu dia yang atur, padahal sudah ada Tuhan yang menentukan semuanya,
Kemudian kami menekan bel. Tidak lama kemudian pembantunya yang membuka pintu.Mas Pram langsung mengutarakan maksud dan tujuannya. Namun belum sempat sang pembantu bicara, Mira sudah datang.Dia muncul dengan menunjukkan kaki jenjangnya sambil melipat kedua tangan di atas dada."Silakan masuk dan duduk Pram, juga mantan istri Dimas," tutur Mira. Seolah-olah dia menyindirku. Kemudian, Mas Pram langsung merangkulku di hadapan Mira."Mira, ini calon istriku, tolong dengarkan baik-baik," jawab Mas Pram. "Ya, calon istri yang sangat udik, orang miskin yang menginginkan kaya mendadak. Dialah orangnya, Inggit namanya," sindirnya lagi."Cukup, Mira!" tekan Mas Pram. "Kedatanganku ke sini untuk memberikan ultimatum padamu, saya tekankan sekali lagi, jika kamu berani menyentuh Jingga ataupun Inggit, saya tidak akan segan-segan menyeretmu ke penjara!" tekan Mas Pram. Dia memberikan ketegasan pada Mira.Mira terkekeh mendengarnya, tangannya bertepuk seolah-olah menertawakan apa yang diutarakan
Mas Pram datang. Wajahnya pucat pasi ketika menghadap ke arahku."Nggak aktif lagi," ucapnya."Ini suster bilang juga katanya ada yang bawa Jingga," jawabku.Tiba-tiba Mas Pram terdiam, lalu menepuk keningnya spontan."Aku lupa, Mama dan Papa kan yang bilang mau jemput," jawabnya membuatku menurunkan bahu seketika. Di balik sudah tenang karena tahu akhirnya bahwa orang tuanya Mas Pram lah yang membawa cucunya, tapi aku ingin ngomel kenapa bisa lupa seperti itu kalau orang tuanya mau menjemput?Sebelum bicara dengan Mas Pram, aku mengucapkan terima kasih dulu pada suster yang memberikan informasi. Kemudian setelah itu barulah kembali bicara padanya."Kenapa bisa lupa orang tua mau datang?" tanyaku."Maaf, aku benar-benar enggak ingat, terlalu emosi dengar Mira yang sabotase ini semua." Mas Pram menarik pergelangan tanganku saat mengatakan itu."Ya udah lupain aja, sekarang kita pulang ketemu Jingga," jawabku.Hari pernikahan kami semakin dekat, orang tuanya Mas Pram yang akan menjadi o
Aku menelan ludah, pura-pura tersenyum meskipun agak sakit, karena ingat pernikahan dengan Mas Dimas selama lima tahun belum dikaruniai seorang anak. Sementara ketika bersama dengan Safitri, dia langsung mampu menghamili. Aku langsung down ketika mendengar penuturan calon mertuaku. Meskipun dia tidak ada maksud ke arah sana, tapi aku yakin, pasti dia menginginkan aku bisa memberikan cucu satu lagi.Mas Pram langsung menggenggam tangan ini. Senyumnya merekah sambil mengedipkan mata. Aku pun ikut menyibakkan senyuman, sambil berusaha mengalihkan pembicaraan ini."Hm, Mama, tadi Mas Pram lupa loh kalau kalian akan jemput Jingga, dia panik seperti orang yang kebakaran jenggot," tuturku membuat mata calon mertuaku berpindah ke arah Mas Pram."Iya kah? Hm, mungkin karena sudah semakin dekat waktu pernikahan kalian, jadi dia agak sedikit pelupa," timpalnya. "Ngomong-ngomong, kamu udah bisa panggil Mama?" tambahnya.Aku sedikit terkejut karena secara tidak sadar sudah membiasakan diri menyebu
"Kejadian itu sudah lama, ketika Papa berbisnis di Hongkong, seorang wanita, TKW dari Indonesia, saat itu terhimpit ingin keluar dari majikannya, hanya dengan melamarnya Papa bisa mengeluarkan wanita itu," jawab papa.Mas Pram terlihat mengepalkan tangannya. Dia membuang muka seolah-olah sangat marah. Tidak ada tanggapan apa-apa, tapi wajahnya sangat ingin melampiaskan kemarahannya."Tenang dan dengarkan Papa dulu, Pram," ucap papa. "Wanita itu Papa nikahi, dia orang Bandung," tambah papa."Lalu apa hubungannya dengan Papa yang ingin berangkat ke luar negeri? Katanya dia orang Bandung, apa Papa berikan fasilitas untuk dia di luar negeri?" tanya Mas Pram dengan sedikit emosi."Nggak begitu, anak kami butuh wali nikah, dia akan menikah di Malaysia dan menjadi istri orang sana, karena Meyka study di sana," jawab Pak Satria membuat mata Mas Pram seketika membuka lebar. Wajahnya tidak ada senyum sama sekali, dia hanya menyisakan wajah kakunya.Seharusnya aku tidak mendengar ini semua, kena
Semua bola mata terpana pada sepasang manik mata wanita yang keluar dari kamarnya Jingga. Calon mertuaku tiba-tiba muncul ketika Mas Pram mengatakan sesuatu tentang wanita lain selain dirinya."Bukan siapa-siapa, dan ada apa-apa juga, Mah, mungkin Mama salah dengar." Ternyata Mas Pram menepati janjinya. Dia tidak egois seperti yang kupikirkan. Mas Pram berusaha menutupi kesalahan sang papa.Meskipun ini sebuah kesalahan karena sudah membohongi mamanya, tapi aku yakin dia melakukan hal ini untuk kebaikan. Mama pasti shock kalau sampai tahu tentang ini semua sekarang. Terlebih menjelang pernikahan anaknya."Iya, Mah. Kami lagi bicara tentang tugas ke luar negeri yang mendadak, yang kemarin aku bilang itu loh," susul Pak Satria. Dia memperlancar kebohongan ini. Mata Mas Pram beralih ke arah papa. Dia meraih punggung tangannya. Lalu pamit. "Loh kalian mau ke mana?" tanya papa."Kami mau pergi sebentar, ada urusan untuk besok acara ke panti asuhan bersama Jingga," jawab Mas Pram.Aku ter
"Siapa? Teman kamu?" tanya Mas Pram."Iya, teman sekolah dulu, namanya Silmi," jawabku."Oh, pantesan kampungan," jawabnya membuatku seketika membuka mata dengan lebar.Deg!Suara debaran jantungku sangat cepat, kecewa campur kesal beradu menjadi satu. Sungguh aku tidak menyangka dengan kata yang barusan dilontarkan Mas Pram. Aku menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya. Ini satu hal yang tidak pernah aku dengar dari mulut seorang laki-laki yang kukagumi. Namun, sekali dia menyebutkan kata-kata itu, sudah sangat meruntuhkan hatiku padanya."Oh ya, kampungan," sahutku sambil mengangguk."Bukan kamu maksudku, Inggit!" Mas Pram menepuk keningnya. "Oke, aku minta maaf."Mas Pram masih mencoba merayuku. Namun aku hanya melengos dan coba membuang muka ke arah yang berlawanan.Mas Pram membuka kaca mobilnya, selalu meminta maaf pada Silmi. Dikarenakan aku mengenal wanita yang barusan mendobrak kaca mobil Mas Pram, akhirnya aku turun dan menemuinya."Hai, Silmi," ucapku sambil menyodo