"Kejadian itu sudah lama, ketika Papa berbisnis di Hongkong, seorang wanita, TKW dari Indonesia, saat itu terhimpit ingin keluar dari majikannya, hanya dengan melamarnya Papa bisa mengeluarkan wanita itu," jawab papa.Mas Pram terlihat mengepalkan tangannya. Dia membuang muka seolah-olah sangat marah. Tidak ada tanggapan apa-apa, tapi wajahnya sangat ingin melampiaskan kemarahannya."Tenang dan dengarkan Papa dulu, Pram," ucap papa. "Wanita itu Papa nikahi, dia orang Bandung," tambah papa."Lalu apa hubungannya dengan Papa yang ingin berangkat ke luar negeri? Katanya dia orang Bandung, apa Papa berikan fasilitas untuk dia di luar negeri?" tanya Mas Pram dengan sedikit emosi."Nggak begitu, anak kami butuh wali nikah, dia akan menikah di Malaysia dan menjadi istri orang sana, karena Meyka study di sana," jawab Pak Satria membuat mata Mas Pram seketika membuka lebar. Wajahnya tidak ada senyum sama sekali, dia hanya menyisakan wajah kakunya.Seharusnya aku tidak mendengar ini semua, kena
Semua bola mata terpana pada sepasang manik mata wanita yang keluar dari kamarnya Jingga. Calon mertuaku tiba-tiba muncul ketika Mas Pram mengatakan sesuatu tentang wanita lain selain dirinya."Bukan siapa-siapa, dan ada apa-apa juga, Mah, mungkin Mama salah dengar." Ternyata Mas Pram menepati janjinya. Dia tidak egois seperti yang kupikirkan. Mas Pram berusaha menutupi kesalahan sang papa.Meskipun ini sebuah kesalahan karena sudah membohongi mamanya, tapi aku yakin dia melakukan hal ini untuk kebaikan. Mama pasti shock kalau sampai tahu tentang ini semua sekarang. Terlebih menjelang pernikahan anaknya."Iya, Mah. Kami lagi bicara tentang tugas ke luar negeri yang mendadak, yang kemarin aku bilang itu loh," susul Pak Satria. Dia memperlancar kebohongan ini. Mata Mas Pram beralih ke arah papa. Dia meraih punggung tangannya. Lalu pamit. "Loh kalian mau ke mana?" tanya papa."Kami mau pergi sebentar, ada urusan untuk besok acara ke panti asuhan bersama Jingga," jawab Mas Pram.Aku ter
"Siapa? Teman kamu?" tanya Mas Pram."Iya, teman sekolah dulu, namanya Silmi," jawabku."Oh, pantesan kampungan," jawabnya membuatku seketika membuka mata dengan lebar.Deg!Suara debaran jantungku sangat cepat, kecewa campur kesal beradu menjadi satu. Sungguh aku tidak menyangka dengan kata yang barusan dilontarkan Mas Pram. Aku menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya. Ini satu hal yang tidak pernah aku dengar dari mulut seorang laki-laki yang kukagumi. Namun, sekali dia menyebutkan kata-kata itu, sudah sangat meruntuhkan hatiku padanya."Oh ya, kampungan," sahutku sambil mengangguk."Bukan kamu maksudku, Inggit!" Mas Pram menepuk keningnya. "Oke, aku minta maaf."Mas Pram masih mencoba merayuku. Namun aku hanya melengos dan coba membuang muka ke arah yang berlawanan.Mas Pram membuka kaca mobilnya, selalu meminta maaf pada Silmi. Dikarenakan aku mengenal wanita yang barusan mendobrak kaca mobil Mas Pram, akhirnya aku turun dan menemuinya."Hai, Silmi," ucapku sambil menyodo
"Kamu nggak kenal meskipun dari tekstur belakangnya?" tanyaku."Nggak, istriku nggak punya saudara laki-laki," jawab Mas Pram.Aku dan Mas Pram segera menghampiri. Sebab, orang asing itu tidak pernah ditemui oleh Mas Pram sebelumnya."Kamu siapa?" Laki-laki itu menoleh dengan cepat saat sapaan terlontar dari mulut Mas Pram."Hai, Pram." Mimik wajah Mas Pram tiba-tiba berubah seperti kenal. Dia bahkan menepuk keningnya ketika pria tersebut balik badan."Ya ampun, ternyata Bobi," timpal Mas Pram. Dia mengulurkan tangannya ketika pria itu mengangguk sambil tersenyum."Maaf baru sempat ke sini, dan tidak izin lagi dengan kamu, Pram," jawab pria tersebut."Its oke, yang penting doanya, Sob," jawab Mas Pram.Aku masih bingung siapa pria yang bernama Bobi itu. Kata Mas Pram istrinya tidak memiliki saudara laki-laki, jadi siapa orang ini?Tiba-tiba pria itu mengedarkan pandangannya ke arahku, matanya sesekali melirik ke arah Mas Pram. "Apa ini calon yang baru?" tanya pria itu sambil menunjuk
Mas Pram langsung turun karena khawatir dengan kondisi mamanya di dalam rumah. Namun, ada salah seorang tetangga yang datang menghampiri."Pak Pram. Orang tuanya lagi di rumah RT, ini kami lagi jagain Jingga karena tadi ada seorang ibu dan anak yang mengamuk di sini," ucap seorang wanita setengah baya."Tapi kok banyak sekali orang yang berdatangan, Bu?" tanya Mas Pram."Iya, membantu beresin kaca-kaca yang pecah akibat orang tadi mengamuk," sahutnya lagi."Astaga, kenapa nggak ada yang telepon saya atau Inggit?" tanya Mas Pram masih penasaran."Sudah, coba cek ponselnya masing-masing, nggak ada jawaban, malah sempat tidak aktif," jawab seorang tetangga yang memberikan informasi.Kami kompak memeriksa ponsel. Ternyata memang ada panggilan masuk sebanyak tiga kali, namun aku lupa mengaktifkan nada dering dan getar, jadi terlewatkan.Sementara Mas Pram, handphone ternyata mati tertekan tombol on off, mungkin ketika tadi berada di makam istrinya."Ya udah, terima kasih banyak, Bu," ucap
"Siapa pelakunya, Mas?" tanyaku penasaran."Dimas dan ibunya, dia yang berulah," jawab Mas Pram.Aku terkejut mendengarnya. Mas Dimas senekat itu? Apa dia sudah gila?"Sudah dibawa pihak kepolisian?" tanyaku padanya."Sudah diamankan, tapi kelihatannya mereka sudah kehilangan akal, Inggit," tutur Mas Pram lagi-lagi membuatku melongo. Lidah ini terasa kaku untuk sekadar hanya menelan ludah saja."Mas Dimas tampak seperti orang gila maksudnya, Mas? Apa pura-pura gila karena ada polisi?" cecarku tidak percaya."Intinya mereka yang melakukan, setelah diusir oleh Safitri, mereka beranggapan semua gara-gara aku dan kamu," timpal Mas Pram.Aku menelan ludah dengan susah payah. Seharusnya dia terima kenyataan ini. Sebab, apa yang terjadi sekarang tentu buah dari perbuatannya di masa lalu. Kenapa malah menyalahkan orang lain, terlebih yang disalahkan adalah aku, orang yang pernah didzalimi olehnya."Inggit, kamu masih dengar saya bicara?" tanya Mas Pram ketika aku terdiam sejenak."Ya, Mas. Ma
"Jingga, tenang, Sayang," ucapku sambil mendekap dia erat-erat. Aku yakin, Jingga masih trauma atas kejadian tadi. Dia masih kecil, mudah sekali merekam kejadian, dan saat ketakutan melanda, lalu tidak ada orang yang menyayanginya di samping dia, pasti akan merasa takut."Ma, Jingga takut, pengen sama Papa," rengek Jingga.Akhirnya aku pun meraih ponsel genggam dan menghubungi Mas Pram untuk segera datang ke rumah. Jingga sangat membutuhkan dirinya ketimbang Mas Dimas yang menjadi sumber masalah.Mas Pram langsung mengindahkan permintaanku. Tak lama kemudian, Mas Pram datang menghampiri dengan raut wajah masih kelihatan suntuk."Jingga baik-baik aja kan?" tanya Mas Pram."Pah___" Jingga melebarkan tangannya dan memeluk sang papa.Aku terharu menyaksikannya. Meskipun aku sudah sangat peduli dengan Jingga, dia tetap membutuhkan sosok ayah kandungnya, walau bagaimanapun, darah yang mengalir di tubuh Jingga hanya ada Mas Pram seorang, sementara aku, hanya orang lain yang ikut menyayangi J
"Hm, sabar, tinggal menghitung hari," celetuk ibu membuat kami seketika menjauh. Aku dan Mas Pram bergeser karena malu.Perasaan ini pernah aku rasakan sewaktu Mas Dimas dulu melamar. Aku pikir dia begitu tulus mencintai, tapi kenyataannya, Mas Dimas hanya menganggap diriku ini sebagai pembantu yang harus melayaninya sewaktu dia meminta. Di hadapan orang, dia menganggapku hina seperti sampah, bahkan mungkin tidak menganggapku sama sekali.Namun, Tuhan memutar roda itu setelah lima tahun perjalanan pernikahan kami, dengan adanya kejadian kecelakaan yang menimpa bapakku, akhirnya dikirimkan lah sosok pengganti yang merupakan penolong keluarnya aku dari genggaman Mas Dimas."Kok jadi pada bengong?" Ibu bertanya sambil menghampiri kami."Maaf, Bu Anis, saya___" Mas Pram mengusap leher belakangnya."Nggak apa-apa, saya paham kok, namanya naluri, tapi tetap harus jaga ya, sampai ada ikatan pernikahan," pesan ibu."Baik, Bu. Insyaallah saya bisa jaga," jawab Mas Pram malu. Kemudian, dia agak