Aku bimbang sekarang apa harus menghubunginya balik. Nomornya memang nomor baru, bukan seperti yang mengancamku untuk meninggalkan Mas Pram."Nggak usah telepon balik, kalau dia butuh pasti telepon ulang sampai kamu yang angkat," ucap Mas Pram kelihatannya tahu keraguanku.Aku menyunggingkan senyuman. Kemudian mengusap layar ponsel tersebut. Bukan untuk menghubungi dia, tapi hendak memberikan informasi pada Mas Pram bagaimana cara orang itu mengancamku."Lihatlah, Mas. Baca pesan ini, ada yang menyuruhku untuk meninggalkan kamu," ucapku sambil menunjuk ke arah layar ponsel.Mas Pram tampak tengah membaca dan menelitinya. Dia meraih ponsel yang aku genggam, lalu menyorot dengan pandangan penuh.Kemudian, tangannya menekan tombol telepon di handphonenya, lalu menyamakan nomor tadi pada kontak semua yang ada pada buku telepon."Nggak ada di sini, bukan orang yang aku kenal, atau orang itu sengaja menyamar?" Aku membasahi bibir kemudian fokus menatapnya."Kalau dia pakai nomor yang kamu s
"Safitri memintaku untuk memberikan suaminya pilihan, dia tidak ingin Dimas di penjara karena tidak mau anaknya kelak dijadikan bahan bullying orang, kamu paham, kan?" tanya Mas Pram.Aku menganggukan kepala, sebab paham betul posisi Safitri saat ini, dia serba salah, aku yakin dia tidak akan mempertahankan rumah tangganya lama-lama, firasat ku mengatakan Safitri hanya butuh Mas Dimas saat hamil saja."Safitri nggak beneran cinta sama Mas Dimas kan? Aku kasihan aja kalau sampai bucin pada laki-laki seperti itu, jangan sampai ada Inggit kedua," balasku."Sepertinya dia hanya menunggu anaknya lahir," jawab Mas Pram.Aku tahu Safitri itu anak orang kaya, jadi tidak mungkin sebodoh aku dulu, aku akui selama 5 tahun lalu aku ini wanita bodoh. Ketidaktahuan dan kepasrahanku terhadap takdir membuat Mas Dimas seenaknya menginjak-nginjak harga diriku.Namun, tidak dengan saat ini, aku sudah membuka mata dan mencoba menjadi pribadi yang kuat dan berani dalam mempertahankan hak. Intinya aku suda
Setelah kami masuk, kami berdua dipersilakan duduk dan disuguhkan minuman beserta cemilan. Safitri memperlakukan kami dengan spesial, seperti yang disebutkan Mama Dewi tadi, perlakuan Safitri membuatku terkagum-kagum. Ternyata manusia itu bisa berubah dengan cepat, tentu atas izin Allah yang telah membolak-balikkan hati manusia.Mas Dimas ditinggalkan oleh Safitri begitu saja, justru kami yang diistimewakan olehnya. Bahkan Mas Dimas dan mamanya tidak dipersilakan duduk oleh Safitri. Dia masih berdiri tegak di hadapan kami yang sudah terduduk."Kamu nggak nyuruh aku duduk?" Mas Dimas mengeluhkan sikap Safitri."Nggak perlu, bukankah kamu merasa ini adalah rumahmu juga," jawab Safitri dengan ketusnya."Oh Mama paham sekarang, mungkin bawaan bayi Safitri seperti ini, ada sebagian ibu hamil agak sensitif pada orang tertentu, sepertinya Safitri ini lagi sebel sama mama dan Dimas, ya Mama memakluminya kok," ungkap Mama Dewi.Dia begitu menutupi malunya di hadapanku. Mama Dewi duduk di sebel
"Aku tidak akan mengatakan siapa orang itu pada kalian," jawab Mas Dimas. Ternyata dia tetap pada pendiriannya, Mas Dimas tidak mau mengatakan siapa yang telah menjadi dalang permasalahan.Kami semua saling beradu pandang. Alis Mas Pram dan Safitri saling terangkat."Ya udah berarti saya akan laporkan dan bawa kasus ini ke jalur hukum," ancam Mas Pram.Mas Dimas terlihat membelalakkan matanya. Dia berdiri tegak sambil merangkul sang istri. Namun Safitri melepaskan dan menepisnya."Sayang, jangan begitu dong, aku ini ayah dari bayi yang kamu kandung. Bagaimana nasib bayimu jika tahu kalau ayahnya mantan narapidana," tutur Mas Dimas.Mama Dewi maju satu langkah dia berdiri di depanku persis."Inggit. Kenapa kamu masih saja seperti ini? Kamu tidak menyukai mantan suamimu itu bahagia bersama Safitri?" Aku terkejut mendengar pertanyaan dan sindiran dari mantan mertuaku. Dia bilang aku iri dan tidak menyukai Mas Dimas berbahagia dengan Safitri? Apa ini tidak terbalik? Aku tersenyum tipis s
Kira-kira apakah Mas Dimas akan mengelak lagi? Atau dia sudah menyerah dan berkata jujur pada kami. Namun ternyata Mama Dewi yang maju."Nggak, kalian nggak boleh tahu!" Mama Dewi mencegah Mas Dimas mengatakannya pada kami.Bola mata Mas Dimas diedarkan pindah-pindah ke arah kami. Sepertinya dia memilih untuk mendekam di penjara daripada harus mengatakan pada kami.Safitri menghampiri Mas Pram. Kemudian menepuk pundaknya. Lalu dia bicara sambil menyorotku."Maaf Inggit, Pram, sepertinya kesehatan papaku lebih penting dari menyecar orang seperti Mas Dimas, jadi aku rasa cukup sampai di sini aja," ujar Safitri membuat Mas Dimas langsung ikut mendekat."Baiklah, saya akan katakan biang keladinya. Dia adalah Mira!" Ucapan Mas Dimas barusan membuat kami semua membelalakkan mata. Mira dia bilang, wanita yang baru beberapa kali kami temui di rumah sakit. Kenapa bisa dia pelakunya? Bukankah wanita itu baik di hadapanku dan Mas Pram?"Nggak mungkin Mira yang melakukannya, aku rasa kamu berboho
Mas Dimas kesakitan ketika kemaluannya ditendang oleh Mas Pram yang sudah babak belur dipukuli. Lalu calon suamiku itu bukan memukuli balik, dia malah mengajakku masuk ke dalam mobil. Kemudian, kami pergi meninggalkan Mas Dimas bersama Mama Dewi.Setelah berada di dalam mobil dan sopir sudah melajukan mobilnya. Aku segera mengambil kotak obat yang selalu tersimpan di dashboard mobil. Aku memerintahkan sopir yang mengambilnya.Kemudian, pelan-pelan aku pun mengobati luka Mas Pram. Dia sempat meringis kesakitan, karena ada beberapa luka yang sampai mengeluarkan darah segar."Nekat banget sih tuh orang, main tangan dan kasar gitu," cetusku kesal."Emosi mungkin karena akhirnya semua hancur, rumah tangga bersama kamu sudah pupus, kini harapannya menjadi suami orang kaya pun sudah tak lagi dia gapai," ucap Mas Pram."Tujuan awalnya jelek, jadi endingnya pun akan berakhir sesak, dia terlalu percaya diri bahwa hidup manusia itu dia yang atur, padahal sudah ada Tuhan yang menentukan semuanya,
Kemudian kami menekan bel. Tidak lama kemudian pembantunya yang membuka pintu.Mas Pram langsung mengutarakan maksud dan tujuannya. Namun belum sempat sang pembantu bicara, Mira sudah datang.Dia muncul dengan menunjukkan kaki jenjangnya sambil melipat kedua tangan di atas dada."Silakan masuk dan duduk Pram, juga mantan istri Dimas," tutur Mira. Seolah-olah dia menyindirku. Kemudian, Mas Pram langsung merangkulku di hadapan Mira."Mira, ini calon istriku, tolong dengarkan baik-baik," jawab Mas Pram. "Ya, calon istri yang sangat udik, orang miskin yang menginginkan kaya mendadak. Dialah orangnya, Inggit namanya," sindirnya lagi."Cukup, Mira!" tekan Mas Pram. "Kedatanganku ke sini untuk memberikan ultimatum padamu, saya tekankan sekali lagi, jika kamu berani menyentuh Jingga ataupun Inggit, saya tidak akan segan-segan menyeretmu ke penjara!" tekan Mas Pram. Dia memberikan ketegasan pada Mira.Mira terkekeh mendengarnya, tangannya bertepuk seolah-olah menertawakan apa yang diutarakan
Mas Pram datang. Wajahnya pucat pasi ketika menghadap ke arahku."Nggak aktif lagi," ucapnya."Ini suster bilang juga katanya ada yang bawa Jingga," jawabku.Tiba-tiba Mas Pram terdiam, lalu menepuk keningnya spontan."Aku lupa, Mama dan Papa kan yang bilang mau jemput," jawabnya membuatku menurunkan bahu seketika. Di balik sudah tenang karena tahu akhirnya bahwa orang tuanya Mas Pram lah yang membawa cucunya, tapi aku ingin ngomel kenapa bisa lupa seperti itu kalau orang tuanya mau menjemput?Sebelum bicara dengan Mas Pram, aku mengucapkan terima kasih dulu pada suster yang memberikan informasi. Kemudian setelah itu barulah kembali bicara padanya."Kenapa bisa lupa orang tua mau datang?" tanyaku."Maaf, aku benar-benar enggak ingat, terlalu emosi dengar Mira yang sabotase ini semua." Mas Pram menarik pergelangan tanganku saat mengatakan itu."Ya udah lupain aja, sekarang kita pulang ketemu Jingga," jawabku.Hari pernikahan kami semakin dekat, orang tuanya Mas Pram yang akan menjadi o