Mas Pram panik ketika mamanya memejamkan mata perlahan. "Pram, ayo bawa mamamu ke rumah sakit!" usul Papa.Mas Pram sontak menggendong mamanya. Awalnya Pak Satria menawarkan bantuan, tapi Pram menyingkirkan tangan pria itu. "Inggit, tolong ke mobil duluan, buka pintunya!" Mas Pram memberikan isyarat untuk mengambil kunci mobil di saku celananya.Aku segera melakukan perintah darinya. Aku membuka pintu kamar lebar-lebar supaya Mas Pram bisa lancar berjalan menggendong mamanya.Lalu aku menyusuri ruangan duluan dengan langkah berlari, setelah berada di area parkir dengan cepat aku membuka pintu mobilnya.Aku melihat Mas Pram masih berjalan tergopoh-gopoh membopong sang mama. Pak Satria yang terus berusaha mengekor pun berhenti tepat di depan mobil."Jangan sentuh Mama!" Mas Pram bicara dengan nada tinggi.Pak Satria mundur dan segera menyingkir dari hadapan Mas Pram. Kemudian, Mas Pram menyuruhku duduk di belakang dan memangku kepala mamanya."Papa ikut, Pram!" Pak Satria membujuknya
"Pasien sudah tidak bernyawa sejak beberapa menit yang lalu, Pak," terang dokter.Pak Satria mendorong bahu dokter tersebut dengan kasar. "Jangan sembarang bicara Anda!" sentak Pak Satria.Aku berusaha menenangkan Mas Pram yang tiba-tiba duduk di kursi. Pandangannya terlihat kosong, dia menarik rambutnya kasar sambil menggelengkan kepalanya."Nggak mungkin, Mama nggak mungkin meninggal!" teriaknya keras.Aku pun terus mengusap bahu Mas Pram. Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang sangat dekat dengan kita, terlebih ada satu masalah yang merenggut nyawanya. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya kondisi hati Mas Pram saat ini."Mas, kamu yang sabar, Mama udah tenang," pesanku padanya. Aku tahu memang teramat mudah menasihati, tapi jika kita berada di posisinya, mungkin beda cerita."Nggit, Mama meninggal?" Mas Pram meyakinkan dirinya lagi."Mas, ikhlas ya," timpalku.Tiba-tiba saja dia memeluk erat tubuhku. Sungguh, aku tidak pernah melihat Mas Pram serapuh ini.
"Pram, Papa minta maaf, kita selesaikan nanti ya jika sudah terurus semua," bujuk Pak Satria."Betul, Mas. Kita urus Mama kamu dulu," susulku.Mas Pram sempat merenung, tapi setelah itu dia langsung meraih ponsel dan menghubungi orang suruhannya. Aku tidak jadi menghubungi Safitri untuk membantuku urus semuanya. Namun, aku tetap memberikan kabar padanya bahwa ada berita buruk yang menimpa keluarga Mas Pram.Pernikahan semakin dekat, tapi musibah tiba-tiba datang. Mas Pram harus menerima pil pahit atas apa yang terjadi. Orang suruhan Mas Pram sudah datang, kami pun telah urus kepulangan mama dari rumah sakit. Pak Satria terlihat sudah lebih tenang, begitu juga dengan Mas Pram. Namun, aku terus mengawasinya, sebab tidak ingin melihatnya sedih dan sulit mengendalikan dirinya."Orang rumah udah kamu kasih tahu?" tanya Mas Pram ketika naik ambulance. Ya, dia memerintahkan aku untuk ikut bersamanya satu mobil dengan jenazah. "U-udah, Mas," jawabku gugup. Agak sedikit takut berada di mobi
Wanita itu Mira. Dia datang bersama anaknya. Ternyata Mira datang ke pemakaman ini. Aku pikir dia sudah tidak berani karena telah ketahuan membuat Jingga celaka."Pram, saya turut berdukacita," ucap Mira. Mas Pram hanya mengangguk dan tersenyum tipis. Lalu Mira menyorot ke arahku. Tangan wanita itu diulurkan seketika."Saya ke sini mau minta maaf juga padamu, Inggit, maaf karena telah membuat kalian sempat hampir membatalkan pernikahan," ucap Mira membuatku sedikit memicingkan mata. Aku masih sulit membedakan mana orang yang tulus, dan seperti apa orang yang modus.Aku masih terdiam dalam menyikapi ucapan Mira. Tangan kanannya yang sudah diulurkan pun belum aku sambut. Namun, tiba-tiba tangan satunya meraih telapak tangan ini dan memaksaku untuk berjabat tangan dengannya."Em, iya, nggak apa-apa," jawabku meskipun agak kebingungan. Sebab, seolah-olah Mira tidak ingin dipermalukan di hadapan orang sehingga menarik pergelangan tangan ini supaya tetap bersalaman dengannya."Saya benar-b
Mas Dimas diam ketika Safitri hendak melanjutkan bicara kembali. "Saya akan memberikan kamu satu kesempatan lagi, dengan satu syarat, kalian sudah benar-benar insyaf, bukan hanya pencitraan, bagaimana?" tanya Safitri seketika membuat wajah Mas Dimas berbinar. Begitu juga dengan Mama Dewi, dia terlihat menebar senyuman saat dengar apa yang dikatakan oleh Safitri.Mereka masih suami istri, Mas Dimas juga belum menalak Safitri, justru dia yang sudah diusir dari keluarga Adam yang membuatnya sempat khilaf mengacaukan rumah Mas Pram hingga Jingga sempat trauma kecil.Pernyataan Safitri pun direspon oleh Mama Dewi dengan cepat. Dia menautkan kedua tangannya lalu bicara di hadapan Safitri telak."Harus membuktikan apa supaya kamu percaya dengan kami?" tanya Mama Dewi."Ternyata Mama pandai, aku memang perlu pembuktian, tidak asal menerima khilaf kalian," timpal Safitri.Ternyata tidak mudah juga menerima orang yang telah menggoreskan luka, terlebih Mas Dimas jelas-jelas memang ketahuan ingi
"Mama nggak apa-apa aku perlakukan Mama layaknya pembantu?" tanyaku padanya sambil mengedarkan pandangan ke arah cctv. "Itu cctv, di sana juga ada, semua dipantau oleh Safitri, Ma," tambah Inggit."Nggak apa-apa, Nggit, Mama udah ikhlas, mungkin ini caranya mengembalikan kepercayaan Safitri terhadap Dimas, dia juga tidak mengeluhkan soal ini," jawab Mama Dewi.Aku tersenyum sambil menyorot ke arah ibu yang tengah berdiri di ujung dapur, ibuku mengedipkan mata seolah-olah memberikan satu isyarat."Ini bukan karma, tapi hanya satu timbal balik perbuatan," susul ibuku yang kini ikut nimbrung. "Dimas di mana? Ibu boleh ya nyuruh dia melakukan aktivitas seorang istri," tambah ibu lagi.Aku sedikit menautkan kedua alis. Entah kenapa malah ibu menginginkan Mas Dimas yang menggantikan tugas itu, bukan ke Mama Dewi."Saya aja, Bu. Jangan Dimas," jawab Mama Dewi."Sudah kuduga, seorang Ibu pasti akan melakukan hal itu, sama seperti saya dulu, ingin sekali menggantikan posisi Inggit jika itu bis
Kenyataan harus tetap dijalani. Mas Dimas harus menerima konsekuensi perbuatannya dulu terhadapku. Meskipun ini demi Safitri, bukan demi aku, tapi aku percaya bahwa ini adalah buah dari perbuatan yang telah dia lakukan terhadapku. Mungkin melalui istri barunya lah Tuhan menyadarkan Mas Dimas.Mama pamit dari tempat duduk, dia ingin istirahat di kamar. Sementara aku pun memutuskan untuk menghubungi Mas Pram. Ya, aku ingin tahu kabarnya dengan sang papa setelah mamanya meninggal dunia. "Sebelum mamanya Mas Pram meninggal, kan papanya pamit ke luar negeri untuk menghadiri pernikahan anaknya, kira-kira Pak Satria jadi nggak, ya?" Aku bertanya sendiri sambil mengusap layar ponsel dan mencari kontak Mas Pram. Setelah itu aku tempelkan benda pipih yang aku pegang tadi ke telinga ini."Halo, Inggit, bagaimana?" tanya Mas Pram.Mungkin dia pikir aku ingin melaporkan tentang Mas Dimas padanya."Oh Mas Dimas baik-baik aja, dia masih menyelesaikan tugasnya bersama mamanya. Aku telepon kamu bukan
Aku melanjutkan buka pintu, ternyata Mas Pram yang datang, aku segera menyambutnya dan menyuruhnya masuk. Aku ceritakan padanya juga bahwa barusan aku jatuh karena lantai licin."Tapi kamu baik-baik aja, kan?" tanya Mas Pram."Aku baik, yang tidak baik itu Safitri, dia cemburu," timpalku sedikit menyunggingkan senyuman ke arah Mas Pram diiringi dengan lirikan ke mata Mas Dimas.Kulihat Mas Dimas perlahan jauhi tempat aku berdiri. Dia menyoroti ke arah cctv lagi."Safitri, kamu salah paham," ucap Mas Dimas sambil menautkan kedua telapak tangannya menjadi satu, dia memohon pada Safitri untuk tidak berprasangka buruk. "Iya, aku terpeleset, Fit," susulku."Aku paham, ini bagian resiko aku juga yang memberikan kalian peluang untuk berduaan, untuk itu aku hentikan hukuman Mas Dimas dan sudah boleh balik ke rumahku, tapi ingat, selama aku mengandung, kamu tidak boleh menjamakku, kita libur berhubungan intim untuk sementara waktu, sampai aku melahirkan," tutur Safitri membuatku mengernyitkan