"Siapa pelakunya, Mas?" tanyaku penasaran."Dimas dan ibunya, dia yang berulah," jawab Mas Pram.Aku terkejut mendengarnya. Mas Dimas senekat itu? Apa dia sudah gila?"Sudah dibawa pihak kepolisian?" tanyaku padanya."Sudah diamankan, tapi kelihatannya mereka sudah kehilangan akal, Inggit," tutur Mas Pram lagi-lagi membuatku melongo. Lidah ini terasa kaku untuk sekadar hanya menelan ludah saja."Mas Dimas tampak seperti orang gila maksudnya, Mas? Apa pura-pura gila karena ada polisi?" cecarku tidak percaya."Intinya mereka yang melakukan, setelah diusir oleh Safitri, mereka beranggapan semua gara-gara aku dan kamu," timpal Mas Pram.Aku menelan ludah dengan susah payah. Seharusnya dia terima kenyataan ini. Sebab, apa yang terjadi sekarang tentu buah dari perbuatannya di masa lalu. Kenapa malah menyalahkan orang lain, terlebih yang disalahkan adalah aku, orang yang pernah didzalimi olehnya."Inggit, kamu masih dengar saya bicara?" tanya Mas Pram ketika aku terdiam sejenak."Ya, Mas. Ma
"Jingga, tenang, Sayang," ucapku sambil mendekap dia erat-erat. Aku yakin, Jingga masih trauma atas kejadian tadi. Dia masih kecil, mudah sekali merekam kejadian, dan saat ketakutan melanda, lalu tidak ada orang yang menyayanginya di samping dia, pasti akan merasa takut."Ma, Jingga takut, pengen sama Papa," rengek Jingga.Akhirnya aku pun meraih ponsel genggam dan menghubungi Mas Pram untuk segera datang ke rumah. Jingga sangat membutuhkan dirinya ketimbang Mas Dimas yang menjadi sumber masalah.Mas Pram langsung mengindahkan permintaanku. Tak lama kemudian, Mas Pram datang menghampiri dengan raut wajah masih kelihatan suntuk."Jingga baik-baik aja kan?" tanya Mas Pram."Pah___" Jingga melebarkan tangannya dan memeluk sang papa.Aku terharu menyaksikannya. Meskipun aku sudah sangat peduli dengan Jingga, dia tetap membutuhkan sosok ayah kandungnya, walau bagaimanapun, darah yang mengalir di tubuh Jingga hanya ada Mas Pram seorang, sementara aku, hanya orang lain yang ikut menyayangi J
"Hm, sabar, tinggal menghitung hari," celetuk ibu membuat kami seketika menjauh. Aku dan Mas Pram bergeser karena malu.Perasaan ini pernah aku rasakan sewaktu Mas Dimas dulu melamar. Aku pikir dia begitu tulus mencintai, tapi kenyataannya, Mas Dimas hanya menganggap diriku ini sebagai pembantu yang harus melayaninya sewaktu dia meminta. Di hadapan orang, dia menganggapku hina seperti sampah, bahkan mungkin tidak menganggapku sama sekali.Namun, Tuhan memutar roda itu setelah lima tahun perjalanan pernikahan kami, dengan adanya kejadian kecelakaan yang menimpa bapakku, akhirnya dikirimkan lah sosok pengganti yang merupakan penolong keluarnya aku dari genggaman Mas Dimas."Kok jadi pada bengong?" Ibu bertanya sambil menghampiri kami."Maaf, Bu Anis, saya___" Mas Pram mengusap leher belakangnya."Nggak apa-apa, saya paham kok, namanya naluri, tapi tetap harus jaga ya, sampai ada ikatan pernikahan," pesan ibu."Baik, Bu. Insyaallah saya bisa jaga," jawab Mas Pram malu. Kemudian, dia agak
Aku hanya terdiam, tapi kaki ini langsung beranjak mencari keberadaan Jingga. Namun, bentakan Mas Pram masih terngiang-ngiang di pikiranku ini."Jingga, jangan jauh-jauh dari Mama ya!" teriakku ketika melihat Jingga sudah berada di dalam dan bertemu teman-teman sebayanya."Ma, sini!" Jingga melambaikan tangannya ke arahku.Kemudian, aku menghampirinya, setelah itu terlihat Mas Pram menghampiri kami berdua. Dia duduk tepat di sebelahku."Lain kali, jangan sampai ninggalin Jingga ya," pesan Mas Pram. Lagi-lagi aku merasa terbawa perasaan. Sebab, Mas Pram memesan ini padaku seperti terhadap bibi. Sungguh aku merasa diperlakukan bagai pembantu.Aku mengelus dada sambil bangkit dan pamit untuk ke toilet sebentar.Langkah kaki ini begitu cepat untuk segera ke depan kaca toilet sekadar berkaca diri."Ini hanya perasaanku aja atau memang Mas Pram menganggapku sebagai pembantu? Sama aja dong Mas Pram dengan Mas Dimas? Nggak ada bedanya." Aku mengutuk mereka di depan kaca, tapi bicara sendiria
"Mama sudah mengetahui tentang Papa, Nggit," terang Mas Pram. Aku terkejut, tapi tetap jaga sikap, sebab ada Jingga di sebelah kami, aku tidak ingin dia ikut penasaran dengan apa yang terjadi. "Papa kenapa tegang?" Anak itu sangat cerdas, dia mampu membaca dari raut wajah papanya "Hm, nggak, nanti kamu ikut Bu Anis ya, Bibi juga masih di sana!" perintah Mas Pram.Jingga pun mengangguk, sementara aku terdiam sambil terus membaca gelagat Mas Pram. Dalam hati kecilku ini, tidak ingin terjadi sesuatu dengan mamanya Mas Pram, sebab sebentar lagi kami akan melangsungkan pernikahan.Sesekali aku menatap wajah Mas Pram yang benar-benar sudah kelihatan panik. Dia bahkan mengucurkan keringatnya. Aku coba ambilkan tisu untuknya, berharap Mas Pram bisa tenang meskipun aku sendiri belum tahu duduk masalahnya."Mas," sapaku seolah-olah khawatir dengannya.Dia hanya memejamkan mata sambil mencoba mengusap telapak tanganku ini. Rasanya aku ingin cepat sampai ke rumah, sebab aku sudah diselimuti ra
Mas Pram panik ketika mamanya memejamkan mata perlahan. "Pram, ayo bawa mamamu ke rumah sakit!" usul Papa.Mas Pram sontak menggendong mamanya. Awalnya Pak Satria menawarkan bantuan, tapi Pram menyingkirkan tangan pria itu. "Inggit, tolong ke mobil duluan, buka pintunya!" Mas Pram memberikan isyarat untuk mengambil kunci mobil di saku celananya.Aku segera melakukan perintah darinya. Aku membuka pintu kamar lebar-lebar supaya Mas Pram bisa lancar berjalan menggendong mamanya.Lalu aku menyusuri ruangan duluan dengan langkah berlari, setelah berada di area parkir dengan cepat aku membuka pintu mobilnya.Aku melihat Mas Pram masih berjalan tergopoh-gopoh membopong sang mama. Pak Satria yang terus berusaha mengekor pun berhenti tepat di depan mobil."Jangan sentuh Mama!" Mas Pram bicara dengan nada tinggi.Pak Satria mundur dan segera menyingkir dari hadapan Mas Pram. Kemudian, Mas Pram menyuruhku duduk di belakang dan memangku kepala mamanya."Papa ikut, Pram!" Pak Satria membujuknya
"Pasien sudah tidak bernyawa sejak beberapa menit yang lalu, Pak," terang dokter.Pak Satria mendorong bahu dokter tersebut dengan kasar. "Jangan sembarang bicara Anda!" sentak Pak Satria.Aku berusaha menenangkan Mas Pram yang tiba-tiba duduk di kursi. Pandangannya terlihat kosong, dia menarik rambutnya kasar sambil menggelengkan kepalanya."Nggak mungkin, Mama nggak mungkin meninggal!" teriaknya keras.Aku pun terus mengusap bahu Mas Pram. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang sangat dekat dengan kita, terlebih ada satu masalah yang merenggut nyawanya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya kondisi hati Mas Pram saat ini."Mas, kamu yang sabar, Mama udah tenang," pesanku padanya. Aku tahu memang teramat mudah menasihati, tapi jika kita berada di posisinya, mungkin beda cerita."Nggit, Mama meninggal?" Mas Pram meyakinkan dirinya lagi."Mas, ikhlas ya," timpalku.Tiba-tiba saja dia memeluk erat tubuhku. Sungguh, aku tidak pernah melihat Mas Pram serapuh ini.
"Pram, Papa minta maaf, kita selesaikan nanti ya jika sudah terurus semua," bujuk Pak Satria."Betul, Mas. Kita urus Mama kamu dulu," susulku.Mas Pram sempat merenung, tapi setelah itu dia langsung meraih ponsel dan menghubungi orang suruhannya. Aku tidak jadi menghubungi Safitri untuk membantuku urus semuanya. Namun, aku tetap memberikan kabar padanya bahwa ada berita buruk yang menimpa keluarga Mas Pram.Pernikahan semakin dekat, tapi musibah tiba-tiba datang. Mas Pram harus menerima pil pahit atas apa yang terjadi. Orang suruhan Mas Pram sudah datang, kami pun telah urus kepulangan mama dari rumah sakit. Pak Satria terlihat sudah lebih tenang, begitu juga dengan Mas Pram. Namun, aku terus mengawasinya, sebab tidak ingin melihatnya sedih dan sulit mengendalikan dirinya."Orang rumah udah kamu kasih tahu?" tanya Mas Pram ketika naik ambulance. Ya, dia memerintahkan aku untuk ikut bersamanya satu mobil dengan jenazah. "U-udah, Mas," jawabku gugup. Agak sedikit takut berada di mobi